Sunday, December 13, 2015

Kaleidoskop Kekerasan dalam Perspektif Kristiani


 
Pendahuluan

Tugas saya di sini adalah memaknai kaleidoskop kekerasan 2015 dari sisi teologi Kristen.  Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kaleidoskop memiliki dua arti:  1. Alat optik yang bentuk luarnya seperti keker, dilengkapi dengan dua kaca persegi panjang yang dipasang pada lapisan dalam pada salah satu ujungnya sehingga dapat memperlihatkan pelbagai gambaran yang indah dan simetris dari kepingan barang berwarna yang diletakkan di antaranya apabila dilihat dari ujung yang lain; 2. aneka peristiwa yang telah terjadi yang disajikan secara singkat.  Nah, bagaimana menyajikan gambaran kekerasan di tahun 2015, yang pastilah tidak menyenangkan sama sekali.  Saya sangsi bahwa saya mampu merangkum semua kekerasan yang telah terjadi.  Saya yakin Anda sudah well-informed, dan rekan-rekan panelis yang merupakan ahli dalam bidangnya pun dapat memaparkan data yang lebih akurat daripada seorang teolog.

Harus diakui, disiplin ilmu teologi dapat dikategorikan sebagai disiplin ilmu yang paling tidak jelas secara metodologis.  Teori apa yang akan dipakai untuk mengkaji?  Apa objek penelitiannya?  Apa hasilnya?  Apakah hasilnya dapat diukur?  Dan masih banyak lagi “keluhan” yang dapat ditujukan kepada disiplin teologi.  Namun toh saya harus berbicara sebagai seorang teolog.  Alasan pertama tentu saja karena saya tidak dapat memungkiri “takdir” saya dan mata pencaharian saya.  Namun yang kedua, yaitu bahwa teologi mengajak kita berhenti sejenak dan merenungkan makna dari setiap hal yang kita hidupi dan alami setiap hari.  Memang, teologi adalah refleksi agar kita menghentikan diri di tengah hiruk pikuk, bertanya kepada batin kita tentang apa yang sesungguhnya diminta oleh Dia yang Tak Terperi itu: siapa kita, tujuan kita, dan bagaimana kita mencapainya.  Entah Anda hendak menamai Dia sebagai Allah, sebagai Yang Tak Terpermanai, Sang Kudus, Sang Tiada, tetapi setiap kita berada di sini dan kini bukan karena kecelakaan atau karena peluang-peluang random.  Kita hidup kini dan di sini karena ada yang menempatkan kita.  Tanpa ini, hidup kita tidak bermakna.  Jadi, teologi tidak dapat dipisahkan dari antropologi.  Memahami tentang siapa Dia pada akhirnya bertanya kembali tentang siapa kita.

Saya akan membatasi diri dalam menguraikan masalah ini.  Karena saya pengikut Yesus Kristus dari Nazaret maka pertama-tama apa yang Injil katakan tentang perkataan Yesus Kristus tentang serentetan kekerasan.  Maka di sini saya akan berfokus pada berita di Injil tentang kaleidoskop kekerasan, khususnya dari Injil Matius 23:33-36.  Dari sini, saya akan mencoba membaca dengan dua sudut pandang: pertama, saya akan menguraikan dari sisi teks, namun kemudian, yang kedua, saya akan berusaha melawan teks ini, karena teks ini, yang semula dipakai oleh Yesus untuk melawan status quo dan melawan kekerasan, telah beralih fungsinya, dibalik dan dipakai untuk mengesahkan kekerasan atas orang lain yang dianggap musuh bebuyutan.  Dari sini, saya mengajak kita berefleksi bukan saja kita harus tolak, namun kita pun harus wawas diri bahwa setiap kita berpotensi untuk menjadi pelaku kekerasan.

Membaca Matius 23:33-36 sebagai Perlawanan

Matius 23:33-36 berkata, 

Hai kamu ular-ular, hai kamu keturunan ular beludak!  Bagaimanakah mungkin kamu dapat meluputkan diri dari hukuman neraka?  Sebab itu, lihatlah, Aku mengutus kepadamu nabi-nabi, orang-orang bijaksana dan ahli-ahli Taurat: separuh di antara mereka akan kamu bunuh dan kamu salibkan, yang lain akan kamu sesah di rumah-rumah ibadatmu dan kamu aniaya dari kota ke kota, supaya kamu menanggung akibat penumpahan darah orang yang tidak bersalah mulai dari Habel, orang benar itu, sampai kepada Zakharia anak Berekhya, yang kamu bunuh di antara tempat kudus dan mezbah.

