Saturday, August 30, 2008

BERILAH KESEMPATAN KEPADA GEREJA



BERILAH KESEMPATAN KEPADA GEREJA



Saya cukup sering merenung mengenai kehidupan bergereja. Beberapa waktu lalu, ada hal kecil yang menggelitik hati saya. Ini berkenaan dengan keberlangsungan banyak gereja. Gereja banyak yang pecah. Kiprah orang kristen di masyarakat kian lama kian surut, dan suara kenabian gereja menjadi “nyaris tak terdengar!”; dan alih-alih menyediakan suatu bait suci bagi Allah, gereja membangun gedung super megah, dengan biaya di atas kisaran milyaran rupiah, bahkan puluhan milyar rupiah. Tempat bagi Roh Allahkah? Atau sebenarnya sedang membangun mega proyek pribadi sebagai monumen megalomania yang berbalut pietisme? Ditambah lagi, banyak hamba Tuhan yang berpotensi besar, akhirnya tidak bertahan lama berada di gereja, dan memilih untuk terjun dalam lembaga-lembaga di luar gereja: mengajar di sekolah teologi ataupun membuat lembaga-lembaga independen. Ada apa dengan gereja?



Konon kabarnya sejumlah gereja ingin menegakkan kebenaran Injili. Apa artinya Injili? Yaitu Injil Kristus yang berkuasa atas kehidupan: Injil yang menyelamatkan, Injil yang memperbarui, Injil yang menguduskan dan yang mengantar kepada kehidupan yang kekal. Tetapi istilah “Injili” menjadi tercoreng dan tak lebih merupakan cemoohan di sekalangan orang Kristen Indonesia, karena jika ada gereja berlabel “injili,” hampir-hampir kok dapat dipastikan merupakan pecahan dari sebuah gereja yang telah mapan.



Apakah ini yang menyebabkan sebagian teolog muda yang baru panas-panasnya mentas dari pendadaran seminari atau sekolah tinggi teologi, merasa enggan untuk berada di gereja? Dinamika gereja begitu kecil, dan membatasi ruang gerak seorang muda yang masih mempunyai banyak idealisme dan cita-cita yang relatif belum tercemari oleh kepentingan-kepentingan pribadi dan urusan persaingan politis antarpengerja gereja. Mereka memilih untuk cepat-cepat meninggalkan pelayanan gereja. Jikalau prestasi cukup baik, suka membaca, gemar berbagi ilmu, mereka lebih memilih untuk menjadi dosen teologi. Dan, mengapa tidak?



Pernah saya pun mengalami pergumulan untuk hal yang serupa, meskipun tak persis sama, pada awal-awal memasuki pelayanan gerejawi. Gereja sangat menjenuhkan. Hampir-hampir pengetahuan dan ilmu saya tidak berkembang. Apa yang saya ketahui, yang saya gemari, tak dapat saya salurkan kepada jemaat. Saya ingin kuliah lagi, dan setelah itu saya ingin mengajar.



Saya bertanya kepada seorang mentor rohani, mengenai beratnya pelayanan di gereja, dan kemungkinan-kemungkinan untuk mengambil jalur pelayanan lainnya, salah satunya mengajar. Saya memaparkan juga kenyataan gereja-gereja modern yang ada, dan banyaknya hamba Tuhan potensial yang hengkang dari tempat pelayanan dan memilih untuk menjadi pengajar di sekolah teologi. Masa depan gereja kian seram menurut saya.



Beliau tidak melarang. Hak sepenuhnya ada pada saya. Tetapi ada satu pernyataan beliau yang menjadikan saya tercenung, “Berilah kesempatan kepada gereja 5-10 tahun, karena memang banyak pengajar calon-calon pengerja gereja di sekolah teologi, tetapi mereka sendiri bukan orang gereja. Intelektual mereka baik sekali, tetapi belum sempat mereka membangun komunitas di dalam dan bersama umat Tuhan.”



Memberi kesempatan kepada gereja? Itulah pernyataan yang membuat saya tidak dapat tidur beberapa hari, dan yang “memaksa” saya untuk mengambil keputusan. I have decided! No turning back!



