Saturday, September 27, 2008

KEMATIAN, SEDEMIKIAN MENAKUTKAN? (4)



Penutup



Ilmu kedokteran bolehlah menerangkan proses kematian. Kecanggihan teknologi medis dapat mengupayakan obat untuk memperlambat degradasi sel manusia. Tetapi ilmu-ilmu ini mempunyai keterbatasan. Ia segera berbenturan dengan pertanyaan, setelah kita mati, mau apa? Tidak ada data untuk itu. Ya, jiwa manusia mempunyai awareness, kemawasan atau conscience, kesadaran. Tetapi kesadaran yang bagaimana? Lalu mau apa roh manusia dengan kesadaran jiwawi itu?



Alkitab dengan jelas menerangkan makna kematian, yang bagi orang lain, semua ini adalah misteri yang menakutkan. Kristus Tuhan pernah mati. Ia masuk ke dalam kegelapan kematian, bahkan tanpa Bapa-Nya! Bayangkan, masuk kekekalan tanpa kehadiran Bapa yang Ia kasihi. Tetapi syukur kepada Allah, Bapa membangkitkan-Nya pada hari yang ketiga, sehingga sorak umat Allah seperti yang diwakili oleh rasul Paulus, “Maut telah ditelan dalam kemenangan. Hai maut, di manakah kemenanganmu? Hai maut, di manakah sengatmu?” (1Kor. 15:54-55). Inilah penghiburan kita yang sejati! Inilah yang tidak pernah ditemukan oleh ilmu medis dan kecanggihan teknologi kimia.



Itulah sebabnya, rasul Paulus berani berkata, bahwa kematian itu tak ubahnya “tidur,” tetapi berbahagialah setiap orang yang “tidur” di dalam dekapan Kristus! Untuk selama-lamanya, ia akan menjadi milik Kristus! Kristus akan menjaganya dengan aman, dan kelak akan dibangkitkan kembali.



Camkanlah pertanyaan pertama di dalam Katekismus Heidelberg berikut ini:



Pertanyaan: Apakah satu-satunya penghiburan Saudara, baik pada masa hidup maupun pada waktu mati?

Jawab: Bahwa badan dan jiwa saya, baik pada masa hidup maupun pada waktu mati, bukan milik saya, melainkan milik Yesus Kristus, Juruselamat saya yang setia, yang sudah menebus segala dosa saya dengan darah-Nya yang tak ternilai harganya, dan sudah melepaskan saya dari segala kekuasaan iblis, dan memeliharakan saya, sehingga sehelai rambut pun tidak akan jatuh dari kepala saya, jika tidak dengan kehendak Bapa yang ada di surga, bahkan segala sesuatu sungguh berguna untuk keselamatan saya, maka karena itu juga dengan Roh-Nya yang kudus Ia sudah menjamin hidup yang kekal bagi saya, sehingga mulai dari sekarang ini dengan rela hati saya bersedia menjadi hamba-Nya.





TERPUJILAH ALLAH!



KEMATIAN, SEDEMIKIAN MENAKUTKAN? (3)



Kedua, mereka “tidur,” hanya untuk sementara



Mereka tidak akan tidur selamanya. Kalau tidur kita terlalu lama, maka badan kita akan terasa pegal-pegal dan tidak nyaman. Tidur itu nikmat, tetapi tidur itu untuk sementara waktu saja. Tidak ada seorang pun yang tidur untuk selamanya.



Kebenaran Alkitab tentang “tidur”-nya orang percaya, adalah bahwa orang percaya meninggal untuk sementara waktu. Ia tidak selamanya tidur dalam liang lahat. Ia akan bangun kembali. Tiap pagi, ketika bangun dari tidur, menghirup udara pagi yang segar, wah . . . rasanya begitu segar! Demikianlah setiap orang percaya yang “tidur.” Ia kelak akan bangun, dan ia akan menghirup udara baru yang jauh lebih segar.



Kapan itu terjadi? Ketika Kristus yang sudah naik ke surga itu kembali lagi sebagai Tuhan dan raja semesta. Ia akan menjadi Hakim yang adil. Ia akan membela perkara umat-Nya. Kaum-Nya tidak akan dihukum. Dan sebagai tandanya, mereka akan dibangkitkan kembali, untuk bekerja. Bekerja? Ya, bekerja! Bekerja di dalam dunia dan langit yang baru. Bekerja dengan tiada lagi uraian air mata. Bekerja dengan tiada lagi lelah dan derita. Bekerja dengan lindungan Tuhan, sebab Ia hadir di tengah-tengah mereka untuk selama-lamanya. Tiada lagi dukacita. Tiada lagi kematian.



Seandainya Tuhan tidak kembali, dan membangkitkan kita, maka sia-sialah seluruh iman kepercayaan kita. Inilah yang meruntuhkan setiap imajinasi kalau orang mati itu tidak naik ke surga, tetapi jiwanya tetap berkeliaran di suatu dimensi di sekitar kita, yang bisa melihat kita tetapi tidak dapat terlihat oleh mata kita. Kita lebih percaya kepada Kitab Suci. Berita Kitab Suci sedemikian jelas dan gamblang bagi kita.