Di mana sebuah kaleidoskop kekerasan kita temukan?  Perhatikan frase “mulai dari Habel, orang benar itu, sampai kepada Zakharia anak Berekhya.”  Di mata Yesus, alusi dari kisah pertikaian dan penumpahan darah akibat pertikaian saudara di Kejadian sampai kisah menjelang pembuangan merupakan rangkaian kekerasan.  Yesus sebagai seorang Yahudi pasti membaca Kitab Suci Ibrani, yang disusun tidak sama dengan Perjanjian Lama yang kita miliki.  Kitab Suci Ibrani disingkat TANAK, yang merupakan kependekan dari Torah, Neviim we-Ketuvim.  Susunan Kitab Suci Ibrani dimulai dari Kejadian dan, tidak seperti Perjanjian Lama yang kita miliki, diakhiri dengan 2 Tawarikh.  Singkatnya, bagi Yesus, Kitab Suci Ibrani (Perjanjian Lama) merupakan sebuah kumpulan tragedi kemanusiaan—kaleidoskop pembantaian.  Dengan kata lain, Yesus membaca Kitab Suci bukan hanya sebagai kitab suci keagamaan, tetapi sejarah politik yang telah memakan korban-korban di sepanjang sejarahnya.

Penting untuk diperhatikan di sini, bagi Yesus, kisah-kisah pembantaian manusia ini merupakan alasan atas kematiannya sendiri yang kian mendekat.  Dapat dipahami, bahwa kematian Yesus merangkum semua korban yang sudah jatuh bergelimpangan sebelum dia.  Dan jika Yesus adalah utusan Allah, sama seperti yang lain (nabi-nabi, kaum saga, dan para ahli-ahli Taurat), maka sebenarnya politik itu tidaklah netral dan tidak dapat dihindari.  Namun bagi Yesus, politik yang benar adalah politik Allah, politik yang berintegritas, yang karena integritasnya itulah maka nyawa menjadi taruhannya.

Bagian yang baru saja kita baca merupakan bagian akhir dari ucapan kutukan (yang berjumlah tujuh), di Matius 23.  Benarlah perkataan ahli tafsir Warren Carter, bahwa ucapan kutuk yang terakhir ini (23:29-36) tertuju kepada para pemimpin yang telah menolak ucapan-ucapan para nabi untuk menjaga status quo, yaitu mereka yang demi posisi dan keuntungan pribadi menindas orang-orang yang memperkatakan kebenaran dan tidak menunjukkan keadilan Allah bagi umat-Nya.  Mereka kehilangan integritas mereka dan tidak menjaga keseimbangan antara apa yang mereka ajarkan dan yang mereka lakukan.  Mereka hanya menjadi penjaga-penjaga kedudukan nyaman di masyarakat yang serba hirarkhis dan imperial.

Di sini, mengikut Yesus yang nanti akan menjadi bagian dari korban yang melawan status quo berarti tidak naif dalam beragama.  Beragama jangan sampai berhenti kepada berdoa meminta “pie in the sky when you die, bye and bye!,” tetapi sebuah perlawanan terhadap kekuasaan yang lalim.  Perlawanan Yesus bukanlah perlawanan dengan mengangkat senjata, namun demikian perlawanan ini dilakukan secara terbuka dan, karena itu, membuat penguasa tidak nyaman—subversif.  

Namun perlawanan ini dilakukan dengan pathos.  Inilah yang seperti dikatakan oleh Walter Brueggemann bahwa kekuasaan imperial dan status quo tidak pernah dibangun di atas bela-rasa.  Empires are never built or maintained on the basis of compassion.” (Brueggemann, Prophetic Imagination, 88).  Sebaliknya gerakan Yesus menitikberatkan pada bela-rasa yang terbuka.  Brueggemann melanjutkan, “Thus the compassion of Jesus is to be understood not simply as a personal emotional reaction but as a public criticism in which he dares to act upon his concern against the entire numbness of his social context.  Jadi, welas-asih yang seolah-olah tampak seperti perbuatan baik sesungguhnya merupakan kritik terhadap sistem, kekuatan-kekuatan dan ideologi-ideologi yang menghasilkan penyakit dalam masyarakat.  Baik para nabi dan Yesus yang mengikuti mereka memasuki sengsara dan petaka manusia serta menubuhkan dalam dirinya sendiri.