Thursday, August 21, 2008

SEJARAH, PENDIDIKAN DAN TEOLOGI (2)



Sejarah dan Kaum Injili



Saya bertanya sekarang, bagaimana sikap rohaniwan Kristen terhadap sejarah? Bagaimana etos para seminarian terhadap sejarah? Ada hal yang menarik dalam kaum Injili Indonesia! Para seminarian lebih susah tidur jika tidak dapat menjadi pengkhotbah yang baik, daripada belajar mengenai sejarah perkembangan teologi Kristen. Sangatlah sayang bila membelanjakan uang saku untuk membeli buku historical theology, dibanding mengumpulkan buku-buku ilustrasi. Kondisi ini bisa jadi diperparah apabila ada dosen sejarah dogma yang berkata, “Kuliah ini adalah kuliah yang kering. Terima saja sebagai pengetahuan. Karena toh nanti tidak berguna di gereja.”



Itulah sebabnya, teramat sedikit ahli sejarah teologi dari kalangan Injili. Bila mau berstudi lanjut, jauh lebih banyak yang memilih praktika, sistematika, lalu biblika. Betapa tidak! Kenyataannya, ahli sejarah teologi pun tidak laku, bukan! Mana ada gereja yang mengundang seorang ahli sejarah teologi untuk berbicara di gerejanya? Jadi, mau belajar sejarah, siap-siap saja kendhil mengkurep (Jawa, “kuali terbalik”—idiom untuk mengatakan “bukan ladang basah”). Kalau sampai ada seorang mahasiswa yang suka dengan sejarah, nampaknya ia harus berani menahan diri untuk memakainya sebagai pengetahuan semata-mata, untuk menjadi pengetahuan sambil lalu. Yah, lagi-lagi, semua ini bicara mengenai “perut”!



Merefleksikan kenyataan di atas, dan kehidupan masa kecil, saya nampaknya patut bersyukur. Dibesarkan dalam keluarga yang tidak kaya, ayah saya adalah seorang peminat sejarah awam. Orangtua saya bukan orang yang kaya, tetapi sejak kecil saya diajak untuk memiliki “pengalaman belajar.” Dengan mengendarai sepeda motor (Suzuki GP 100 tahun 1980), saya dulu sering diajak keliling kota dan menyaksikan tempat-tempat yang memiliki nilai sejarah di kota Kudus dan sekitarnya. Kami tidak bisa pergi jauh, apalagi ke luar negeri (bahkan sampai sekarang pun saya belum pernah ke luar negeri), tetapi pengalaman belajar itu sedemikian membekas, sehingga saya menjadi pecinta sejarah.



Ketika berada di bangku sekolah, saya tidak pernah puas diajar oleh satu buku teks. Bila pelajaran sejarah itu membuat saya bergairah, saya selalu mencari buku lain sebagai second opinion. Beruntung sekali, pada waktu kelas 2-3 SMP, saya dipercayai untuk menjaga perpustakaan gereja, sore hari pukul 15.00-17.00. Saya pakai kesempatan itu untuk membaca-baca ensiklopedi yang berkaitan dengan pelajaran yang saya tengah geluti.



Ada satu sub-pelajaran yang saya paling benci, dan tidak pernah bergairah untuk mencari penguat data, yaitu Pemberontakan G-30 S (yang dahulu ada tambahan kata “PKI”). Saya merasa janggal saja dengan sub-pokok bahasan ini. Ada begitu banyak hal yang tidak sinkron di dalamnya, khususnya mengenai penyiksaan para jenderal di Sumur Lubang Buaya. Saya dulu pernah membaca Buku Putih keluaran Kementrian Penerangan, dan saya merasa buku itu semacam “sampah” dan saya merasa berat sebelah, kepada pihak kanan.



Ketika kuliah, saya ingat betul, mata-mata kuliah yang menggairahkan saya selalu yang berkaitan dengan sejarah. Entah itu menyelidiki pemikiran orang di masa lampau, teolog-teolog modern, atau pun sejarah gereja maupun sejarah dogma. Semangat untuk mencari second opinion muncul kembali. Paling senang bila ada dosen memberikan tugas membuat makalah. Saya membuatnya dengan bergairah dan—saya akui—bookish sekali! Hasrat belajar yang terdalam yaitu saya ingin membuat topik yang tidak biasa.



