Saturday, May 31, 2008

Yang Paling Sukar Dilayani


Yang Paling Sukar Dilayani
Gereja kami baru saja menutup perayaan bulan Misi. Berbicara mengenai misi, mata kita akan selalu diajak memandang orang-orang yang begitu banyaknya, yang belum tersentuh oleh pelayanan Injil Kristus. Suku-suku di pedalaman Indonesia, daerah-daerah yang minim dan kering, serta orang yang belum percaya di berbagai belahan dunia.

Sebagai seorang gembala jemaat, saya merenung! Sebenarnya siapa yang paling sukar untuk dilayani? Jarak yang jauh bisa ditempuh. Samudra raya dapat diseberangi. Zona Barat-Timur, Utara-Selatan, dapat disambung hanya dengan sekali klik di tuts keyboard komputer, atau tekan tombol nomor pada pesawat telepon. Namun toh ternyata bukan orang yang jauh dari kita yang sukar untuk dilayani, tetapi orang-orang yang dekat. Maka saya mencoba mengangkat beberapa pokok pikiran permenungan di bawah ini:

Pertama, seorang hamba Tuhan lebih cocok melayani di tempat lain, daripada di rumah sendiri, di kandang tempat asalnya. Pembenaran untuk menggarisbawahi hal ini adalah ucapan Tuhan Yesus sendiri, "seorang nabi ditolak di tempat asalnya." Sekalipun konteks dulu dan sekarang berbeda, tetapi tak jarang kita mendengarkan alasan ini. Memang benar, masing-masing orang mempunyai beban dan pergumulan serta panggilan sendiri-sendiri. Hal ini harus dihargai. Bilamana beban seorang hamba Tuhan adalah bidang pemuridan, sedangkan gerejanya menekankan misi secara kuat, tentu ruang gerak bagi sang pelayan kurang atau tidak memadai.

Namun hal tersebut juga dapat berasal dari diri sang pelayan. Ia mungkin mempunyai masa lalu yang ia mau kubur, sebab ada orang sudah tahu masa lalunya. Atau, ia merasa tidak nyaman bila harus berjumpa dengan orang-orang yang dahulu menjadi majelis jemaat di gerejanya. Bahkan bisa jadi ia merasa minder dengan orang-orang yang ada di gerejanya, apalagi bila gereja tersebut dikenal sebagai gereja yang mapan, dan biasanya gereja mapan telah mempunyai pranata-pranata tersendiri, lisan atau tulisan, yang susah diganggu gugat. Maka untuk melayani mereka, kata orang Jawa, sudah kalah awu ("kalah abu," alias jatuh mental). Itulah sebabnya, melayani di gereja sendiri tidak mudah.

Kedua, menjadi gembala jemaat itu sukar. Harus perfect! Memang, semua pendeta tetaplah manusia. Ya sama dengan lagu Serieus Band, "Pendeta juga manusia!" Namun tuntutan untuk diri dan keluarga harus diakui berbeda. Mungkin inilah yang membawa tekanan tersendiri bagi pendeta dan keluarganya. Sehingga, seorang lulusan sekolah teologi lebih enggan untuk tinggal melayani di rumah sendiri ketimbang di tempat lain. Sebab bila ada orang yang telah tahu masa lalunya, dan ternyata tidak cukup baik, maka ia khawatir bila tuntutan itu dikenakan kepadanya juga.

Contoh yang dapat saya berikan secara sederhana adalah sebagai berikut. Pendeta itu: berkata-kata ya bisa disalahkan, tidak berkata-kata ya bisa disalahkan, apalagi bila berkata-kata salah! Kadang, menjadi pendeta selalu ketiban apes. Kena getahnya melulu. Apalagi tak dapat dipungkiri, konteks bergereja itu multikompleks. Tambah jemaat, berarti tambah masalah. Banyak jemaat, banyak problematika. Jemaat makin tua, makin susah dituntut dinamis dan melakukan inovasi. Hamba Tuhan yang mau melayani dengan tulus, malah diperalat oleh orang-orang yang menghendaki kekuasaan. Hamba Tuhan yang keras kata-katanya dianggap menyindir, dan membuat banyak orang sakit hati. Hamba Tuhan yang pendiam dianggap pasif dan tidak kreatif. Hamba Tuhan yang konsisten dianggap kaku dan keras.

Belum bila ditambah adanya pertarungan "gajah melawan gajah" di sebuah gereja. Mungkin pendeta menjadi pelanduknya, yang mati di tengah-tengah. Golongan A laporan kepada Pdt., dan tak berselang lama, rivalnya golongan B pun menghadap pendeta untuk meminta dukungan.

Bagaimana sikap hati seorang hamba Tuhan yang setia?

Saya meyakini, kata-kata Tuhan Yesus ini melampaui petimbangan-pertimbangan sulit yang dihadapi oleh individu-individu. Ketika Tuhan Yesus yang bangkit itu menjumpai Petrus, dan setelah Ia bertanya sebanayak 3 kali "Apakah engkau mengasihi Aku?" Tuhan Yesus menutup pembicaraan itu dengan kata-kata "engkau akan mengulurkan tanganmu dan orang lain akan mengikat engkau dan membawa engkau ke tempat yang tidak kaukehendaki" (Yoh. 21:18). Saya yakin, kata-kata Tuhan Yesus ini jauh melebihi ketakutan dan kecemasan manusia. Tempat yang sesukar apa pun, bila Tuhan yang menarik kita, meski ke tempat yang tidak kita sukai, Ia akan menuntun kita sampai mati.

If Christ calls a man, He bids him to come and die!

Friday, May 30, 2008

MENILAI DERAJAT SESEORANG


Hakim-hakim 16:23-31


PENDAHULUAN

Tak dapat dipungkiri, hidup kita diwarnai dengan menilai atau dinilai oleh orang lain. Tak terkecuali orang Kristen, penilaian terhadap orang Kristen lain itu pasti terjadi. Baik itu penilaian yang objektif maupun subjektif, setiap orang nyatanya melakukan penilaian. Ada sebagian orang yang menilai berdasarkan kemampuan dan kapasitas orang lain. Ada pula karena harta dan kekuasaan, maka seseorang memberikan penghormatan luar biasa.

Namun demikian, salahlah bila kita memberlakukan standar duniawi tersebut untuk menilai orang lain. Derajat seseorang hendaknya tidak dinilai dari apa yang ia saat ini punyai, yang membuat orang segan dan kagum dengan dia. Hal ini sangat menipu! Harkat orang lain, janganlah kita letakkan pada besaran-besaran material yang dapat ditangkap oleh indera kita, ataupun sesuatu yang lebih daripada kepunyaan kita.

