Saturday, June 23, 2007

Raker Collegium Pastorale

Raker Collegium Pastorale


Para hamba Tuhan di gereja kami tergabung dalam sebuah Collegium Pastorale, kolegialitas penggembalaan (lih. posting 19 Februari 2007). Dipimpin oleh seorang koordinator, kami semua sama dan sejajar. Ada gembala senior, tapi bukan seperti the untouchable godfather. Saat ini kami beranggotakan 12 orang, 5 orang di induk, dan 7 di cabang dan badan pembantu pelayanan. Kebetulan saja bila mirip dengan 12 murid Yesus, asal tidak dilanjutkan dengan pertanyaan, siapa yang jadi Yudas Iskariotnya.
Tiap Senin kami bertemu, dengan agenda membahas teks firman Tuhan yang akan dikhotbahkan serta membicarakan agenda-agenda penggembalaan. Yang selalu membuat kami kangen dengan perjumpaan ini adalah kehangatan persekutuan di antara rohaniwan.
Selama 2 hari, Kamis-Jumat, 21-22 Juni 2007 kemarin kami mengadakan raker di Kajar, Colo, di lereng Gunung Muria, utara Kota Kudus. Kami membicarakan agenda-agenda mendesak mengenai cabang-cabang (bakal jemaat) serta komisi-komisi. Selain itu juga penataan pengorganisasian menjelang terpilihnya MJ yang baru.

Agenda kerja yang besar! Tetapi ada satu konsolidasi yang tercapai: para hamba Tuhan jangan sampai bekerja sendiri-sendiri. Apa yang dialami satu orang HT juga merupakan tanggung jawab bersama, bila memang tujuan yang diharapkan adalah suatu kolegialitas.
Kiranya Tuhan menolong kami.
TERPUJILAH ALLAH!

Friday, June 22, 2007

SPIRITUALITAS MONOGRAFI 5: Intellico-spiritual Gluttony!


Intellico-spiritual Gluttony!

Aku takut. Benar-benar takut. Siapa yang tahu motivasiku melahap monografi-monografi? Apakah diriku juga tahu alasan mengapanya? Apakah aku membaca untuk menjadi seorang penulis? Apakah aku membaca supaya menjadi seorang ilmuwan teologi? Apakah aku membaca sebagai seorang yang masuk ke laboratorium riset teologi? Atau, apakah aku membaca supaya menghafal istilah-istilah Latin? Apakah aku membaca supaya dianggap orang tidak ketinggalan info? Apakah aku membaca supaya di mimbar tampak lebih gagah ketika mengutip teolog A mengatakan itu, filsuf B mengatakan ini: kalau begini jadi begitu, dan yang begitu tidak bisa begini? Ah, apakah aku membaca supaya makin keren saja?

Fakta malah berkebalikan dari semua itu. Lokasi pelayananku di kota kecil. Kudus. Kota kretek, tetapi juga kota santri. Dua makam sunan (Kudus dan Muria) dari Sembilan Wali Songo ada di kotaku. Kudus jauh dari laboratorium riset teologi. Tidak ada Sekolah Teologi kecuali di Semarang, 54 km. dari kota ini. Di sana pun tidak ada pusat pengkajian teologi yang andal. Aku tergabung dalam Collegium Pastorale di sebuah gereja yang sangat tua, dan kebanyakan hamba Tuhannya humble dan simple. Meski ada satu yang baru saja tuntas gelar D. Min. dari San Fransisco Theological Seminary, dan berhasil menggondol judicium cum laude. Tapi yang lain-lain, mereka terbuka dengan teologi tetapi tidak terlalu memusingkan kajian teologis. Kerjaan yang menumpuk di meja juga sama sekali bukan berhubungan dengan yang senang aku baca. Tapi toh aku senang membaca. Atau mungkin maniak membaca. Lebih-lebih, bukan untuk menjadi penulis. Bukan untuk mengajar. Bukan untuk studi lanjut. Ada apa dengan ini semua?

Aku tersentak. St. Yohanes dari Salib membuat aku harus berpikir dan berpikir dalam. Spiritual gluttony! Jelojoh spiritual. Kemaruk rohani. Apakah aku sedang mengalaminya? Aku kemaruk rohani, dan dalam bahasaku, intellico-spiritual gluttony, kemaruk rohani-intelektual. Jangan-jangan aku sedang melakukan suatu vanitas vanitatum mundi, kesia-siaan di atas kesia-siaan di dunia?! Sebenarnya aku tidak butuh. Sebenarnya aku tidak perlu. Sebenarnya pelayananku tidak terberkati dengan semua bacaanku. Para anak muda, masakan akan aku indoktrinasi dengan ide para pemikir kondang yang kebanyakan orang bule dari Barat itu? Ah, aku tengah melakukan tindakan nista terselubung kalau begitu!

Tapi aku tak bisa. Aku suka dengan pemikiran baru. Aku mencintai ide. Aku senang dengan “yang aneh-aneh.” Aku suka mendulang olah pikir orang. Aku suka membenturkan pemikiran yang satu dengan yang lain. Aku suka menguji posisiku sendiri.

Lalu semua itu untuk apa? St. Yohanes dari Salib memberikan kuncinya! The dark night! Malam kelam. Semua yang kupelajari, semua yang kumasukkan ke dalam pikiranku, semua ide yang berjejal, bekecamuk dan bergejolak pada akhirnya harus menghadapi yang satu ini: malam pekat tak berbulan ataupun berbintang! Di sinilah benturan yang paling riil dari ide di kepalaku. Siap atau tidak. Cepat atau lambat.

Di satu sisi, telah aku imajikan bahwa dalam hidup pribadiku, masa itu akan tiba. Pasti. Tapi di sisi lain, aku pun akan menghadapi suatu realitas korporat yang menghadapi realitas malam kelam. Bagaimana jawabku? Bagaimana sikapku? Di situlah virtuous reading ditantang. Apakah pembacaan akan mampu membidani keutamaan yang mampu menjawab realitas korporat, sehingga terlahirkan sebuah realisme yang berpengharapan! Sobat, aku sedang mengujinya. Dan aku yakin akan terus mengujinya.

Lebih lagi, narasi hidup Gustiku juga mengingatkan aku. Peirasmos besar itu akan tiba! The great disaster! Petaka mahadahsyat. Sama seperti “malam kelam” itu. Bukan berita-berita akhir zaman sensasional yang aku maksudkan. Tapi apa yang akan menimpa diriku, sekitarku, masyarakatku, bangsa dan negaraku, serta bumiku.

Monday, June 18, 2007

NABI, Dipanggil Menjadi Seniman


NABI, Dipanggil Menjadi Seniman


Seniman itu biasanya nyentrik. Sebab, kepuasan yang didapat tak dapat diukur dengan uang berapa pun besarnya. Bila dia merasa senang dengan hasil karyanya, ia puas. Bila merasa cukup banyak menghasilkan karya cipta, ia akan memamerkan karyanya. Bila orang tak mengapresiasi karyanya, ia tak ambil pusing. Penghasilan bukan eksistensi. Rasa cukup tidak ditempatkan di atas kata orang lain.

Nabi juga tak kalah nyentriknya. Seorang nabi tidak mendapat gaji bulanan. Hidupnya mandiri. Ia tidak memedulikan kata orang akan dirinya. Ia tampil di hadapan publik dengan kata-kata. Ia tak ambil pusing dengan penolakan orang. Uang juga bukan menjadi patokan untuk hidup seorang nabi.

Seniman dan nabi, kok mirip? Makin tercenunglah hatiku ketika mengamati tindakan-tindakan kenabian yang eksentrik. Nabi Yeremia dilarang kawin. Nabi Hosea disuruh kawin dengan pelacur. Yehezkiel jadi kutu buku dalam arti sebenarnya, ia disuruh makan buku. Yohanes Pembaptis memakai pakaian bulu dan membaptis di depan banyak orang. Cerita-cerita hidup nabi yang sebenarnya pribadi, tapi disebar-sebar. Untuk apa? Perintah dan larangan yang dari Tuhan yang aneh-aneh menjadi tontonan publik. Ada apa sebenarnya?

Lama kupikir masalah yang satu ini. Nabi tampil di hadapan umat. Tanpa tedheng aling-aling, kekuasan absolut pun ditembus. Kontra raja. Berhadapan dengan para pemimpin tertinggi. Lalu kuamati, biasanya reaksi publik pun negatif. Hmm, tambah aneh. Maka teringatlah aku pada Iwan Fals dengan lagunya, "Bento," yang sempat heboh dan membuatnya harus mendekam beberapa saat di "Hotel Prodeo." Sebab dikabarkan bahwa lagu itu isinya sindiran kepada para ahli waris penguasa Orde Baru yang telah bercokol di negaraku selama 32 tahun.

Ambil contoh lagi, Lekra. Lembaga Kesenian Rakyat, yang pada akhirnya dilarang karena tercium bau ideologi terlarang yang menyadarkan wong cilik akan keadaannya dan berani berkata Tidak kepada pihak penguasa. Tonil-tonil wayang orang, ludruk, ketoprak dari para anggota Lekra dibersihkan. Para penulis seperti Pak Pramudya Ananta Toer (hmm, tanggal lahirnya kebetulan sama denganku) harus mengidungkan nyanyian sunyi seorang bisu di Pulau Buru.

Orang yang nyentrik menjadi ancaman! Di balik jubah para seniman, tersembunyi sebilah pusaka ampuh yang menggentarkan penguasa absolut. Yaitu karyanya. Sementara itu pun kukenang dalam Kitabku yang tebal itu, para nabi tak kalah nyentriknya, dan publik pun ketakutan dengan itu.

Aku baru sadar, waktu membaca kisah Elia untuk kesekian kalinya. Ia baru saja menggelar Festival Mujizat Allah di Gunung Karmel. Nyonya Meneer Prabu Ahab, Madam Izebel, ketakutan sangat dengan sang nabi. Betapa tidak, ia berujar, "Beginilah kiranya para allah menghukum aku, bahkan lebih lagi dari pada itu, jika besok kira-kira pada waktu ini aku tidak membuat nyawamu sama seperti nyawa salah seorang dari mereka itu." Eloooh! Madam Izebel kan tahu di mana Elia berada. Lha wong dia juga toh yang menyuruh kurirnya untuk mengatakan itu kepada Elia. Kenapa tidak sekalian bawa pasukan sebatalyon? Terus, kenapa juga harus ada waktu "jika besok kira-kira pada waktu ini." Kan ada waktu buat Elia untuk melarikan diri? Kalau begitu, dengan kata lain Elia, kan disuruh pergi jauh-jauh saja sama sang Madam jelita?

Menurutku, Gustiku yang bernama Yesus juga seperti itu. Kata orang sih Dia nabi. Tapi menurutku dia juga Seniman kok. Coba perhatikan tindakan dan kata-kata-Nya. Perumpamaan-perumpamaan yang dekat dengan kisah-kisah di sekitarnya.

Hanya satu yang kurenungkan. Nabi tak ubahnya kayak seniman. Dipanggil menjadi nabi berarti juga dipanggil menjadi seniman. Begitu karyanya tampil di publik, gegerlah massa. Tapi toh sengsara membawa nikmat. Pelan, tapi pasti, akan ada perubahan.

Kadang-kadang, panggilan untuk menjadi transformator diartikan pengubahan yang cepat jadi. Sama sekali bukan. Yang terang adalah keberanian menampilkan karya di depan publik. Meski menggegerkan, tetapi membawa perubahan. Demikian pula dengan teologi. Apakah teologi dapat menjadi karya seni yang mempublik? Menurutku, kok nggak bisa bila melulu berapologetik. Atau melalui tulisan-tulisan yang menerjang palang orang-orang yang berseberangan pandang. Lawan kita bukan pemeluk agama-agama lain, Brur. Tapi pusat kuasa. Dan ini berarti teologi seharusnya mampu menyentak wacana publik dan menuju ke episentrum kuasa. Maka gegerlah pusat kuasa, bagai dilucuti dan telanjang bulat-bulat.

Rasisme masih menjadi masalah. Rekonsiliasi belum juga tuntas. Ekologi memprihatinkan. Agama menjadi macan ompong. Etika dan moralitas hanyalah ada di buku teks kuliah. Samudra uang menjadi tempat berselancarnya para politisi. Masih banyak yang lain dapat kusebut.