Menyelami pemikiran tokoh-tokoh besar bagi saya mengasyikkan. Saya banyak belajar dari kesungguhan mereka, dan keseriusan mereka dengan bidang yang digeluti. Sering saya menjadi pusing sendiri, ketika menjumpai banyak buku kaum Injili yang melawan pemikiran mereka, tetapi dengan sepihak dan menghakimi. Mencermati tulisan-tulisan yang muncul dalam jurnal-jurnal teologi tentang pemikiran seorang teolog, khususnya yang diterbitkan oleh sekolah teologi Injili Indonesia, sang pemikir yang dianalisis selalu dibantai habis-habisan pertama-tama posisi Alkitab mereka yang dirasa tidak memegang doktrin ketidakbersalahan Alkitab, atau pemikiran mereka tidak bersumber dari Alkitab.



Dalam pergulatan pribadi yang sering kali senyap, saya selalu bertanya dalam hati, “Apa motivasi orang ini berpikir seperti ini? Sungguh-sungguhkah dia ingin menghancurkan Kekristenan? Tetapi, mengapa banyak orang yang dari golongan saya menentang dia?” Dari situ saya berusaha untuk menerapkan “hermeneutika kepercayaan.” Saya mau belajar untuk trust dengan apa yang ia katakan, dan berjalan bersama dia dalam dialog yang hangat dan konstruktif. Akhirnya, saya sering kali harus mengubah total cara pandang saya. Saya mencoba percaya kepada Karl Barth, yang sampai sekarang masih menjadi “pahlawan” bagi saya. Apakah saya Barthian? Well, apakah Barth seorang Barthian? Dan apakah Calvin seorang Calvinis?



Mengutip mereka, bukan berarti mau wah-wahan! Bukan berarti pula saya lebih mengenal tulisan mereka daripada Alkitab. Saya menyadari sesungguh-sungguhnya, bahwa tokoh-tokoh ini telah mempelajari Alkitab lebih dahulu ketimbang saya, dan saya dapat memastikan diri, mereka lebih dalam ketika menelaah Alkitab daripada saya. Bukankah seseorang memerlukan guru untuk menolongnya belajar? Saya ingin belajar kepada mereka. Bila tak dapat langsung saya berjumpa secara pribadi, saya ingin belajar dari tulisan-tulisan mereka. Saya ingin bersama-sama mereka belajar Kitab Suci. Mereka bukan otoritas, tetapi mereka adalah penuntun dan guru bagi saya yang masih hijau.



Lalu, apakah justifikasi yang seharusnya membuat seorang rohaniwan Injili gemar belajar sejarah? Pertama, Allah adalah Tuhan yang hadir, memperkenalkan diri serta mengendalikan sejarah. Ia hadir dalam kurun waktu yang disebut sebagai Heilsgeschichte atau “Sejarah Suci” atau “sejarah keselamatan”! Ia merancang, melaksanakan dan menyempurnakan penebusan atas umat-Nya di dalam sejarah. Tuhan adalah menyejarah! God is historic. Ia bukan Allah yang privat, bukan pula penguasa esoterik. Tepat sekali, history is His story.



Kedua, Kekristenan adalah iman yang menyejarah. Apa yang disebut sebagai pokok-pokok iman, tidaklah sesuatu yang jatuh dari langit biru secara tiba-tiba. Alkitab sendiri merupakan buku sejarah, serta buku yang menyejarah. Ia terbentuk dalam kurun tak kurang dari 1500 tahun. Gereja menjadi actus tradendi, “pewaris tradisi suci” yang melestarikan warisan-warisan pengajaran dari generasi ke generasi. Para pemikir yang silih berganti dalam sepanjang sejarah perkembangan gereja, dan posisi mereka adalah sebagai penafsir-penafsir tradisi suci dalam konteks dan pergumulan zaman masing-masing. Kita pun menjadi penafsir tradisi suci pada konteks zaman kita, dan hal ini mensyaratkan bahwa kita pun harus memahami tradisi-tradisi yang diwariskan dalam sejarah.