Membaca Matius 23:33-36 sebagai Kewawasan Diri

Dalam pada itu, kita pun perlu waspada ketika membaca ayat ini.  Anthony Saldarini, S.J. menyebutkan bahwa kehadiran ketujuh kutuk Yesus di Matius 23 ini telah menjadi sumber masalah berkepanjangan dalam sejarah Kristianitas.  Begitu mudahnya orang-orang, termasuk yang Kristen menuduh orang yang berbeda pendapat dengan mereka sebagai “Farisi atau ahli-ahli Taurat.”  Hieronimus menyebut orang-orang Kristen yang mencari pujian di muka umum sebagai “ahli-ahli Taurat dan para Farisi.”  Dante menyebut Paus Bonifasius VIII seorang Farisi, Luther melabeli semua Katolik lawan-lawannya sebagai kaum Farisi.  Para reformator menyebut orang-orang yang menyandarkan diri pada perbuatan baik sebagai kaum munafik.  Sampai di sini masih belum terlalu mencemaskan.

Bagian ini sampai berabad-abad dipakai untuk melegitimasi kebencian kepada kaum Yahudi dan melegalkan semangat anti-semitisme.  Orang-orang Kristen berpikir bahwa orang-orang Yahudi selalu melawan Kekristenan dengan keyakinan dan praktik-praktiknya.  Mereka, kaum Yahudi, adalah orang-orang yang sok rohani, namun tidak memenuhi targetnya.  Bahkan, karena ketaatan mereka ini, kaum Yahudi sampai kini masih dianggap sebagai pembunuh Tuhan orang Kristen.

Membaca teks Matius ini membutuhkan kecermatan.  Matius memimpikan sebuah tatanan yang egalitarian, yang menjadi alternatif bagi masyarakat yang hirarkhis (23:8-12 melanjutkan ps. 18-20).  Matius mengimajinasikan sebuah jalinan sosial yang berbeda, yang lebih radikal, yang dilandasi dengan pengakuan teologis dan kristologis yang khas.  Dengan demikian, kita perlu berhati-hati dengan diri kita sendiri karena kita pun berpotensi untuk melanjutkan spiral kekerasan yang semula dipakai oleh lawan-lawan kita.  Pembacaan teks seperti ini perlu dilawan.

Penutup

Di sini, orang-orang Kristen perlu berhati-hati.  Bahwa teks ini dapat dipahami dengan dua sisi yang sama sekali bertolak belakang.  Di sini problem interpretasi menjadi sangat penting namun licin.  Siapa yang menafsir dan dengan ideologi apa ia menafsir?  Dalam kaitan dengan inilah saya malahan percaya teologi sangat diperlukan karena teologi sangat berpengaruh dalam menggerakkan massa.  Masyarakat justru lebih mudah digerakkan oleh apa yang mereka percaya, dan karena itu, jika keyakinan mereka itu violent, maka kekerasan pun tidak akan pernah selesai di masyarakat.

Memaknai kaleidoskop kekerasan di tahun 2015 membuat kita bertanya: siapa kita dan siapa yang kita ikuti.  Jika kita mengikuti Dia yang sengsara dan disalib itu sebagai perwujudan bela-rasa (welas-asih) Allah, maka paling tidak ada dua hal yang kita refleksikan.  Pertama, kita adalah bagian dari arak-arakan itu, dank arena itu mengenang mereka ini merupakan bagian yang sangat penting.  Ada dua contoh yang saya dapat sampaikan.