Maka, kematian kita hadapi dengan suatu kepastian. Tak perlu cemas dan risau dengan kematian, karena kematian itu sementara waktu saja. Kita tak perlu bertanya berapa lamanya kematian itu berlangsung. Tetapi apakah Saudara yakin bahwa Saudara akan menikmati “tidur” atau istirahat yang damai dan memiliki pengharapan seperti ini? Justru yang Saudara harus risaukan adalah bila Saudara belum mempunyai kepastian itu.



Ketiga, mereka yang “tidur” dalam Kristus akan bahagia



Bagaimana mempunyai kepastian bahwa “tidur” kita itu hanya sementara waktu saja? Yaitu ketika kita percaya bahwa “tidur” di dalam Kristus dengan meninggal di luar Kristus itulah yang menentukan “nasib” kita kelak. Barangsiapa tidur dalam Kristus, ia akan dikumpulkan Allah bersama-sama dengan Dia (Kristus). Artinya, kita aman berada di dalam pelukan Kristus. Kristus bukan saja hadir di sana, tetapi Ia bahkan mendekap kita, memeluk kita dengan erat. Kita berada di dalam ribaan Kristus dan mendengar suara-Nya yang lembut, “Engkau adalah milik-Ku, takkan Kubiarkan engkau direbut dari dekapan-Ku.”



Kepada salah satu penjahat yang berseru kepada Kristus, pada waktu Ia disalib, “Yesus, ingatlah akan aku, apabila engkau datang sebagai Raja.” Kata Yesus kepadanya, “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya hari ini juga engkau akan ada bersama-sama dengan Aku di dalam Firdaus” (Luk. 23:42-43). Apa arti “Firdaus”? Yaitu di mana Allah hadir dan bertahta. Penjahat itu dijanjikan oleh Kristus untuk tinggal bersama Dia di surga, Firdaus Allah! Jika kepada penjahat saja, Kristus Yesus menjanjikan Firdaus, apalagi kepada murid-murid-Nya, demikian pun dengan kita yang mengikuti Kristus!



Masih adakah yang menakutkan dengan kematian? Kita tidak hanya dikumpulkan dengan para leluhur iman kita ketika kita meninggal (artinya: “tidur” di dalam Kristus). Tetapi, kita akan dipeluk oleh Kristus, didekap dalam cinta kasih-Nya yang kekal dan mahakuasa, hingga kelak kita akan mendapatkan kebangkitan tubuh kita. Apabila ini yang menjadi keyakinan kita, maka tak ada satu pun yang akan memisahkan kita dari Kristus dan kuasan-Nya yang ajaib lagi dahsyat itu. Sehingga, dengan cara apa pun jenasah seorang Kristen dirawat, kelak ia akan dibangkitkan pula.



Kadang-kadang ada orang yang menabukan kremasi, dengan pertimbangan, bagaimana bila kelak ada kebangkitan orang mati. Bukankah yang akan bangkit adalah orang-orang yang berada di dalam kubur? Bukan diperabukan, kemudian abunya dilarung ke laut! Oh, tidak demikian. Banyak orang Kristen yang meninggal dunia karena perang, karena bom sehingga tubuh mereka tercabik-cabik dan sulit sekali teridentifikasi. Bukankah mereka pun akan sulit dibangkitkan kalau demikian? Tidak demikian, bukan? Kita percaya kuasa Allah yang mahadahsyat. Sehingga, baik ia meninggal karena tua, sakit, perang, ledakan bom, gempa bumi, tsunami, dan lain-lain, Tuhan tetap sanggup membangkitkan mereka dari kematian. Ia tidak sekerdil itu! Kalau Kristus berkata, “Engkau adalah milik-Ku, dan Aku takkan membiarkan engkau,” maka hal ini boleh menjadi jaminan bagi kita bahwa kelak janji kebangkitan itu menjadi milik kita yang pasti.



KEMATIAN, SEDEMIKIAN MENAKUTKAN? (2)



Kata Alkitab



Jadi, apakah kematian? Data dan fakta mengenai makna kematian tidak ada yang lebih baik dan menghiburkan selain Kitab Suci. Dalam Perjanjian Lama, YHWH adalah Allah yang peduli dengan kehidupan. Meski kematian adalah akibat dosa manusia, tetapi istilah yang banyak muncul di PL—bagi para raja dan nabi, misalnya—untuk kematian adalah “dikumpulkan dengan para leluhurnya.” Para leluhur sedarah-sedaging! Tetapi juga leluhur iman! Ya, ketika seseorang meninggal, ia tidak ditinggal sendirian. Ia tidak kesepian.



Demikian pula dengan PB. Yesus Kristus sendiri mengatakan, “Akulah kebangkitan dan hidup; barangsiapa percaya kepada-Ku, ia akan hidup walaupun ia sudah mati” (Yoh. 11:25). Simak baik-baik: hidup meski sudah mati. Kristus menjamin kehidupan di balik kematian. Meskipun raga kasar manusia terurai, tetapi jiwanya tetap hidup. Jauh sebelum ada penyelidikan medis mengenai out of body experiences, Kristus mengatakan bahwa jiwa tetap memiliki kesadaran setelah kematian. Jiwa seseorang tetap hidup. Maka, berbahagialah setiap orang yang mengerti rahasia ini! Pertanyaannya kini: Bagaimana realitas di balik kematian itu?



Pertanyaan ini mengusik hati banyak jemaat gereja perdana. Bagaimana setelah seorang Kristen mati? Apalagi mereka sedang diimpit dengan penderitaan tiada tara. Kristus tidak ada lagi bersama dengan jemaat. Apa yang Ia kerjakan? Apakah Ia tetap peduli dengan jemaat yang sedang menderita? Akankah Ia kembali, dan akankah hal itu terjadi? Mereka membutuhkan kekuatan iman. Mereka butuh penghiburan. Mereka butuh kepastian.