Ketiga, Kristus akan menyempurnakan sejarah. Dengan menyelidiki sejarah masa lampau, sebenarnya kita dituntun untuk memandang masa depan dengan lebih bening. Melalui Kitab Suci yang berumur lebih dari 3500 tahu itu, kita tahu bahwa Kristus akan kembali untuk menyempurnakan ciptaan baru-Nya. Kita menjadi tahu bahwa kita hidup dalam rentang already-not yet. Kita hidup dalam anamnesis, kenangan masa lalu; serta prolepsis, “antisipasi” dari masa yang akan datang. Inilah yang menjadikan pengharapan kita penuh, dan setiap jerih lelah kita tidak ada satu pun yang sia-sia. Inilah yang memberi makna ketika kita mengangkat roti dan cawan perjamuan, serta diberitakan kepada kita, “Makan roti . . . minum cawan. . . kamu memberitakan kematian Tuhan sampai Ia datang” (1Kor. 11:26).



Apakah sejarah berguna bagi pelayanan kita di gereja, yang bukan menjadi dosen teologi? Tentu masing-masing kita yang dapat menjawabnya. Akan tetapi, jika kita mencintai Gereja Tuhan, dan ingin memberikan yang terbaik kepada Allah, maka niscaya tugas sebagai actus tradendi, pengemban warisan tradisi itu ada di pundak kita. Jika kita ingin mengajarkan sesuatu yang bernilai kekal, nilai kekal itu ditakar dalam sejarah! Jika kita berhasrat memberi makan jemaat dengan makanan rohani yang sehat dan bergizi, maka adalah tugas kita untuk bekerja ekstra keras dalam mempersiapkan diri kita.



Ataukah, semua masalah ini bersumber dari apa yang pernah dikatakan oleh sejarawan ternama Arnold Toynbee, "Ada hal yang menarik yang dapat dipelajari tentang manusia. Manusia memang belajar sejarah, tetapi manusia tidak dapat belajar dari sejarah"? Apakah di ladang, kita memiliki waktu untuk belajar pribadi, di luar tumpukan tugas serta tuntutan persiapan khotbah? Semoga.



TERPUJILAH ALLAH!



SEJARAH, PENDIDIKAN DAN TEOLOGI (1)



SEJARAH, PENDIDIKAN DAN TEOLOGI: SEBUAH REFLEKSI PRIBADI



Sejarah di Negeri Kita



Kita mengenal kata-kata bijak, “Bangsa yang besar adalah bangsa yang selalu mengingat sejarahnya.” Bapak pendiri bangsa ini, Bung Karno pernah menyerukan, “JAS MERAH!” Jangan sekali-kali melupakan sejarah.



Sayang! Tak banyak orang yang menghargai sejarah. Hanya segelintir orang yang menyukai sejarah. Dapat dibuktikan berapa prosentase siswa-siswa dari SD sampai dengan SMA yang menyukai mata pelajaran sejarah. Sangat sedikit! Kebanyakan menggenjot diri dengan ilmu-ilmu eksakta, dengan pemikiran bahwa masa depan lebih terjamin dengan menguasai ilmu-ilmu eksakta itu. Orangtua pun tak segan-segan untuk merogoh kocek untuk mengeluarkan bea ekstra demi anak-anaknya mencapai nilai tinggi dalam Matematika dan cabang-cabang IPA. Bahasa mendapat 6, tidak mengapa. Sejarah mendapat 6,5 tidak ada yang cemas.



Apalah hendak di kata, memang demikian imaji masyarakat mengenai mata pelajaran sejarah. Celakanya, sistem pendidikan di Indonesia turut menjerumuskan masyarakat, dengan mengondisikan setiap pebelajar untuk tidak menyukai sejarah; pasalnya, sejarah identik dengan menghafalkan orang-orang mati, tempat dan waktu suatu peristiwa. Sampai-sampai ada humor, seorang guru bertanya, “Apa yang terjadi pada 1825-1830?” Ada anak yang tiba-tiba mengacungkan tangannya dan berteriak keras-keras, “Adzan maghrib, Bu!”