ISI

Dalam pada itu, kebesaran seseorang, martabat seseorang hendaklah kita nilai berdasarkan standar kebenaran firman Allah. Apakah standar itu?

1. Lihatlah ia sebagai manusia yang sewajarnya

Kita membaca kisah hidup Simson. Tokoh ini adalah salah satu cerita favorit Sekolah Minggu. Kita terus mengingat bagian ini dengan baik. Akan tetapi, apakah kita melihat kebesaran diri sang nazir Allah? Ya, dia hebat! Dia perkasa dan kuat! Ia menjadi idola banyak putri! Namun di sisi lain, ia pun jatuh karena putri! Ia gagal untuk setia kepada Allah.

Kita perlu melihat Simson secara utuh. Simson adalah potret seorang manusia yang biasa, sama seperti kita. Kalau kita terlalu mengekspos kehebatan Simson, maka pemahaman kita akan timpang. Sebaliknya, jika kita melulu hanya memperhatikan kegagalannya, maka kita pun merendahkan Allah yang telah memilihnya. Simson adalah potret real dari seorang pelayan Tuhan! Di satu masa dia hebat, tetapi di masa lain ia pun mempunyai pergumulan dengan imannya. Semua kita mengalami ini.

Maka biarlah pun memandang seseorang dengan wajar. Jangan kita terlalu mengekspos kehebatan seseorang, sehingga mendewa-dewakan dia seolah-olah ia tanpa cacat dan cela. Seseorang yang mengorbit tinggi dengan cepat, maka reputasinya pun akan segera terjun bebas. Estimasi (prakiraan) yang muluk-muluk seperti itu akan segera berubah dengan cepat! Kita akan kecewa jikalau suatu masa ia melukai hati kita! Kita tidak siap menerima hal ini.

Tetapi juga, jangan sampai kita merendahkan seseorang, sehingga di mata kita, tidak ada yang baik dalam dirinya. Setiap orang mempunyai hak untuk berprestasi dan dihargai karyanya. Kritik itu boleh dan perlu sebagai bentuk evaluasi. Tetapi bila kritik itu dilambari dengan motif untuk menjatuhkan, maka kritik itu menjadi salah dan ini pun merupakan suatu bentuk fitnah.

Maka, marilah kita belajar untuk tidak menjadi tinggi hati, ataupun rendah diri. Yang kaya, tidak merasa memiliki kuasa dan berhak segala-galanya, dan merendahkan yang tidak seperti dirinya. Yang pas-pasan tidak lagi merasa minder dan tersingkirkan. Sungguh, persekutuan di tempat ini akan lebih hangat dan sejuk, bila tak seorang pun di antara kita yang merasa bahwa posisi kita ini remeh dan tak berharga, lalu kita menuding orang lain mau mencari kuasa, dekatnya dengan orang berpangkat dan kaya raya, dan sebagainya.

2. Lihatlah ia di akhir kehidupannya

Simson yang hebat di satu sisi, dan terpuruk di sisi lain mungkin membuat kita frustrasi. Apakah benar dia ini sungguh-sungguh menjadi nazir Allah. Jujur harus kita akui, sebagai pelayan Tuhan pun, kita tak jarang menjadi bingung karena sikap orang—yang katanya—Kristen, tetapi tidak ada Kristus di dalam dia, dan tidak menunjukkan buah-buah perbuatan. Ya memang, ia pandai, hebat, kaya raya, punya kekuasaan besar. Mungkin ia adalah seorang bos dan manajer yang andal, yang yang lebih penting . . . ia mengaku Kristen! Tetapi hidupnya tidak menunjukkan buah pertobatan. Atau ada lagi orang yang sangat baik tetapi hanya di lingkungan gereja; dan selebihnya nama Kristen itu dilepas; jika ada di luar gereja, tabiatnya kok ya sama saja dengan orang duniawi.

Kebesaran seseorang sesungguhnya ditunjukkan di akhir kehidupannya! Bagian yang kita baca merupakan detik-detik akhir dari kehidupan seorang yang terkenal kuat dan pandai bermain strategi, yang tak jarang juga membuat kita geli dengan tingkah lakunya. Mungkin Simson ini orang yang punya tipe temperamen sanguin. Pokoknya tabrak dulu, mikirnya belakangan. Tak jarang ia melakukan suatu tindakan berdasarkan apa yang ia senangi. Dan karena inilah, maka ia pun jatuh dan kejatuhannya fatal sekali. Kepada istri yang kafir itu, ia menunjukkan rahasia kekuatannya. Kesalahan inilah yang menyeretnya ke akhir hidup yang terjungkirbalik 1800. Dari yang semula nazir Allah, menjadi tawanan bagi orang Filistin. Ayat 21 dikatakan di sana, orang Filistin mencungkil kedua matanya dan membawanya ke Gaza. Ia dibelenggu dengan rantai tembaga dan pekerjaannya di penjara ialah menggiling.

Tetapi di akhir hayatnya, ia berseru kembali kepada Allah, “Ya Tuhan Allah,”—ia menyebut nama Allah perjanjian, Allahnya bangsa Israel, yang tidak pernah ingar janji—“ingatlah kiranya kepadaku.” Perhatikan! Tidak disebutkan bahwa selama ia tertawan itu, ia berdoa kepada Allah! Ia mungkin lupa dengan Allah. Ia bisa jadi kecewa dengan Tuhannya kaum Israel. Ia mungkin sudah meninggalkan Allah.

O betapa banyak orang yang merasakan kekecewaan yang mendalam kepada Allah! Sehingga mereka lari dari Allah. Rasa-rasanya Allah telah mengkhianati kehidupan mereka. Gereja hanya omong kosong. Para pendeta hanya bisa berkhotbah dan tak dapat melakukan apa yang ia khotbahkan, jadi “Mengapa aku harus setia kepada Allah?!”

Tetapi justru iman seseorang akan terlihat di titik akhir kehidupannya. Syukur pada Allah, bilamana seseorang tetap teguh dan memandang Allah itu selalu baik di setiap waktu. Kendati demikian, banyak pula orang yang cepat kecewa dengan Tuhan! Mereka berbalik dari Tuhan, meninggalkan Tuhannya! Namun sungguh luar biasa, barangsiapa yang menjadi umat pilihan Allah yang sejati, di akhir kehidupannya, ia akan kembali juga kepada Allah.

