Thursday, August 23, 2007

Menghidupkan Pengharapan, Menjangkau dengan Pendamaian


MENGHIDUPKAN PENGHARAPAN, MENJANGKAU DENGAN PENDAMAIAN
WAHYU 22.1–5

MESIAS, ROH KUDUS DAN GEREJA

Bapa Gereja Ignatius dari Antiokhia pernah berkata, “Di mana Kristus ada, di situ pula Gereja.” Kristus dan gereja, tidak dapat dipisahkan. Gereja boleh penuh program. Gereja boleh punya cadangan dana ratusan juta rupiah. Gereja boleh saja berlomba-lomba membangun sarana dan prasarana. Bukan itu saja. Orang-orang boleh kumpul-kumpul layaknya gereja, bernyanyi-nyanyi seperti di gereja, berkhotbah seperti di gereja. Bahkan kumpulan itu boleh melakukan banyak hal untuk orang-orang sekitarnya. Tapi ini semua bukan tanda Gereja yang sejati.

Kristus hadir, demikianlah tanda Gereja yang sejati. Bilamana Kristus hadir, Gereja menjadi hidup. Itulah sebabnya metafora yang dipakai di dalam Alkitab adalah Kepala–Tubuh, Mempelai Laki-laki–Mempelai Perempuan, Pokok Anggur–carang-carangnya. Sehingga, jangan sampai kita mengulang kesalahan jemaat di Laodikia, yang tak kurang sumber daya, tetapi Kristus hanya berdiri di muka pintu dan mengetok! (3.20) Tak sadarkah kita, Gereja itu telah mengeluarkan Kristus!

Selanjutnya, Gereja ada juga oleh karena Roh Kudus. Tunggu dulu! Apa kaitan Roh Kudus dengan Kristus? Pertama, Yesus dari Nasaret diurapi sebagai Mesias oleh Roh Kudus. Keempat Injil sepakat bahwa Yesus ini adalah Kristus oleh sebab pengurapan Roh Kudus. Siapa Kristus yang sejati, serta apa yang dikerjakan oleh Kristus, dibentuk oleh Roh Kudus yang berdiam atas-Nya dan menguatkan Dia. Kedua, Yesus Sang Mesias ini adalah pemberi Roh Kudus. Kristus yang dibangkitkan dan diangkat ke surga, mengaruniai para murid-Nya dengan Roh Kudus. Gereja terlahir dari “rahim” Roh Kudus.

Diwakili oleh Penginjil Lukas, triad nisbah antara Gereja, Kristus dan Roh Kudus terangkum: Dia yang pembaptisan-Nya mengawali misi-Nya dalam kuasa Roh Kudus, kini mencurahkan Roh Kudus kepada para murid-Nya, setelah kebangkitan dan kenaikkan-Nya (2.31-33). Di dalam Roh inilah, segala umat Allah akan dipersatukan dan dimampukan untuk memproklamirkan kemerajaan Allah melalui tutur kata dan tindakan.

Lebih dari itu, baik Lukas maupun Yohanes percaya bahwa kelahiran gereja sesungguhnya berkait erat dengan pengutusan Roh oleh Sang Mesias yang dibangkitkan (Yoh. 20.22, 23), sebelum kepergian-Nya ke surga. Benarlah perkataan Raniero Cantalamessa, “The last breath of Jesus [on the cross] is the first breath of the church.” (Embusan napas Yesus yang terakhir [di kayu salib] adalah embusan napas pertama dari Gereja.”

Maka, patut kita camkan paralelisme antara Kristus dan Gereja. Identitas Kristus adalah identitas Gereja. Misi Kristus adalah misi gereja. Identitas Gereja adalah misi Gereja, dan misi gereja adalah identitasnya. Yang disebut sebagai Gereja adalah apa yang gereja lakukan di dalam dunia. Dan, gereja melakukan sesuatu di dalam dunia semata-mata selaras dengan identitasnya.

Misi? Kata ini telah mengalami pergeseran arti, sehingga arinya sama dengan membuka plang merk kita gereja di tempat yang baru. Bahkan tak jarang, para “gajah” di gereja yang satu diangkut ke gereja yang baru didirikan, alih-alih mereka tidak mendapat makanan rohani yang baik di gereja terdahulu. Bukan demikian misi yang dinyatakan di dalam Perjanjian Baru.

KERAJAAN ALLAH, MESIAS DAN GEREJA

Kerajaan Allah adalah kehadiran Allah pada akhirnya di tengah-tengah umat-Nya. Perhatikanlah teks kita. Yerusalem surgawi sudah turun (21.10), kota yang penuh kemuliaan Allah. Kemuliaan Allah meneranginya (21.23). Air kehidupan mengalir dari takhta Allah dan Anak Domba (22.1). Semua metatora ini intinya satu saja: Allah hadir!

Lalu kaitannya? Pertama, tidak akan ada gereja tanpa Kerajaan Allah. Kerajaan Allah bukan gereja. Kerajaan Allah lebih luas daripada gereja. Teolog Yale kelahiran Bosnia, Miroslav Volf, memberi ilustrasi demikian. Ketika jendela yang menghadap kerajaan Allah tertutup, kegelapan menyelimuti gereja dan udara menjadi pengap. Ketika jendela yang menghadap kerajaan Allah itu terbuka, embusan segar udara kehidupan masuk, dan terang dari cahaya kemuliaan Allah menembus dan memberikan energi dan pengharapan baru.

Kedua, tidak akan ada Kerajaan Allah tanpa gereja. Gereja memberikan pengharapan bahwa Kerajaan Allah pasti datang. Vitalitas pengharapan akan kerajaan bergantung pada gereja. Embusan segar udara kehidupan, dan sinar kemuliaan Allah yang memperbarui wajah ciptaan dapat terasa oleh sebab di sana ada komunitas orang percaya yang disebut gereja. Gereja dapat mengobarkan semangat demikian oleh sebab gereja selalu hidup dan mengejawantahkan kenangan akan Mesias yang disalib dan bangkit, serta pengharapan akan kedatangan Dia kembali. Jadi sekarang, bagaimanakah Gereja sebagai umat Mesianik membangkitkan pengharapan?

(1) Kelahiran Kembali

Berita Mesianik di PL, Allah rindu untuk mencurahkan kasih-Nya dan Roh-Nya ke atas mereka yang lemah, berdosa serta kepada orang-orang yang dianggap musuh. Pada salib Kristuslah, titik puncak kasih Allah dinyatakan, dan tidak ada satu ketidaksalehan pun yang dapat mengeluarkan orang dari jangkauan kasih Allah. Pada salib itulah, Allah menerobos keberdosaan manusia. Allah tidak memperlakukan dosa seperti tidak ada. Pada salib, Allah menamai dusta sebagai dusta, ketidakadilan sebagai ketidakadilan, kemiskinan sebagai kemiskinan dan kekerasan sebagai kekerasan. Kabar baik, atau Injil, bukannya menafikan dosa, seolah-olah dosa bukan masalah yang serius bagi manusia. Injil berarti, meski dosa manusia begitu besar, Allah merentangkan tangan-Nya, mengulurkannya kepada kita dan memeluk kita!

Tatkala Allah memeluk kita, bukan saja kita menjadi nyaman berada dalam dekapan sang Bapa, dan menyanyi tiap-tiap hari lagu melankolis, “Takkan Kau biarkan aku berjalan sendirian, Kau selalu ada bagiku” tetapi kita pun dimerdekakan dari perbudakan dosa yang telah sekian lama membentuk kita! Demikianlah triad kebenaran alikitabiah sebagai pilar kelahiran baru: pengampunan, perubahan atau transformasi dan pengharapan. Pengampunan berbuahkan perubahan; perubahan berbuahkan pengharapan—inilah yang menjadi panggilan proklamasi gereja.

(2) Pendamaian terhadap Semua Orang

Di antara keberdosaan manusia dan ciptaan baru, berdiri salib Kristus. Salib memang lambang kehinaan, tetapi salib pun merupakan lambang di mana Allah menjangkau manusia dengan cara memberikan diri-Nya sendiri, dalam Sang Putra, Yesus Kristus. Tiap-tiap kali kita memecahkan roti perjamuan bersama, kita selalu diingatkan bahwa Kristus telah memberikan tubuh-Nya “bagi kita” (pro nobis). Perjamuan Kudus bukan sekadar kita diundang untuk bersekutu bersama Kristus, tetapi juga agar kita dibentuk ulang dalam citra-Nya. Jika denyut nadi Gereja adalah di dalam Kristus, maka sesungguhnya jati diri Gereja yang sejati, mau-tidak mau dan suka-tidak suka, adalah berbalik ke dalam dunia, sehingga gereja menjadi ada “bagi dunia.” Kristus bagi kita. Kita bagi dunia. Maka Kristus pun menjadi ada bagi dunia.