Apakah panggilanku ini hanya menjadi gembala di sebuah gereja yang berumur lanjut? Pokoknya aman-aman saja di dalam tembok segi empat, segi enam, segi delapan, dll. Sementara seabreg PR yang di atas mesti juga dikerjakan nih!
TERPUJILAH ALLAH!

RECOVERY OF HOPE


We lay our heart

And all our life nothing else to guard;

Our joy, our sin,

Our praise, our pain,

and holy life to gain.

May You console,

May You restore,

Let peace be on earth,

Let there will be hope,

Let all be restored in You


We long to love You, O Lord,

We bind life in one accord;

Our family, we take a vow,

To faithfully and humbly bow.

Saturday, June 16, 2007

Dr. habil. Musa


Dr. habil. Musa


Anda mungkin pernah berjumpa dengan seorang profesor lulusan sekolah Jerman. Bagaimana kesan Anda? Cerdas. Mungkin jenius. Berdaya analisis tinggi. Berpertimbangan cermat. Mungkin ia jebolan dari Universitas Berlin, Hamburg, Heidelberg, Tuebingen, Munich, dan sebagainya. Menurut tuturan orang, untuk mencapai profesorat, seseorang harus mengambil gelar Dr. Habilitation. Ia harus menulis sebuah disertasi pasca-doktoral yang disebut Habilitationschrift. Tentu saja, disertasi ini disertai tuntutan akademik serta orisinalitas topik yang tinggi.

Musa tentu tidak pernah bersekolah di Jerman. Negara ini belum ada pada zaman Musa, dan tidak ada universitas beken di sana. Akan tetapi Musa pernah tinggal 40 tahun di Mesir. Ia pernah menjadi pangeran dari putri Firaun. Kabar-kabarnya, Musa pernah dicalonkan sebagai pengganti Firaun. Kalau begitu, tak salah lagi bila kita menyimpulkan bahwa Musa pernah bersekolah tinggi sekali, istimewa . . . di sebuah institusi pendidikan milik keluarga istana. Sebut saja Univeritas Iskandariah (Ya, betul! Iskandar Zulkarnaen belum lahir pada waktu itu, tapi cukuplah menyebut universitas ini demikian sebagai representasi sekolah yang prestisius). Mungkin setara dengan Universitas Al-Azhar pada masa kini.

Kalau 40 tahun Musa mengenyam pendidikan di sekolah ini, Musa tentu sudah mencapai strata pendidikan tertinggi. Setara S3 mungkin. Atau bahkan ia pun sudah mengambil pasca-doktoral dan menulis sebuah Habilitationschrift di bawah supervisi maha guru paling top marko-top di Mesir. Dr. habil. Musa! Lulus dengan judicium summa cum laude!

Tapi Musa ternyata belum dinyatakan lulus oleh Tuhan. Ia harus mengambil habilitation yang kedua, untuk bidang kepemimpinan massa dan politik kenegaraan. Bukan di Universitas Hippo. Bukan pula di Universitas Ur. Ia “dipaksa” mengambilnya di UPB, Universitas Padang Belantara. (Mau masuk UPH tidak bisa, terlalu tinggi uang sekolah dan beban SKS-nya, sedangkan Musa menjadi buronan politik pada waktu itu.) Sekarang, Mahaguru yang mensupervisi dia adalah Yahweh sendiri. Objek penelitiannya adalah domba-domba milik mertuanya, Yitro. Kurikulum yang harus ia jalani adalah: mencari air, mengawasi binatang-binatang pemangsa domba, dan sabar menghadapi hewan ternak yang terkenal “dungu” itu.

Aneh! Ilmu politik kenegaraan macam apa yang sedang dipelajari oleh Musa? Pakar komunikasi politik sehebat Effendi Ghazali, Ph. D. saja pasti tidak pernah mempelajari perpolitikan massa dengan objek studi binatang piaraan. Tetapi sesungguhnya kurikulum Tuhan berbeda bagi Musa! Ketangguhan serta kegigihannya untuk menerapkan kecakapan ini bagi hewan ternak dengan tanpa sadar telah mencetak kepekaan serta insting yang dibutuhkan untuk menjadi seorang pemimpin sebuah bangsa yang asalnya adalah budak pekerja kasar di Mesir. Ya sama-sama “dungunya,” dan susah diatur.

Kurikulum kepemimpinan yang diterima oleh Musa untuk Dr. habil.-nya yang kedua amat sangat berbeda sekali dengan kurikulum kepemimpinan di Mesir. Ia telah lulus untuk mata kuliah kepemimpinan otoriter dan mata kuliah kepemimpinan absolut untuk menjadi seorang Führer. Ia telah menamatkan mata kuliah manajemen imperium, di mana persuasi dilaksanakan dengan cara eselon atas mendelegasikan tugas kepada eselon di bawahnya. Misalnya Firaun memandatkan tugas kepemimpinan kepada para pangeran, para tumenggung dan akhirnya mandor.

Sedangkan di UPB, Musa dituntut belajar untuk mengemban mandat itu di pundaknya sendiri. Tidak boleh otoritarian-absolut. Tetapi akuntabilitas serta penatalayanan. Ia tengah menjaga domba milik orang lain. Ia harus mempertanggungjawabkan aset milik mertuanya. Tak hanya Musa harus menunjukkan bahwa ia dapat dipercaya untuk mengemban tugas, tetapi juga mampu menjadi pemimpin sekaligus fasilitator rasa aman bagi kawanan domba itu. Suksesnya kepemimpinan Musa sebagai kepanjangan tangan Allah pada peristiwa eksodus pastilah ditimba dari sekolah-luar-biasanya, di padang belantara. Ia di kemudian hari harus menjaga “kawanan domba” milik Sang Pribadi Mahakuasa. Kegiatan-kegiatan yang biasa-biasa saja, yang akrab dilakukan oleh gembala-gembala sederhana telah membentuk hati Musa untuk memiliki hati seorang pemimpin-gembala. Empat puluh tahun harus dijalaninya. Masa yang teramat lama dalam takaran kita untuk menyelesaikan kurikulum pendidikan demi meraih Dr. habil. dari UPB tersebut, di bawah supervisi Yahweh sendiri. Wow! Namun kembali, Musa memperoleh judicium summa cum laude dari Sang Mahaguru!

Kalau begitu, berapa lama waktu yang Allah sediakan bagi kita untuk mendapatkan Dr. habil. di Universitas Terbuka, “padang belantara” kita masing-masing? Paling kita hanya menyelesaikan tugas resmi kita tiga puluh tahun. Syukur-syukur lebih. Tapi sudah layakkah kita lulus? Apakah Allah akan menganugerahkan gelar itu pada waktu itu? Bagaimana judicium kita kelak? (©leNin0607)

TERPUJILAH ALLAH!

Friday, June 15, 2007

MENGENAL KARYA KRISTUS


MENGENAL KARYA KRISTUS


Alkitab menerangkan tiga jabatan Kristus, yaitu sebagai Nabi, Imam dan Raja.

1. Jabatan Nabi.

Perjanjian Lama menubuatkan kedatangan Kristus sebagai seorang nabi (Ul. 18.15; bdk. Kis. 3.23). Ia sendiri menyatakan diri sebagai nabi di dalam Lukas 13.33, dan Ia mengklaim membawa pesan dari Allah Bapa (Yoh. 8.26-28; 12.49, 50; 14.10, 24). Ia menubuatkan hal-hal di masa depan (Mat. 24.3-35; Luk. 19.41-44). Ia berbicara dengan penuh wibawa (Mat. 7.29). Tidak mengherankan bila orang mengenali Dia sebagai seorang nabi (Mat. 21.11, 46; Luk. 7.16; 24.19; Yoh. 6.14; 7.40; 9.17).

Seorang nabi adalah seseorang yang menerima penyataan-penyataan Allah melalui mimpi-mimpi, penglihatan-penglihatan, atau komunikasi verbal; dan memberitahukannya kepada umat baik melalui kata-kata, ataupun dengan tindakan-tindakan kenabian (Kel. 7.1; Ul. 18.18; Bil. 12.6-8; Yes. 6; Yer. 1.4-10; Yeh. 3.1-4, 17). Pekerjaan sebagai nabi bisa saja berhubungan dengan masa lalu, masa sekarang ataupun masa yang akan datang. Salah satu tugasnya yang penting adalah menafsirkan aspek-aspek moral dan spiritual dari hukum Taurat bagi umat Allah.

Kristus telah melakukan fungsi sejak Perjanjian Lama (1Ptr. 1.11; 3.18-20). Ia melaksanakannya manakala Ia ada di atas bumi, dan terus berkarya melalui pekerjaan Roh Kudus di dalam diri para rasul setelah kenaikan-Nya (Yoh. 14.26; 16.12-14; Kis. 1.1). Bahkan hingga saat ini, pelayanan kenabian-Nya diteruskan melalui pemberitaan Firman dan melalui pengilhaman di dalam diri orang percaya.

2. Jabatan Imam.

Perjanjian Lama juga menubuatkan dan memberitakan keimaman Sang Penebus yang akan datang (Mzm. 110.4; Zak. 6.13; Yes. 53). Di Perjanjian Baru, hanya ada satu kitab yang menyebut Kristus sebagai nabi, yaitu Kitab Ibrani. Tetapi, istilah ini dijumpai berulang-ulang (3.1; 4.14; 5.5; 6.20; 7.26; 8.1). Namun, kitab-kitab yang lain juga mengacu kepada pekerjaan-Nya sebagai imam (Mrk. 10.45; Yoh. 1.29; Rm. 3.24, 25; 1Kor. 5.7; 1Yoh. 2.2; 1Ptr. 2.24; 3.18).

Bila seorang nabi mewakili Allah kepada umat, seorang imam menjadi wakil umat di hadapan Allah. Keduanya adalah guru bagi umat. Nabi mengajarkan hukum moral, sedangkan imam mengajarkan hukum-hukum seremonial atau perayaan ibadah umat. Lebih lanjut, para imam memiliki hak istimewa untuk mendekati Allah, dan berbicara kepada Allah atas nama umat, serta bertindak sebagai wakil umat. Ibrani 5.1, 3 mengajar kita bahwa seorang imam dipilih dari antara kaum laki-laki untuk menjadi wakil mereka, dipilih dan ditetapkan oleh Allah, aktif di hadapan Allah demi kepentingan umat-Nya, dan mempersembahkan karunia serta kurban-kurban bagi dosa. Ia juga menaikkan syafaat untuk umat.

Karya keimaman Kristus, pertama dan terutama, menjadi kurban penebus dosa. Perjanjian Lama menjadi pola dasar yang menunjuk kepada pengurbanan Kristus yang agung (Ibr. 9.23, 24; 10.1; 13.11, 12). Dengan demikian, Kristus juga disebut sebagai “Anak Domba Allah” (Yoh. 1.29) dan “anak domba Paskah kita” (1Kor. 5.7). Perjanjian Baru berbicara dengan terang mengenai karya keimaman Kristus di berbagai bagian firman (Mrk. 10.45; Yoh. 1.29; Rm. 3.24, 25; 5.6-8; 1Kor. 5.7; 15.3; Gal. 1.4; Ef. 5.2; 1Ptr. 2.24; 3.18; 1Yoh. 2.2; 4.10; Why. 5.12). Sedangkan Ibrani paling sering mengacu karya keimaman Kristus ini (5.1-10; 7.1-28; 9.11-15, 24-28; 10.11-14, 19-22; 12.24; 13.12).

Selain mempersembahkan kurban teragung bagi dosa-dosa kita, Kristus sebagai imam juga menaikkan syafaat bagi umat-Nya. Dialah “Penghibur” kita. Ia Pendamai kita. Hal ini dinyatakan secara eksplisit dalam 1 Yohanes 2.2. Artinya, seseorang yang dipanggil untuk menolong, seorang advokat, seseorang yang membela perkara bagi orang lain.”