Jadi, mungkinkah kita berani menilai seseorang baik atau buruk hanya oleh karena dulunya dia Kristen, tetapi sekarang tidak lagi? Kita belum tahu akhir hidupnya. Hanya Allah saja yang tahu rahasia akhir kehidupan seseorang. Maka, Allah tidak menjadikan kita sebagai hakim atas orang lain. Allah mau agar kita menjadi pelayan seorang akan yang lain. Maka sebagai bentuk kerendahan hati itu, kita perlu belajar untuk berdoa agar Tuhan menutup mulut kita dengan perkataan-perkataan yang menjatuhkan orang lain.

3. Lihatlah Tuhan dan bukan manusia

Cobalah tanyakan kepada anak-anak (atau bahkan mungkin juga termasuk orang tua!), apa yang menarik dari kisah Simson? Nyaris tak terdengar kesan yang meluncur dari mulut seseorang: “How great Thou art! Sungguh besar Engkau, ya Allah! Fokus kita hanya pada kehebatan Simson. Kita lupa bahwa kuasa di balik Simson adalah kuasa dari Allah yang Mahatinggi.

Karena itu, marilah kita sungguh-sungguh mencamkan, ketika Allah yang bekerja melalui Simson sudah undur dari dia, apa yang bisa dikerjakan oleh Simson? Ia menjadi seorang pecundang, a looser, yang kalah. Ia bagaikan seekor macan yang telah ompong dan tak bergigi lagi, yang cakar-cakarnya tak lagi dapat merobek mangsanya.

Perhatikan, orang yang tidak disertai seperti ini hanya menjadi cemoohan bagi orang lain. Orang-orang menantikan Simson bukan lagi sebagai sosok yang dikakuti, tetapi sebagai seorang pelawak! Ia sekadar menjadi tontonan dan olok-olokan massa! Ketika manusia menjadi besar, maka Allah akan menjadi kecil. Sebaliknya, ketika manusia menjadi kecil, maka ada ruang bagi Allah untuk menjadi lebih besar!

Di akhir kehidupan Simson, siapa yang memberi kekuatan baginya untuk membunuh ribuan orang yang ada di dalam kuil dewa Dagon itu? Tentulah Allah! Kalaupun Simson berhasil membunuh orang Filistin dengan jumlah jauh lebih banyak, siapa yang menyebabkan hal itu terjadi? Allah juga!

Maka kiranya kita jangan sampai melupakan hal ini. Di balik kehebatan seseorang, ada Allah yang bekerja. Ingat, bisa jadi suatu saat Allah meninggalkan dia, bila ternyata ia memegahkan diri dan dengan tiada sadar, telah menjadikan dirinya sebagai pusat pemujaan dan decak kagum.

PENUTUP

Dalam sejarah gereja, ada seorang tokoh yang meneladankan kerendahan hati yang luar biasa. Ia memandang orang lain dengan benar dan positif. Ia adalah Yohanes Pembaptis. Ketika masanya tiba bagi dia untuk lengser dari kancah pelayanan publik, digantikan oleh saudaranya sendiri yang lahir di Betlehem, ia rela berkata kepada murid-muridnya, “Lihatlah Anak Domba Allah yang menghapus dosa dunia!” (Yoh. 1:29). Murid-muridnya kebingungan karena semula menganggap dialah Mesias yang dijanjikan itu. Tetapi sekali lagi, Yohanes berkata, “Lihatlah Anak Domba Allah!” (ay. 37).

Ketika ia sudah ada di dalam penjara, dan para muridnya yang tersisa menjenguknya, dan melaporkan tindakan Yesus dan murif-murid-Nya yang membaptiskan orang, dari mulutnya meluncur kata-kata yang agung, “”Ia harus makin besar, tetapi aku harus makin kecil!” (Yoh. 3:30). Inilah cara Yohanes memandang siapa Yesus! Dan ia tahu siapa sejatinya Yesus dari Nasaret itu!

Sebagai hamba Allah, maukah kita kini menilai orang berdasarkan prinsip firman yang sejati? Lihatlah dia apa adanya, nantikanlah masa akhir kehidupannya; dan yang jauh lebih penting adalah: Pandanglah Tuhan yang bekerja di dalam dirinya. Marilah kita memiliki cara pandang yang positif terhadap orang lain. Dan lihatlah: Tuhan akan mengerjakan sesuatu yang indah di dalam komunitas persekutuan kita! Kita akan disemangati oleh kehangatan, cinta kasih, penguatan dan kerelaan untuk saling membebat dan menyembuhkan. Terpujilah Allah!


Wednesday, May 28, 2008

MYSTECO THEOLOGY (6)


KEMBALI TERCENUNG . . .

Kini marilah kita merenungkan bumi tempat tinggal kita. Ke-cuek-an hendaknya mulai kita tinggalkan, sebab ada bahaya yang besar sedang mendekati bumi kita ini. Sir John Houghton dari Universitas Cambridge, Inggris mengatakan bahwa sinyalemen perubahan iklim telah ditangkap secara serius oleh masyarakat dunia, baik para ilmuwan maupun politisi. Menurutnya, hal ini merupakan “masalah terbesar yang sedang dihadapi oleh dunia” dan merupakan “senjata penghancur massal” terhebat di sepanjang sejarah bumi. Bumi kita kian panas, oleh karena polusi global.[1]

Dari mana asal polusi global tersebut? Dari populasi manusia yang bertambah banyak, dibarengi dengan perkembangan industri yang sangat cepat. Dua hal ini yang menyebabkan degradasi lingkungan hidup dalam skala yang sangat besar. Houghton mendaftar isu-isu pokok di seputar ancaman terhadap keberlangsungan kehidupan dunia:

- Pemanasan Global dan Perubahan Iklim: berkait erat dengan penggunaan energi, transportasi, kepunahan aneka ragam makhluk hidup, penebangan hutan.

- Pergeseran penggunaan tanah: berkait erat dengan kepunahan aneka ragam makhluk hidup, penebangan hutan, perubahan iklim serta berkurangnya lahan subur serta defisit air.

- Konsumsi besar-besaran: berkait erat dengan sampah, ikan, makanan, energi, transportasi, penebangan hutan dan air.

- Sampah: berkait erat dengan konsumsi dan keberlangsungan kehidupan.