Implikasinya jelas, Gereja harus menceburkan diri ke dalam pelayanan pendamaian. Pelayanan pendamaian ini bukan terlahir dari sederetan pranata yang dipaksakan dari luar, tetapi terlahir dari pergumulan jati diri Gereja. Dimensi vertikal dan horisontal berjalan simultan. Malahan, menurut rasul Paulus, pendamaian antarmanusia intrinsik di dalam pendamaian manusia kepada Allah (1Kor. 5.17-20).

Teramat sering kita membuat dua lapis pendamaian: Seseorang harus diperdamaikan kepada Allah terlebih dahulu; bila sudah diperdamaikan dengan Tuhan, maka ia akan beres dengan sesama. Masalahnya, kadang-kadang ini menjadi “wilayah buta” bagi seseorang. Parameternya sangat sulit ditentukan. Seseorang mengklaim, hubungannya dengan Tuhan beres. Tetapi faktanya, ia bermasalah dengan orang lain.

Rasul Paulus sendiri tidak pernah membuat dikotomi semacam itu. Pada titik pusat pendamaian, terdapat dimensi horisontal juga. Pendamaian dengan serta-merta menjauhkan seseorang dari perseteruan dengan sesamanya, bukan saja perseteruan dengan Allah; dan pendamaian juga bergerak menuju kepada orang-orang yang semula merupakan musuh. Allah menghendaki, segala sesuatu yang ada di bumi dan surga berada dalam dekapan pendamaian-Nya.

(3) Perawatan Tubuh

Mesias Yesus, membacakan sebuah “manifesto” programatik-Nya: dalam kuasa Roh, Ia memproklamirkan pembebasan bagi para tawanan, mencelikkan mata orang buta, dan memerdekakan mereka yang tertindas (Luk. 4.18-19). Dalam karya misi-Nya, Yesus melakukan dua hal yang penting: Ia mengampuni dan menyembuhkan. Kiranya kita tidak memahaminya secara spiritualistik: dosa yang diampuni, lalu jadi sembuh.

Gereja mula-mula mengikuti jejak Kristus. Gereja menyembuhkan orang sakit dan mendukung orang miskin sehingga tiada lagi orang yang berkekurangan di antara mereka (Kis. 4.34a). Rasul Paulus, tak hanya memproklamirkan pendamaian kepada Allah dan antarmanusia, tetapi juga membantu yang miskin (2Kor. 8-9; bdk. 1Kor. 16.1-4; Gal. 2.10), dan menyembuhkan yang sakit (1Kor. 2.4; Gal. 3.5).

Mengapa ini penting? Marilah kita perhatikan baik-baik prinsip alkitabiah berikut. “Kelahiran kembali” seseorang dan tekadnya untuk memperbarui wajah ciptaan, takkan dapat menjadi penuh bila tidak dibarengi dengan penebusan tubuh (Rm. 8.23). Tunggu, ini bukan roh tanpa raga yang melayang-layang di udara hampa, lalu masuk ke surga.

Maksud firman Tuhan adalah, bahwa kelahiran kembali seseorang merupakan cikal bakal dari “kelahiran kembali” (baca: pembaruan) kosmos. Dengan perkataan lain, pembaruan kosmos merupakan karya puncak dari pembaruan yang telah dimulai dengan pembaruan tubuh. Di sini kita melihat betapa luasnya jangkauan pendamaian, dan implikasinya bagi misi Gereja yang meliputi ranah-ranah kemasyarakatan dan ekologi.

KESIMPULAN

Gereja bukan perkumpulan sosial semata-mata. Gereja bukan yayasan. Gereja bukan LSM. Gereja bukan klub. Gereja adalah “daun-daun pohon-pohon kehidupan yang dipakai untuk menyembuhkan bangsa-bangsa” (Why. 22.2). Gereja adalah komunitas yang dipersatukan. Misi Gereja dijalankan baik manakala Gereja “bersekutu” dan manakala Gereja “tersebar” ke seluruh penjuru dunia. Dan pada saat misi Gereja sebagai komunitas beriman menyentuh seluruh dimensi kehidupan, dengan sendirinya Gereja akan menyadari bahwa Roh yang bekerja di dalam Gereja juga Roh yang bekerja di seutuh ciptaan. Gereja sebagai umat Mesianik diurapi oleh Roh Kudus, dan Gereja diutus untuk pergi ke tempat-tempat Roh itu selalu siap untuk dijumpai, sambil gereja meretas jalan bagi kedatangan Kerajaan Allah yang mencapai kepenuhannya.

Sebagai penutup, Gereja perdana pernah menyebutkan bahwa Gereja itu seumpama bulan. Bulan tidak mempunyai terang dalam dirinya sendiri. Semua terang yang membuat malam hari tampak indah sekali merupakan cahaya pantulan, yaitu trang yang diperoleh dari matahari. Gereja pun tidak memiliki kuasa dalam dirinya sendiri. Gereja pun tidak mempunyai tujuan untuk dirinya sendiri. Terang gereja berasal dari terang Kristus, yang bersinar dalam kuasa Roh Kudus. Segala yang indah yang dimiliki gereja—gedung, pranata, dana, proyek dan program—tidak ada nilainya. Nilai yang terutama yang seharusnya memancar di dalam Gereja adalah bila Gereja dengan setia memantulkan terang Kristus yang sejati dan melanjutkan misinya di dalam pengurapan Roh Kudus. (m.v.)

TERPUJILAH ALLAH!

Sunday, August 19, 2007

Menggali Spiritualitas Roma (5)



BACAAN ATAS SURAT ROMA YANG DIANJURKAN


Drane, John. Memahami Perjanjian Baru. Jakarta: Gunung Mulia, 1997.

Drane adalah seorang profesor Perjanjian Baru di Universitas Aberdeen. Sewaktu menulis buku ini, beliau masih mengajar di Universitas Stirling, Inggris. Tidak secara khusus membahas Roma, tetapi uraian yang singkat namun padat mengenai Roma sangat bermanfaat. Buku asli dalam bahasa Inggris disertai ilustasi gambar-gambar yang menarik dan memperjelas uraian.


End, Th. van den. Tafsir Roma. Jakarta: Gunung Mulia, 2005.

Buku ini masih karya tafsiran Roma yang paling komprehensif yang tersedia dalam bahasa Indonesia. Bermanfaat untuk orang-orang yang serius mendalami Surat Roma. Bukan ditujukan untuk kalangan akademis saja, sebab itu refleksi-refleksi mendalam yang bermanfaat untuk para pengkhotbah dan kaum awam.


Guthrie, Donald. Teologi Perjanjian Baru. 3 jilid. Jakarta: Gunung Mulia, 1993.

Mendiang Guthrie menulis master pieces-nya yaitu New Testament Introduction dan New Testament Theology. Yang sudah diterjemahkan adalah buku yang terakhir, dibadi menjadi 3 jilid. Sistematika buku mirip dengan dogmatika kuno, berdasarkan tema-tema teologis, yang pada penjabarannya diuraikan menurut bagian-bagian besar PB (Injil, Surat Paulus, Surat Lain dan Wahyu).


Moo, Douglas J. The Epistle to the Romans. New International Commentary on the New Testament. Grand Rapids: Eerdmans, 1996.

Buku ini menggantikan 2 jilid tafsiran karya John Murray (lih. bawah). Suatu uraian yang sangat detil dari seorang ahli Perjanjian Baru yang sekarang mengajar di Wheaton College. Reformed dan post-tribulatio premillenialist.


Morris, Leon. Teologi Perjanjian Baru. Malang: Gandum Mas, 1995.

Buku Teologi Perjanjian Baru karya seorang ahli Perjanjian Baru dari Inggris yang diakui kepakarannya. Morris telah menulis tafsiran hampir semua kitab PB. Tidak secara khusus berbicara mengenai Roma, tetapi sesi mengenai Roma ditulis sangat apik.


Davidson, F. dan R. P. Martin. “Roma.” Dalam Tafsiran Alkitab Masa Kini. Jilid ke-3. Jakarta: Bina Kasih, 1995.

Tafsir singkat Roma yang berasal dari pakar-pakar Injili. Ringkas dan baik untuk menjadi acuan awal, khususnya bagi mereka yang masih baru dalam penyelidikan Alkitab.


Murray, John. The Epistle to the Romans. 2 jilid. Grand Rapids: Eerdmans, 1997.