Untuk alasan inilah, Paulus menulis surat 1 Tesalonika. Surat ini adalah kitab pertama yang ditulis oleh rasul Paulus, sekitar tahun 50-51 M. Dalam kitab pertamanya ini, Paulus hendak menjawab pergumulan jemaat mengenai kepastian dan jaminan sejati di dalam Kristus, bagi gereja Tuhan.



Karena itu, ia berkata, “Kami tidak mau . . . bahwa kamu tidak mengetahui tentang mereka yang meninggal.” Rasul hendak menerangkan mengenai mereka yang terlebih dahulu mati di dalam imannya oleh karena Kristus. Jemaat jangan sampai tidak mengetahui hal yang seperti ini, apalagi mereka sedang menghadapi tantangan iman yang sangat berat. Berita ini tetap, bahkan makin relevan. Pada masa kini pun, mengingat beban hidup yang kian menindih kehidupan, jemaat perlu disadarkan akan arti kematian dan kehidupan di baliknya.



Bagaimana keadaan mereka yang telah meninggal?



Pertama, mereka yang meninggal sedang “tidur”



Bahasa aslinya memang “tidur.”[1] Tidur itu beristirahat. Beristirahat itu melepas lelah. Setiap orang butuh tidur yang cukup. Beristirahat itu sangat perlu. Kira-kira 6-8 jam, itulah waktu istirahat bagi seorang dewasa di malam hari. Tidur yang cukup akan memulihkan kekuatan dan kesehatan.



Seminggu lalu (21 September 2008), saya dijadwal berkhotbah tiga kali. Sabtu malam, saya tidak dapat tidur, sampai jam 3 dini hari, padahal saya harus menyampaikan firman pada pukul 6 pagi. Saya hanya tidur 1,5 jam! Kebaktian pertama lancar. Di kebaktian kedua, di tengah-tengah khotbah, suara saya habis, tinggal sisa-sisa. Saya sebenarnya sudah menduga gangguan itu sebelumnya! Kenapa terjadi gangguan itu? Karena saya kurang istirahat. Saya tidak cukup tidur.



Ketika anak perempuan kepala rumah ibadat mati bernama Yairus, Tuhan Yesus berkata, “Mengapa kamu ribut dan menangis? Anak ini tidak mati, tetapi tidur!” (Mrk. 5:41). Hal ini sebenarnya bukan berita unik. Orang Yahudi, dalam mazhab Farisi, percaya adanya kebangkitan tubuh, setelah kematian. Sehingga, kematian bukanlah suatu momok yang menakutkan. Kematian tak ubahnya seperti tidur. Tuhan Yesus juga percaya berita ini. Ia percaya akan adanya kebangkitan tubuh dan karena itu, katakan bahwa kematian itu adalah tidur.



Sekarang dapat kita pahami makna rohaninya. Hidup di dunia itu lelah. Banyak penderitaan dan sengsara yang dialami setiap orang. Kita merasa capai, penat, dan lunglai serta kadang-kadang putus asa menghadapi tantangan kehidupan yang kian memberatkan. Seseorang yang meninggal berarti menanggalkan kepenatan dan beban kehidupan. Ia beristirahat dalam damai.



Maka kini, seperti kata Tuhan Yesus, ketika kita melihat seorang Kristen yang sungguh-sungguh telah meninggal dunia, “Mengapa ribut dan menangis? Kekasih kita tidak mati, tetapi tidur!” Milikilah kepastian ini. Tak perlu kita risau dengan kematian.




[1]Bdk. bahasa Inggris fall asleep atau asleep.



KEMATIAN, SEDEMIKIAN MENAKUTKAN? (1)



KEMATIAN, SEDEMIKIAN MENAKUTKAN?

1 Tesalonika 4:13-18





Misteri Kematian



Setiap orang pasti mati. Yang disebut sebagai “mati” dalam dunia medis adalah ketika jantung berhenti berdetak, tidak ada darah yang dialirkan sampai ke otak. Hal ini berlangsung cepat sekali, sekitar 10 detik, maka kerja otak akan berhenti.



Setiap orang bereaksi dengan kenyataan kematian. Kebanyakan orang takut menghadapi kematian. Sebab kematian adalah wilayah yang teramat asing, dan belum pernah ia ke sana. Kematian membuatnya terpisah dari orang-orang yang dekat, dan terbayang kemudian, ia sedang berjalan sendiri dalam kegelapan dan lorong misterius yang dingin dan tak bersahabat. Kematian pun membuat seseorang kadang merasa setiap upaya dan prestasi di dunia ini akan kandas dan dilupakan orang; ia pun membuat patung atau monumen bagi kejayaannya alih-alih ketakutan untuk menghadapi kesenyapan dan kesepian di dunia kematian. Kematian, sebaliknya, membuat seseorang yang belum dapat mengukir prestasi juga ketakutan, karena belum banyak orang yang mengenalnya sebagai seseorang yang berharga, berguna dan memberikan sumbangsih bagi kehidupan sekitarnya.