Tahun ini, bulan Mei saya mengikuti ritual pelarungan lentera di Hawaii yang disponsori oleh Shinnyo-en Buddhism, Jepang.  Sekitar 30.000 orang berkumpul di Pantai Ala Moana, Hawaii untuk menyaksikan prosesi pelarungan 6.000 lentera untuk mengenang mereka yang sudah meninggal.  Saya tentu bukan pengikut Buddhisme esoterik Shinnyo-en.  Namun saya merasa ritual untuk mengenang mereka yang dekat dengan kita dan yang sudah mendahului kita merupakan bagian yang penting.  Saya tidak dapat menjelaskan, namun tubuh saya merasakan bahwa saya memerlukannya! 

Contoh kedua.  Di Sidang Dewan Gereja Dunia Canberra pada tahun 1991, teolog perempuan Korea Chung Hyung Kyun membuat heboh sidang pleno DGD karena alih-alih menyampaikan pidato ilmiah, ia mendemonstrasikan sebuah shamanism yang dituduh sinkretis oleh delegasi Ortodoks dan Evangelikal.  Di dalam presentasinya, Kyun memanggil untuk datang bukan saja roh-roh yang ada di dalam ciptaan, tetapi juga roh-roh mereka yang sudah mati, bahkan roh-roh mereka yang mati tertindas dalam tragedi kemanusiaan.

Bagaimana kita mengenang mereka?  Sebagai komunitas iman, apakah cukup hanya memasukkan mereka ke dalam salah satu pokok doa syafaat?  Atau perlukah ada semacam ibadah pengenangan untuk mereka?

Hal kedua.  Pengenangan seperti ini bukan hanya pengenangan yang melankolis dan emosional semata-mata.  Namun ini merupakan pengenangan yang subversif, atau dalam istilah Johann Baptist Metz, sebagai memoria passionis Christi, memori kesengsaraan Kristus.  Karena dengan mengenang sengsara Kristus, gereja diingatkan kembali siapa yang mereka ikuti.  Karena mengingat siapa yang mereka ikuti, gereja tidak akan mengikuti tata hidup dunia.  Demikian pun ketika kita mengenang para korban yang berjatuhan oleh karena ketidakadilan, mereka telah dipeluk oleh Dia yang telah mengalami kematian, dan kenangan subversif ini bangkit kembali dalam diri kita yang masih hidup kini dan di sini.


Disampaikan dalam Diskusi Advent III “Kaleidoskop Pelanggaran HAM di Indonesia,” Gereja Komunitas Anugerah, 13 Desember 2015.

Sunday, September 13, 2015

Paul C. Vitz, Faith of the Fatherless: The Psychology of Atheism, second edition, Ignatius Press, 2013, 232 pp.

Dua Catatan dari Sudut yang Berbeda

Dari keterangan di internet, Paul Vitz, penulis buku ini adalah seorang guru besar psikologi emeritus di New York University, memperoleh gelar Ph.D. dari Universitas Stanford yang memang terkenal unggul dalam studi psikologi di Amerika Serikat. Vitz semula adalah seorang ateis sampai umur 30-an tahun dan kemudian menjadi seorang teis, memeluk Katolisisme dan banyak menulis tentang nisbah psikologi dan agama. Salah satu bukunya yang ternama dan yang sudah terbit dalam bahasa Indonesia bertopik psikologi sebagaiagama.
  
Buku yang baru saja saya selesaikan berjudul Faith of the Fatherless: The Psychology of Atheism. Ketika membaca pengantarnya, saya merasakan suatu nada kecemasan: dunia kita sudah menjadi dunia yang sangat asing, dan ateisme menguasai kancah publik, sementara wacana tentang Allah dilarang di ruang umum, khususnya sekolah. Ateisme, menurutnya, memenangkan pertandingan di banyak dimensi.
  
Vitz lebih khusus meratapi kondisi ini di tanah airnya, Amerika Serikat. Betapa berbedanya kenyataan ini dengan pujaan Alexis de Tocqueville atas negerinya lebih dari 170 tahun lalu, bahwa di negara Amerika Serikatlah agama Kristen masih terasa kuat walau kekristenan tidak mengintervensi pemerintahan dan politik. Kendati Amerika masih terbilang religius, terbukti dari lebih dari 80% warga Amerika Serikat yang mengaku bahwa mereka percaya kepada Tuhan, namun, dalam kegundahan Vitz, referensi tentang Allah semakin dimarginalkan dalam wacana publik.
  