Mendiang John Murray adalah profesor teologi sistematika dan biblika di Westminster Theological Seminary. Sebagai orang yang asli Inggris, kadang kalimat yang dipakai sangat panjang dan kompleks. Buku ini merupakan uraian yang menyeluruh atas pemikiran Murray mengenai Surat Roma. Klasik, tetapi masih menjadi acuan di seminari-seminari Injili dan Reformed di Amerika Serikat. Semula diterbitkan pada tahun 1968 untuk seri tafsiran New International Commentary on the New Testament.

Sider, Ronald J. Skandal Hati Nurani Kaum Injili: Mengapa Hidup Orang-orang Kristen Serupa dengan Dunia. Surabaya: Perkantas Jatim, 2007.

Tidak terkait dengan Roma secara langsung. Buku ini membongkar kebobrokan kaum Injili di Amerika Serikat berdasarkan survei dan penelitian lapangan, kemudian memberikan alternatif menurut visi radikal Kristus, yakni Kerajaan Allah. Membaca Roma di tangan kanan dan buku ini di tangan kiri akan membuat kita merenung seberapa dalamkah kita tidak setia kepada Injil-Nya.


Thielman, Frank. Theology of the New Testament: A Canonical and Synthetic Approach. Grand Rapids: Zondervan, 2005.

Khususnya pada halaman 342-374 mengenai teologi Surat Roma. Salah satu uraian teologi PB dari pakar PB terkini. Berasal dari kalangan Reformed dan Injili. Ditata dalam format buku teks, sehingga enak dibaca; pemilihan kata juga tidak terlalu membingungkan.

Menggali Spiritualitas Roma (4)


Roma dan Visi Radikal[1]


Kita perlu mengangkat tema keradikalan Paulus dalam Surat Roma, dan relevansinya bagi kita yang tinggal dalam kultur modern. Di era itu, arti penting Roma dan paganisme (kekafiran) Romawi terfokus pada dua hal yang sangat khusus: imperium dan sang kaisar. Roma berarti kuasa—kuasa yang adi, yang berusaha menguasai dan memerintah jagad. Kuasa itu mengerucut kepada satu pribadi, yakni sang Kaisar sendiri, di kota Roma. Sesungguhnya, agama yang berkembang sangat pesat pada era Paulus mengemban misi Injil adalah penyembahan terhadap Kaisar! Baik belahan dunia Siria, Turki dan Yunani, semua tempat yang dikunjungi oleh Paulus dalam perjalanan misinya, semua marak dengan penyembahan Kaisar.

Di segala penjuru, kuil-kuil baru dan patung-patung penyembahan bermunculan, yang mengabarkan Kaisar adalah Tuhan dan juruselamat, Kurios kai Sōter. Upacara-upacara yang rumit dilaksanakan, dan tiap-tiap penduduk, apa pun agama mereka, memberikan penghormatan serta mengangkat sumpah setia kepada sang dewa agung yang telah tampil di depan kancah perpolitikan dunia. Sang dewi ROMA, sebagai personifikasi dari kota Roma, dipuja sebagai dewi yang mahakuasa. Baik ROMA maupun kota Roma sering diangkat secara bersama-sama dalam syair-syair dan sejarah kala itu. Pujangga-pujangganya seperti Virgil, Livy dan Horace, sebagai misal, menceritakan kisah kota Roma mulai dari pendiriannya oleh Romulus hingga klimaksnya berkibar sebagai kekaisaran adi daya.

Sejumlah kaisar Roma tidak terlalu mengklaim sebagai dewa yang ilahi sepanjang hidup mereka, meski mereka tahu benar bahwa mereka akan dihormati sebagai yang ilahi setelah kematian mereka. Kebanyakan kaisar cukup menyebut diri mereka sebagai anak dari dewa. Seperti misalnya Tiberius yang adalah anak dari Augustus yang ilahi. Kata yang sering dipakai untuk peringatan pengangkatan kaisar atau tanggal kelahiran sang kaisar adalah euangelion.
[2] Kita menerjemahkannya sebagai Injil. Jadi, rasul Paulus hidup dalam suatu era di mana agama yang paling marak mengabarkan injil anak allah, tuhan dan juruselamat dunia.

Kalau begitu, berita yang disampaikan oleh Paulus, bahwa Yesus dari Nasaret adalah Anak Allah Yahudi, dan bahwa Ia adalah Tuhan dan Juruselamat yang sejati, segera bertabrakan dengan ideologi yang “telah berhasil” menjaga kestabilan dunia. Sebenarnya, berita subversif, yang kena mengena dengan kehidupan politik sekaligus religius inilah yang dibawa oleh Paulus. Melepaskan ini, kita akan kehilangan jatung hati Surat Roma. Akan tetapi, haruslah kita catat juga bahwa Paulus tidak merekayasa berita Injil agar semata-mata cocok dengan konteks zaman waktu itu. Jauh dari itu! Berita Paulus tetap berakar dalam dari Perjanjian Lama dan keyakinannya bahwa Allah Israel telah menggenapi perjanjian-Nya di dalam Yesus. Sama dengan berita Perjanjian Lama, yang menegaskan keesaan Allah, maka berita Injil yang sejati itu melawan religi yang tengah marak, dan khususnya kultus pemberhalaaan Kaisar.

Roma membanggakan diri oleh sebab KEADILAN. Sebenarnya, dewi Iustitia adalah penemuan baru dari era Augustus, kaisar pertama, sebagai ilah yang baru di samping sang Kaisar. Dan Augustus, sehabis perang saudara, mengklaim telah menghadirkan PERDAMAIAN kepada dunia, sehingga Pax juga dipuja sebagai objek pujaan baru di seantero Roma. Lebih lagi, sama seperti kota-kota di dunia kuno memiliki nama rahasia untuk menyatakan identitas dan sifat yang sesungguhnya, beberapa pujangga Roma menyiratkan nama rahasia kota ROMA, apabila dieja terbalik menjadi AMOR, cinta.

Kita perlu memperhatikan dengan seksama trio di atas: keadilan, perdamaian dan kasih. Sekarang kembali ke Surat Roma. Perhatikan surat ini dalam terang ketiga kata yang dikenal di dunia Paulus. Surat Roma secara total berakar pada Yudaisme. Surat ini bertutur tentang bagaimana Allah Israel terbukti benar dalam tiap-tiap janji-Nya kepada Abraham. Yaitu bagaimana Sang Mesias Yahudi telah mengalami kematian demi umat-Nya, dan telah dibangkitkan untuk menegakkan era baru sesuai dengan pengharapan Yahudi. Berita ini sepenuhnya Yahudi. Memang, bahasa dan retorika yang dipakai bergaya Yunani. Tetapi bila kita menggali dengan serius, maka sub-berita yang Paulus angkat adalah konfrontasi dengan kultur Imperium Roma. Hal pokok surat ini adalah KEADILAN/kebenaran Allah, yang membuahkan PERDAMAIAN, semua berdasarkan KASIH Allah yang nyata pada kematian Anak Allah. Dan medium penyataan ini adalah euangelion, Injil Yesus, Tuhan dan Juruselamat dunia.

Di salah satu ujung surat yang menimbulkan polemik panjang, pasal 9-11, Paulus mengisahkan kisah perjanjian Allah terhadap Abraham, terus ke Mesias dan misi Israel bagi seluruh dunia. Dari satu sudut saja, kita melihat paralelisme terbalik dengan Roma, sementara dalam versi Roma, imperium adi daya inilah yang berperan untuk menghadirkan keadilan, perdamaian dan kasih. Pada akhir surat ini, pasal 12-16, Paulus menunjukkan bagaimana orang Kristen, dengan akal budi diubahkan oleh Injil, dimampukan untuk hidup dalam pola yang baru, yaitu menjadi umat manusia baru. Roma dengan pola moralis yang tinggi berharap, tetapi tidak dapat meraihnya. Di dalam Mesias Yesus, melalui kuasa Roh Allah, suatu pola hidup yang berbeda.
[3]

[1]Penulis menggali ide dari N. T. Wright, “Transforming the Culture,” (makalah dalam AFFIRM conference di Waikanae, Juli 1999).

[2]Salah satu penggunaan yang signifikan dari kata ini ditemukan dalam Inskripsi Kalender dari Priene (di Asia Kecil), yang pertama kali dipublikasikan pada tahun 1899. Kalender ini merupakan bagian dari pengantar bagi pemakaian sistem Kalender Julian di seluruh penjuru provinsi Asia, yang mengakibatkan hari pertama di Tahun Baru berimpitan dengan kelahiran Kaisar Augustus, 23 September, “And [the birthday] of the god (= Augustus, the dei filius) was for the world the beginning of the good tidings owing to him (ērxen de tō kosmō tōn di’ autou evangeli[ōn hē genethlios] tou theou)." (Fitzmyer, To Advance 158-159).