Sadarkah kita, tiap tahun luas hutan hujan tropis dunia digunduli dan dibakar kira-kira seluas hampir separo dari luas Pulau Jawa? Kayu dari hutan yang digunduli itu sebagian besar dipakai untuk pengadaan mebel dan perkakas dari kayu, dan untuk suplai negara-negara terkaya dunia. Pembalakan hutan di Indonesia, resmi dengan katebelece ataupun tidak, sudah mencapai titik yang sangat memprihatinkan. Indonesia memiliki cadangan 10% dari jumlah hutan hujan tropis, tetapi negara kita ini pun masuk dalam peringkat pemusnah hutan terbesar dunia. Sekitar 3,8 juta hektar pohon di Indonesia ditebangi. Ranking yang kemudian menyusul adalah Kamboja, Vietnam, Nepal, Malaysia serta Myanmar. Hutan di Sabah dan Malaysia Timur banyak ditebang untuk diubah menjadi mebel dan diekspor ke negara-negara kaya seperti Jepang, China, Hong Kong, Eropa serta Amerika Serikat. Penggundulan hutan besar-besaran inilah yang kemudian secara dramatis menaikkan gas-gas rumah kaca seperti karbon dioksida dan metana, yang pada giliran kemudian menaikkan suhu udara.

Menurut laporan State of the World, CO2 di atmosfer kini mencapai titik tertinggi dibandingkan dengan 420.000 tahun, dan bahkan mungkin 20 juta tahun! Pemanasan ini telah mengakibatkan kematian tak kurang dari 150.000 orang pertahun di semua belahan dunia. Tahun 2003 tercatat merupakan tahun terpanas, dan akibatnya 20.000 di belahan Eropa meninggal dunia. Di Kanada Utara, dekat dengan Zona Antartika, es mulai meleleh dan hal ini menyebabkan tidak sekadar kematian dari sejumlah besar binatang kutub, tetapi juga menaikkan permukaan air laut. Negara-negara berdataran rendah seperti Madagaskar dan Bangladesh terancam tenggelam! Bagian selatan China dan pulau-pulau di lautan India serta lautan Pasifik dalam tahun-tahun mendatang tak mungkin dapat bertahan. Kelak mungkin akan tiba waktunya, jutaan orang akan diungsikan (berarti, termasuk kepulauan di Indonesia, dan Jawa tentu saja!).

Dibanding semua negara, Amerika Serikat merupakan negara penghasil CO2 tertinggi, yang asalnya dari kepulan asap mobil, sistem pemanas ruangan dan limbah pabrik-pabrik. Dari totalitas populasi dunia, negara ini hanya 4% saja, tetapi harus bertanggung jawab untuk hampir 25% semua gas rumah kaca yang telah menyebabkan pemanasan dunia. Negara yang terbilang termakmur sedunia ini bertanggung jawab untuk 20.000 kilo CO2, menyusul kemudian Eropa 6.400 kilo. Bandingkan dengan negara-negara di Afrika yang luas dan panas itu, mereka hanya membuang CO2 tak lebih dari 1.000 kilo.

Ini berarti, sejumlah kecil kelompok manusia telah mengeksploitasi kenyamanan hidup umat manusia. Gaya hidup negara-negara super maju, yang diwarnai oleh pemborosan juga konsumerisme merupakan ancaman terbesar bagi masa depan planet kita. Celakanya, gaya hidup ini begitu mudahnya diekspor ke negara-negara Dunia Ketiga di Asia Tenggara dan sejumlah kota di Afrika, yang memang sering kali berkiblat pada gaya hidup negara maju.

So what gitu loh? Kenyataan ini penulis paparkan sebagai tegangan antara mysteco theology yang telah kita pelajari di atas dengan kenyataan hidup di dunia. Apa yang dapat kita kerjakan, sesungguhnya banyak sekali, dan itu dapat dimulai dari hal yang sangat kecil. Sebagai pengemban amanat Allah dan abdi bagi ciptaan, bagaimana sikap kita dengan sampah? Bagaimana kita menggunakan produk plastik yang sangat sukar diurai oleh bumi itu? Bagaimana gaya hidup kita dan sikap kita terhadap lingkungan? Apakah kita ramah dengan lingkungan dan meminimalisir produk yang akan mencemarkan lingkungan?

Salah satu petuah bijak Jawa berbunyi seperti ini, “Bumi iki dudu warisane simbah buyut, ananging titipane anak lan putu” (“Bumi ini bukan warisan nenek moyang kita, tetapi titipan anak serta cucu”). Kelak ketika anak-cucu kita menagih kembali bumi ini, apakah kita akan mengulurkannya dengan bertanggung jawab? Kira-kira 200 tahun silam, seorang anggota parlemen Inggris, Sir Edmund Burke mengucapkan kalimat yang patut kita simak, “No one made a greater mistake than he who did nothing because he could do so little.” Yang penting di sini, bukanlah apa yang dapat kita kerjakan itu besar atau kecil. Akan tetapi, apa yang kita pahami, dan yang telah kita tangkap maknanya, kita mau mengerjakannya. Sekecil apa pun itu, mari kita belajar mengerjakannya dengan setia.

Terpujilah Allah!


[1]Sir John Houghton, FRS, “Why Care for the Environment,” makalah yang dipresentasikan di Faraday Institute, St. Edmunds College, Cambridge.

MYSTECO THEOLOGY (5)


PANGGILAN BARU

Pengertian ini kembali memberikan implikasi yang penting bagi gereja. Jikalau Sang Logos itu adalah Pencipta, Makna sekaligus Model seutuh ciptaan, maka tubuh-Nya, yakni gereja, harus mengambil tanggung jawab yang sama, kreativitas yang sama, di dalam tata semesta dan di atas bumi. Jadi, tugas dan tanggung jawab orang Kristen bukan semata-mata mengurusi “hal-hal rohani,” atau sibuk dengan “doktrin yang benar dan alkitabiah,” yaitu serentetan konsepsi-konsepsi yang hanya dapat ditangkap oleh intelegensia. Firman Allah tidak dikomunikasikan hanya melalui proposisi-proposisi. Firman Allah adalah komunikasi kehidupan. Ini punya dampak penting bagi gereja, yakni bahwa gereja harus berani mengomunikasikan kehidupan. Bagi orang Kristen, teretaslah sekat yang memisahkan wilayah sekular dan religius. Orang Kristen harus berani terjun dan masuk ke wilayah-wilayah kehidupan manusia, di dalam kuasa Allah yang menguduskan diri dan karya tangannya: baik melalui sastra, musik, gambar-gambar, bidang pembangunan masyarakat.