Dalam konteks ini, Vitz berusaha memberikan telaah psikologis atas ateisme. Pertama-tama, ia ketengahkan teori bahwa kepercayaan kepada Allah merupakan proyeksi manusia atas pengalaman masa kanak-kanak seseorang. Mendulang dari teori oedipal complex Sigmund Freud, Vitz menawarkan hipotesis the defective father yang hendak ia uji dalam buku ini. Menurutnya, ateisme merupakan buah di kemudian hari dari relasi seorang anak terhadap ayahnya. Jika seseorang kehilangan figur ayah pada masa kecilnya, entahkah ayahnya itu meninggal ketika ia masih kecil atau suka melecehkan dan lemah dalam keluarga, dan si anak tidak mendapatkan figur ayah pengganti, maka sangat besar kemungkinan anak itu pun akan menolak figur Allah sebagai Bapa di kemudian hari. Sebaliknya, jika seseorang dibesarkan dalam keluarga yang baik, yang di dalamnya ayah berperan sebagaimana seharusnya, maka niscaya anak itu akan lebih mudah menerima figur Tuhan dalam hidupnya. Untuk membuktikan hipotesis ini, maka Vitz mendaftar tokoh-tokoh sentral yang ia pandang merepresentasikan kaum ateis mapun teis.
  
Vitz cukup cakap dalam membuktikan teorinya itu. Secara umum, ia berhasil membuktikan hipotesisnya di atas. Satu sisi yang baik dari Vitz, ia pun kritis atas hipotesisnya dengan mengemukakan adanya sejumlah pengecualian. Tidak semua ateis dibesarkan dalam konteks keluarga yang di dalamnya sang ayah disfungsi. Di sini nampak kesarjanaan Vitz, ketika dia bekerja dengan hipotesis dan teori, dan mampu melihat kelemahan pendekatannya dengan data yang ia dapatkan.
  
Saya tidak akan membahas apakah Vitz berhasil atau tidak dalam teorinya. Saya cenderung ingin mengajak Vitz berdialog dan, berdasarkan teori yang ia sodorkan, mengajukan dua masalah dari sudut yang berbeda. Saya ingin mendorong Vitz menjawab dua masalah berikut ini.
  
Pertama, dari sudut kaum teis yang dibesarkan di konteks keluarga yang cukup sehat, atau singkatnya, bagaimana dengan faith of the “fatherful”? Vitz cukup adil dalam mendaftar kaum teis yang menjadi “kelompok pengendali,” atau figur-figur utama dalam sejarah. Tentu, tidaklah mungkin bagi saya untuk mengajukan pernyataan mengapa tokoh A, B atau C tidak juga dimasukkan. Tetapi ada tiga figur yang menarik minat saya agar pembaca Vitz pun mengajukan pertanyaan yang sama dengan saya. Ketiganya adalah Friedrich Schleiermacher, Albert Schweitzer dan Dietrich Bonhoeffer (walau saya tergelitik untuk mendaftar Baron Friedrich von Huegel, pemikir mistik, dan Abraham Joshua Heschel, rabi Yahudi reformis di Amerika Serikat).
  
Schleiermacher adalah seorang pendeta gereja Reformed. Ia seorang teolog dari gereja beraliran Kalvinis. Schleiermacher di kemudian hari dikenal sebagai “bapa teologi liberal,” karena pemikirannya yang utama mengenai pengalaman. Doktrin dilandaskan pada pengalaman kepada yang mutlak; doktrin merupakan sebuah refleksi dari pengalaman atas atau dalam bahasa Schleiermacher, agama adalah “perasaan terhadap kebergantungan yang mutlak.”
  
Schweitzer adalah salah satu pemikir jenius yang pernah hidup. Ia memiliki tiga gelar doktorat dalam teologi, musik dan filsafat, namun menempuh ilmu medika dan kemudian mengabdikan diri sebagai dokter di Afrika. Secara teologi, Schweitzer berada dalam jalur teologi liberal. Hal ini dapat diamati dalam telaahnya tentang Yesus Sejarah dan Paulus sebagai seorang mistik.
  