[3]Lih. proposal Richard Hays yang menyatakan bahwa kerangka etika Paulus dalam dilihat dari triad: komunitas, salib dan ciptaan baru (Hays, The Moral Vision 193-205).

Menggali Spiritualitas Roma (3)

Roma dan Ibadah Kristen[1]

Paulus mendeklarasikan bahwa Injil[2] yang ia sampaikan bertujuan untuk membawa orang taat dalam iman, untuk kepentingan nama-Nya, di antara bangsa-bangsa lain. Ketaatan ini merupakan cara untuk mengibarkan kembali keyakinan iman Israel yang merespons kebaikan Tuhan, “Dengarlah, hai Israel, TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu esa.”[3]

Inilah yang bagi Paulus sebagai kepenuhan Hukum taurat itu sendiri, yakni bahwa umat dari segala bangsa datang untuk menyembah dan mengasihi Allah yang tunggal, yang disembah oleh Abraham, Ishak dan Yakub. Roma 15.7-13 merupakan konklusi dari eksposisi pokok iman rasul, bahwa orang-orang non-Yahudi akan turut serta dengan Israel untuk menyembah Allah yang esa, sebab tunas Isai telah dibangkitkan dari antara orang mati.

Tetapi bagaimana kesimpulan tersebut diraih oleh Paulus? Dalam hal ini, kita harus mengingat selalu bahwa sebagai orang Yahudi, Paulus memiliki pemahaman yang khusus mengenai ibadah bangsanya. Ibadah korporat yang sejati mendukung dan mengarahkan kehidupan yang sejati. Ibadah dan kehidupan yang benar tersebut pasti bertolak belakang dengan spiritualitas kafir maupun penyembahan berhala. Masalah pokok yang ia yakini ada dalam hidup manusia adalah penyembahan yang keliru! Sebab dari sanalah muncul pelbagai kegagalan dalam penghidupan manusia.

Menyembah Allah dengan cara yang tidak seharusnya, itulah yang melahirkan dosa! Maka tak heran ketika menerangkan bagaimana Allah mengentaskan masalah ini, Paulus menyoroti secara terang benderang ketaatan Sang Mesias, Yesus, yang telah mengurbankan Diri-Nya (3.21-26). Itu pula yang dilakukan oleh bapa orang beriman, Abraham, yang meninggikan Allah sebagai pencipta, yang memberikan kehidupan kepada orang-orang mati, dan menciptakan segala sesuatu (4.18-25). Ibadah yang benar, yaitu menyembah Allah Sang Pencipta, merupakan dasar karya penciptaan. Dan siapa yang menyembah Allah dengan cara yang benar, ia akan menghasilkan buah kehidupan, mengutamakan rencana Allah. Hal ini sangat bertolak belakang dengan penyembahan berhala, yang membuat hidup manusia sia-sia dan tidak layak dihidupi.

Kemudian dalam Roma 5-8, rasul Paulus menceritakan kembali kisah pembebasan (eksodus), yang mirip dengan eksodus Israel dari tanah Mesir, hanya kini Eksodus yang baru di dalam Kristus. Umat Allah melewati air pembaptisan (pasal 6), yakni air yang membuat kaum budak menjadi merdeka; lalu sampailah mereka di kaki Gunung Sinai (pasal 7), tetapi menjumpai bahwa Hukum Taurat tak mampu memberikan mereka kehidupan seperti yang telah Allah janjikan. Akhirnya mereka menemukan bahwa Mesiaslah yang telah mengerjakan hal yang tak dapat dikerjakan oleh Taurat.

Di Roma 8, umat Allah sedang dalam perjalanannya menuju ke Tanah yang Terjanji. Destinasi itu bukan lagi teritorial geografis di Palestina, bukan pula hidup masa depan sebagai “arwah” di suatu negeri di atas awan, tetapi suatu tata ciptaan yang telah diperbarui sepenuhnya. Di sanalah mereka akan “berkuasa,” yang artinya turut memerintah bersama Sang Mesias. Melalui pembaruan serta kebangkitan ini, tata ciptaan akan dibebaskan dari belenggu kerusakan (8.18-25). Maka pada masa kini, tiap-tiap kali mereka berseru Abba, Bapa, mereka tahu bahwa Roh Kudus menaikkan keluhan-keluhan yang tak terucapkan, di dalam doa-doa mereka, yang masih hidup dalam rentang ciptaan lama dan ciptaan baru, antara kematian pada masa kini dan janji akan hidup (8.26-27). Dengan jalan itu mereka menjadi serupa dengan Sang Anak (8.29), yang merupakan yang sulung dari antara banyak saudara.

Tak perlu kaget bila di sinilah kita dapat merefleksikan panggilan manusia pada waktu diciptakan oleh Allah (Kejadian 1.26-28): bahwa tujuan utama umat manusia adalah untuk menjadi persona-persona dari gambar dan rupa Allah, yang mencerminkan gambar itu sampai ke seluruh dunia. Dan dalam Kristuslah, pertama-tama gambar dan rupa Allah itu menjadi penuh (Kol. 3.10). Bila kita kembali merenung, bukankah di sini kita berjumpa dengan jantung hati ibadah Kristen—bahwa kita dipanggil untuk berlimpah di dalam kasih serta ucapan syukur kepada Sang Pencipta dan Penebus, dan dipulihkan sebagai makhluk-makhluk yang sejati, sebagaimana yang Allah kehendaki; yang kemudian diutus untuk menjadi saluran-saluran Allah untuk membawa kesembuhan dan pemulihan bagi segenap ciptaan.[4]

Sampai di sini, Paulus nampaknya sangat gundah dengan kondisi bangsanya sendiri. Ia bergulat dengan masalah, bagaimana dengan kaum yang sedarah dengan dia? Rancangan agung dari Allah, yang jauh lebih dari dugaan manusia, digenapi sekarang di dalam Sang Mesias Yesus. Melalui-Nya, segala bangsa dan suku bangsa diundang masuk, tanpa memandang ras dan latar belakang. Inilah yang membuat orang Yahudi menjadi cemburu, dan dengan demikian Allah menyelamatkan “seluruh Israel.” Jadi, siapakah Israel yang sejati? Bukan mereka yang berdarah Yahudi, tetapi yang percaya kepada Mesias, dan ke dalam jumlah ini mereka yang berdarah Yahudi akan ditambahkan bila mereka tetap setia kepada Allah perjanjian (secara otomatis, mereka percaya akan kedatangan Sang Mesias). Karena itulah, Paulus kini mengagumi kuasa karya Allah dan dengan penuh suka cita ia menyorakkan pujiannya (pasal 11).

Hal ini mengantar kita kepada pernyataan sentral mengenai ibadah di Perjanjian Baru: Roma 12.1-2. Oleh kemurahan Allah, persembahkan tubuhmu, sebagai persembahan yang hidup, kudus dan memperkenankan hati Allah; inilah ibadahmu, yaitu ibadah yang di dalamnya seluruh keberadaanmu sebagai manusia menjadi pribadi yang sejati. Janganlah menjadi serupa dengan dunia, tetapi berubahlah oleh pembaruan budimu, sehingga kamu dapat membedakan dalam dirimu sendiri mana kehendak Allah, apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna.

Tubuh dan pikiran bekerja bersama-sama. Dengan anugerah dan rahmat sebagai landasan semuanya itu, kita dituntut untuk mengkaji lebih lanjut, apa artinya “memperkenankan” Allah tatkala kita mempersembahkan tubuh kita dalam ibadah kita. Di sini kita harus mengakui, bahwa seringkali kita memperlakukan Roma sebagai primbon doktriner yang berat sebelah, yaitu pada masalah pembenaran oleh iman. Kita agaknya telah mengabaikan bahwa ketika Paulus menerangkan mengenai ibadah dan ketaatan, ia sangat bersemangat untuk memberitakan bahwa apa yang kita lakukan di dalam Kristus, berdasarkan kemurahan hati Allah, itulah yang menyenangkan hati Allah. Kegagalan untuk memperkenankan hati Allah, jika demikian, adalah bila kita gagal untuk taat kepada Allah—baik menyenangkan diri sendiri, menyenangkan orang lain, atau bahkan lagi, mau menyenangkan pihak-pihak yang berkuasa di atas kita.Di bagian terakhir, pasal 12-15, Paulus menggali banyak sisi mengenai apa artinya menjadi umat Allah yang baru di dalam dunia yang kafir. Jangan sampai kita menurunkan kadar keberanian Paulus untuk menyatakan sikap orang Kristen kepada negara di pasal 13. Satu komunitas yang dibentuk dari sekelompok manusia yang mengatasi segala halangan kebudayaan dan ras, taat dan patuh kepada satu Tuhan, dan menantikan penghakiman-Nya yang akan datang. Secara samar-samar, di sini terdapat suatu agenda untuk membuat Sang Kaisar kebakaran jenggot! Dan di akhir semuanya ini, Mesias tampik untuk memerintah segala bangsa, dan dalam dia segala bangsa menggantungkan pengharapan mereka. Dengan demikian, umat yang baru ini bergandengan tangan untuk memuji Allah dan Sang Mesias.