Teolog Gereja Timur yang bernama Maximus Sang Pengaku berkata bahwa “Logos Pengada” (logos of being) itu adalah suatu gerakan. Ada dinamika di dalam Logos tersebut. Berarti, misi Kristen pun memerlukan bentuk-bentuk baru, cara-cara baru yang dapat menjangkau seluruh ciptaan. Akan tetapi, hendaklah gereja waspada bahwa metode-metode ini jangan sampai diimpor mentah-mentah dari dunia yang telah jatuh ke dalam dosa. Cara baru yang ditetapkan untuk bermisi harus melalui tahap-tahap seleksi, pemilahan dan pemilihan, kewaspadaan tetapi juga keberanian untuk mencoba hal-hal yang baru.

Akhirnya, visi yang orang Kristen bawa adalah mewujudnyatakan keindahan, kebenaran serta kebaikan ciptaan baru ke dalam bumi. Misinya adalah melalui Titah Kebudayaan (Cultural Mandate) dalam Kejadian 1:26-28, dan Titah Pemuridan (Disciplesip Mandate) atau Amanat Agung (The Great Commission) dalam Matius 28:18-20. Di dalamnya, telah termaktub panggilan untuk melestarikan alam dan mempertahankan keutuhan ciptaan (integrity of creation),[1] membangun kebudayaan yang memuliakan Allah dan memanusiakan manusia (diktum kaum Yesuit: Dei gloriam vivens homo), juga pewartaan Injil ke seluruh dunia.

John Meyendorff mengingatkan kita, “Christians never commit a greater spiritual crime than when they accept the dualism of grace and nature, the sacred and the secular, when they concede that there is an autonomous natural sphere that can possess its own beauty . . . its own harmony . . . Ia menutup kalimat ini dengan sebuah ajakan, bahwa sekaranglah waktunya untuk mulai menegaskan dan mengabarkan bahwa Allah adalah khalik keindahan, dan tidak ada sesuatu pun yang diciptakan untuk menjadi sekuler, sama seperti kata Fyodor Dostoevsky, “Keindahan pada akhirnya akan menyelamatkan bumi.” Dan hal ini harus dikerjakan dengan perspektif baru yang dibukakan mengenai Kristus Sang Logos: bahwa Ia adalah Pencipta sekaligus Penebus.


[1]Esai penulis yang lainnya mengenai "keutuhan ciptaan" telah terbit di majalah bulanan sinode GKMI, berjudul “Keutuhan Ciptaan: Keluarga, Keindahan dan Pengharapan,” Berita GKMI 487 (April 2008) 50-56. Artikel ini dapat diakses dalam blog pribadi ini, arsip bulan April 2008.

MYSTECO THEOLOGY (4)


LEMBARAN BARU

Dalam terang doktrin Logos ini, salah satu poin penting yang direnungkan dan dipegang oleh gereja perdana yaitu bahwa dunia ini, oleh sebab diciptakan oleh Allah, tidaklah ilahi dalam dirinya sendiri. Pemujaan kuasa-kuasa di udara, bintang-bintang, kilat dan halilintar, atau binatang, merupakan pemberhalaan di mata orang-orang Kristen perdana. Mereka tahu, memang ada realitas spiritual di balik anasir-anasir kosmis, tetapi semuanya ini diciptakan, dan tak jarang demonik, khususnya tatkala anasir-anasir tersebut menuntut penyembahan manusia.

Maka, hidup bebas dari jerat itu niscaya untuk manusia. “Terang yang sesungguhnya, yang menerangi setiap orang, sedang datang ke dalam dunia.”[1] Dalam gereja perdana, Iblis disebut “tiran” atau penjajah, yang melawan kuasa sah dari Allah di dalam dunia. Kuasa Iblis tak hanya jahat serta mematikan, tetapi juga dengan terang-terangan menentang kuasa Allah. Dalam sebuah doa pada sakramen pembaptisan kuno, dituliskan demikian:

O Master of all, show this water to be the water of redemption, the water of sanctification, the purification of flesh and spirit, the loosing of bonds, the remission of sins, the illumination of the soul, the laver of regeneration, the renewal of the Spirit, the gift of adoption to sonship, the garment of incorruption, the fountain of life.[2]

Dengan demikian, kita melihat bahwa orang Kristen seharusnya tidak perlu ketakutan terhadap anasir-anasir dunia. Semua hal itu bukan ilahi ataupun memiliki daya magis di dalam dirinya sendiri, tetapi diciptakan oleh Allah melalui Sang Logos dan melalui kuasa Roh Kudus, sehingga pulihlah tujuan dan fungsinya yang mula-mula ketika diciptakan. Materi dikuduskan oleh tangan Allah dan dipakai untuk menyembah Dia. Kita dapat memahami “sakralitas” materi ketika dipakai dalam sakramen-sakramen gerejawi. Jadi, seluruh ciptaan dipanggil untuk kembali ke tujuannya yang “logis” di bawah kuasa Allah. Manusia, juga di bawah kuasa Allah, harus mengerjakan kekuasaan Allah itu atas seluruh ciptaan (Kej. 1:28).

Sekali lagi, misi Kristen adalah misi pembaruan ciptaan, tepatnya oleh sebab Sang Logos adalah Pencipta sejak pada mulanya, dan kini datang ke tengah-tengah dunia, sebagai Juruselamatnya. Secara konseptual misi Kristen dapat dijabarkan untuk menyatakan dan mengerjakan kembali kuasa Logos yang Esa itu, yang transenden, yang kekal, tak terciptakan, dan ilahi itu di dalam dunia. Paulus menyebut kita sebagai “kawan sekerja Allah” (1Kor. 3:9), dan hal ini mungkin terjadi oleh kita diciptakan untuk menjadi “kepunyaan Allah” (Yoh. 1:11), yang berarti kita mempunyai logos dalam diri kita, sehingga dimungkinkan untuk bersekutu dengan Sang Khalik.

Dan jika kita memahami bahwa Sang Logos itu telah menjadi manusia, dan telah dibangkitkan dari kematian serta kubur-Nya telah kosong maka kematian—sebagai akibat tertinggi dari dosa—telah ditaklukkan. Christus Victor! Kristus Jaya! Kemenangan Kristus merekahkan fajar penciptaan baru. Penebusan atas ciptaan lengkaplah sudah, karena Allah benar-benar mendandani kosmos sekali lagi melalui Firman-Nya. Implikasi untuk kaum-Nya? Manusia kini diangkat derajatnya. Athanasius berkata, “Allah manjadi manusia, sehingga manusia dapat menjadi Allah.” Kata ini jangan dimengerti kita akan menjadi sama seperti Allah. Tetapi sebagaimana yang dalam 2 Petrus 1:4, “mengambil bagian dalam kodrat ilahi” dengan ditandai oleh luput dari hawa nafsu duniawi yang membinasakan dunia. Pemuliaan ini (dalam istilah Gereja Timur “deifikasi”) saya yakin juga berlaku untuk tata semesta ciptaan Allah (lih. Kol. 1:20).