Perjanjian Baru merujuk bahwa Kristus adalah Jurusyafaat kita (Rm. 8.34; Ibr. 7.25; 9.24; 1Yoh. 2.1). Karya syafaat-Nya dilaksanakan berdasarkan pengurbanan-Nya. Karya syafaat Kristus tidak terbatas hanya pada doa syafaat yang Ia panjatkan. Ia mempersembahkan kurban-Nya kepada Allah, dan oleh karena-Nya Ia memohonkan berkat bagi umat-Nya mempertahankan mereka dari tuduhan Iblis, kutuk hukum serta hati nurani. Syafaat-Nya membawa pengampunan atas tiap-tiap hal yang menuduh mereka. Syafaat-Nya menguduskan ibadah serta pelayanan mereka melalui kuasa dan karya Roh Kudus. Karya syafaat ini terbatas lingkupnya, hanya ditujukan pada orang-orang pilihan, namun betul-betul bagi tiap-tiap kaum pilihan, baik mereka yang sudah menjadi orang percaya, ataupun mereka yang masih hidup di dalam ketidakpercayaan (Yoh. 17.9, 20).

3. Jabatan Raja.

Sebagai Anak Allah, Kristus berbagi kekuasaan pemerintahan atas alam semesta bersama Allah. Kristus memerintah sebagai Raja, oleh sebab Ia adalah Mediator, atau Perantara. Kristus sebagai Raja, dapat kita pahami dalam dua fungsi: (1) kemerajaan rohani atas Gereja-Nya, serta kemerajaan universal atas alam semesta.

a. Kemerajaan Kristus secara rohani. Alkitab berbicara mengenai hal ini di berbagai tempat (Mzm. 2.7; 132.11; Yes. 9.6, 7; Mi. 5.2; Zak. 6.13; Luk. 1.33; 19:38; Yoh. 18.36, 37; Kis. 2.30-36). Kemerajaan Kristus adalah pemerintahan-Nya yang agung atas umat-Nya. Kemerajaan itu bercirikan rohani, sebab kerajaan itu hadir dalam hati dan kehidupan orang-orang beriman. Tujuan akhirnya bersifat rohani, yaitu keselamatan orang berdosa. Keselamatan itu ditata melalui sarana-sarana rohani, yaitu Firman dan Roh. Kerajaan rohani ini terlaksana khususnya pada saat persekutuan, pemerintahan, dan penyempurnaan kehidupan Gereja.

Kemerajaan ini dalam Perjanjian Baru disebut “Kerajaan Surga” atau “Kerajaan Allah.” Dalam pengertian khusus, hanya kaum percaya, yakni warga Gereja yang tidak kelihatan, adalah warga kerajaan tersebut. Tetapi istilah “Kerajaan Allah kadang-kadang dipakai untuk pengertian yang lebih luas, termasuk semua yang hidup dalam kuasa pemberitaan Injil, semua yang bergabung di dalam Gereja yang kelihatan (Mat. 13.24-30), 47-50).

Kerajaan Allah ini di satu sisi adalah kenyataan masa sekarang, realitas spiritual di dalam hati dan kehidupan orang percaya (Mat. 12.28; Luk. 17.21; Kol. 1.13); tetapi di sisi lain juga pengharapan di masa depan, yang belum akan diwujudnyatakan hingga kembalinya Yesus Kristus (Mat. 7.21; Luk. 22.29; 1Kor. 15.50; 2Tim. 4.18; 2Ptr. 1.11). Kerajaan pada masa depan pada dasarnya sama dengan pada masa kini, yaitu kuasa pemerintahan Allah yang diteguhkan serta dikenali di dalam hati orang percaya. Namun keduanya juga berbeda, sebab pada akhirnya Kerajaan itu akan kelihatan dan sempurna. Kerajaan ini kekal selamanya (Mzm. 45.7; 72.17; 89.37-38; Yes. 9.6; Dan. 2.44; 2Sam. 7.13, 16; Luk. 1.33; 2Ptr. 1.11).

b. Kemerajaan universal. Setelah bangkit dari antara orang mati, Kristus berkata kepada murid-murid-Nya, “Kepada-Ku telah diberikan segala kuasa di surga dan di bumi” (Mat. 28.18). Kebenaran yang senada diberitakan di dalam 1 Korintus 15.27; Ef. 1.20-22. Kemerajaan ini dipercayakan kepada Kristus selaku Perantara yang bertindak atas nama Gereja-Nya. Sebagai Perantara, Ia kini membimbing tiap-tiap individu serta bangsa-bangsa, mengendalikan kehidupan dunia, serta menjadikan semuanya target maksud penebusan-Nya. Ia menjaga Gereja-Nya dari bahaya dalam dunia. Kemerajaan-Nya akan berlangsung terus hingga kemenangan diraih-Nya atas seluruh alam semesta, dan Kerajaan-Nya hadir dengan sempurna. Ketika tujuan akhir itu terpenuhi, maka kekuasaan itu akan dikembalikan kepada Bapa-Nya (1Kor 15.24-28).


TERPUJILAH ALLAH!

DOKTRIN DOSA


DOKTRIN DOSA

1. Asal-muasal Dosa.

Alkitab mengajar kita bahwa dosa masuk ke dalam dunia sebagai akibat dari pelanggaran Adam dan Hawa di Taman Firdaus. Dosa yang pertama terjadi oleh sebab cobaan Iblis dalam bentuk seekor ular, yang menabur di dalam hati manusia benih-benih ketidakpercayaan kepada janji Allah. Alkitab dengan jelas mengatakan bahwa si ular, yang muncul sebagai si penggoda dalam kisah kejatuhan manusia, merupakan alat yang dipakai Iblis (Yoh. 8.44; Rm. 16.20; 2Kor. 11.3; Why. 12.9). Dosa pertama terjadi manakala manusia memakan buah dari pohon pengetahuan yang baik dan yang jahat. Mengapa makan buah saja menyebabkan manusia jatuh ke dalam dosa? Sebab Allah telah memberikan larangan kepada manusia. Jelas sekali bahwa manusia tidak mau menundukkan diri secara total kepada Allah:


  • Dalam pikiran, manusia menjadi tidak percaya dan sombong.

  • Dalam kehendak, manusia berhasrat menjadi seperti Allah.

  • Dalam emosi, manusia mempunyai kepuasaan yang tidak kudus.

Akhirnya, manusia kehilangan martabatnya sebagai makhluk yang dicipta dalam gambar dan rupa Allah, dalam arti khusus (kebenaran, keadilan, kekudusan). Manusia menjadi berdosa dan rusak secara total, dan terbelenggu dalam penjara kematian (Kej. 3.19; Rm. 5.12; 6.23).

2. Sifat Dasar Dosa.

Dosa berarti kejahatan moral, di mana manusia harus bertanggung jawab atasnya, dan dosa menyebabkan manusia menjadi objek penghukuman Allah. Alkitab dengan jelas mengatakan bahwa dosa adalah “pelanggaran hukum Allah” (1Yoh. 3.4). Dosa berarti gagalnya manusia untuk hidup berpadanan dengan hukum Allah. Alkitab selalu menyatakan bahwa dosa selalu berkaitan dengan hukum Allah (Rm. 1.32; 2.12-14; 4.15; 5.13; Yak. 2.9, 10; 1Yoh. 3.4). Kita dapat menjabarkannya sebagai berikut:


  • Pelanggaran, yang membuat manusia dihukum oleh Allah (Rm. 3.19; 5.18; Ef. 2.3).

  • Kerusakan hati, atau kecemaran moral; oleh sebab semua manusia berdosa karena Adam, dan karena itu dilahirkan dalam kodrat kerusakan (Ayb. 14.4; Yer. 17.9; Yes. 6.5; Rm. 8.5-8; Ef. 4.17-19).

Dosa bertakhta dalam hati manusia, dan dari pusat ini menular ke pikiran, kehendak dan perasaan—jadi ke seluruh diri manusia. Dosa ini kemudian diungkapkan dengan tindak tanduk yang nampak lewat bahasa tubuh (Ams. 4.23; Yer. 17.9; Mat. 15.19, 20; Luk. 6.45; Ibr. 3.12). Menurut Kitab Suci, dosa tidak hanya tindakan manusia yang terlihat, tetapi juga pikiran, perasaan dan maksud-maksud yang jahat dari hati manusia (Mat. 5.22; Rm. 7.7; Gal. 5.17, 24).

3. Dosa dalam Hidup Umat Manusia:

a. Hubungan antara dosa Adam dan keturunannya. Hal ini dapat diterangkan dalam tiga cara pandangan yang berbeda:

a.1. Teori realistik. Allah mula-mula menciptakan satu golongan manusia. Dengan berjalannya waktu, golongan manusia ini terbagi-bagi sampai menjadi individu-individu. Adam memiliki seluruh sifat golongan manusia ini. Dengan sendirinya, manusia menjadi berdosa dan tercemar di dalam Adam.

a.2. Teori kepala. Menurut pandangan ini, Adam berdiri dalam dua rangkap hubungan terhadap keturunannya: ia adalah kepala umat manusia dalam keterhubungan darah, dan ia adalah kepala dari ikatan perjanjian Allah. Tatkala ia berdosa selaku kepala umat, maka dosa ini pun menjalar kepada mereka semua, dan sebagai akibatnya semua manusia dilahirkan dalam keadaan tercemar.

a.3. Teori moderat. Pandangan ini mengatakan bahwa dosa Adam tidak secara langsung berakibat kepada kita. Dosa menjalar oleh karena Adam, tetapi secara individu, tiap-tiap orang pun melakukan dosa. Mereka tidak tercemar di dalam keberdosaan Adam, tetapi berdosa oleh sebab mereka sendiri melakukan kecemaran.

b. Dosa asal dan dosa aktual. Kita perlu membedakan antara dosa asal dengan dosa aktual. Semua manusia dilahirkan dalam keadaan serta kondisi berdosa, yang disebut sebagai “dosa asal,” dan inilah yang menjadi akar dari segala macam dosa aktual, yaitu dosa yang dilakukan oleh manusia.

b.1. Dosa asal. Di dalamnya termasuk pelanggaran dan kecemaran. Pelanggaran Adam diteruskan kepada kita. Oleh sebab ia berdosa sebagai kepala umat manusia, kita pun berdosa di dalam dia. Lebih lagi, kita mewarisi kecemaran tersebut. Akibatnya, kita pun condong kepada dosa, dan setuju kepada tindakan-tindakan dosa. Manusia pada dasarnya telah rusak total. Bukan berarti manusia menjadi jahat sejahat-jahatnya, tetapi bahwa dosa telah mencemarkan tiap-tiap bagian hidup manusia, sehingga membuatnya tak mampu berbuat baik.

Manusia tetap dapat melakukan tindakan-tindakan yang terpuji terhadap orang-orang di sekitarnya. Tetapi bagaimana pun, perbuatannya yang terbaik tetap saja cacat sampai ke akarnya, sebab perbuatan tersebut bukan didorong oleh kasih terhadap Allah ataupun ketaatan kepada Allah.

Kaum Pelagian, Arminian serta pemikir-pemikir modern menolak pandangan kerusakan total ini. Tetapi Alkitab jelas mengajarkannya (Yer. 17.9; Yoh.5.42; 6.44; 15.4, 5; Rm. 7.18, 23, 24; 8.7, 8; 1Kor. 2.14; 2Kor. 7.1; Ef. 2.1-3; 4.18; 2Tim. 3.2-4; Tit. 1.15; Ibr. 11.6).

b.2. Dosa aktual. Dosa aktual berarti baik tindakan-tindakan berdosa, tetapi juga termasuk di dalamnya pikiran-pikiran jahat, kehendak dan keputusan-keputusan yang bersumberkan dosa asal. Dosa ini adalah yang dilakukan oleh tiap-tiap manusia, yang berbeda dengan kodrat dan kecenderungan yang diwarisi dari dosa asal. Jika dosa asal itu satu, dosa aktual bisa bermacam-macam. Bisa jadi dosa di dalam diri, seperti kesombongan, kecemburuan, nafsu-nafsu sensual, dan kehendak-kehendak jahat; ataupun dosa-dosa yang terlihat, seperti penipuan, pencurian, pembunuhan, perzinahan, dan sebagainya.