[1]Penulis belajar banyak dari N. T. Wright, “Freedom and Framework, Spirit and Truth: Recovering Biblical Worship,” (makalah yang disampaikan di Calvin College, Grand Rapids, Michigan, Januari 2002).

[2]Paulus menggunakan kata benda euangelion sebanyak 56 kali dalam surat-suratnya, muncul 4 kali dalam Surat-surat Pastoral (1 dan 2 Tim., Titus); kata kerja euangelizesthai muncul 21 kali (dan tidak pernah muncul dalam Surat Pastoral. Sarjana biblika Katolik, Joseph A. Fitzmyer mengatakan bahwa arti euangelion adalah “the message about God’s new mode of salvific activity on behalf of human being made present in Jesus Christ, his Son” (J. A. Fitzmyer, To Advance the Gospel: New Testament Studies [The Biblical Resource Series; Grand Rapids: Eerdmans: Livonia: Dove, 1998) 149.

[3]Inilah yang disebut Shema, yang ditemukan dalam Ulangan 6.4-9; 11.13-21; Bilangan 15.37-41.
[4]Lih. juga Richard B. Hays, The Moral Vision of the New Testament: A Contemporary Introduction to New Testament Ethics (San Fransisco: HarperSanFransisco, 1996) 198.

Thursday, August 16, 2007

Menggali Spiritualitas Roma (2)


KILAS EKSPOSISI

Bagaimana Orang-orang Kristen Mengenal Allah (Roma 1-8)

Argumentasi teologis yang panjang dimulai dengan kutipan dari perkataan Nabi Habakuk, “Orang benar akan hidup oleh iman.” Namun kedua belah pihak, baik Yahudi dan non-Yahudi, telah berada di bawah kekuasaan dosa. Di luar Kristus, tidak ada jalan keluar dari penghukuman dosa (1.18-3.20). Dalam pada itu, masih ada kemungkinan untuk menerima “kebenaran Allah,” yakni pembebasan dari kutuk dosa dan kuasa maut, serta kuasa untuk berbagian dalam kebenaran Allah. Hal ini hanya dapat diperoleh melalui iman di dalam Kristus, dan bukan oleh perbuatan baik (3.21-4.25).

Sebagaimana di dalam Galatia, Paulus memakai Abraham sebagai gambaran untuk memperjelas argumentasinya (4.1-25). Ia melajutkan pemikirannya mengenai akibat dari hubungan yang baru dengan Allah: kemerdekaan dari murka Allah, kemerdekaan dari perbudakan dosa, kemerdekaan dari Hukum Taurat, kemerdekaan dari kematian melalui karya Roh Allah di dalam Kristus (5.1-8.39). Sehingga Paulus menyatakan imannya, “Tetapi dalam semuanya ini, kita lebih daripada orang-orang yang menang, oleh Dia yang telah mengasihi kita” (8.37).

Tema yang seperti ini sudah muncul baik dalam Galatia maupun Korintus, hanya Paulus memberi sentuhan akhir yang apik. Sentuhan ini dapat kita simpulkan merupakan buah dari pengalaman Paulus ketika disalahpahami dan disalahtafsirkan oleh gereja-gereja. Asam dan garam kehidupan selalu membentuk tindakan serta perilaku seseorang pada masa kini. Pengalaman pahit dan getir dalam kehidupan real sesungguhnya menjadi bagian yang integral untuk memahami mengapa kita menjadi begini atau begitu.

Paulus harus berhadapan dengan orang-orang yang tidak mengindahkan tata hidup baru (antinomianisme). Mereka pikir hidup di dalam Kristus berarti suatu kehidupan yang lepas dari segala macam ikatan (6.1-8-39). Paulus dengan tegas menerangkan bahwa meskipun orang Kristen telah dibebaskan dari aturan-aturan hukum eksternal demi mendapatkan perkenanan Allah, mereka kini sebenarnya memasuki sebuah fase hidup berbakti yang baru. Bukan lagi “hamba-hamba dosa” (6.17), kini mereka “hamba-hamba Allah” (6.22). Setiap orang Kristen telah dimerdekakan, bukan dengan maksud agar mereka mengikuti kehendak sendiri, tetapi supaya melalui karya Roh Kudus di dalam hati mereka, mereka dapat menjadi “serupa dengan gambaran Anak-Nya” (8.29).

Israel dan Keselamatan (Roma 9-11)

Sebagai orang Yahudi, Paulus sangat memperhatikan “nasib” orang-orang sebangsanya. Rasul menyoroti fakta bahwa orang Yahudi menolak keselamatan yang ia tengah jabarkan. Nampaknya Allah menolak umatnya, namun sesungguhnya semua ini adalah kesalahan dari Israel sendiri. Meskipun Allah berkenan memilih umat-Nya, namun Allah juga memberikan tanggung jawab kepada manusia. Pemilihan dan tanggung jawab, adalah dua hal yang tidak bertentangan. Pemilihan anugeran dan tanggung jawab merupakan konsep yang penting dalam Perjanjian Lama.

Israel nyata-nyata telah memilih jalan “perbuatan-perbuatan” hukum Taurat, dan dengan itu mereka merasa dekat dengan Allah. Mereka menolak jalan iman di dalam Kristus. Tetapi Rasul Paulus tetap berkeyakinan bahwa Allah tidak akan menolak Israel untuk seterusnya dan selamanya. Meski sejumlah besar Israel menolak, Paulus meyakini akan adanya kaum “sisa” (remnant) yang setia kepada Allah (11.1-10). Penolakan Allah pada masa kini merupakan bagian dari mega rancangan Allah akan datangnya puncak keselamatan bangsa-bangsa dari segala penjuru dunia dan dari segala macam ras (11.11-36).

Bagaimana Orang Kristen Berperilaku (Roma 12-16)

Paulus ganti mengemukakan penerapan praktis dari apa yang ia telah sampaikan secara panjang lebar. Bagaimanakah kebenaran Allah dapat diaplikasikan secara praktis dalam kehidupan sehari-hari (12.1-15.13). Paulus memulai penjabaran mengenai hubungan orang Kristen dengan gereja (12.1-8), kepada orang lain (12.9-21) dan kepada negara (13.1-10). Ia merangkumkan tugas seorang Kristen sebagai “kasih adalah kegenapan hukum Taurat” (13.10).

Kembali rasul menekankan, bahwa standar kehidupan moralitas orang percaya bukan dibangun di atas sederetan peraturan yang palsu, serta pranata-pranata dari luar yang dipaksakan, tetapi oleh kuasa Roh Kudus yang berkarya di dalam hidup orang beriman. Hasil akhir dari karya Roh ini malahan seperti yang dituntutkan oleh hukum Taurat. Paulus sesungguhnya mengetengahkan pusat hukum Taurat: kasih! Untuk menegaskannya, Paulus mengacu kepada dua hal: makan sayur ketimbang daging (14.1-15.6). Ini merupakan kasus yang serupa dengan masalah daging yang diambil dari kuil-kuil agama kafir. Lalu Paulus juga mengacu kepada bagaimana sikap yang secara umum harus ditunjukkan oleh orang Kristen, baik yang berasal dari latar belakang Yahudi maupun Yunani (15.7-13).

Menggali Spiritualitas Roma (1)




PENGANTAR

Target terakhir perjalanan misi Paulus sebenarnya adalah kota raja Roma. Ternyata, kota ini telah diinjili. Gereja telah berkembang di sana. Sebagian besar anggotanya adalah orang-orang Yahudi. Teradapat indikasi bahwa sejumlah orang mulai dipengaruhi untuk tidak percaya terhadap Injil yang Paulus beritakan. Dalam pada itu, Paulus melihat peluang besar dalam pelayanannya.