Bonhoeffer adalah seorang pendeta Lutheran Jerman. Ia meninggal di atas tiang gantungan Nazi beberapa hari sebelum Nazi bertekuk lutut kepada tentara sekutu. Bonhoeffer masih sangat muda, namun ia pun terhisab dalam pemikir brilian di zamannya. Ia menentang teologi liberal yang terbukti gagal dalam menyuarakan suara kenabian di tengah-tengah fasisme Hitler. Dalam pada itu, ketika usianya kira-kira 38 tahun, dari dalam penjara, ia menulis satu frase yang dikenal sebagai religionless Christianity: “Before God and with God we live without God.” 
  
Pertanyaan saya kepada Vitz bukan lagi apakah benar teorinya. Saya tidak ragu bahwa ketiga tokoh yang saya pilih di atas adalah kaum teis utama, namun saya mendesaknya untuk mengeksplorasi lebih jauh psikologi kaum teis, yakni mereka yang dibesarkan dalam keluarga yang utuh dan yang memiliki figur ayah yang fungsional. Iman yang seperti apa yang dimiliki oleh ketiga orang ini?
  
Hipotesis yang dapat dieksplorasi lebih lanjut adalah sebagai berikut: Seorang anak yang dibesarkan dalam keluarga yang fungsional, yang di dalamnya ayah berperan baik, maka di kemudian hari ia akan menjadi seorang beriman (teis) yang berani untuk “melepas agama” atau “membiarkan pergi agama”-nya (letting go). Hal ini bukan berarti ia tidak memedulikan agama atau mencampakkan agama—seperti kaum ateis; tetapi di satu titik, ia akan beranjak dari pandangan bahwa agamanya adalah yang terbaik, atau yang paling benar! Ia akan menjadi pribadi dewasa yang taat, namun menjadi semakin inklusif terhadap yang lain.
  
Ketika membaca tiga nama di atas, saya coba refleksikan, apakah mereka terbilang ortodoks? Lalu mengapa mereka menjadi tidak ortodoks lagi? Kemungkinan besar, kaum ortodoks lainnya tidak akan nyaman dengan mereka. Demikian pun dengan von Huegel yang meluaskan spiritualitasnya dan memeluk mistisisme, atau Rabi Heschel yang turun ke jalan dan bergandengan tangan dalam gerakan-gerakan protes turun ke jalan bersama dengan Martin Luther King Jr. yang Protestan. 
  
Dapat dilanjutkan pula bahwa faith of the “fatherful” adalah iman yang subversif, keberagamaan yang tidak puas dengan penjelasan monolitik tetapi mengajukan banyak pertanyaan, mencari alternatif-alternatif jawaban dan menemukan bahwa realitas itu tidak hanya satu. Para “fatherful” adalah mereka berani masuk ke dalam wilayah ambigu, masuk ke dalam Misteri dan gagah dalam menjalani kehidupan yang tanpa jawaban yang pasti. Hal ini disebabkan karena "Bapa" atau Sang Misteri itu tidak pernah meninggalkannya. Ketika mereka sudah mendapatkan jawaban yang pasti, mereka akan mengajukan pertanyaan yang baru dan kembali masuk dalam ambiguitas untuk mencari alternatif jawaban.
  
Kedua, bagaimana jika judul utama buku ini dikenakan pada fundamentalisme religius, sehingga menjadi Faith of the Fatherless: The Psychology of Religious Fundamentalism? Hipotesis yang dapat diajukan yakni sebagai berikut. Seorang anak yang dibesarkan dalam disfungsionalitas ayah pun dapat menjadi seorang fundamentalis religius. Di sini dibutuhkan sebuah titik metanoia atau titik pertobatan ketika ia beralih dari situasi “absensi bapa” kepada penemuan “bapa pengganti,” entahkah itu figur pengganti ayah (termasuk kekasih atau partner hidup) ataupun Tuhan sebagai “Bapa.”
  
Dalam kaitan dengan pertobatan ini, masuk ke dalam “hidup baru” bisa menjadi kondisi yang rentan bagi pertumbuhan psikologisnya. Dengan kata lain, periode “pertobatan” bisa berbahaya, karena berarti pribadi ini baru menerima figur ayah dan membangun gambaran tentang ayah yang ideal ketika ia sudah seharusnya masuk di periode ketika ia meninggalkan rumahnya. Dalam kurun waktu ini pun mulailah ia memulas gambaran keagamaannya, bahwa agamanya adalah yang terbaik jika dibandingkan yang lain—kebenaran!
  