[1]Secara tekstual, “sedang datang ke dalam dunia” bisa mengacu kepada “setiap orang,” sehingga ayat ini dapat ditulis, “Terang yang sesungguhnya menerangi setiap orang yang sedang datang ke dalam dunia.” Gereja Timur mengerti ayat ini demikian.

[2]Dikutip oleh John Meyendorff, “Christ as Word: Gospel and Culture,” International Review of Mission 294 (1985)

MYSTECO THEOLOGY (3)


DI BALIK LAYAR TERKEMBANG

Pada mulanya adalah Firman;

Firman itu bersama-sama dengan Allah

dan Firman itu adalah Allah.

Ia pada mulanya bersama-sama dengan Allah.

Segala sesuatu dijadikan oleh Dia

dan tanpa Dia tidak ada suatu pun yang telah jadi

dari segala yang telah dijadikan.

(Yohanes 1:1-3)

Kita mengenal biologi, psikologi, atau apa pun studi yang lainnya. Kita bertindak dan bertutur kata mengenai segala sesuatu yang kita sebut logis. Kata “logi,” nampaknya mendapatkan tempat yang cukup utama di masyarakat kita, bahkan kadang-kadang kata ini dipertentangkan dengan segala sesuatu yang berbau-bau agama. Sebab kata ini menjabarkan materi, pernak-pernik hidup, diri manusia, sedangkan agama hampir-hampir hanya berkaitan dengan dugaan, abstrak, bahkan mungkin mitos, atau simbol-simbol.

Dengan begitu, tak dapat tidak kita harus memahami bahwa kata “logi” atau logos ini erat kaitannya dengan pencarian pemahaman, dan makna. Yohanes 1:1 dengan tegas memberikan tantangan kepada orang yang memutlakkan pengetahuan. Bahwa sesungguhnya, kunci menuju kepada semua pengetahuan, semua pemahaman, dan semua pemaknaan yang sejati, hidup di dalam Allah! Sang Logos itu!

Mengapa Yohanes memilih kata Logos? Mengapa bukan Anak Domba? Atau Mesias? Atau gelar-gelar Kristus yang lain? Kita tidak tahu pasti. Kita hanya dapat menarik kesimpulan tentatif bahwa Logos atau Sabda adalah kata yang paling inklusif untuk mewakili jati diri Allah dan karya-karya-Nya. Lihatlah dalam Perjanjian Lama, Allah menciptakan dunia ini dengan firman-Nya (Kej. 1:3). Allah berfirman ketika memanggil orang yang Ia mau pakai, mis. Musa (Kel. 3). Allah membebaskan kaum Israel dari perbudakan di Mesir dengan firman-Nya juga. Allah menjanjikan pemulihan bagi Israel yang dibuang, dengan menciptakan segala sesuatu baru, juga dengan firman-Nya (Yes. 55:11-13). Firman, dengan demikian, menunjukkan kesempurnaan Allah!

Dalam pada itu, sejak penciptaan, telah ada kuasa kegelapan, chaos, penghalang, yang hendak merintangi Sang Logos. “Terang itu bercahaya di dalam kegelapan dan kegelapan itu tidak menguasainya” (Yoh. 1:5). Bahkan “Ia telah ada di dalam dunia dan dunia ini dijadikan oleh-Nya, tetapi dunia tidak mengenal-Nya” (ay. 10). Dari mana datangnya kuasa ini? Alkitab menutup celah pandangan yang mengatakan bahwa kuasa jahat ini diciptakan Allah. Masakan yang diciptakan Allah, hendak menghalangi Allah? Dan pada klimaksnya, kita mendengar keunikan berita Kristen, “Firman itu telah menjadi manusia dan diam di antara kita, dan kita telah melihat kemuliaan-Nya, yaitu kemuliaan yang diberikan kepada-Nya sebagai Anak Tunggal Bapa, penuh anugerah dan kebenaran” (ay. 14). Dengan membaca kata-kata pertama “Pada mulanya adalah Firman,” Yohanes dengan cermat dan teliti melukis sebuah paralel antara kisah penciptaan di Kejadian dan penciptaan baru di dalam Kristus. Mari kita selidiki lebih lanjut.

Jika Anda berasal dari gereja yang memberlakukan bacaan rutin gerejawi (leksionari), Anda akan menjumpai bahwa Yohanes 1:1-9, 10-18 dibaca pada Minggu kedua setelah Natal. Di sini maknanya adalah masa Natal merupakan inkarnasi Sang Sabda. Sedangkan bila Anda pernah beribadah di Gereja Ortodoks, prolog Yohanes ini dibacakan pada Malam Paskah (!) dan hal ini merupakan pintu kepada seluruh pembacaan Alkitab di sepanjang tahun liturgi. Apa implikasi dari penggunaan ayat ini dalam liturgi? Yaitu bahwa kebangkitan Kristus, kubur yang kosong, rahasia sukacita perjumpaan antara Tuhan yang bangkit dengan para murid-Nya, merupakan makna terdalam dari penciptaan.

Berarti, kisah di Kejadian tak dapat dimengerti tanpa pewahyuan yang Allah kerjakan di dalam Yesus Kristus: penciptaan baru, manusia baru, tata cipta semesta yang baru diwujudnyatakan di dalam kebangkitan Kristus. Itulah yang mula-mula dimaksudkan oleh Allah Bapa ketika menciptakan langit dan bumi. Ya, manusia telah menolak untuk bersekutu dengan Allah; sukacita untuk tinggal bersama di dalam komunitas besar tata semesta telah digantikan dengan kecongkakan diri, yang hanya menyebabkan murka Allah; tetapi prolog Yohanes ini menyatakan, ada suatu permulaan yang baru, satu sukacita yang belum pernah ada! Dan hal ini dimungkinkan dalam ciptaan yang telah diperbarui oleh Allah yang sama, yang mempunyai rencana agung ketika menciptakan langit dan bumi, dan direalisasikan oleh Sang Logos.