Sebagai sentra imperium adi kuasa, kota ini berpotensi untuk menjadi pusat penginjilan di seantero Roma. Oleh sebab itu, Paulus merasa perlu untuk kembali menyatakan secara terbuka Injil yang dibawanya, sehingga tak lagi disalahtafsirkan, baik oleh mereka yang bersimpati maupun para lawan. Sebelum mengunjungi Roma, ia menulis sepucuk surat yang tak lain merupakan risalah dari pokok-pokok keyakinannya—Surat Roma.[1]


ROMA SEBAGAI RISALAH TEOLOGIS?


Jika Anda melihat Roma, kesan apa yang Anda miliki? Sebagian orang menyebut Roma sebagai risalah yang menyeluruh dan mendalam dari teologi Paulus. Namun, pendapat ini dikendalikan oleh asumsi yang keliru. Modus (mood) Roma jauh lebih reflektif bila dibandingkan Galatia ataupun kedua surat Korintus. Galatia bernada sangat apologetis. Surat-surat Korintus berbicara secara mendalam mengenai Kristologi dan eskatologi. Demikian pun mengenai eklesiologi, penjabarannya sangat terbatas bila dibanding dalam 1 Korintus.

Bila hendak dikatakan lebih lanjut, Roma merupakan elaborasi dari beberapa tema utama dalam Galatia dan 1 Korintus. Lebih dari seabad yang lalu, J. B. Lightfoot menyatakan kaitan antara Surat Roma dan Galatia merupakan sebuah maket dari sebuah patung yang belum jadi. Di Galatia, Paulus berhadapan dengan Yudaisme ekstrem yang ingin menarik jemaat kepada Yudaisme eksklusif. Di samping itu, karena surat ini ditulis tidak jauh dari masa penulisan Surat Korintus, maka pengalaman pribadi yang tergores dalam Korintus turut membekas pula dalam penulisan Roma. John Drane menyimpulkan bahwa Roma lebih baik disebut sebagai suatu argumentasi yang senada dengan Galatia, namun dilihat dalam kacamata peristiwa Korintus.

Dalam Roma, Paulus bukan saja bermaksud menyiapkan jalan sebelum mengunjungi kota imperial ini, tetapi juga memurnikan beberapa aspek pengajaran yang begitu rentan untuk disalahtafsirkan. Hal seperti ini sangatlah krusial, sebab bila ia sampai ke kota megapolitan ini, tiada lagi hambatan-hambatan yang berarti dalam pelayanannya.



[1] John Drane, Introducing the New Testament (Oxford: Lion, 1986) 326.

Tuesday, August 14, 2007

Persiapan 3rd HPC Conference







Tanggal 13-14 Agustus, saya mengikuti rapat persiapan Third Historic Peace Churches Conference, atau Konferensi Gereja-gereja Perdamaian yang Ketiga. Dua konferensi serupa pernah diadakan di Eropa dan Afrika. Pada awal bulan Desember ini akan dilangsungkan di Indonesia. Konferensi seperti ini disarankan oleh World Council of Churches, karena ternyata WCC belum memiliki konsep mengenai makna perdamaian. Dalam pertemuan semacam ini, dibahas bukan saja kerangka konseptual, tetapi juga tindakan-tindakan praktis dalam menangani masalah-masalah lokal di masing-masing negara yang berhubungan dengan perdamaian dan keadilan.

Yang disebut sebagai gereja-gereja Perdamaian adalah Mennonite, Brethren dan Friends (atau Quakers). Ternyata, ketiga denominasi ini meski dari akar yang sama, tetapi ternyata telah berpuluh-puluh tahun tidak duduk bersama untuk memecahkan satu masalah ataupun membuat suatu proyek bersama. Meski kita kenal banyak teolog dari ketiga denominasi, seperti: John Howard Yoder (alm.) dari Mennonite, Howard John Loewen, sekarang Dekan Jurusan Teologi di Fuller Seminary dari Brethren, dan penulis spiritual Richard Foster dari Friends (Quakers).

Dalam konferensi ketiga yang akan diadakan pada awal bulan Desember 2007 nanti, akan diangkat tema Peace in Our Land, "Damai di Tanah Kami," dengan subtema mengenai: ketidakadilan, pluralisme religius dan kemiskinan. Inilah masalah riil yang kita hadapi dalam konteks Asia. Konferensi akan diadakan di Surakarta. Kota ini dipilih bukan semata karena kota wisata dengan objeknya yang beragam, tetapi di sana juga pernah dan tengah dipraktikkan hidup rukun antarumat beragama untuk mengentaskan masalah-masalah sosial.

Para pembicara yang dipilih demikian beragam, bukan saja berasal dari para teoritikus, tetapi juga pada praktisi perdamaian. Salah satu yang mungkin kita kenal adalah Glenn Stassen, yang terkenal dengan pemikirannya mengenai Just Peacemaking, atau "Upaya Perdamaian yang Adil," yang meretas ketegangan antara teori "perang adil" dan "pasifis." Dia sendiri berasal dari latar belakang Baptis Amerika, tetapi ia sangat berjiwa Anabaptis.

Seperti apa jadinya konferensi ini? Kita tunggu saja . . .

Third HPC Conference (Asia) SC & OC


Para panitia: steering committee (SC) dan organising committee (OC).
Berdiri ki-ka: Agus Setianto, Agoes Setiawan, Matthew Krisetya, Uut, Susi, Jantie Diredja, Gerry Quiton (Friends SC), Paulus Widjaja (Mennonite SC), Darryl Sankey (Brethren SC), Steve Parker (AFSC), Nahum Sudarsono,
Duduk ki-ka: Lilik, Yoshihiro Inamire (Mennonite SC), Nindyo, Paulus Hartono, Stefanus Haryono, Timotius Adhi Dharma, Daniel Listijabudi, Antonius.

Saturday, August 4, 2007

TAKE MY TIME

TAKE MY TIME
Keluaran 20.8-11


Q. Apa yang jadi kewajiban kita dari Hukum Keempat?
A. Pengudusan satu waktu bagi Allah, satu hari Sabat yang kudus bagi diri-Nya.

Pada era Revolusi Prancis (1789-1799), penguasa coba rekayasa baru. Ditambah satu hari: 7 hari kerja, 1 hari libur. Wah, orang jadi kepayahan. Napoleon Bonaparte akhirnya ngembaliin hari jadi kayak semula. Ketika pecah Revolusi Rusia, Lenin juga mengubah waktu kerja menjadi 7 hari, tanpa istirahat. Rakyat pun nggak sanggup. Akhirnya Joseph Stalin juga ngembaliin waktu jadi biasa.

Manusia hidup sudah diatur ada ritmenya. Ada kerja. Ada istirahat. Ada masa berjerih. Ada waktu relaks. Buat umat Allah, ternyata istirahat lagi-lagi bukan ditujukan buat nyamannya diri. Orang masa kini salah kaprah, “Enam hari sudah capek kerja, ngapain masih disuruh ke gereja?” Toh ujung-ujungnya biar kepuasan diri dipenuhin, ya nggak?

Loh, padahal Allah ‘dah beri 6 hari buat diri sendiri. 1 hari doank buat Allah, khan? Nah, ketemu lagi egoisme manusia. Prenz, Alkitab bilang, hari Sabat itu buat Tuhan. Allah sendiri yang bikin kudus hari Sabat itu (Kej. 2.3). Kalo Tuhan begitu, layakkah kita ngerayain Sabat Tuhan dengan keluhan? U guyz, siapa yang masih ogah-ogahan bangun n’ kebaktian Minggu?

DENGAN HATI TULUS

DENGAN HATI TULUS
Keluaran 20.7


Q. Apa yang dilarang oleh Hukum Ketiga?
A. Pencemaran n’ penyalahgunaan cara-cara yang Allah pake buat ngenalin diri-Nya.

Yang Allah mau dari kita tuh sederhana saja. Kesetiaan. Kalo Allah minta agar kita tetap setia, ada tiga hal yang harus kita hindari:

(1) Tidak hormat. Berpikir n’ berbicara untuk ngelecehin Tuhan. Ayub orang saleh. Ia selalu jaga supaya hati anak-anaknya nggak ‘ngutuki Tuhan (Ay. 1.5). Waktu ia sengsara, istrinya sampe nyuruh Ayub ‘ngutuk Allah (2.9), ia tetep nggak mau. Kadang, demi kepentingan pribadi, kita berlaku nggak lagi hormat sama Allah.

(2) Bahasa kotor. “Ya Tuhan!” atawa “Yesus Kristus!” kerap nyampe di telinga kamu, diucapin oleh teman-teman kamu. Kata-kata yang sia-sia. Nggak ada faedahnya. Kan kayak gitu bukan buat ibadah. Bukan untuk doa. Memang bukan dosa terburuk. Tapi kalo kata itu nggak ada gunanya, ngapain diucapin, khan?