Di antara tindakan ini terdapat dosa yang tidak terampuni, yaitu dosa menghujat Roh Kudus, yang tidak mungkin diubah dan diperbaiki. Untuk dosa yang satu ini, seseorang tidak perlu berdoa memohonkan pengampunan (Mat. 12.31, 32; Mrk. 3.28-30; Luk. 12.10; Ibr. 6.4-6; 10.26, 27; Yoh. 5.16).

b.3. Dosa Menjalar secara Universal. Baik Alkitab dan pengalaman mengajar kita bahwa dosa bersifat universal. Bahkan kaum Pelagian pun percaya hal ini, meski mereka mengatakan bahwa dosa itu dipengaruhi oleh kondisi-kondisi eksternal: lingkungan yang buruk, teladan-teladan jahat dari orang sekitar dan pendidikan yang salah.

Di dalam Alkitab terdapat berbagai ayat yang secara langsung menyatakan universalitas dosa (1Raj. 8.46; Mzm. 143.2; Ams. 20.9; Pkh. 7.20; Rm. 3.1-12, 19, 23; Gal. 3.22; Yak. 3.2; 1Yoh. 1.8, 10). Lebih lanjut, Alkitab mengajarkan bahwa manusia berdosa berdosa sejak lahir, sehingga dosa bukan merupakan akibat meniru-niru (Ayb. 14.4; Mzm. 51.7; Yoh. 3.6). Bahkan bayi pun disebut berdosa, sebab mereka tunduk kepada kematian, yang merupakan upah dosa (Rm. 5.12-14). Semua manusia secara kodrati berada di bawah penghukuman, dan karena itu memerlukan penebusan di dalam Kristus Yesus. Anak-anak pun tanpa terkecuali (Yoh. 3.3, 5; Ef. 2.3; 1Yoh. 5.12).

TERPUJILAH ALLAH!

SPIRITUALITAS MONOGRAFI 4: Tidak Ada Waktu


Tidak Ada Waktu

Alasan yang klasik. Di ladang tidak ada waktu. Tetapi saya sungguh dapat mengerti dan berempati terhadap pergumulan akan hal ini. Benar sekali bahwa di tempat-tempat tertentu, pelayanan sedemikian padatnya sehingga waktu untuk duduk membaca nampaknya tidak ada lagi. Belum lagi kesibukan bersama keluarga yang juga membutuhkan perhatian dari kepala keluarga.

Izinkan saya berbagi hidup, sebagai rekan yang juga melayani di dalam dan bersama jemaat. Jadwal lumayan padat. Tiap hari ada saja acara yang menuntut kehadiran saya. Kelompok Tumbuh Bersama remaja, rapat-rapat, Persekutuan Doa, Persekutuan Wilayah, Penelaahan Alkitab, persiapan kotbah, perkunjungan. Waktu sedemikian sempit.

Saya sering merasa kurang waktu. Tapi saya pun tidak mau sejarah pasca Revolusi Prancis terulang kembali. Tujuh hari kerja, dan satu hari libur. Atau seperti Revolusi Rusia yang menetapkan hari Minggu pun sebagai hari kerja. Manusia mempunyai ambang batas kekuatan kerja.

Malam hari nampaknya merupakan waktu yang tepat untuk belajar. Namun sementara ini pun, waktu malam itu pun kadang-kadang masih tersita. Seorang pengurus remaja sering datang ke rumah dan meminta waktu untuk bincang-bincang masalah pelayanan di komisi remaja.

Dalam pada itu, ternyata masih saja ada waktu untuk membaca dan untuk melakukan penyelidikan. Dalam pengalaman saya sampai kini, buku-buku dalam kategori berat justru memberikan banyak input ketimbang buku-buku praktis. Mungkin bagi orang lain monografi merupakan ladang yang sangat kering. Tetapi saya mempunyai pengalaman yang berbeda. Saya diperkaya dengan refleksi yang mendalam. Sebaliknya, saya sering mengalami kekeringan rohani ketika membaca ilustrasi dan buku-buku praktis dalam kategori how-to.

Saya bukanlah seorang dosen. Saya tidak sedang mengajar di sekolah teologi. Saya belum mempunyai pengalaman dari pelayanan yang satu ini. Entah mengapa, dari hari pertama saya masuk ke seminari, saya tidak terlalu suka dengan hal-hal yang pragmatis. Padahal saya tahu, panggilan hidup saya menjadi pelayan Tuhan di tengah-tengah jemaat. Saya dulu merasa, yang praktis-praktis dapat dipelajari waktu di ladang. Sementara kesempatan empat setengah sampai dengan lima tahun seharusnya saya konsentrasikan pada pendasaran dan mencari meaning dari apa yang saya pelajari. Saya menjadi ngotot belajar biblika, sistematika dan historika, hanya untuk menjadi seorang rohaniwan gereja.

Mendulang mutiara hikmat dari St. Augustinus dari Hippo, saya sedang belajar untuk membuat keseimbangan antara vita activa dan vita contemplativa. Bila vita activa, “kehidupan aktif” terlalu berat, maka saya akan terlibas dalam putaran roda aktivisme. Pelayanan tak ubahnya merupakan sarana bagi survival, mempertahankan hidup atau penghidupan. Tidak ada lagi idealisme yang dituju. Sirnalah cita-cita, digantikan bagaimana caranya agar saya tidak tegeser dari posisi yang sekarang (bila sedang di tempat yang “basah”), atau di sisi lain, mencari-cari cara supaya bisa berpindah ke tempat lain yang menjamin hidup masa kini dan masa yang akan datang.

Namun bila vita contemplativa, “hidup kontemplatif” terlalu berat, saya akan menjadi filsuf seperti lone ranger, ksatria yang kesepian. Mengurung diri di studiorum, asyik dengan pustaka dan ide, menghadapi tuts keyboard di depan layar notebook sampai berjam-jam, dan hanya sesekali keluar untuk melakukan kebutuhan diri. Saya teringat filsuf Søren Kierkegaard dari Denmark yang hidupnya sedemikian rapi, resik, dan hanya pada waktu-waktu tertentu mau keluar rumah. Itu pun sudah diatur jam-jamnya.

Saya semakin sadar, menjaga keseimbangan antara vita activa dan vita contemplativa membutuhkan suatu daya seni tersendiri. Di dalam seni tersebut, saya perlu menemukan suatu hilarity, kegembiraan dan kepuasan. Tiada mungkin tahan bila tiada kepuasan yang menggembirakan, dan kegembiraan yang memuaskan. Menjadi seorang idealis yang realistis, dan menjadi seorang realis yang idealistis.

Di sinilah kunci seorang Kristen belajar. Nah, bila ditanya praktisnya bagaimana, saya diajar oleh gembala senior yang menjadi pembimbing rohani sejak masih remaja untuk menjawab, “Berani mengurangi tidur, dan menyediakan waktu untuk belajar!” Memang berat . . . .

Thursday, June 14, 2007

SPIRITUALITAS MONOGRAFI 3: Buku-buku Favorit


Buku-buku Favorit

Monografi kebanyakan masih bersih. Tertata rapi di rak perpustakaan. Atau, terpak di bagian paling bawah kardus bersama buku-buku lain yang jarang dibaca. Jarang dijamah. Sebaliknya, buku yang sudah kumal, lusuh, berubah warnanya biasanya buku-buku renungan praktis, ilustrasi atau kisah-kisah motivasi.

Mengenang masa lalu, sewaktu masih berada di seminari, mata kuliah praktika—khususnya ilmu berkhotbah—mendapatkan rating tertinggi. Mata kuliah favorit gitu deh. Para mahasiswa berburu ilustrasi. Buku yang berada di deretan buku-buku di rak meja belajar lagi-lagi buku ilustrasi. Lalu, hampir tiap hari terdengar pengumuman, dari atas mimbar maupun di ruang makan, “Saudara, bagi yang membutuhkan naskah kotbah rekan A, silakan mem-photo-copy di perpustakaan.” Begitulah nasib mujur mahasiswa yang khotbahnya dinilai baik dan menggetarkan perasaan orang ataupun yang mampu mencabik-cabik emosi pendengar.

Di akhir semester genap, menjelang mahasiswa praktik pelayanan dua bulan, terjadi perburuan baru. Berburu naskah khotbah. Alasannya rohani. Di ladang nanti pasti banyak pelayanan, sehingga tidak cukup waktu untuk mempersiapkan kotbah. Betapa cukup mengagetkan saya, ketika ada seorang rekan sesama tingkat berkata sepulang pelayanan dua bulan, “Yok, makasih ya, kotbahmu aku bawain di ladang pelayanan kemarin.” Sama sekali tidak ada masalah bagi saya. Tetapi saya berpikir, apakah yang bersangkutan tidak merasa ada sesuatu yang salah secara fundamental?

Memasuki seminari, saya sudah mengenal nama James D. G. Dunn, ahli PB dari Universitas Durham. Begitu menginjakkan kami pertama kali di perpustakaan, saya kontan mencari buku-buku karangannya. Wah lumayan banyak. Dan bagus-bagus. Ketika sampai di satu rak, buku Unity and Diversity in the New Testament yang jumlahnya 4 kopi masih terlihat bersih. Ada sih yang pernah meminjam, tetapi untuk satu kali peminjaman. Dugaan saya, sang peminjam memakainya untuk membuat makalah tuntutan tugas kuliah. Itu pun kurang lebih sudah 5-7 tahun silam. Bukunya yang lain, Christology in the Making, ada 3 kopi, malah nampak masih bersih, hanya berubah warna karena jamur dan suhu ruangan yang cukup lembab.

Saya sampai di rak lain. Tepat di rak bagian homiletika. Saya mengambil sejumlah buku, karangan John Stott, Bryan Chapell, Haddon Robinson dsb., kertasnya sudah kumal. Aha, tak salah! Buku-buku ini sudah menjadi target foto kopi ilegal para mahasiswa. Kemudian melangkah ke ruang referensi. Sebuah buku tebal tepat di depan mata saya. Encyclopedia of 7700 Illustrations: Signs of the Times. Saya mengambilnya, dan segera mengamati, beberapa halaman sudah lepas-lepas.

Beberapa waktu setelah lulus, saya bertandang ke kampus. Maksud hati mau foto kopi sejumlah artikel. Saya tidur di kamar mahasiswa yang tengah mengerjakan skripsi. Wah, dengan begitu antusias dia menjajar seabreg fotokopian mengenai kotbah, dan bagaimana cara mengomunikasikan kotbah dengan baik. Saya menyimak. Dia bercerita dengan sangat antusias. Dalam hati, saya menduga kawan ini berhasrat sekali menjadi seorang pengkotbah ternama. Paling tidak seperti seorang pengajar favoritnya.

Tidak ada yang salah. Tetapi ada yang berat sebelah. Para mahasiswa teologi Injili mengejar target untuk menawan pendengar dengan gaya kotbah. Tanpa memikirkan dengan cukup betapa pentingnya substansi kotbah. Sampai-sampai ada jemaat yang mencermati, kalau hamba Tuhan X berkotbah, pasti sumbernya adalah Chicken Soup. Mungkin memang benar dapat membuat para pendengar dan jemaat terpana melihat kharisma sang pengkhotbah. Tetapi ironi sering kali saya jumpai. Betapa hati saya trenyuh (Jawa “sedih”) ketika seorang mahasiswa S2 berkotbah di tempat pelayanannya sendiri, seorang majelisnya merasa pernah membaca kotbah yang seperti itu. Selidik punya selidik, majelis tersebut menemukan sumbernya. Ternyata naskah kotbah diambil dari internet! Dikotbahkan kembali. Persis!

Hormati Orangtua

HORMATI ORANGTUA
Keluaran 20.12; Efesus 6.13


Idhep-idhep kelangan endhok siji!” Itulah kalimat yang kadang meluncur keluar dari mulut orangtua. Mungkin bukan kedua-duanya. Hanya salah satu dari antara bapak atau ibu. Tetapi kalimat itu mencerminkan rasa jengkel yang kelewat batas kepada anaknya yang nggak ketulungan sikap dan peringainya.

Tapi dunia toh semakin canggih saja. Anak sekarang dikatai seperti itu, bukan malah jera, tetapi menantang, “Yang nyuruh punya anak seperti saya ya siapa?” Atau ada yang lain lagi berkata, “Saya kan nggak minta dilahirkan dalam keluarga ini! Bukan salah saya!”