Maka, kita mendapatkan implikasi penting dari prolog Injil Yohanes: Kristus, yang adalah Sang Logos, bukan sekadar Juruselamat jiwa seseorang; atau pun pemberi kode moralitas, atau pengajar falsafah hidup yang unik, tetapi: Ia adalah Juruselamat dan makna terdalam dari seutuh ciptaan.

Pemahaman ini mengarahkan kita untuk memikirkan konsekuensi bagi pekerjaan misi Kristen. Gereja Kristen tidak hanya dipanggil oleh Allah untuk menyelamatkan individu-individu dari dunia, tetapi juga untuk menyelamatkan dunia. Sebab, jika orang Kristen mengenal Kristus, mereka juga diantar untuk mengenali makna segala sesuatu yang diciptakan. Mereka memiliki kunci ultimat bukan untuk memahami ilmu pengetahuan semata, tetapi untuk mengenal tujuan tata semesta seutuhnya.

MYSTECO THEOLOGY (2)


MENETASKAN MAKNA

Entahkah merupakan sebuah historical destiny, dalam dekade terakhir ini banyak sekali dirumuskan mengenai “teologi ekologi.” Apakah ini merupakan tindakan kalang kabut karena bumi keburu rusak, kita baru terhenyak; kita sungguh berharap tidak demikian. Semua ini ada baiknya. Belum terlambat. Dan untuk itu, saya mengajak Anda merenungkan Yohanes 1 dalam terang yang lain, bukan sebagai pembuktian keilahian Kristus, tetapi dalam membangun apa yang saya sebut sebagai mysteco theology. Kata mysteco merupakan paduan dari dua kata mystical dan ecological. Kata mystical, hendaklah kita mengerti seperti yang diterangkan oleh 11th Merriam Webster Collegiate Dictionary (h. 822) sebagai:

  1. having a spiritual meaning or reality that is neither apparent to the senses nor obvious to the intelligence.
  2. Involving or having the nature of an individual’s direct subjective communion with God or ultimate reality.

Jadi mystical sama dengan spirituality. Mystical theology identik dengan spiritual theology. Tetapi mengapa saya memakai kata mystical dan bukan spiritual saja? Karena sebagai orang Injili, kita kadhung (Jawa “terlanjur”) memasukkan spiritual theology dalam matra practical theology. Di kebanyakan seminari Injili Amerika Serikat, guru besar yang mengajar spiritualitas masuk ke dalam studi praktika. Selidik punya selidik, kebiasaan ini diturunkan dari tradisi Gereja Barat, atau Katolik Roma. Dapat dipahami, karena Gereja Protestan terlahir dari tradisi Gereja Katolik Roma. Baru pada waktu Regent College, Vancouver, didirikan, James M. Houston dipercaya untuk menjabat presiden pertama sekaligus profesor spiritualitas di kolese tersebut.

Sedangkan mystical theology, sebagaimana dipakai oleh tradisi Gereja Ortodoks Timur (Bizantin-Konstantinopel), yaitu untuk keutuhan teologi. Stanley Harakas menyatakan demikian, “In the East [-ern Orthodox Church], however, it tended to be used in a way which closely related the moral life and the experience of God by Christians with doctrinal and theological teaching.”[1] Hal ini pun ditegaskan oleh Vladimir Lossky, bahwa teologi mistika dalam Kekristenan Timur adalah “a spirituality which expresses a doctrinal attitude.”[2]

Maka, dengan memakai kata mystical theology, segera apa yang kita pikirkan adalah keutuhan tubuh teologi: biblika, historika, sistematika, etika dan spiritualitas. Itu berarti teologi harus berakarkan biblika, berbatangkan historika, berdaun sistematika, dan berbuahkan etika, dan disirami kesejukan air spiritualitas.[3] Kata ini kemudian berpadu dengan ecological theology, yaitu teologi tentang ekosistem, yang menjadi raison d’etre mengapa kita sebagai orang Kristen perlu menjaga alam semesta. Tetapi dalam tulisan ini kita akan melihatnya lebih jauh, yaitu kepada ciptaan yang ditebus oleh Allah, berdasarkan Yohanes 1.


[1]“Mystical Theology,” dalam A. Richardson dan J. Bowden, ed. The Westminster Dictionary od Christian Theology (Philadelphia: Westminster) 387.

[2]The Mystical Theology of the Eastern Church (Crestwood: St. Vladimir Seminary, 1957). Harus dicatat di sini, tradisi Timur waspada akan bahaya panteisme, dan teologi mistika yang dikembangkan tetap menjaga transendensi serta imanensi Allah.

[3]Saya meminjam moto teologi sistematika karya Rm. Nico Syukur Dister, Teologi Sistematika: Berakar Biblika, Berbatang Patristika (2 vol; Yogyakarta: Kanisius, 2004), dan meluaskannya.

MYSTECO THEOLOGY (1)


TERCENUNG . . .

Belum lama ini seorang hamba Tuhan yang cukup terkenal di Jawa Tengah, kami undang untuk berkhotbah di gereja kami. Dalam khotbahnya, ia menyentakkan kami dengan sebuah pertanyaan, “Siapa yang berdoa sebelum mandi?” Ah, berdoa sebelum makan, itu mah wajib hukumnya bagi orang Kristen. Bangun tidur dan sebelum tidur pun sudah menjadi kebiasaan yang otomatis. Tetapi berdoa sebelum mandi? Pengkhotbah ini melanjutkan, “Sejak kecil, papah saya mengajar saya untuk berdoa sebelum mandi. Mengapa? Bersyukur untuk air. Bayangkan bila tidak ada air!”

Menarik! Demikian hemat saya. Berdoa sebelum mandi bukan supaya Tuhan menjaga agar tidak terpeleset, jatuh dan patah tulang. Juga bukan seandainya tiba-tiba kena serangan jantung ketika mandi, ataupun takut kalau-kalau air itu penuh kuman penyakit yang akan menempel di tubuh. Tetapi menaikkan syukur untuk anugerah air yang Allah sediakan lewat alam.

Seberapa banyak di antara kita yang kerap tercenung, dan tiba-tiba dari hati kita seolah-olah terdengan bunyi “Ting!” dan kita dicerahkan oleh pemberian-pemberian Allah yang sudah amat sangat biasa sekali (maaf, memakai rentetan kata yang redundant, sekadar untuk menyangatkan kalimat). Untuk air, udara, embusan angin, rumput, dsb.? Atau yang selalu ada di tubuh kita: air mata, sentuhan tangan, detak jantung, rasa gatal, dan bahkan daki?