Jika pemerintah Orba dulu menggenjot IPTEK sebagai unggulan, dengan contohnya perusahaan pesawat terbang Nurtanio diubah namanya menjadi IPTN—yang pada masa sekarang ini tidak ada satu pun pesawat yang diproduksi—maka kian parahlah kondisi di era Reformasi ini. Pelajaran menjadi semakin tidak jelas. Kurikulum berganti-ganti. Ada orang berkata, “Asal Menteri Pendidikannya ganti, kurikulum juga ikut-ikutan ganti.” Standar kelulusan dinaikkan, sementara daya dukung dan subsidi untuk pendidikan sebisa mungkin dipangkas, atau disunat. Banyak siswa yang stres dan depresi. Tiap tahun, saya berhadapan dengan siswa-siswa yang paranoid dengan Ujian Akhir Nasional. Mereka tidak yakin apakah dapat menuntaskan pendidikan sesuai target. Rasa malu sudah terbayang ketika nama mereka dinyatakan tidak lulus dan harus mengulang setahun, atau ikut Kejar Paket C.



Instansi yang membidangi sejarah di Indonesia juga tidak pernah mendapatkan privilese dari pemerintah. Lihatlah kantor-kantor arkeologi dan kesejarahan di negeri kita, dan museum-museum yang dibangun dengan harga tak murah sama sekali. Orang yang datang tiap harinya dapat dihitung dengan jari. Bahkan tidak sedikit, museum-museum di Indonesia tidak lagi terawat keadaan bangunan serta isinya. Berstudi mengambil fakultas sejarah, sama saja dengan orang buangan yang tidak dapat masuk ke bidang prestisius dan basah seperti kedokteran atau teknik (jangan-jangan teologi pun dianggap seperti itu!). Saya sangat terkejut ketika diberi tahu oleh seorang rekan di satu kota di Jawa Timur, bahwa Kepala Pusat Arkeologi di salah satu provinsi di Pulau Jawa, hanya menerima gaji Rp. 900 ribu perbulan! Padahal ia bergelar Magister Sains. Strata 2!



Maka tidaklah mengherankan, bila di museum-museum sering kehilangan koleksi benda-benda peninggalan sejarah yang harganya tak ternilai itu. Dini hari ini, tanggal 22 Agustus 2008, begitu pulang dari ngantor di gereja, saya sempatkan untuk menyalakan TV; dan sebuah berita di RCTI cukup heboh. Berita itu mengetengahkan pemulangan 4 arca koleksi asli museum purbakala di kota Surakarta, yang merupakan tinggalan zaman Hindu. Arca-arca itu dijual sampai ke luar negeri secara ilegal. Ada seorang haji yang membeli sebuah arca, tapi sangat aneh, ia membeli arca tersebut dari Belanda. Padahal arca itu asli dari Indonesia. Siapa pelakunya? Kepala museum itu sendiri, yang berdarah biru dan bergelar “Kanjeng Gusti Haryo.” Mengapa itu sampai dilakukan? Karena kebutuhan perut dan tuntutan keluarga, tentu saja! Mau mengharapkan gaji bulanan? Mana tahan!



Entah mengapa, kadang-kadang saya heran dan iri (jujur, seorang hamba Tuhan iri untuk yang satu ini!). Di negara-negara yang sudah sangat maju, sejarah tidak pernah dilupakan. Seseorang yang mempelajari ilmu-ilmu eksakta pun pasti bersentuhan dengan sejarah perkembangan ilmu tersebut. Lalu ada rumah-rumah produksi yang bertaraf nasional dan internasional, mau-maunya menerbitkan kajian mengenai sejarah-sejarah. Ada orang yang mau mengeksplorasi dan melakukan penggalian-penggalian di tempat-tempat bersejarah walau terpencil letaknya. Ada saja sponsor yang rela menginvestasikan uangnya untuk membuat dokumentasi. Apakah mereka sudah kelebihan uang dan tidak tahu harus menyalurkan ke mana lagi? Saya rasa kok tidak semata-mata karena alasan itu, tetapi karena memang sikap mental yang ditanamkan terhadap sejarah memang tinggi.