Kendati demikian, ada sejumlah orang yang telah siap dengan kematian. Ada orang yang mempersiapkan kematiannya oleh karena ia tahu, penyakitnya sudah terminal; segala macam usaha dan terapi tentu tiada membuahkan hasil yang signifikan. Ada orang yang mempersiapkan kematian karena putus asa; merasa hidup tiada gunanya, hampa semata-mata, dan oleh sebab itu, tak ada alternatif lain kecuali mempercepat datangnya kematian dengan memungkasi kehidupan, atau yang lebih halus menunggu ajal tiba. Ada yang lain lagi siap dengan kematian, oleh karena ia memang siap dengan kematian; ia mempersiapkan kematian itu dengan kepasrahan yang tinggi kepada Allah—bukan karena berputus asa. Kami kaget karena seorang rekan majelis jemaat senior ketahuan telah mempersiapkan kematiannya selama 12 tahun—ia telah menyusun liturgi dari penutupan peti hingga pemakamannya.



Ilmu kedokteran dan psikiatri pun mencoba memahami apa itu kematian. Adalah Dr. Sam Parnia, pakar New York City’s Weill Cornell Medical Center disebut sebagai salah satu ahli kajian ilmiah mengenai kematian. Selama tiga tahun, bersama para koleganya, ia mengumpulkan data biologis mengenai pengalaman-pengalaman “di luar tubuh” yang dialami oleh orang-orang yang sudah dinyatakan meninggal dunia, tetapi kemudian hidup kembali. Kajian ini dikenal sebagai AWARE (AWAreness during Resuscitation); dan dilakukan atas kerja sama 25 pusat kesehatan di seluruh Eropa, Kanada dan Amerika Serikat. Mereka mempelajari 1500 kasus seperti itu atas orang-orang yang mengalami gangguan jantung.



Tuturnya, ketika aliran darah tidak ada lagi di otak, sel-sel akan mengerut untuk mempertahankan dirinya hidup. Dalam 5 atau lebih, sel-sel ini mulai rusak atau berubah. Setelah satu jam, kerusakan ini begitu besar sehingga ketika diupayakan untuk memfungsikan kembali jantung dan memompa darah, hal ini sia-sia. Sel-sel itu telah mengalami perubahan sedemikian besar. Sel-sel akan terus berubah, dan dalam beberapa hari, tubuh mengalami dekomposisi. Hal ini adalah suatu proses, bukan satu kejadian di satu waktu, yang dimulai ketika jantung berhenti dan berpuncak pada kerusakan tubuh, yakni dekomposisi sel-sel.



Lalu, apa yang terjadi dengan pikiran ketika kematian itu terjadi? Apakah kesadaran juga berhenti dalam 2 detik pertama, 2 menit pertama, setelah 10 menit, setelah 30 menit, setelah 1 jam? Ternyata dari survei yang diadakan, dari ribuan kasus yang diteliti, orang-orang yang hidup kembali dari kematian itu tetap memiliki semacam kesadaran atau pikiran. Tapi Dr. Parnia pun akhirnya menjawab, “We don’t know.”



Menarik sekali hasil kajian Dr. Parnia. Ia mengaku bahwa lima puluh tahun lalu, ketika dokter menyatakan seseorang sudah mati, maka kecil kemungkinan untuk hidup kembali. Nowadays, we have technology that’s improved so that we can bring people back to life.” Ada obat-obatan yang dikembangkan saat ini untuk sungguh-sungguh dapat mengurangi proses kerusakan dan kematian sel otak. Jadi, jikalau obat ini diberikan kepada seorang pasien berpenyakit terminal, maka apa yang seharusnya terjadi dalam satu jam (untuk sel otak rusak dan akhirnya mati), akan berlangsung sekitar 2 hari. Memang, di balik itu, ada problem etis yang harus dijawab oleh dunia kedokteran.[1]



Saya bukan seorang dokter, yang mempelajari secara ditil anatomi dan kerja sel tubuh manusia. Karena itu, saya tak mungkin bisa menerangkan kerja tubuh dengan cermat. Tapi saya pernah berimajinasi dengan pikiran nakal seperti ini. Setiap kali mengikuti kebaktian kematian, dan tiap kali pelayan firman mengatakan, “Jiwa saudara kita sudah aman di dalam Tuhan,” ternyata jiwa/roh orang yang meninggal itu ada di sebuah dimensi di sebelah dunia fana ini, yang tidak dapat dilihat oleh orang yang hidup seperti kita, namun ia dapat melihat kita. Ia sedang berteriak-teriak dengan keras, “Itu bohong! Itu dusta! Yang dikatakan oleh pendeta itu tidak benar. Saya masih ada di sini! Lihat, saya ada di sampingmu! Jangan percaya kata-kata pendeta! Aku di sini! Dengarkan aku!” Bagaimana bila memang demikian kebenaran misteri kematian?



Lama saya berpikir. Akhirnya, pikiran nakal itu menjadi porak-poranda dengan pertanyaan sederhana, “Apa buktinya?” Dapatkah saya menunjukkan bukti bahwa ketika orang mati, dia masih bergentayangan, menyapa orang-orang yang ia kenal, tetapi mereka semua cuek kepadanya. Yang seperti itu adalah imajinasi dunia perfilman. Bukan kenyataan! Bukan pula fakta! Jadi, mengapa harus percaya dengan bayangan sendiri. Jika benar bayangan pikiran itu, betapa sengsaranya hidup di dunia! Akhir kehidupan manusia tak lebih daripada kengerian yang ultimat. Apa artinya hidup kini dan di sini, kalau bukan untuk get what you can, care what you get and sit on the can! (meminjam istilah Pdt. Voddie Baucham). Hidup itu nisbi. Akhir manusia nihil. Tiada arti. Tetapi apakah demikian?