(3) Melanggar janji. Kalo kita berjanji atawa bersumpah demi nama Tuhan, jangan sampe nggak bisa kepegang kata-kata kita (lih. Im. 19.12). Janji demi nama Tuhan itu kudus n’ mesti ditepati. Allah yang akan pandang bener orang yang nggak setia sama janji-Nya. So, berlaku setia pada Allah, n’ hati-hati pake nama Allah.

DEMI KEBENARAN

DEMI KEBENARAN
Ulangan 5.11; 6.12, 13


Q. Apa orang Kristen boleh pakai nama Allah demi kebenaran?
A. Adalah benar memakai nama Allah untuk alasan yang tepat n’ cara yang benar, serta bukan sembarangan

“Sumpah mati!” atawa “Disamber petir kalo aku bohong.” Mungkin kamu pernah dengar kalimat kayak itu. Ada orang yang enteng-enteng saja bersumpah- serapah.

Di sisi lain, ada orang yang secara tulus menolak bersumpah untuk alasan apa pun juga. Orang Kristen pokoknya nggak boleh bersumpah. Alasannya, ucapan Tuhan Yesus di Matius 5.34-37.

Gimana sih yang betul? Tuhan Yesus emang lagi ngeritik orang yang gampang main sumpah-sumpahan. Tapi mereka nggak berani pake nama Yahweh, nama TUHAN. Orang mau bersumpah, tapi nggak mau nanggung risikonya. Bersumpah demi nama Tuhan itu berat. Tapi Ulangan 6.13 bilang, “demi nama-Nya haruslah engkau bersumpah.”

Konkretnya, di pengadilan misalnya. Waktu kita bersumpah, n’ ngebela temen kita yang nggak salah, kita lagi nyertain persetujuan Allah. Kata-kata kita tuh benar. Nggak dibikin-bikin. Kita bertanggung jawab sama Allah. U know, kalo kita beri kesaksian yang betul, sebenernya kita juga sedang jadi saksinya Allah. Kita nggak berani bohong karena kita bawa nama Allah kita.

MY TRIBUTE

MY TRIBUTE
Keluaran 20.7


Q. Apa yang jadi kewajiban kita dari Hukum Ketiga?
A. Memakai nama, gelar, atribut, ketetapan, Firman n’ karya Allah dengan kudus dan penuh hormat.

“To God be the glory (3x) for the things He hath done!” Itu lirik lagu yang aku sangat suka. Judulnya My Tribute. Penghormatanku. Hanya bagi Allah saja kemuliaan, untuk segala hal yang Ia kerjakan.

Nama Allah nggak cuma gelar kosong. YHWH. Elohim. Adonai. El Shaddai. Nama Allah menyatakan kekuasaan n’ kemuliaan-Nya. Nama Allah berarti keagungan dalam penciptaan n’ pemeliharaan-Nya.

Kalo sama orang yang lebih tua aja, kita di belahan dunia Timur nggak boleh sembarangan manggil nama. Harus pake Pak atawa Bu, Mbak or Mas, Koh atawa Cie, etc. Apalagi buat Allah. Dia sumber kehidupan. Big Boss-nya bumi, langit n’ segala yang ada.

Sobat, di sini kita diajak untuk ngelihat ke dalam hati kita. Motivasi kita panggil Dia Allah kita tuh apa? Apa betul kita hormat pada-Nya? Allah melihat hatimu. Kalo pun kamu mau nutup-nutupin motivasi n’ hasratmu, Allah nggak mungkin bisa ditipu. Bahkan, hanya oleh pertolongan Allah, kamu dapat kenalin isi hatimu. Agama yang sejati keluar dari dalam kemurnian hati umat Allah.

O Lord, the majesty and glory of Your name! Berkumandang di alam raya nama-Mu, ya Tuhan!!!

PEDE AJA, LAGI!!!

PEDE AJA, LAGI!!!
Ulangan 5.8-10


Q. Apa yang dilarang oleh Hukum Kedua?
A. Menyembah-Nya dengan apa pun yang tidak ditetapkan oleh Allah dalam firman-Nya.

Virus yang ngejangkit di gereja modern tuh “minder.” Ingat bahan SaTe yang kemaren? Pada dasarnya, ini lho Metaners, yang jadi biang masalahnya.

Orang jarang belajar Alkitab, buat nyari prinsip ibadah yang betul. Terus nyobain “jajan” di gereja lain. N’ pengen ngambil gitu aja, mau diterapin di gereja sendiri. Yang kelihatan, gereja lain lebih meriah. Lebih semarak. Lebih banyak pernak-pernik n’ ornamen di dindingnya. Sedang di gereja kita . . . sepiiii . . .

Tunggu dulu, Prenz. Sebelum nyoba-nyoba ngubah tata ibadah, ayo belajar prinsip Alkitab. Ingat prinsip ibadah reformed: hanya yang ditetapin oleh Allah, hanya yang diperintahkan saja yang boleh dilakukan. Jangan punya mental cepet minder sama yang lain, OK?

Allah nggak perkenankan ruang ibadah terlampau banyak pernak-pernik. Ornamen-ornamen yang emang bisa bikin kita nyaman n’ betah, tapi sebenarnya kita sedang nyembah diri sendiri. Ya donk. Kita ngerasa puas karena tontonan yang nyenengin hati! Lho, padahal yang harus dipuasin ya Tuhan, to?!

Jadi, siapa yang disembah? Siapa yang sedang disenangin? Jawablah menurut firman Allah!

WORSHIP

WORSHIP
Keluaran 20.4-6


Q. Apa yang jadi kewajiban kita dari Hukum Kedua?
A. Menerima, menaati, n’ memelihara kemurnian serta keutuhan ibadah.

“Ibadah koq ngebosenin! Lagunya kuno. Liturginya kaku. Wah, kalo seperti gereja yang di sono, aku pasti semangat sekali melayani.” Malah ada orang yang bilang, nggak mau jadi pengurus or aktivis kalo musik gereja nggak berubah!

U guyz, ibadah yang betul menurut prinsip hukum kedua adalah menyembah Allah seperti yang Ia sendiri perintahin ke kita. Titik. Ini prinsip Alkitab. Ini pula yang kita anut sebagai Reformed youth waktu ‘nata ibadah kita. Ibadah bukan temuan manusia. Kita ‘nata ibadah menurut apa yang diperintahin oleh Allah saja. That’s enough!

Orang lain mungkin nggak begitu. Prinsip yang dipakai oleh mereka adalah: apa yang diperintahkan plus apa yang nggak dilarang. Ibadah reformed nggak begitu. Hanya apa yang diperintahkan, itulah yang kita kerjakan.

Maka, main musik pun nggak boleh sembarangan. Ukurannya bukan selera. Bukan kesenangan. Bukan permintaan pendengar. Remember music crews: hanya ada satu Pendengar musik kalian, yaitu TUHAN. So, u guyz boleh dapetin applause meriah dari manusia. Tapi kalo Tuhan nggak berkenan, sia-sia. Help us, God!

STOP!!!

STOP!!!
Ulangan 5.1-7


Q. Apa yang dilarang oleh perintah pertama?
A. Menyangkal Allah, atawa nggak nyembah n’ muliakan Dia sebagai Allah; n’ berikan hak Allah itu pada yang lain.

Suatu kali ada kawan remaja yang ultah. Nah, temen-temennya ‘dah siap-siap ngerjain. Pesanan es jeruknya nggak dikasih gula, tapi garam. Semua dah pada kompakan, nanti ada yang ikut nyobain es jeruk itu n’ bilang “manis!” Bisa ngebayangin apa yang terjadi?

Es jeruk, tentu nggak cocok kalo dicampurin garam. Yang cocok kan gula. Sama halnya dengan agama. Era kita nih, sadar ‘taw nggak, lagi ngarah ke “sinkretisme,” pencampuradukan agama n’ kepercayaan.

Kekristenan tambah aneh. Gaya n’ modelnya baru, makin mutakhir, makin canggih. Dasarnya dari mana? Dari sesuatu yang bukan Kristen. Bisa saja klenik n’ magic gaya dunia Timur. Bisa yang lain lagi, “agama” bisnis n’ perusahaan yang ngutamain teknik marketing. Pokoknya gereja bisa narik sebanyak-banyaknya orang.

Makin susah ngebedain mana Allah yang sejati n’ mana ilah palsu. Karena semua dianggap satu n’ sama. Alkitab jelas beritain, “Allah itu esa, dan esa pula Dia yang menjadi pengantara antara Allah dan manusia” (1Tim. 2.5).