Taize Kemerdekaan RI ke-63 (2)





Taize Kemerdekaan RI ke-63 (1)





Monday, August 18, 2008

DARA YANG BERDOA, DIA YANG DIKUDUSKAN (2)



Penghulu-penghulu Malaikat



Di sebelah atas, kanan dan kiri, terdapat dua orang penghulu malaikat, yang digambarkan dalam sebuah medali. Penghulu malaikat sebelah kiri, di tangan kanannya terdapat sebuah tongkat, lambang kekuasaan, dan yang kanan tangan kirinya terbuka sebagai bentuk adorasi atau pujian. Kedua malaikat itu membawa bulatan lambang bumi yang di tengahnya terdapat salib. Hal ini mengingatkan kita kepada firman Tuhan sendiri bahwa “oleh Dialah [Allah] memperdamaikan segala sesuatu dengan diri-Nya, baik yang ada di bumi, maupun yang ada di surga” (Kol. 1:20). Bulatan bumi itu adalah lambang dunia yang telah ditebus dan diperdamaikan oleh salib Kristus! Sehingga benarlah pujian dalam Kitab Wahyu, “Pemerintahan atas dunia dipegang oleh Tuhan kita dan Dia yang diurapi-Nya, dan Ia akan memerintah sebagai raja sampai selama-lamanya” (Why 11:15).



Cermatilah lebih lanjut, bahwa ukuran Sang Dara jauh lebih besar daripada ukuran kedua penghulu malaikat itu. Amati pula bagian atas jubah Sang Dara yang berwarna coklat bersinar keemasan. Jubah itu mengembang sehingga mirip sekali dengan malaikat yang mengembangkan sayapnya. Dalam sejarahnya, ikon ini kerap disebut sebagai ikon “SANG DARA, LEBIH AGUNG DARIPADA MALAIKAT-MALAIKAT.”



Ada kebenaran di balik penggambaran ini. Iman Kristen mengajarkan kepada kita untuk tidak berkanjang kepada dunia angelic, apalagi sampai memuja-muja malaikat sedemikian rupa. Rasul Paulus telah memperingatkan jemaat di Kolose untuk tidak “membiarkan kemenanganmu digagalkan oleh orang yang berpura-pura merendahkan diri dan beribadah kepada malaikat, serta berkanjang kepada penglihatan-penglihatan dan tanpa alasan membesar-besarkan diri oleh pikirannya yang duniawi, tetapi yang tidak berpegang teguh kepada Kepala . . .” (Kol. 2:18-19). Akses orang Kristen terhadap rahasia kemenangan iman bukanlah pada pekerjaan malaikat, tetapi langsung kepada Kristus yang adalah Kepala dan Juruselamat.



Dalam Kitab Suci, para malaikat ingin sekali memahami rahasia keselamatan yang Allah sediakan kepada manusia (1Ptr. 1:12). Mengapakah, ketika manusia berdosa, disediakan keselamatan? Tetapi ketika malaikat berdosa, hanya kebinasaan dan pengusiran dari surga saja yang berlaku bagi mereka? Rahasia iman ini diterangkan oleh Alkitab sendiri dengan tepat: Kristus datang untuk menebus manusia berdosa, dan bukan malaikat-malaikat! Kristus datang menjadi manusia, bukan menjadi malaikat. Ia menjadi sama seperti kita, terikat dan terbatasi oleh ruang dan waktu, namun berbeda dalam hal keberdosaan! Cur Deus homo? tidak pernah terpecahkan oleh malaikat-malaikat, bahkan oleh para penghulu malaikat! Mereka hanya dapat tersungkur dan bersembah sujud kepada Allah!



Lihatlah! Wajah malaikat-malaikat itu menunjukkan kekaguman tiada tara, nampak ingin memahami rahasia inkarnasi Kristus. Mereka mengamat-amati Sang Dara, seolah-olah ingin mengungkapkan kekaguman mereka atas kebaikan Allah melalui kelahiran Sang Putra lewat Dara itu. Mereka ingin menyelidiki apa artinya! Akan tetapi, dalam keterkaguman mereka, mereka hanya dapat memberikan puja-puji dan kekuasaan itu hanya bagi Kristus Tuhan. “Bagi Dia yang duduk di atas takhta dan bagi Anak Domba, adalah puji-pujian dan hormat dan kemuliaan dan kuasa sampai selama-lamanya!” (Why. 5:13). Dan lagi, “Amin! Puji-pujian dan kemuliaan, dan hikmat dan syukur dan hormat dan kekuasaan dan kekuatan bagi Allah kita sampai selama-lamanya! Amin!” (Why. 7:12).