[1]M. J. Stephey, “What Happens When We Die” , diakses tanggal 25 September 2008.



Saturday, September 20, 2008

OUR DESIRE OF COMMUNION



OUR DESIRE OF COMMUNION



What do we really desire? As I try to listen to my own deepest yearning as well as to the yearnings of the others, the word that seems best to summarize the desire of the human heart is “communion.” Communion means “union with.” God has given us a heart that will remain restless until it has found full communion. We look for it in sexual intimacy, in moments of ecstasy, in the recognition of our gifts. We look for it through success, admiration and rewards. But wherever we look, it is communion we seek . . .





The desire of communion . . . is a God-given desire, a desire that causes immense pain as well as immense joy. Jesus came to proclaim that our desire for communion is not in vain, but will be fulfilled by the One who gave us that desire. The passing moments of communion are only hints of the Communion that God has promised us. The real danger facing us is to distrust our desire for communion. It is a God-given desire without which our lives lose their vitality and our hearts grow cold. A truly spiritual life is life in which we won’t rest until we have found rest in the embrace of the One who is the Father and Mother of all desires.



Here and Now by Henri J. M. Nouwen



PERDAMAIAN DENGAN SEMUA ORANG (5)



Mulai dengan yang Sederhana



Menjadi pendamai, bukan berarti kita pergi ke Irak untuk memperdamaikan kaum yang bertikai di sana, atau ke Poso di mana konflik masyarakat pernah terjadi begitu hebatnya. Menjadi pendamai dimulai dari tempat di mana kita duduk atau berdiri; dimulai dari tempat di mana Tuhan memberikan perteduhan tiap-tiap hari kepada kita. Kendalanya hanya satu: si AKU. Gengsi kita yang kelewat besar!



Jika di antara Saudara ada yang merasa bahwa anak menjadi laknat dan bukan berkat, baiklah Saudara mengingat bahwa mereka adalah titipan Tuhan. Mereka milik Tuhan yang dipercayakan kepada Saudara. Menyakiti hati mereka, berarti menyakiti hati Tuhan yang menitipkannya kepada Saudara. Kasihilah mereka, rawatlah mereka, jagalah mereka dengan penuh sayang, dan jangan menimbulkan amarah di hati mereka. Bila Saudara pernah merasa punya salah kepada mereka, jangan takut dan merasa gengsi untuk meminta maaf. Itu merupakan pendidikan yang terbaik bagi mereka. Sebelum segala sesuatu terlambat.



Jika di antara Saudara ada yang merasa bahwa orangtua adalah satpam atau polisi Saudara, maukah Saudara meredam ego itu dan cobalah mengerti bahwa mereka mungkin telah salah cara ketika mendidik Saudara. Mereka mendidik sesuai dengan gaya didikan yang diwarisi dari orangtua mereka juga. Mereka mungkin tidak cukup memiliki pengetahuan untuk mendidik anak yang seharusnya. Tetapi yakinlah, apa yang mereka lakukan, sama sekali bukan bermaksud untuk menjerumuskan Saudara ke dalam hal yang buruk. Ampunilah mereka, dan tetaplah berjalan bersama mereka.



Jika di antara Saudara ada yang merasa bahwa mertua Saudara atau menantu Saudara adalah ancaman, oh saya berdoa: supaya sepulang dari tempat ini Saudara berdamai dengan mereka. Oh, mungkin Saudara merasa dia terlalu manja! Dia merongrong saya! Dia terlalu mencampuri urusan keluarga saya! Saya tidak tahan! Ingatlah firman Tuhan, “Hormatilah orangtuamu.” Mereka pun orangtua Saudara. Menantu juga adalah anak Saudara! Jadilah mertua atau menantu yang baik, yang mau mengasihi dengan tulus dan tiada kepura-puraan.



Jika di antara Saudara memiliki pembantu, biarlah Saudara memiliki wibawa di mata pembantu Saudara. Wibawa yang saudara bangun bukan dengan tangan besi, tetapi dengan kasih, keharmonisan antara suami-istri, orangtua-anak, dan perhatian serta kasih kepada mereka. Indikator keberhasilan Saudara adalah bila pembantu dapat berkata, “Jika saya punya keluarga, maka keluarga saya itu harus seperti keluarga bos saya!”



Mengapa kita melakukan ini semua? Karena kekuatan Allah yang memampukan kita untuk menjadi pembawa-pembawa damai! Ya, hanya Allah yang bekerja di dalam Kristus—Dia saja yang memungkinkan untuk kita melakukannya! Kenanglah Kristus! Ingatlah Dia! Dia yang tidak pernah memperhitungkan besar atau kecil dosa dan pelanggaran kita. Di mata Allah, mula-mula yang ada adalah kalimat, “Sebab semua orang telah berdosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah!” Ya, semua orang telah berdosa. Tidak ada seorang pun yang dapat terluput dari penghukuman itu!



Suatu kali Sir Isaac Newton membuat sebuah percobaan untuk membuktikan gravitasi. Ia mengambil dua buah apel. Yang satu besar, yang satu kecil. Ia naik ke sotoh bangunan bertingkat yang tinggi, lalu secara serempak menjatuhkan dua buah itu. Apa yang terjadi? Keduanya jatuh. Mana yang lebih dahulu? Tidak ada yang jatuh terlebih dahulu. Keduanya jatuh bersamaan.