Aduh, hidup di dunia jadi tambah repot. Tantangan kehidupan bertambah berat. Apa yang disodorkan di hadapan mata kita melalui media massa kian mencerminkan betapa gampangnya bahtera rumah tangga menjadi retak dan karam. Orangtua menyia-nyiakan anak. Anak tidak menghormati orang tua.

Saya kadang merenung. Kalau anak masih kecil, begitu dekat dengan orangtua. Orangtua rela mengantar anak ke sekolah, ke sekolah minggu, ke les pelajaran, dsb. Di mana pun anak berada, nampaknya orangtua tak jauh dari sang anak. Namun beranjak remaja, kondisi jadi berubah. Rumah terasa sempit. Ruang gerak jadi terbatas. Anak menjadi tidak terlalu nyaman bila orangtua mengawasi mereka. Sebaliknya orangtua merasa anak mereka belum dapat sepenuhnya mandiri.

Dampaknya, suasana rumah pun tegang! Anak tidak merasa rumah seperti penjara. Sementara orangtua merasa anak berubah menjadi sesosok pemberontak. Dalam hati orangtua terlintas pikiran, betapa anak tidak tahu berterima kasih. Sementara anak merasa orangtua tak ubahnya layaknya sipir penjaga “Hotel Prodeo.” Siap ataupun tidak, setiap keluarga akan menghadapi tantangan seperti ini.

Keluaran mengajak kita untuk merenungkan makna pentingnya keluarga. Dalam konteks pemikiran orang Yahudi, ada tiga hal yang menjadi konsep dasar yang membentuk cara pandang mereka terhadap dunia di sekitarnya:

  1. Yahweh itu Pembebas.
  2. Tanah Perjanjian diberikan sebagai pusaka Israel.
  3. Tiap-tiap keluarga diberi bagian tanah yang menjadi pusaka.

Di manakah terdapat keterkaitan dari ketiganya? Di dalam keluarga. Pertama, Allah membebaskan orang Israel bukan hanya dari perbudakan di Mesir, untuk menjadi anak yang dikasihi-Nya. “Ketika Israel masih muda, Kukasihi dia, dan dari Mesir Kupanggil anak-Ku itu” (Hos. 11.1). Relasi yang tercipta antara Allah dan Israel bukan mandor dan budak, tetapi bapa dan anak. Sebuah relasi keluarga. Allah mengangkat Israel sebagai anak-Nya.

Kedua, Israel dipanggil Allah untuk memperoleh tanah yang menjadi pusakanya. Tanah Perjanjian merupakan pemberian Allah. Tanah itu adalah hadiah. Tanah itu harus dipelihara. Tanah itu harus diusahakan supaya memberikan hasil. Tetapi tanah itu juga merupakan tantangan dan ancaman bagi orang Israel. Banyak bangsa yang menghendaki untuk berkuasa atas tanah tersebut. Tanah itu pun berpotensi untuk menjauhkan Israel dari Yahweh. Ada kalanya dalam sejarah Israel, umat Allah justru terlalu menyukai tanah itu ketimbang menghormati Allah. Terlampau cinta dengan pemberian, tetapi lupa siapa yang memberikannya. Cinta dengan harta dapat membuat seseorang pongah. Ia lupa bahwa harta itu adalah pemberian, dan Allah yang menghadiahkannya.

Ketiga, Tanah itu diberikan kepada Israel turun-temurun, dari generasi ke generasi. Israel harus memeliharanya bukan hanya untuk diri mereka, tetapi juga untuk anak cucu. Orang Jawa mengenal perkataan, “Bumi itu bukanlah warisan nenek-moyang, tetapi titipan dari anak-cucu.” Agar pusaka itu menjadi milik yang langgeng, maka keutuhan di dalam keluarga niscaya menjadi prasyarat. Bayangkan bila dalam keluarga umat Israel terdapat ketidakharmonisan. Anak yang satu memberontak kepada orangtua. Maka keluarga pun pecah. Dan, mereka akan kehilangan harta pusaka keluarga.

Andaikan pada masa yang makin berat ini, masih dijumpai sejumlah besar keluarga Kristen yang membaktikan diri kepada Allah, taat kepada Allah, dan menjaga keutuhan keluarga. Kita boleh memandang dalam pengharapan, dunia akan menjadi tempat yang lebih baik. Tidak perlu seperti John Lennon yang dalam kegamangan hidup berkata, “Imagine there’s no heaven . . . no religion, too . . . Imagine all the people living life in peace.” Bayangkan tiada surga . . . tiada agama juga . . . Bayangkan semua orang hidup dalam kedamaian. Tak sampai hal itu terjadi . . . bila kita membuka diri terhadap firman Tuhan, “Hormatilah orangtua!” Semoga! Amin.

SPIRITUALITAS MONOGRAFI 2: A Virtuous Reading


A Virtuous Reading

Saya sedang belajar untuk menanggalkan cara membaca apologetis. Di lubuk hati, saya sering meratap bila membaca tulisan rekan-rekan saya kaum Injili yang suka sekali berapologia. Sayang sekali. Segera tercipta kesan dan praduga, apakah sang penulis artikel sudah ber-a priori dengan tulisan yang dianalisis? Seolah-olah amunisi yang lengkap sudah siap ditembakkan, dan para penulis orisinal menjadi sasaran tembaknya. Dan, apakah sang penulis orisinal setuju bila berada di hadapan penulis artikel? Amunisi yang dianggap ampuh untuk menjatuhkan “lawan” adalah interpretasi Alkitab dalam koridor sendiri. Disadari ataupun tidak, apologetika dalam pembacaan dan penulisan menyiratkan pendakuan bahwa metodologiku benar. Dataku valid. Analisisku OK. Sehingga tak jarang, di dalam sebuah artikel terdapat dua interpretasi yang sama sekali berbeda. Yang lebih disayangkan adalah, pokok permasalahannya juga berseberangan!

Susahnya menjadi teolog adalah, bahwa segala sesuatu harus dikatakan dalam satu kali presentasi. Padahal ruang dan waktu jelas tidak memungkinkan untuk membicarakan pokok pikiran dengan menyeluruh. Akan tetapi kalau tidak, orang lain cenderung akan bertanya, jangan-jangan dia tidak percaya ini, atau itu. Nah, kesempatan dalam kesempitan. Apa yang tidak sempat dikatakan, dibalikkan dan kemudian dituduhkan.

Sementara itu, saya mencoba belajar untuk mengembangkan sebuah virtuous reading (sejauh pengamatan saya, frase ini belum pernah dipakai oleh pakar-pakar edukasi maupun linguistik; tetapi saya mungkin alpa dengan data). Pembacaan adi. Pembacaan yang disertai rasa hormat kepada penulis. Suatu cara membaca yang non-apologetis. Bahkan yang berani untuk terjun langsung kepada sumber aslinya. Bukan dimediasi oleh sumber sekunder apalagi tertier (seperti misalnya Paul Enns, Moody Handbook of Theology). Cara membaca seperti ini, dalam hemat saya, akan mengajarkan kepada kita kemampuan untuk membuat suatu assessment dengan pemikiran yang sedang kita analisis. Assessment yang saya maksud adalah bagaimana kita dapat mencermati dan mencerna sebuah tulisan (yang sudah pasti sangat penting) dalam konteks pergumulan lokal.

Virtuous reading niscaya di-pra-anggapan-i oleh hermeneutika kepercayaan. Bukan hermeneutika kecurigaan. Saya percaya bahwa penulis orisinal tidak sembarangan menulis (bila nampak sembarangan, tanpa data dan analisis yang jelas, ya ngapain dianalisis?). Sebuah tulisan akademis, lebih-lebih lagi, ditujukan untuk membuat wacana akademis lebih semarak, dan tujuan akhirnya tak lain adalah memprovokasi pikiran pembaca untuk mengupayakan sebuah dunia yang lebih baik, dunia yang berperadaban adi-luhung dan lebih layak huni bagi semua makhluk. Jadi, virtuous reading akan mengupayakan pertanyaan apa yang sesungguhnya diharapkan oleh sang penulis, dan bagaimana saya yang ada di sini pada waktu ini, bergandengan tangan dengan dia yang ada di sana pada waktu itu, untuk bersama-sama mewujudkan sebuah tatanan yang lebih memberikan pengharapan.

Virtuous reading dengan demikian mendorong terciptanya “komunitas yang berkarakter” (menyitir pakar etika Stanley Hauerwas). Dalam bahasa sejarah spiritualitas, kita membaca bukan saja "membaca teks, tetapi bagaimana teks membaca kita." Disposisi hati yang terbuka terhadap teks. Disposisi ini akan melahirkan keutamaan-keutamaan sebagai seorang pembelajar Kristen. Yang diperlukan bukanlah “Aku benar karena yang lain salah!” tetapi “Aku benar karena aku tahu benar.” Dibutuhkan komitmen terhadap apa yang kita ketahui (Michael Polanyi, A Personal Knowledge), dan apa yang kita tawarkan bagi dunia dari apa yang kita peluk sebagai yang benar itu.

Bila wacana ini disetujui, saya cukup yakin, kita tidak hanya mampu berekonsiliasi internal dengan berbagai paham intra-kristianitas, bahkan intra-evangelikalisme, tetapi juga mampu menyeberang batas, melintas-paradigmakan paham, dan berangkulan dengan orang-orang di luar lingkup "cangkang" kita. (Selalu berujung pada diskontinuitas kebenaran? Bersama dengan Pontius Pilatus mari kita sejenak bertanya, ti estin aletheia;).

SPIRITUALITAS MONOGRAFI 1: Tiga Gaya Penulisan Monografi


Tiga Gaya Penulisan Monografi

Sebut saja monografi adalah buku-buku akademis. Entah itu disertasi yang diterbitkan, ataupun hasil penelitian tercanggih yang dipublikasikan. Yang jelas, bobot isinya berat. Catatan-catatan kaki cenderung panjang. Penuh informasi yang dianalisis secara mendalam. Penalarannya njelimet.

Belum lagi kalau kita sempat mencermati perbedaan gaya tulis Kontinental (mis. Prancis, Jerman), Anglo-Saxon, dengan Amerika. Ambillah karya orang Jerman. Misalnya Jürgen Moltmann, teolog Calvinis yang hingga pensiun menjadi pengajar di sekolah beken Tübingen. Atau karya yang lebih klasik, tafsiran PL karya Keil-Delitzsch. Kita akan berjumpa dengan begitu banyak informasi. Informasi-informasi tersebut dianalisis dengan panjang, lebar dan dalam. Kenikmatan membaca tulisan-tulisan orang Jerman atau Prancis adalah kita tidak akan akan kurang informasi. Penulis tidak mau membawa kita ke dalam satu kesimpulan yang sudah diarahkan. Berkali-kali saya pun dibuat terpana dengan kedalaman refleksi para penulis Kontinental. Tetapi terus terang juga, saya sendiri kadang-kadang kehilangan benang merah pemikiran di awal bab atau sub-bab. Kalimat-kalimatnya, naudzubillah minzalik!, panjang-panjang. Dalam satu kalimat, bisa terdapat tiga hingga empat pokok pikiran. Sampai akhirnya sering saya bertanya dalam hati, “Lho, penulis ini mau bicara apa sih?

Lain lagi dengan orang Inggris. Yang jelas, bahasanya lebih klasik. Juga cenderung panjang kalimat-kalimatnya. Jadi, membacanya pun agak susah. Namun orang Inggris lebih senang membicarakan satu pokok pikiran, dan kemudian dikupas sampai tuntas. Paragraf cenderung panjang, satu sub-bab diuraikan secara detail, tetapi—tidak seperti penulis Jerman—gaya Anglo-Saxon akan tetap pada satu pokok pikiran. Dan pasti terdapat refleksi-refleksi menarik sehingga tulisan-tulisan Anglo-Saxon tidak terlampau “kering.” Pernahkah Anda membaca tulisan Thomas F. Torrance? Atau teolog biblika papan atas James D. G. Dunn? Atau dom Oxford John Macquarrie? Akan tetapi bila sudah berniat membaca tulisan orang Anglo-Saxon, siapkan kopi atau teh—apa pun minuman yang Anda sukai—untuk menemani berkonsentrasi. Buat kebanyakan orang Indonesia, kadang perlu mengulang sekali atau dua kali.