U guyz, jangan sampe nggak punya lagi kepekaan buat ngebedain mana yang benar n’ mana yang salah. Allah nggak mau hak itu diberikan kepada yang lain.

YANG PERTAMA

YANG PERTAMA
Keluaran 20.2-3


Q. Apa yang jadi kewajiban kita dari Hukum Pertama?
A. Mengenal Allah sebagai satu-satunya yang benar, n’ menyembah serta memuliakan Dia.



Segala sesuatu jadi relatif di zaman kita ini! Menurut kata orang, nggak ada yang mutlak. Nggak ada yang boleh ngeklaim benar sendiri. Agama-agama pada dasarnya nyembah Allah yang sama. Caranya aja yang berbeda. So, jalan keselamatan juga ada di yang lain.

Kitab Suci menolak paham ini. Hanya ada satu Allah, yaitu Bapa. Dan satu Tuhan, yaitu Yesus Kristus (1Kor. 8.5-6). Memang ada banyak ilah, tapi ada satu Allah yang hidup n’ benar.

Allah tentu nggak mau diduakan. Coba kamu yang dah punya yayang (kekasih, getuuu . . .). Pasti kan, nggak bakal rela kalo hati kekasihmu mendua. Siapa pun nggak senang.

Apalagi Allah. Ia tuh Pencemburu. Artinya, nggak boleh ada allah lain yang disembah oleh umat-Nya, kecuali Dia saja. Dia yang nyiptain langit n’ bumi. Dia yang ngebebasin umat-Nya dari belenggu perbudakan. Dia yang selamatkan kita dari kutuk hukum Taurat.

Ayo Prenz, be MILITANT 4 God. Hati yang paling murni kita persembahkan pada Allah saja. Jangan mudah digoyahkan oleh badai maupun taufan kehidupan. Juga oleh ajaran-ajaran yang nggak punya dasar.

DASA TITAH

DASA TITAH
Matius 22.37-40


Q. Apa inti Dasa Titah (10 Hukum)?
A. Mengasihi Tuhan Allah dengan segenap hati, jiwa, akal budi n’ kekuatan; serta mengasihi sesama seperti diri sendisi.

“Kamu egois.” Bayangin kalo ada orang bilang gitu ke kamu. Pasti nggak senang kan kamu? Egois itu semuanya berpusat ke ego, si aku. Cinta diri sendiri. Nyari kesenangan diri. Senang-senang buat kepuasannya si aku. Udah dari sononya kita ini emang cinta diri sendiri.

God’s child nggak boleh begitu. Dasa Titah kalo diringkaskan adalah Mandat Kasih dari Tuhan Yesus: cinta Allah, cinta sesama. Kalo seseorang ngakunya cinta Tuhan, prioritas hidupnya yang cuman buat Tuhan. God is first thing first! Kasih pada Allah akan nuntun kita taat Dia.

Kalo kita mengasihi Allah lebih dari apa pun juga, kita akan mudah mengasihi orang lain. Allah sudah lebih dulu beri kasih ke kita. Nggak akan pernah Sang Boss nyesel akan apa yang udah diperbuat-Nya. Hidup kita akan sama seperti Putra Tunggal-Nya. Yang penuh kasih. Lemah lembut. Nggak mudah marah. Suka mengampuni.

Ada remaja yang bilang, “Aku begini, ya udah. Mau terima aku atau nggak, pokoknya aku begini.” Ini sifat egois banget, Prenz. Kita semua kan masih dibentuk oleh Tuhan. Masak sih koq kita sombong, n’ ngakunya udah nggak bisa diubah lagi sifat, perangai n’ karakter kita?

Thursday, August 2, 2007

KASIH SETIA ALLAH KEPADA ANAKNYA

KASIH SETIA ALLAH KEPADA ANAKNYA

Kita mengenal pepatah, “Kasih anak sepanjang galah, kasih ibu sepanjang jalan.” Pepatah itu menyiratkan betapa berbedanya antara kasih ibu dan anak. Marilah kita meluaskan kata “ibu” sebagai orangtua. Nah, dalam adat sebagian orang, diyakini bahwa memiliki anak laki-laki adalah suatu keberuntungan, sebab laki-laki kelak akan menambah jumlah keluarga. Apabila tiba waktunya buat si anak menikah, maka keluarga itu pun ketambahan menantu. Sebaliknya adat lain justru suka bila anak mereka adalah perempuan, karena relatif tetap mengingat orangtua. Anak laki-laki berkebalikan, kata sebagian orangtua, mereka cenderung dipengaruhi oleh istri. Bila istri tidak gemati dengan mertua, anak itu pun akan terbujuk.

Haruskah orang Kristen membangun keluarga di atas dasar demikian? Sama dengan kata orang, sama dengan istiadat yang lumrah kita jumpai? Orang Kristen tentu memiliki nilai dan standar yang berbeda. Jauh di atas semua pranata dan kebiasaan orang sekitar. Mengapa? Sebab dasar itu diletakkan bukan oleh kekuatan manusia, tetapi karena ketetapan Allah semata-mata. Membangun keluarga adalah panggilan Allah agar manusia memenuhi bumi dengan gambar Allah (Kej. 1.27-28).

Bukankah itu terlalu abstrak? Bagaimana konkretnya? Lihat Allah! Dia yang rahmani dan rahimi! Dia saja yang mempunyai kasih setia tiada bandingnya. Kita boleh percaya bahwa Ia takkan mungkin plin-plan dalam mengambil keputusan, atau salah dalam menentukan tindakan. Allah saja yang seharusnya menjadi tolok ukur kasih kita, tak terkecuali pembangunan keluarga yang sehat dan harmonis. Bagaimana caranya?

Pertama, Allah memiliki komitmen yang tinggi. Ia setia dengan perjanjian-Nya. Ia tidak pernah ingkar janji. Allah yang memulai, Dia pula yang menuntaskan pekerjaan-Nya. Aneh, pada akhir-akhir ini terlampau banyak orang mengumbar janji di depan altar gereja, tetapi beberapa tahun kemudian juga diketemukan bahwa keluarganya tengah di ambang kehancuran. Suami-istri sudah pisah ranjang, meskipun masih dalam satu rumah. Yang ada adalah perang dingin, perang urat syaraf. Suami tak lagi setia kepada istri, demikian pula sebaliknya.

Tetapi pandanglah Allah! Dia setia dengan perjanjian-Nya. Allah memang menjatuhkan penghukuman terhadap pelanggaran dan dosa. Tapi Allah yang sama pun bertindak pro-aktif. Ia mau memulihkan keadaan umat-Nya. Wahai kita yang merindukan pemulihan, tak mungkin ada pemulihan bila kita tidak memiliki sikap pro-aktif. Pro-aktif untuk meminta maaf. Pro-aktif untuk mengampuni. Pro-aktif untuk berbuat baik. Pro-aktif untuk tidak membalas kejahatan dengan kejahatan.

Kedua, Allah berbagi kesukaan dan damai sejahtera. Allah yang rahmani itu mencurahkan rahmat-Nya. Allah yang rahimi itu meredam segala derita dan kesakitan itu sendiri. Manusia terbalik, kesakitan dibagi-bagi ke orang lain, sementara kesukaan disimpan untuk diri sendiri. Pandanglah Yesus, ketika Ia melihat sejumlah besar orang yang mendengarkan Dia berkhotbah, hatinya “tergerak oleh belas kasihan.” Sedangkan ketika menghadapi kesulitan dan tantangan kehidupan, Kristus rela merasakan seorang diri.

Jawablah pertanyaan ini dengan jujur. Sepanjang usia kita, kira-kira orang lain lebih bersuka cita ketika kita ada di dekat mereka, atau ketika kita sedang jauh dari mereka? Bila yang pertama, berarti kehadiran kita membuat kedamaian dan membawa kegembiraan buat mereka. Sebaliknya bila pilihannya ternyata yang kedua, kita perlu waspada, itu berarti orang tidak suka dengan kehadiran kita. Maka tugas kita sekarang adalah, bagilah suka cita itu kepada sebanyak mungkin orang! Jangan ditahan. Jangan diirit-irit. Jangan dimanipulasikan. Tampilkan apa adanya.

PR ini harus kita jalani tepat ketika kita melangkahkan kaki keluar dari gedung gereja dan kembali ke keluarga kita masing-masing. Karena itu, melangkahlah keluar gedung gereja ini dengan sebuah doa, “Tuhan, tolong aku untuk menjadi setia, sama seperti Allah setia kepada umat-Mu. Tolong aku untuk membangun keluargaku. Aku tidak mampu, tetapi kekuatan-Mu itu saja yang memampukan aku. Amin.”

TERPUJILAH ALLAH!