Tiada dosa besar atau kecil di hadapan Tuhan. Semua orang telah berdosa dan karena itu yang layak untuk manusia terima adalah murka Allah yang menyala-nyala itu! Tetapi Kristus datang untuk umat-Nya; Ia mati untuk umat-Nya; Ia tak memandang mana yang dosanya besar, mana yang dosanya kecil, lalu Ia hanya menebus yang dosanya kecil saja. Ia menebus setiap umat Allah!



Kalau ada seseorang yang layak membalas kejahatan orang lain, orang itu adalah Kristus! Ia disiksa. Ia dipaku. Ia dibunuh oleh kesalahan dan pelanggaran kita. Bukan oleh karena kesalahan-Nya! Tetapi dari mulut-Nya, keluar kata-kata, “Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat!” Ia menjadi contoh konkret dari sabda-Nya sendiri, untuk berjalan dua mil kepada kita yang menuntut-Nya berjalan satu mil. Ia menjadi teladan utama dari Pribadi yang memberikan jubah, ketika ada orang yang meminta baju. Ia menjadi aktualisasi dari orang yang memberikan pipi kirinya, kepada orang yang menampar pipi kanannya.



Ah, itu kan karena Yesus adalah Tuhan! Saudara, ingatlah, Ia juga manusia! Ia merasakan sakit. Ia merasakan lapar. Ia merasakan haus. Ia insan yang sejati, sama seperti kita. Ia mau menjadi teladan kita, supaya tak satu pun di antara kita yang berkata, “Tidak ada contoh konkret untuk diriku!” Kristus sudah berjalan di depan kita!



Paulus berkata, “Janganlah kamu kalah terhadap kejahatan, tetapi kalahkanlah kejahatan dengan kebaikan! Saudara, buanglah gosip. Buanglah kedengkian. Buanglah dendam. Gantikan dengan kebaikan. Biarkan kasih Allah mengalir dan bergulung-gulung di hati kita, melindas semua perasaan dan pikiran yang memecah belah persekutuan kita. Jika kita masih menginginkan berkat Tuhan tercurah ke atas kita, marilah kita wujudkan perdamaian, kepada semua orang, dan terutama kepada saudara-saudara seiman. Kecuali jika kita tidak lagi mau berkat Allah turun ke atas kita. Wujudkanlah perdamaian dengan semua orang!



TERPUJILAH ALLAH!



PERDAMAIAN DENGAN SEMUA ORANG (4)



Belajar Berdamai: Kisah-Kisah Sederhana



Pertama, seorang hamba Tuhan sedang belajar untuk berdamai. Suatu kali, dia mendengar seorang aktivis tersinggung dengan apa yang dia lakukan, yang menurut aktivis itu, sang hamba Tuhan telah bersalah terhadap dia dan keluarganya. Sewaktu hamba Tuhan ini berkhotbah, sang aktivis itu sama sekali tidak mau melihat ke dia. Kalau tidak menunduk, ia melihat keluar.



Sang hamba Tuhan semula tidak terlalu memperhatikan kejadian itu. Dari penuturan seorang majelis jemaat selepas ibadah, sang hamba Tuhan mendengar bahwa aktivis itu sedang tersinggung dengan dia. Ia menjadi bergumul, tentang apa yang harus ia kerjakan. Akankah ia datang kepadanya? Minta maaf? Untuk kesalahan apa?



Peristiwanya yaitu pada waktu anaknya merayakan Sweet-Seventeenth. Hamba Tuhan ini diminta datang. Tepat dengan peristiwa itu, ada retret remaja di Bandungan, Ambarawa. Ia tentu tidak dapat meninggalkan anak-anak binaannya begitu saja. Tetapi aktivis itu meminta dengan sangat, dan memintanya untuk menaikkan doa makan. Undangan jam 18.00 tepat. Ternyata, hamba Tuhan itu tidak ada jadwal pada jam itu. Ia turun dari Bandungan, menuju ke tempat perayaan. Ternyata, perayaan baru dimulai pukul 19.30. Sang hamba Tuhan mulai panik. Perkiraan makan malam akan berlangsung pukul 20.00, sementara pukul 21.00 dia sudah harus ada di Bandungan karena memimpin sesi doa malam. Ia tidak mungkin meninggalkan remaja-remaja binaannya berada di Bandungan tanpa pembina. Maka ia cepat-cepat minta diri kepada tuan rumah. Dari situlah timbul masalah.



Mengenang peristiwa itu, hamba Tuhan itu berpikir, ia tidak bersalah. Ia mau mengurungkan niat untuk meminta maaf! Tetapi hatinya tidak tenang. Fakta di depan mata, adalah sang aktivis itu sudah tersinggung dengan tindakannya. Ini bukan masalah siapa yang benar, siapa yang salah, tetapi adanya perasaan terluka oleh tindakannya, meskipun ia merasa tidak bersalah. Akhirnya, ia bertekad untuk datang ke rumah aktivis itu, meminta maaf bila tindakannya itu telah menyinggung perasaan keluarga. Dari keberanian untuk meminta maaf itu, hubungan yang tadi retak dapat pulih, menjadi baik kembali.