Cerita pun berbeda bila kita melintasi Samudra Atlantik dan sampai ke Amerika. Ya, Amerika Utara kini menjadi semacam pusat kekristenan dan agama-agama. Sementara di Eropa daratan dan Kepulauan, jumlah orang Kristen kian merosot, angka kekristenan di Amerika lumayan stabil. Membaca tulisan-tulisan orang Amerika, kesan kita adalah sistematis. Senang dengan poin-poin. Setelah ini, pasti ini, kemudian ini. Gaya bahasanya mudah dicerna. Kalimat-kalimatnya pendek. Dalam satu kalimat terdapat hanya satu pokok pikiran. Enak dibaca. Komunikatif. Dibaca sambil nyantai pun bisa. Tak perlu khawatir bila Anda mau meninggalkan studiorum untuk sejenak melakukan aktivitas lain, dan meninggalkan bagian yang Anda baca. Begitu kembali duduk, Anda masih akan ingat apa yang Anda baca. Cobalah membaca teologi sistematikanya Wayne Grudem atau Robert L. Reymond.

Saya sendiri lebih suka gaya orang Inggris menulis. Seolah-olah seperti seekor burung elang terbang, berputar-putar di angkasa, tiba-tiba meliuk, ke satu pusat, dan menyambar sasarannya. Tepat target! Saya merasa, dengan membaca karya penulis Anglo-Saxon, daya nalar diangkat bukan untuk mendapat informasi saja, dan digiring kepada kesimpulan penulis, tetapi juga diyakinkan akan mengapa kesimpulannya mesti demikian. Di sinilah titik di mana saya diajak untuk berefleksi. Kalaupun saya harus berseberangan dengan penulisnya, dan kesimpulan lain yang pada akhirnya saya dapatkan, namun kedalaman refleksinya telah menggoreskan impresi tersendiri sehingga tak mungkin bagi saya untuk tidak berkata, “Salut!” Demikian misalnya ketika saya membaca karangan John Hick atau Don Cupitt.

Saturday, June 9, 2007

REMAJA BERKHARISMA

REMAJA BERKHARISMA
1 Korintus 12.4-11; 1 Petrus 4.10-11


Q. Apa sih karunia Roh Kudus itu?
A. Anugerah Roh yang mampuin seorang Kristen untuk layanin Allah demi pembangunan tubuh Kristus.

Nah, setelah kenal Roh Kudus, baru kita belajar apa yang Ia berikan buat kita. Roh memberikan kharisma, ie. kemampuan khusus. Tujuannya, buat ngelayanin Kristus, donk. Jadi, kalo kamu punya kemampuan, but nggak kamu pake ngelayani Tuhan, ya jelas bukan karunia tuh.


Kawan, inga’-inga’ . . . ! Karunia nggak bisa diminta. Apa lagi nuntut Tuhan musti beriin. Gak bisa donk. Kalo Tuhan mau beri, ya Ia akan kasih. Ia tahu siapa yang butuh karunia tertentu. N’ yang lain, bisa saja nggak butuh. But, tiap orang punya karunia buat ngelayani, apa pun bentuknya. So, nggak usah ngiri ama orang lain punya, deh!

Pokoknya neh, ingat prinsipnya. Karunia kita dari Allah. Karunia itu harus dipakai. Karunia dipakai buat kepentingan bersama, “for common good,” geetuu. Karunia itu akan bertambah tatkala kamu pake buat kemuliaan Allah.

Kawan, tantangan nih buat kamu. Ntar kalo Lord’s Day, kamu pasti ikut kebaktian kita. So, mau nggak ambil tekad, kalo kamu mau ambil bagian dalam pelayanan? Kan Tuhan udah kasih karunia buat kamu. Ngapain takut or malu? Pede aja, lagee . . . !!!

TANDA PENUH ROH

TANDA PENUH ROH
1 Korintus 12.1-3; Efesus 5.15-21


Q. Apa sih tanda kepenuhan Roh?
A. Bukan milikin kemampuan supranatural, tapi menghormati Kristus yang diberitain di dalam Alkitab.

“Wah, kamu belom punya karunia bahasa lidah, ya? Berarti belom Kristen sungguhan!” Atawa “Pernah ikut kebaktian pelepasan, belom? Ayo ikut, biar dibebasin oleh Allah hidup kamu.”

Kata-kata di atas, or yang mirip kayak begitu sering mampir ke telinga kita. Mungkin kamu juga. Orang pada antusias sama pengalaman-pengalaman rohani. Kalo nggak ada itu, kurang afdol, geetuuu . . . .

So, gimana donk? Metaners, menurut Alkitab, tanda penuh Roh itu nggak yang aneh-aneh kok! Coba perhatiin banyak tokoh yang nggak punya pengalaman aneh. Yohanes Pembaptis, khan nggak ngelakuin mukjizat, to? Timotius malah tubuhnya lemah. Rasul Yohanes, tubuh dan tua sekali malah dibuang ke Pulau Patmos yang sepi.

Tanda sejati seseorang penuh Roh itu waktu kamu bisa nunjukin rasa hormat for Kristus dengan benar, Kristus yang diberitain di Alkitab. Kristus dicintai. Kristus dipercayai. Kristus dilayani. All 4 Christ n’ Christ 4 all! Simpelnya, percaya nih sama Roh Kudus? Buktikan donk kalo kamu cinta Kristus n’ mau dituntun dalam pengetahuan, ketaatan n’ pelayanan. Most of all, bersyukurlah sebab Roh jadi sumber keselamatanmu.

YANG TERUS DICARI, TAPI NGGAK DIHORMATI

YANG TERUS DICARI, TAPI NGGAK DIHORMATI
Yohanes 16.12-15; Roma 8.1-17


Q. Siapakah Roh Kudus?
A. Bersama dengan Bapa n’ Anak, Roh Kudus benar-benar Allah yang kekal, n’ melalui Dia aku dapetin bagian keselamatan.

Zaman kita nih sering disebut era Roh Kudus. Muncul di sana-sini, ajaran yang beragam tentang Roh Kudus. Orang ngeklaim dapat ilham Roh. Orang ngejar-ngejar karunia Roh. Tapi, mau orang belajar tentang Roh Kudus? Sedikit sekali, euy!


Roh Kudus juga pribadi Allah yang kekal. Roh itu disebut Kudus, karena Ia nggak akan pernah bertindak salah. Ia adalah Pribadi yang aktif. Ia jadi Eksekutif, ie. yang ngelaksanain apa yang dirancang oleh Bapa. Ia diutus oleh Bapa n’ Putra. So, bersama-sama dengan Bapa n’ Putra Ia disembah dan dimuliakan (gitu menurut Pengakuan Iman Konstantinopel, 381 M.).

Kawan, cermati ajaran Roh Kudus yang benar. Ingat juga karya Kristus di dunia. Ada persamaanya, loh! Kristus datang ke dunia bukan ‘tuk dilayani, but melayani. Ia nggak ngelakuin kemauannya dewe, tapi kemauan Bapa-Nya yang di surga. So as the Holy Spirit! Ia datang. Tugas-Nya cuman satu, ie. bukan muliain diri-Nya sendiri. But muliain Kristus n’ ingetin kita-kita sama apa yang Kristus pernah sabdain. Jadi khan aneh banget, bukan Kawan, kalo ada ajaran, yang bilang dari Roh Kudus?! Eh ternyata, bertolak belakang sama yang Kristus ucapin.

HARAP–HARAP CEMAS!!!

HARAP–HARAP CEMAS!!!
2 Petrus 3; 1 Tesalonika 4.13-18


Q. Bila Tuhan datang, apa yang akan terjadi?
A. Tuhan mau nyatain keadilan-Nya: semua ditata ulang, dan orang percaya bangkit untuk hidup di tata dunia yang baru.

Mobil berplat nomor merah keliling kota. Ternyata beri pengumuman lewat pengeras suara, “Presiden akan datang ke kota ini besok. Harap semua pedangang kaki lima tidak berjualan di pinggir jalan protokol! Semua rumah harus bersih.” Kedatangan presiden so pasti istimewa banget buat penduduk kota itu. Ya nggak?

Kedatang Tuhan juga donk. Apalagi dengan datang-Nya, semua penderitaan selesai sudah. Nggak ada lagi air mata. Nggak ada lagi kecemasan. Dukacita dihapus. Nggak ada yang bete-bete juga tuh!

Tuhan datang buat ngadilin semua orang, Sobat. Wait, kata “pengadilan” emang kedengaran gak enak di telinga kita. Ngeri euy dengernya. Tapi coba si lihat waktu sekarang ini. Penuh ketidakadilan. Orang hidup gak lagi tahu sopan santun atawa norma n’ moral. Seenaknya bunuh orang. Gampang banget ngerampok punya orang lain. Ada yang kaya selangit, ada yang sehari makan aja nggak bisa.

Nah, itu semua yang nanti nggak ada waktu Tuhan datang. Huy Kawan, ketika orang-orang lagi pada bingung cari pengharapan, kita udah punya . . . kita punya jaminan. Ada pengharapan buat kita. Ayo semangat!!!

TUHAN YESUS NGANGGUR?

TUHAN YESUS NGANGGUR?
Ibrani 7.25-28; 9.23-24


Q. Apa yang Tuhan Yesus sekarang lakukan?
A. Ia jadi Jurusyafaat kita n’ Pengantara yang berada di hadapan Allah guna kepentingan kita.

Enak ya, Tuhan Yesus dah di surga?! Tugas-Nya selesai donk? Terus ngapain saja, yach, Tuhan sekarang ada di surga? Duduk memerintah terus kan kayaknya ngebosenin sekalee, ya khan Kawan?


Sobat, Tuhan Yesus itu punya 3 jabatan Mesias: sebagai Nabi, Imam, n’ Raja. Sebagai Nabi, Dia berbicara apa yang Ia dengar dari Bapa. Sebagai Imam, Ia persembahin diri-Nya sebagai kurban tebusan dosa. Sebagai Raja, Ia memerintah selama-lamanya.

Sekarang, Imam Besar kita nggak cuma masuk ruang mahakudus sekali. Tapi selamanya. Ngapain? Jadi Jurusyafaat kita. Tuhan Yesus nggak sedang merengek-rengek kepada Bapa-Nya biar dikasih hadiah. Dia benar-benar punya kuasa n’ kedaulatan untuk mintain ke Bapa kesempurnaan keselamatan kita. Biar Bapa melihara n’ ngejagain kita dalam ketekunan orang kudus sampai kita jumpa Dia.

So, Tuhan Yesus jadi Imam sekaligus Raja. Kawan, ini suatu penghiburan besar buat kita. Biasanya kita senang kalo orang berkata, “Aku doain kamu, ya?!” Nah sekarang, yang ngedoain kita bukan sembarang orang, tapi Tuhan Yesus dewe. Kereeenn abiiizzz . . . !!!

NAIK, NAIK KE SURGA MULIA . . .

NAIK, NAIK KE SURGA MULIA . . .
Kisah 1.1-11; 1 Korintus 15.25-28


Q. Gimana tuh memahami Kristus naik ke surga?
A. Ia berada di surga guna kebaikan kita, hingga datang kembali menghakimi orang hidup n’ mati.


“Ah, mana mungkin ada orang naik ke surga?? Ini isapan jempol orang-orang primitif saja!” Benar demikian? Orang modern maunya rasionalistis, pokoknya semua harus masuk akal. Wait a minute! Just think deez ones.

Amerika pernah luncurin roket ke antariksa, tiba-tiba hilang entah ke mana. Kapal laut n’ udara, tiba-tiba hilang ketika melintas wilayah Segitiga Bermuda. Sampai daerah itu disebut The Black Hole! Apa semua ini rasional? Susah neranginnya, khan?

Fakta yang Alkitab sampein buat kamu hari ini adalah, Tuhan Yesus naik ke surga. Tuhan Yesus nggak lagi di planet bumi. Ia pergi ke suatu dimensi lain, yang disebut surga, ie. tempat bertakhtanya Allah. Untuk apa? Nyiapin tempat buat kamu n’ aku. Bila waktunya dah tiba, Ia akan datang kembali jadi Hakim semua manusia.