Karena kebenaran ini, ia “cemas” dengan kehadiran yang lain. Ia cemas dengan hadirnya pluralisme, ketidakhorenan doktrin, kontradiksi-kontradiksi dalam keyakinan dan jawaban agama yang tidak pasti. Karena itu, fundamentalisme religius akan selalu menampilkan dirinya sebagai penyuara kebenaran Allah. Kebenaran dan realitas itu satu saja dan yang lain merupakan bahaya laten yang dapat menyerang eksistensi agama.  Ia masih berada dalam kegandrungan yang penuh kepada gambaran "Bapa" sebagai yang terbaik dan paling benar tadi.  Ia cemas jikalau citra sang Bapa itu menjadi buruk di mata orang lain.
  
Dalam kaitan dengan kekristenan, karena Vitz juga seorang Kristen, saya bertanya bagaimana ia melihat figur-figur apologet yang selalu membela iman Kristen melawan pluralisme agama, mempertahankan Trinitas, kebangkitan Yesus, sains dan iman, dan sebagainya, yang pada intinya permasalahan hanya satu dan satu itu saja: Oleh sebab yang lain merupakan ancaman bagi eksistensi kekristenan, maka bagaimana kekristenan mempertahankan imannya?
  
Jika hipotesis ini terbukti, bahwa kaum fundamentalis agamawi dan para pembela iman pun pernah mengalami keterhilangan kasih ayah, dan sebuah titik konversi diperlukan untuk membangun figur seorang ayah, maka terdapat indikasi bahwa para pembela iman masih berada dalam periode formasi gambaran ayah ideal, periode yang bagi kaum “fatherful” di atas sudah dilewati. Sampai seberapa lama periode ini berjalan? Hal ini tidak dapat dipastikan karena bergantung kesadaran individual ketika ia berani “melepas” (letting-go) apa yang ia anggap sebagai kebenaran tunggal. 
  
Kedua hipotesis ini pun harus diuji dengan metode yang mirip seperti yang Vitz ajukan dalam bukunya. Kiranya ada seorang atau lebih pembaca yang mau melanjutkan selisik ini.
  
Saya tidak tahu bagaimana animo pembaca Indonesia atas buku ini. Yang jelas, Vitz menulis dari dan untuk konteks Amerika Serikat dengan tingkat kompleksitas relasi agama dan politik yang berbeda dengan Indonesia. Isu ateisme Amerika Serikat sedikit banyak juga dipengaruhi oleh faktor politis negara itu. Kendati begitu, pertanyaan yang perlu menyentil kaum beragama adalah apakah ateisme merupakan ancaman bagi teisme, khususnya kekristenan. Di Amerika Utara, termasuk Kanada, angka ateisme masih sangat kecil. Menurut hasil Pew Research yang dikeluarkan pada 12 Mei 2015, angka agnostik adalah 3,1% dan agnostik 4,0%, total 7,1%, sementara kaum none, yang tidak mengafiliasikan diri mereka ke dalam sebuah institusi religius bertotal 15,8%. Tergolong ke dalam mereka ini adalah kaum yang menyebut diri spiritual tetapi tidak religius, atau mereka yang masih berkelana ke sana kemari. Total dari semua mereka adalah 22,8%. Persentase ini adalah kurang dari sepertiga pemeluk agama Kristen yang menduduki angka 70,6%. Jika demikian, pertanyaannya, apakah mungkin kaum ateis telah meraja di Amerika Serikat dan mempengaruhi banyak kebijakan negara ini? Kedua, jika pun ateisme menjadi mayoritas, apakah berarti ateisme merupakan ancaman terhadap kekristenan? 
  
Ataukah, yang sebenarnya adalah bahwa orang-orang Kristen tengah mengalami kecemasan dengan hadirnya Sang Liyan, yang lain itu, yang memanifestasi dalam bentuk ateisme. Jika ini yang terjadi, jangan-jangan ada yang lain-lain yang membuat orang Kristen cemas? Dan, apakah kecemasan itu karena mempertahankan integritas agama dan keyakinan, atau alat kamuflase untuk menutupi kekurangan dalam tugas perkembangan diri—yaitu, dalam bahasa Vitz, absensi figur seorang ayah.