Pada kesempatan ini, saya ingin sekali mengajak Anda bermenung lebih jauh. Kita bersyukur, untuk alasan apa? Baiklah, secara praktis, kita bersyukur karena semua ini adalah pemberian Allah. Tetapi, mengapa Allah memberikan itu semua? Well, benar bila Anda mengatakan untuk kebaikan kita. Namun demikian, apakah Allah memberikan segala yang ada di alam ini untuk kebaikan manusia semata-mata? Tentu tidak. Manusia diciptakan oleh Allah pada hari keenam sedikit-dikitnya memberikan dua indikasi: Pertama, manusia adalah bagian yang integral dari alam. Jika kita mawas diri, maka manusia bukan saya tak mungkin mampu menopang dirinya sendiri tanpa Allah, tetapi manusia pun membutuhkan topangan alam dan ciptaan lainnya. Perhatikanlah bayi manusia dan bayi sejumlah binatang lainnya. Begitu lahir, bayi binatang dapat segera berjalan dalam hitungan menit. Sedangkan bayi manusia masih menantikan masa sekurang-kurangnya 9 bulan untuk belajar berdiri! Manusia adalah makhluk yang paling lemah, dan ia bergantung kepada makhluk lain.

Kedua, manusia adalah penatalayan Allah. Menjadi penatalayan Allah itu layaknya menjadi manajer, bukan Presiden Direktur atau Presiden Komisaris atau pemilik. Manusia bertanggung jawab penuh kepada Allah yang empunya langit dan bumi. Allah menempatkan manusia ke dalam Taman Eden (Inga’, inga’! Taman ini di atas bumi!), untuk mengusahakan dan memelihara (Kej. 2:15). Dengan demikian, manusia mengemban tugas pengelolaan bumi milik Allah itu.

Tuesday, May 27, 2008

SATU LANGKAH MENUJU ALLAH!


SATU LANGKAH MENUJU ALLAH!


Seorang imam Katolik, seorang pendeta Protestan dan seorang rabbi Yahudi bercakap-cakap mengenai persembahan kepada Allah.

"Aku punya cara yang jitu untuk menentukan seberapa banyak untuk memberi kepada Allah," kata imam Katolik. "Aku menggambar satu garis lurus di tanah, dan melemparkan uang yang kupunya ke atas. Uang yang jatuh di sebelah kanan garis akan aku berikan kepada Allah, dan yang jatuh di sebelah kiri kusimpan untuk diriku sendiri."

"Hmm, tidak cukup baik cara seperti itu," kata pendeta Protestan. "Kalau aku, aku akan menggambar sebuah lingkaran, dan melemparkan semua uangku ke udara. Seberapa pun yang jatuh di dalam lingkaran itu menjadi milik Allah, dan yang jatuh di luar lingkaran adalah milikku."

Lalu, tibalah giliran sang rabbi. Sambil menepuk-nepuk dadanya, ia berkata,

"Aku berikan semua yang kupunya kepada Allah!"

"Anda bercanda!" seru kedua temannya itu. "Semua?"

"Ya," jawab sang rabbi. "Aku lemparkan semua uangku ke atas, kepada Allah. Aku berkata kepada-Nya, seberapa pun yang jatuh ke tanah adalah milikku, dan semua yang tetap tinggal di udara itu milik-Nya!"

TAK DAPAT LARI!


TAK DAPAT LARI!


Seseorang yang mengaku ateis melukis kata-kata ini, "GOD IS NOWHERE!" Ia meletakkan di atas sebuah papan dan menggantungkannya di ruang tamu.

Suatu kali, anaknya yang masih kecil datang kepadanya dan bertanya kepadanya mengapa ia tidak mengasihi Allah seperti yang dilakukan oleh ibunya.

"Jangan bodoh, Nak!" jawab sang ayah, "bagaimana mungkin aku mengasihi Allah manakala Ia tidak ada? Lihat! Yang tertulis di papan itu, 'God is nowhere.' Allah tidak ada di mana-mana.'"

"Tidak, Yah, tulisan itu sama sekali tidak berbunyi seperti itu!" seru si anak.

"Apa! Apa kamu belum belajar mengeja yang benar?"

"Tentu sudah! Papan itu tertulis, 'GOD IS NOW HERE'!!!"

Kata firman Tuhan, "Orang bodoh berkata dalam hatinya, 'Tidak ada Allah.'"

Mengikuti Jejak Kristus (St. Augustinus)


KESOMBONGAN

Kesombongan adalah dosa besar, sebab musabab semua dosa dan awalnya terletak pada penolakan Tuhan. Para kekasih, jangan meremehkan sifat jelek ini, karena seorang sombong yang menganggap remeh kuk Kristus ditekan oleh kuk dosa yang lebih keras: mungkin dia tidak mau melayani, tetapi dia harus, karena jika dia tidak mau menjadi hamba cinta, dia pasti akan menjadi budak dosa.

Seseorang yang sombong akan menjadi murtad: jiwa akan mengalami kegelapan, dan sambil menyalahgunakan kehendak bebas, dia terjatuh ke dalam dosa-dosa lain, memboroskan kekayaannya dengan para pelacur; dan dia yang diciptakan sebagai teman para malaikat menjadi pengurus babi.

Karena dosa kesombongan yang besar ini, Tuhan merendahkan Diri-Nya dengan mengambil tugas seorang hamba, dihina dan tergantung di salib. Untuk menyembuhkan kita, Dia merendahkan diri; apakah kita tidak malu menjadi sombong?

Engkau mendengar Tuhan bersabda bahwa jika engkau mengampuni mereka yang menyakiti hatimu, Bapamu yang di surga akan mengampuni engkau. Tetapi mereka yang berbicara dengan bahasa dunia berkata, "Apa! Engkau tidak mau membalasnya, malahan membiarkan dia membanggakan apa yang telah dia lakukan terhadapmu? Apakah Tuhan dendam terhadap mereka yang memukul Dia? Kendati wafat atas kehendak bebas, Dia tidak mengutarakan ancaman: dan engkau, yang tidak mengetahui kapan engkau meninggal, akan naik pian dan mengancam?

TERPUJILAH ALLAH!

Tuesday, May 13, 2008

Dokumentasi Taize Pentakosta

Para pembawa simbol Kristus menyalakan lilin-lilin terang

Book of Kells: Matthew and Mark

Book of Kells: Luke and John

Altar

Ikon Theotokos Bogorod

Doa dan Nyanyian

Hening


Panitia Taize Pentakosta 2008