Kedua, seorang muda, yang baru lulus dari sekolah teologi mendengar kabar bahwa seorang penatua jemaat tersinggung dengan sikapnya. Penatua itu menceritakan kepada rekan dan koleganya dalam kemajelisan mengenai keburukan-keburukan hamba Tuhan itu, dengan berapi-api dalam kemarahan. Mulailah persepsi-persepsi terbangun.



Orang muda itu mendengar. Ia menjadi tidak nyaman karena hari Minggu ini, ia akan berkhotbah. Mungkinkah dia sanggup berkhotbah tentang kasih, bila masih ada orang yang tersandung dengan tindakannya? Jangan-jangan dia dianggap NATO (No Action, Talk Only), atau kata orang “Jarkoni” (isa ngajar, ora isa nglakoni)! Ia tidak mau berita firman Tuhan terhambat hanya oleh karena ada saudara yang tersandung dengan dia.



Hari Kamis malam, ia mengambil waktu untuk berdoa, meminta pimpinan Tuhan. Dan Tuhan membisikkan perkataan Matius 5:23-24 itu ke dalam hatinya. Pukul 19.00, ia bergegas ke rumah penatua itu. Seorang diri ia menaiki kendaraan menuju rumah penatua, yang jaraknya lebih kurang 3 kilometer. Ia diterima secara pribadi, dan langsung diajak untuk masuk ke ruang bacanya. Hamba Tuhan itu memulai bercerita tentang maksud kedatangannya. Ia meminta maaf bila ada kata dan tindakan yang menyinggung perasaan sang penatua. Di luar dugaan, penatua itu menjawab dengan lirih dan sungguh-sungguh keluar dari hatinya. Ia pun gantian meminta maaf! Pertemuan malam itu pun diakhiri dengan doa bersama, dengan kedua tangan orang ini saling berpegangan, keduanya saling mendoakan. Air mata tak terasa mengalir ke luar. Sungguh-sungguh terjadi pemulihan dan pengampunan, bahkan rekonsiliasi.



Hari Minggu pun tiba. Pagi hari, sang hamba Tuhan itu tiba di gereja. Selang tak lama kemudian, penatua itu tiba di gereja beserta keluarganya. Ia langsung menemui sang hamba Tuhan dan mengatakan, “Selamat berkhotbah!” sambil menepuk bahu kirinya. Sepanjang ibadah, penatua itu duduk di depan. Ia memperhatikan dengan penuh perhatian. Di akhir ibadah, ia langsung menemui hamba Tuhan itu di depan mimbar, menjabat tangannya dengan erat dan berkata, “Thank you, saya mendapat berkat dari khotbahnya!”



PERDAMAIAN DENGAN SEMUA ORANG (3)



Kasih dalam Tindakan[1]



Bagaimana caranya menjadi pembawa damai? Perhatikanlah Roma 12 ini secara keseluruhan. Bagian pertama (ay. 1-2) berbicara mengenai “persembahan yang sejati,” bagian kedua (ay. 3-8) berbicara mengenai “pelayanan yang merendahkan diri di dalam tubuh Kristus,” dan bagian ketiga berbicara mengenai “kasih dalam tindakan.”



Saudara, tak mungkin kita menjadi pembawa damai, yang mengikuti jejak Kristus, kalau tubuh kita tidak dipersembahkan kepada Allah. Total! Dan tidak ada yang kita tahan-tahan. Sampai kita dapat berkata sama seperti rasul Paulus,



Namun aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku. Dan hidup yang yang kuhidupi sekarang di dalam daging, adalah hidup oleh iman dalam Anak Allah yang telah mengasihi aku dan menyerahkan diri-Nya untuk aku. (Gal. 2:20)



Jika PR ini telah kita kerjakan, maka kita pasti akan menjadi orang-orang yang mengasihi pekerjaan-pekerjaan Tuhan, bersama dengan orang-orang yang dekat dengan kita. Bukan hanya di gereja, tetapi lingkup yang lebih kecil adalah keluarga kita. Segenap karunia kita pakai untuk saling melayani, saling menopang dan saling membangun. Jika ini kita dapat kerjakan, maka hidup kita akan akan menular lagi ke lingkup yang lebih luas yaitu “kepada semua orang” kita nyatakan kasih dalam tindakan.



Tunggu dulu! Bagaimana dengan kata, “Sedapat-dapatnya . . . kalau . . .” tadi? Bukankah kalimat ini sama artinya dengan, “Jika mungkin bisa dikerjakan . . . kalau tidak, ya tidak apa-apa?” Jadi, “Kan terserah saya—saya mau atau tidak itu hukumnya sunnah, bukan wajib! Saya mau dengki, dendam, tidak mau bicara kepada siapa pun, kan tidak apa-apa, lha wong yang salah dia. Yang penting, pokoknya saya tidak membunuh dia! Saya tidak mencemarkan nama baik dia! Saya tidak menjelek-jelekkan dia! Saya hanya tidak mau bicara kepada dia! Saya beribadah kepada Allah secara pribadi. Saya tidak ada urusan dengan dia.”



Bukan demikian! Perhatikanlah kalimat pertama perikop kita, “Hendaklah kasih itu jangan pura-pura! Jauhilah kejahatan dan lakukanlah yang baik” (ay. 9). Inilah kuncinya!