Medali Kristus



Di dada Sang Dara, terdapat Kristus yang ditempatkan dalam sebuah medali. Medali itu menempel pada jantungnya. Dalam ikonografi, Kristus yang seperti ini disebut sebagai Kristus Imanuel. Apabila sekarang kita melihat ikon Kristus Imanuel (Christus Emmanuel), berada di jantung hati Sang Dara, kita pun diingatkan akan firman Tuhan, “’Sesungguhnya, anak dara itu akan mengandung dan melahirkan seorang anak laki-laki, dan mereka akan menamakan Dia Imanuel’—yang berarti Tuhan menyertai kita” (Matius 1:23 bdk. Yes. 7:14). Kristus Imanuel adalah buah tubuh Sang Dara, dan Ia berada di dalam rahim Sang Bunda.



Sang Kristus Imanuel itu tengah merentangkan kedua tangan-Nya, dalam posisi memberkati. Bila Anda lihat, gerak tangan Sang Imanuel ini bersinambung dengan tangan Sang Dara yang sedang berdoa. Sang Dara berdoa untuk umat Allah, Sang Imanuel memberikan berkat-berkat-Nya. Dialah yang memberikan jawaban atas doa-doa orang kudus-Nya, dan Dialah yang menjadi sumber berkat serta pohon keselamatan manusia berdosa.



Ada sesuatu yang luar biasa jika kita mengambil waktu untuk berkontemplasi di depan ikon ini. Semakin lama kita akan semakin kita menyadari bahwa fokus ikon ini bukan kepada Sang Dara. Bagaimana kita tahu? Ikon ini membawa kita kepada rahasia Trinitas yang begitu dalam. Perhatikanlah medali Kristus Imanuel dan medali kedua penghulu malaikat. Bila kita tarik, kita akan menemukan sebuah segitiga, yang menghubungkan kedua malaikat dengan kepala Sang Dara, serta kedua malaikat itu dengan medali Sang Imanuel. Tangan Sang Dara serta lipatan jubah sebelah atasnya menjadi bingkai dari segitiga itu.



Jadi jika kita mau satu padukan pehamanan di atas, yaitu bahwa Sang Dara—sekalipun ia lebih besar daripada malaikat-malaikat—tetapi ia hanyalah “bingkai” atau pengantar agar umat dapat datang dan mengenali rahasia terbesar iman mereka yaitu kehidupan di dalam persekutuan dengan Trinitas yang kudus. Ia disebut sebagai “penunjuk jalan”; dan Kristus adalah Jalan itu, dan dengan seseorang mengenal Kristus, seseorang akan dimaktubkan dalam persekutuan Allah Trinitas yang kudus.





Spiritualitas untuk Masa Kini



Setiap hari kita hidup dalam perjumpaan dengan orang lain. Perjumpaan itu dapat membuat kita senang, tetapi juga dapat membuat kita susah. Kita dapat menghargai orang lain, tetapi juga dapat merendahkan orang lain. Akan tetapi setiap kita, dalam sejarah hidup kita, memiliki sosok atau pribadi yang kita katakan sebagai “idola.” Di mata kita, sang idola kadang-kadang membuat kita tak dapat berpikir objektif. Sang idola seolah-olah menjadi sosok yang tanpa cacat dan tanpa cela.



Untuk itu kita perlu berpikir lebih objektif. Untuk menjadi keobjektivan ini, butuh waktu. Kita harus belajar untuk lebih tenang, tidak tergesa-gesa, dan melihat orang lain dengan apa adanya. Ikon Panagia Agung sekilas mengesankan bahwa Sang Dara adalah pusat dari ikon ini. Padahal, bila kita mengambil waktu untuk lebih cermat dan bermenung, kita ternyata dibawa untuk melihat lebih dalam. Bukan Sang Dara, tetapi kehidupan di dalam Allah Trinitas, itulah yang menjadi fokus perhatian utama.



Oleh karena itu, marilah kita belajar untuk mendekatkan jiwa dan tubuh kita kepada Dia yang empunya kehidupan ini. Maka kita pun akan diantar ke dalam suatu rahasia hidup yang berkemenangan di dalam Tuhan, sebuah kehidupan yang jauh lebih indah, yang Ia telah persiapkan melalui pengutusan Kristus dan penebusan-Nya. Haleluya!





TERPUJILAH ALLAH!