So Kawan, sekarang ini Tuhan Yesus ada di surga. Ia jauh lebih tinggi dari kita. Ia duduk memerintah di samping kanan Bapa di surga. Maksudnya, Ia di tempat paling mulia. Dus, kekuasaan-Nya juga jauh lebih besar ketimbang apa pun juga. Prenz, kadang kita nih sering ragu ama hidup kita. Bingung. But remember, Tuhan Yesus is Your King. He is King of kings!

RISEN INDEED . . . !!!

RISEN INDEED . . . !!!
Yohanes 20:1-18; 1 Korintus 15.12-28


Q. Kenapa Yesus mesti bangkit?
A. (1) Ia mengalahkan maut n’ beri kita kebenaran-Nya; (2) agar kita dibangkitkan dalam hidup baru; (3) jadi jaminan kebangkitan kita kelak.


Semua pemimpin agama besar mati. Setiap filsuf yang agung punya kubur. Tapi, hanya kubur Tuhan Yesus aja yang kosong. Andaikata tubuh Yesus masih ada di dalam kubur, kita neh cuman punya kenangan maniez kisah hidup Yesus yang baik hati. Pernah ngebayangin?

Bila Yesus nggak bangkit, waah . . . iman kita sia-sia donk, n’ kita masih di dalam dosa. ‘Pa lagi, nggak akan ada tuh kebangkitan tubuh. Nggak mungkin Kristus bertakhta di surga. Nggak ada harapan bisa nikmatin persekutuan dengan Allah. Hidup cuman wasting times aja, ya khan? But praise God, Yesus sungguh bangkit.

Apa sih arti kebangkitan Yesus? Ia nyata Anak Allah (Rm. 1.4). Ia terbukti Pribadi yang benar. Ia menang atas kematian (Kis. 2.4). Biar kita dapetin pengampunan n’ pembenaran (Rm. 4.25). So kebangkitan-Nya jadi DP alias downpayment (uang muka) buat kebangkitan kita kelak (Rm. 6.4). Ajaib! Luar biasa! So sweet . . . !!!

Kawan, apa kurang berharga hidup kita sekarang ini? Kamu n’ aku yang dah kenal Tuhan, udah dibangkitin dari kematian. Kita nikmatin hidup yang indah. La vita e bella! Hidup itu indah. Nge-fun abiez dalam Kristus!

BLUNGGG????

BLUNGGG????
1 Petrus 3.18-22; 2 Korintus 5.6-8; Filipi 1.21-23;


Q. Apa arti Yesus turun ke alam maut?
A. Tuhan Yesus melepaskanku dari ketakutan n’ kesakitan kematian. Kematian bukan lagi ancaman, tapi keberadaanku bersama Kristus di Firdaus.

Sobat, kalimat ini yang paling bikin bingung di PIR, ya to? Masa sih Tuhan Yesus masuk ke tempat penganiayaan kekal, ie. neraka jahanam? Nggak mungkin. Lho, terus gimana, kan frase yang dipake “alam maut”?


Kata yang dipakai bukan gehenna, tempat aniaya kekal! Tapi hades, yaitu tempat orang mati. So, Kristus nggak blungg . . . nyebur ke neraka! Tapi ke tempat orang mati. Waktu penjahat di samping Yesus berseru, “Remember me, Jesus!” Tuhan berkata, “Hari ini juga engkau bersama-sama aku di dalam Firdaus” (Luk. 23.43). Yesus mengubah tempat orang mati jadi Firdaus, lho! So, kenapa mesti takut mati kalo dah di dalam Tuhan???

Next, Tuhan Yesus juga menyempurnakan roh-roh orang percaya di PL. Kematian mereka yang hidup jauh sebelum Dia disempurnain (Ibr. 12.23). Last but not least, Tuhan Yesus nggak nginjilin roh-roh di tempat kematian biar orang-orang mati pada selamat, lho. (Awas, doktrin keliru!) Ia sedang proklamirin kemenangan-Nya atas kematian kepada roh-roh yang terpenjara. Mereka ini yang dulu, sebelum air bah datang, pada nggak percaya, itu . . . di zamannya nabi Nuh!

. . . SUFFERED n’ DIED . . .

. . . SUFFERED n’ DIED . . .
Roma 3.19-26; Ulangan 21.23


Q. Apa artinya Kristus menderita n’ disalib?
A. Dalam badan n’ jiwa-Nya, Kristus menanggung murka n’ kutuk Allah atas dosa manusia, agar Ia menebus badan n’ jiwa kita dari penghukuman kekal.

Adolf Hitler dikenang sebagai pemusnah 6 juta bangsa Yahudi. Pak Harto (mantan Presiden RI) mungkin kelak akan dikenang jadi sumber hilangnya sekitar 2 juta orang pasca Oktober 1965. Hmm, Pontius Pilatus . . . juga selalu dikenang sebagai penyalib Kristus.

Kristus disalib emang gara-gara perbuatan manusia kafir. Tapi di balik itu, ada skenario yang agung, yang luar biasa. Allah lagi menjalankan penghakiman-Nya yang adil. Meski menderita karena tindakan manusia, Yesus Kristus sadar akan adanya murka n’ penolakan Allah atas diri-Nya. Ia sedang menempuh jalan yang nggak mungkin ditempuh manusia berdosa. Mana sanggup kita? Mana layak semua manusia seperti Dia?

KAwan, inilah jantung hati Kekristenan! Ibaratnya neh, inkarnasi adalah pelataran Bait Suci, nah . . . penebusan di kayu salib itu Ruang Maha Suci. Kristus meredam murka Allah yang menyala atas manusia berdosa, n’ hapus dosa kita dari hadapan Allah. Ia membayar lunas utang darah kita. Dan Ia menang atas kematian dengan jalan masukin maut itu. Kini, kita jadi didamaiin kembali dengan Tuhan. Puji Tuhan!

PINJAM RAHIM

PINJAM RAHIM
Lukas 1.26-38; Galatia 4.4


Q. Apa arti lahir dari Anak Dara Maria?
A. Anak Allah sudah memakai tabiat manusia sejati sejak dikandung Maria oleh Roh Kudus, supaya menjadi keturunan Daud yang sejati dalam segala rupa, kecuali dalam dosa.


Ah, nggak mungkin! Mana ada manusia yang dilahirkan dari seorang perawan? Sentimen itu dah muncul di akhir abad ke-18 sampe sekarang. Malah teori tercanggih bilang, Yesus itu anak haram dari serdadu Roma yang menghamili Maria, terus dia pergi.

Alkitab menyatakan, inilah mukjizat. Tapi, apa mungkin? Laki-laki pertama, dibikin tanpa ayah-ibu. Perempuan pertama dicipta dari laki-laki, tapi tanpa ibu. Manusia seperti kita dilahirin melalui ayah-ibu. So, masih ada kemungkinan satu lagi, kan? Dilahirin dari seorang perempuan, tanpa ayah. Dan itulah karya Roh Kudus di dalam rahim Maria!

Dikandung dan dilahirin lewat rahim perempuan berarti: (1) Yesus manusia sejati, tapi juga lebih dari manusia biasa. Kelahirannya hebat! (2) Kristus emang menerima tabiat manusia dari Maria, tapi Ia bebas 100% dari dosa warisan Adam.

Kemanusiaan-Nya nggak tercemari oleh tindakan, motif dan kehendak berdosa. Sebab itu, Ia layak jadi kurban penebus dosa. Metaners, mana ada Tuhan yang seperti Tuhan Yesus, ya nggak? Makanya bersyukur donk!

BEHIND THE SCENE

BEHIND THE SCENE
Yohanes 1.15-18; 17.1-5, 24-25


Q. Ada apa dengan Tuhan Yesus sebelum berinkarnasi?
A. Sebelum dunia dijadikan, Kristus telah diperanakkan oleh Bapa, bukan dibuat atawa diciptain.

Prenz, Tuhan Yesus disebut Anak Tunggal Allah Bapa, Ia menikmati kasih yang agung dari Bapa-Nya. Bapa Gereja Origenes dengan gembira berkata kalo Tuhan Yesus “diperanakkan sejak kekekalan.” Coba, pahami ini.


Allah itu nggak terbatas, betul kan? Allah itu sempurna. Nggak kayak kita, yang dibatasi sama berbagai macam hal. So, buat Allah, nggak ada masa lalu, masa sekarang, n’ masa yang akan datang. But . . . yang selalu ada adalah SEKARANG! Pengetahuan Allah sama waktu lengkape puoool dah . . . .

So, Allah tuh bukannya semula satu, trus jadi dua n’ then jadi tiga. But emang dari sononya, dari kekal, Allah dah nyatain diri sebagai Bapa yang selalu bersekutu ama Putra, n’ Putra nyang selalu berada di hadapan Bapa.

Arti diperanakkan kalo begitu bukannya Kristus ada setelah Sang Bapa ada, atau kedudukan-Nya lebih rendah dari Bapa. Nggak, ini salah sekaleee . . . Baca Yoh. 6.57, “Aku hidup oleh Bapa.”

Metaners, yang jelas kita nggak tahu gimana prosesnya Allah kok jadi manusia. Don’t worry, just be Peppy, ups . . . happy. Alkitab cuma katakan: Allah yang kekal jadi manusia di dalam Tuhan Yesus Kristus. God be praised!

Wednesday, June 6, 2007

ALLAH SEJATI, MANUSIA SEJATI

ALLAH SEJATI, MANUSIA SEJATI
Yohanes 1.1-14; Filipi 2.5-11


Q. Kenapa Anak Allah dipanggil Yesus, yaitu Jususelamat?
A. Dia saja yang melepaskan kita dari dosa, n’ mustahil bagi kita untuk dapati keselamatan pada orang lain.

Ada sebuah legenda tentang Raja Irlandia. Sang Raja menyamar, n’ masuk ke aula pesta salah satu pejabat. Semula ia ditempatin di tempat yang biasa. Tapi kecerdasan gaya bicaranya, n’ sikap sopan santunnya yang luar biasa membuatnya diundang ke meja yang lebih tinggi tingkatnya. Sekali lagi hal yang sama terjadi, n’ segera aja dia diberi tempat di antara tuan-tuan terhormat.

Setelah ia berbicara dengan bijaksana, seorang pangeran berkata, “Sebenarnya, Tuan, Anda bicara seperti seorang raja. Jika Anda bukan raja, Anda pun layak jadi seorang raja.” Lalu sang raja menyibakkan penyamarannya n’ ngambil perjamuan sebagaimana mestinya dengan tamu-tamu lain.

Tuhan Yesus adalah Raja Kekal. Sidang Gereja di Kalsedon (451 M.) nyatain, “satu pribadi dalam dua tabiat: Allah sejati dan manusia sejati.” Yesus bukan manusia yang dipenuhi oleh Roh Allah. Tapi juga bukan hantu yang nggak punya tubuh. Putra Allah yang kekal jadi manusia, diam di antara kita. Tapi satu hal yang beda. Ia nggak berdosa. Ia sempurna. Sebab itu, Dia layak persembahin tubuh-Nya jadi kurban penebusan dosa segenap umat Allah.

SANG MAESTRO

SANG MAESTRO
Kejadian 1; Mazmur 19.1-7


Q. Apa inti kisah penciptaan?
A. Bukan bagaimana bumi dibuat, tetapi Siapa yang membuat n’ sebab itu kita dapat memuliakan Dia.

“And the Oscar goes to . . .” Semua yang hadir di gedung itu berdebar-debar! Siapa yang menerima Oscar tahun ini? Oscar atawa Academy Award adalah penghargaan beken buat film-film kelas dunia. Insan perfilman dunia anugerahin patung manusia bersalut emas kepada orang-orang yang berjerih buat film-film top, n’ karya mereka dinilai hebat.

Tapi, ada nggak sih yang sanggup nandingin Allah? Kan seharusnya Allah dapetin penghargaan di atas Oscar, donk? Aneh bin ajaib, kebanyakan manusia kini nggak lagi ngingat Allahlah Sang Maestro, Artis di atas segala artis yang mampu ciptain segala sesuatu dari ketidak-adaan. Hanya dengan Firman yang berkuasa, semua jadi! Hebat kan? Langit nyeritain kemuliaan Allah. Manusia malah cuap-cuap tentang kebesaran dirinya.