Firman Tuhan menegur kita, “Kasih itu jangan pura-pura!”[2] Kasih haruslah tulus (NIV/TNIV sincere). Kata “jangan pura-pura” (anupokritos) secara harfiah adalah, “jangan bertopeng.” Seperti lagu kesukaan anak-anak muda beberapa waktu lalu, dari album Peterpan, “Tapi buka dulu topengmu! Buka dulu topengmu! Biar kulihat wajahmu! Biar kulihat wajahmu!” Kalau orang berpacaran saja tidak suka bila pacarnya memakai topeng, kehidupan Kristiani pun tidak boleh pura-pura.



Seorang hupokrites, pemain sandiwara dalam pertunjukan drama Yunani/Romawi biasanya memainkan perannya dengan memakai topeng. Maka, kasih seorang Kristen janganlah dihalang-halangi oleh maksud-maksud yang tersembunyi. Kasih Kristiani merupakan pernyataan yang asli (autentik) dari kehendak baik untuk mengasihi orang lain, sebagai akibat dari rasa syukur kita akan anugerah keselamatan yang kita terima dari Allah!



Jadi, sudah cukupkah, jikalau kita tidak membunuh sesama manusia kita?



Belum, karena dengan melarang dengki, dendam dan amarah itu, Allah memerintahkan pula, supaya kita mengasihi sesama manusia kita seperti diri kita sendiri, dan memperlakukannya dengan kesabaran, damai, lemah lembut, murah hati lagi ramah tamah, dan supaya sedapat-dapatnya kita menghindarkan dari dia segala sesuatu yang merugikan dia, serta berlaku baik terhadap musuh kita pun juga (lih. HC 170).



Tidak ada excuse bagi kita! Kegagalan dan kemalasan kita untuk memperjuangkan damai dalam hubungan-hubungan pribadi merupakan hal yang dilarang oleh Tuhan. Tidak ada alasan apa pun untuk hal ini. Kristus berkata,



Sebab itu, jika engkau mempersembahkan persembahanmu di atas mezbah, dan engkay teringat akan sesuatu yang ada dalam hati saudaramu terhadap engkau, tinggalkanlah mezbah itu dan pergilah berdamai dahulu dengan saudaramu, lalu kembali untuk mempersembahkan persembahanmu itu (Mat. 5:23-24).



Betapa aneh bila ada orang Kristen yang masih menyimpan dendam, dengki, kepahitan, luka dan perih yang tak mau diobati, masih diam-diaman dengan saudara seiman, tetapi tiap Minggu dengan mudah berdendang di hadapan Allah, “Hari ini kurasa bahagia, berkumpul bersama saudara seiman!” Sementara kita tahu di ujung sana ada “musuh kita,” kita masih berani-beraninya berkata di hadapan Tuhan, “Satukan kami, dengan tali kasih yang sempurna.” Begitu meninggalkan gereja, dendam itu tak kunjung pulih. Kita masih suka bergosip tentang orang lain. Kita masih mengatakan yang buruk tentang dia. Oh sesungguhnya, ibadah tidak akan menjadi berkat bagi kita! Apakah kita menunggu Tuhan membalikkan tangan-Nya, dan menjatuhkan hukuman—ganti berkat itu—ke atas kita, dan Tuhan menghardik kita dengan keras, “Engkau tak lebih daripada Farisi!” Orang munafik! Orang yang bertopeng!



Jadi, kalimat “sedapat-dapatnya . . . kalau . . .” itu bukan merupakan excuse bagi setiap orang Kristen. Mari kita camkan bersama, firman Tuhan ini mengajak untuk saling mengasihi, saling mendahului memberi salam, membantu saudara yang berkekurangan, memberkati orang yang menganiaya, bersimpati atau berbela rasa[3] dengan orang lain, sehati sepikir, tidak membalas kejahatan dengan kejahatan, lakukanlah apa yang baik. Ada aksi yang harus ditunjukkan. Kekristenan bukan hanya omongan yang manis di mulut! Kekristenan harus mengejawantah (menjadi daging) dalam karya yang nyata, dengan upaya-upaya yang kita kerjakan. Orang Kristen harus menjadi pelopor dalam berbuat baik.



Dengan berbuat baik itu, maka orang Kristen akan “menumpukkan bara api di atas kepala” seteru! Apa artinya kutipan dari Amsal 25:21-22 ini? Bisa dimengerti begini. Pertama, “bara” dan “api” di PL menunjukkan penghakiman Allah. Dengan demikian, dengan kita berbuat baik kepada seteru kita, maka beban dan tanggung jawab kita di hadapan Allah sudah kita letakkan, dan kalau dia tidak mau berdamai dengan kita, penghakiman Allah tetap berlaku atasnya.



Tetapi yang kedua, dapat juga dimengerti dari latar belakang kebudayaan Mesir. Ada satu ritual di Mesir, bila seseorang menyatakan penyesalan dan minta maaf dengan tulus, maka diharuskan kepadanya untuk mengusung satu baki berisi bara di atas kepalanya. Ini menjadi tanda penyesalannya akan kesalahan-kesalahannya.




[1]Inilah yang menjadi judul yang ditambahkan oleh para penerjemah TNIV (Todays New International Version), yaitu perikop Rm. 12:9-21, setelah A Living Sacrifice (ay. 1-2), Humble Service in the Body of Christ (ay. 3-8).

[2]Yunani Hē agapē anupokritos.

[3]Dari kata sun + pathos, artinya “turut merasakan” atau “bela rasa.”