Kawan, coba lihat alam sekelilingmu. Banyak yang rusak. Hutan Sumatra tinggal 40%. Hutan di Kalimantan jadi jarahan para penebang hutan liar. Tambah lagi, manusia pada ninggalin Allah. Kira-kira, masih ada nggak, ya, sisa-sisa penghormatan manusia pada yang punya bumi ini? Come on Guyz, mulai dari kita, katakan pada orang lain, “This is my Father’s World!” Yuk kita jaga bumi ini.

THE FATHER, MY HERO

THE FATHER, MY HERO
Kisah 17.16-34; 2 Korintus 2.16-18


Q. Siapakah Allah Bapa yang Mahakuasa?
A. Bapa yang kekal dari Tuhan Yesus Kristus, yang telah menciptakan langit n’ bumi serta segala isinya.

Nggak ada agama di dunia yang kenalin Allah sebagai Bapa seperti iman Kristen. Allah itu di satu sisi, sangat dekat dengan kamu. Dialah yang nyiptain segala sesuatu. Waktu Paulus di Atena, kata rasul, “Kita adalah keturunan Allah juga” (we are his offspring). Kalo gitu, semua manusia mestinya mencari, menyembah n’ mematuhi Allah. Allah membuka tangan-Nya buat tiap orang yang mau datang kepada Dia dalam pertobatan n’ penyesalan.

Sayangnya, nggak ada satu orang pun yang bisa datang kepada Sang Bapa. Dosa menghambat manusia. Semua manusia mati di dalam dosa. Sama sekali tidak ada jalan keluar bagi manusia. Syukur, Ia adalah Bapa dari Tuhan Yesus Kristus. Dialah Putra sejati Allah. Hanya Kristus yang boleh nyebut Allah “Bapa-Ku.”

Sedangkan kita ini anak-anak pungut. Anak hasil adopsi. Anak angkat. Karena Kristus mau jadi Saudara Sulung kita, dengan menebus kita, kita jadi anak Sang Bapa. So, gimana kita panggil Bapa di dalam doa? Tentu, dengan penuh rasa hormat. Bukan “Bapaku” (yang berhak hanya Kristus), tapi panggil Dia “Bapa.” Itu cukup dan itu benar.

BETE . . . RAGU . . . OOH??!!

BETE . . . RAGU . . . OOH??!!
Efesus 4.9-15; Yakobus 1.6-8


Q. Mengapa ada keraguan iman?
A. Karena mendua hati n’ tidak berpegang pada kebenaran.

Jadi remaja tuh susah, yaa? Emosi berubah naik-turun. Kadang ortu baik, tapi bisa tiba-tiba meledak marahnya ama kamu. Masa remaja emang masa paling labil. Nggak heran, di usia remaja ini, mengenal Allah juga nggak bisa konsisten. Kadang rajin, tapi tiba-tiba jadi males. Perasaan ragu-ragu akan Allah sering hinggap.

Apa sih sumbernya keraguan? Karena mendua hati atawa bimbang. Nggak bisa teguh. Punya dua pikiran bercabang. Kata Yakobus, seperti gelombang laut yang terombang-ambing angin.

Betul, kan? Kamu jadi bingung karena ada lebih dari satu pilihan, yang semuanya OK-OK, jadi susah buat ngejatuhin keputusan.

Gimana donk caranya biar nggak ragu? (1) kenali dulu akar masalahnya, kenapa bisa sampai ragu. (2) temuin jawaban yang masuk akal berdasarkan prinsip Firman Tuhan. (3) Berani hadapi n’ lawan akar keraguan.

Sama halnya dengan keraguan masalah ajaran. Kamu mengenal iman reformed sejak remaja, tapi nanti di luar kota, kamu diajar yang lain . . . jadinya bingung, mana yang benar? Jawabnya gampank banget. Kalo Tukul Arwana “kembali ke laptop,” kamu mesti “kembali ke Alkitab!”


I BELIEVE

I BELIEVE
Ibrani 1.1-4; Matius 28.18-20


Q. Apa sih Pengakuan Iman Rasuli (PIR) itu?
A. Ringkasan ajaran iman yang diyakini oleh Gereja yang Am dan pasti.

Kawan, PIR itu sebenarnya dibagi dalam 3 bagian: (1) Allah Bapa n’ penciptaan kita; (2) Allah Anak n’ penebusan kita; (3) Allah Roh Kudus n’ pengudusan kita. Ketika ngucapin PIR, kita nih lagi mengangkat janji setia kita untuk beri penghormatan bagi Bapa, Putra dan Roh Kudus.

Inilah yang kita kenal sebagai “Allah Tritunggal.” Kawan, Tritunggal itu simpel aja koq: Hanya ada satu Allah yang esa, dan Allah yang sejati itu menyatakan diri dalam tiga pribadi, dan tiap pribadi berbeda dengan kedua pribadi lainnya. Ini yang diberitakan oleh Alkitab.

Kok bisa, satu ya tiga, tiga ya satu? Nggak masuk akal, donk? Kawan, inilah misteri. Alkitab nggak kasih tahu ke kita kenapa mesti seperti itu. Sama halnya, Allah itu ada . . . dari mana asalnya? Kita nggak bisa jawab, bukan?

Tapi, mana ada ilah yang lebih dibandingin Allah yang kita miliki? Bapa rencanain keselamatan kita. Putra ngelaksanain penebusan. Roh Kudus buat kita lahir baru n’ beri pengudusan. Wow! Bapa di atas kita. Anak di samping kita. Roh Kudus di dalam diri kita. Kita nggak sendirian. Ada Sobat! Kita nggak kesepian. Ada jaminan pasti, Kawan! Haleluya!

BERAPA BANYAK?

BERAPA BANYAK?
Kisah 16.11-15; Roma 10.17


Q. Seberapa banyak kamu perlu tahu tentang hal iman?
A. Semua yang telah dijanjikan dalam Injil Kristus buat setiap orang pilihan.

Iklan yang membanjir di layar kaca kita salah satunya yaitu layanan operator selular. Wah, semua berlomba dapetin pelanggan sebanyak-banyaknya. Lihat promosinya, bahkan sampai berani beri yang tarif paling murah. Eh, ternyata banyak orang yang terbujuk, bukan? Nggak jarang kini, seseorang punya banyak nomor selular.

Tapi berapa banyak, coba, orang Kristen yang terpikat dengan pengajaran Kitab Suci? “Agch, males! Susah dimengerti! Bahasanya rumit!” Pokoknya segudang alasan dech buat yang satu ini. Aneh sekali . . . berkatnya mau, tapi usahanya ogah. Yang enak OK, yang butuh berjerih lelah Nehi, kata orang India.

Padahal, apa yang Allah beritahukan kepada kita lewat Firman-Nya, nggak ada tawar-menawar lagi. Semua harus dikenal. Semua harus ditaati. Kawan, ingat selalu ya, di dalam iman yang benar itu selalu ada pengetahuan, kepastian n’ penyerahan diri. Dus, tekad yang membara di hati kita untuk melayani, mesti dibarengi dengan kerajinan kita belajar firman Allah. Hati n’ akal budi harus berjalan bergandengan tangan. Semangat n’ intelegensi seiring sejalan. Don’t worry n’ don’t quit, Kawan! Ayo terus belajar . . . .

AWAS, PALSU!!!

AWAS, PALSU!!!
Efesus 2.1-10; Yudas 1.3-4, 20-23


Q. Apa yang kamu maksud iman yang sejati?
A. (1) Pengetahuan yang pasti akan Allah; (2) kepercayaan yang teguh di dalam Injil bahwa pengampunan dosa, kebenaran n’ keselamatan sudah kuperoleh.


Kawan, kamu bingung nggak kalo orang bicara tentang iman? “Beriman saja, nanti Tuhan beri yang kamu mau.” “Doa dengan iman, Tuhan nggak mau berutang” . . . etc., etc. Sebenarnya, iman yang seperti ini adalah iman yang palsu. Iman disamain dengan “keinginan.”

Iman yang sejati jelas beda. Bahkan bertolak belakang sama yang kayak begitu. Bukan yang kuminta, tapi yang diberikan padaku. Bukan dari diriku, tapi yang kuperoleh sebagai hadiah cuma-cuma dari Allah.

Waktu kecil, kenapa kita percaya banget kepada ortu? Kan bukan karena kita yang minta supaya ortu bisa dipercayai, tapi memang kita udah lihat buktinya kalo ortu kita tuh baik n’ sebab itu layak dipercayai. So is with God, Kawan! Allah sudah lakuin perbuatan-perbuatan yang besar! Kita yang dahulu mati, sekarang dibangkitin oleh Allah.

Aha, ini lho rahasia hidup kita!!! Kita mati dalam kematian Kristus, dan sekarang dibangkitin agar hidup bagi kemuliaan Tuhan. Jadi, kalo kita sudah hidup, masakan kita mau bertingkah seperti mayat orang yang mati? Andalkan Allah dalam hidupmu donk, Sobat!

CORAM DEO

CORAM DEO
Yohanes 17.1-5; Mikha 6:8


Q. Apa sih yang diajarin Alkitab?
A. Mengenal Allah n’ mengenal tanggung jawab manusia di hadapan Allah.

“Gitu saja kok repot!” Pernah dengar kalimat itu? Kawan, ada orang yang bilang begini: kalo dah diselamatkan, ngapain repot-repot berbuat baik? Benarkah begitu?
Alkitab justru dengan gamblang bilang ke kita, hidup kekal itu ternyata bukan surga lho . . . tapi mengenal Allah. Nah, gimana caranya mengenal Allah? Inilah yang dalam iman reformed dikenal istilah coram Deo, “di hadapan Allah.” Kita semua sedang berhadapan dengan Allah. Apa yang kita lakuin, kita nih bertanggung jawab pada Allah.

Coba bayangin, ada orang yang puluhan tahun ngakunya Kristen, tapi nggak ada perubahan hidup. Secara fisik sih iya: makin tua, makin rapi penampilannya. Tapi gaya hidup, sami mawon dengan orang lain.

Padahal, begitu seseorang diselamatkan, ia akan percaya bahwa Allah saja yang memberi anugerah itu. Terus ia mampu mengerti posisinya di dunia ini. Kenapa? Yup! Ia bertanggung jawab dengan Allah. Justru ia akan jadi orang yang paling bersemangat untuk benah-benahin bumi milik Allah ini sebagai tempat yang nyaman huni buat semua manusia n’ makhluk.

THE HOLY BOOK

THE HOLY BOOK
2 Timotius 3.15-16; Wahyu 22.18-19


Q. Apa pedoman untuk memperkenankan hati Allah?
A. Firman yang termuat dalam Alkitab adalah satu-satunya pembimbing kita untuk memperkenankan Dia.

Manusia itu makhluk yang luar biasa, Kawan. Berbagai penemuan berhasil ditemukan. Nggak tanggung-tanggung, dalam 100 tahun ini, ribuan teknologi berhasil diciptakan. Pluto sekarang diduga bukan termasuk planet tata surya kita. Hebat, kan? Tapi bagaimana pun, manusia harus sadar, ia tidak mampu memahami segala sesuatu dengan pasti.

Karena itu, manusia mesti sadar, ia butuh pegangan yang pasti. Dan yang punya kepastian ya cuman Allah doank! Tapi puji Tuhan, Kawan, Allah mau bukain diri-Nya melalui WAHYU UMUM, yaitu alam, sejarah bangsa-bangsa dan hati nurani manusia; serta WAHYU KHUSUS, yaitu melalui Firman yang jadi pedoman gimana manusia bisa selamat. So Kawan, mau nyenangin the Big BOSS? Kuncinya satu saja, cintai Firman!

Sebab: (1) Alkitab itu nggak mungkin salah mengajar. Satu-satunya jalan keselamatan ya di dalam Kristus, bukan yang lain. (2) Alkitab itu jelas, bisa dipahami oleh orang yang berpendidikan sederhana sekalipun. (3) Alkitab itu cukup, nggak perlu n’ nggak boleh ditambahi, termasuk dengan ilham-ilham roh baru.