Tuesday, March 24, 2009

Mengenang Indonesia Pusaka



Mengenang Indonesia Pusaka



Indonesia tanah air beta,

Ingin kudengar sekali lagi lagu itu;

lagu yang kukenal ketika belia diriku.

Lagu yang sudah ada di zaman dahulu.

Diajarkan oleh ibu dan budhe-ku,

oleh stasiun TVRI dan oleh guruku.

Sebuah lagu tentang Indonesia,

negeri yang indah permai.

Negeri luas yang membentang tak terperi

dari ujung yang satu ke ujung.

Namun yang kini sarat pertarungan kepentingan dan konflik antargolongan.

Anak-anak muda yang tak mengenal lagu itu,

dan tak mengenal di mana ia telah dilahirkan.

Wajah-wajah Eropa dan Amerika hilir mudik di layar kaca.

Masuk dan keluar dari mobil serba mulus dari negeri manca.

Dan itulah ikon massa!

Indonesia, sudahkah kehilangan jati dirinya?



pusaka abadi nan jaya;

Ingin kudengar nyanyian itu.

Ingin kudendangkan!

Ingin kuserukan!

Kuteriakkan kuat-kuat:

Indonesia tetap pusaka!

Siapa lagi yang mau mengatakannya?

Bukankah kini, banyak orang memilih Amerika dan Australia?

Atau: China, Malaysia dan Singapura?



Indonesia sejak dulu kala, s’lalu dipuja-puja bangsa.

Kalau aku mendengar kisah masa lalu bangsa,

Menggagas dan merekam tuturan para pujangga,

Hatiku bergelora!

Indonesia bukan negara peminta-minta!

Mata dunia tertuju ke Indonesia!



Di sana tempat lahir beta,

Aku menjelajah di negeri orang.

Aku berlabuh jauh di lautan seberang.

Namun dalam nuraniku, Indonesia tiada pernah hilang!

Indonesia kan tetap kukenang!

Aku tahu bangsaku tengah bergelut!

Aku sadar negeriku sedang penuh kemelut!

Indonesia tempat lahirku.



dibuai dibesarkan bunda;

Tapi aku minoritas!

Dobel minoritas!

Tripel minoritas!

Beragama minor dan lahir dari keluarga peranakan,

Beragama minor dan lahir dari orangtua yang pernah terlibat ormas terlarang!

Atau, dalam ketiganya aku dilahirkan.

Wahai Bunda, apakah dikau menganggapku anak tirimu?

Sang bunda membisu, dan hanya lirih berkata:

Apakah engkau merasa kurang kasihku, Anakku?



Tempat berlindung di hari tua, sampai akhir menutup mata.

Aku ingin menutup usiaku di tanah Indonesia.

Memungkasi perjuangan hidupku dalam ribaan sang Bunda.

Mungkin ku pernah merambah ke negara tetangga,

Atau kutinggal lama di manca negara.

Anakmu ingin kaupeluk kembali, Bunda!

Anakmu ingin kaupeluk kembali!



250309



Rahasia Allah Menjadi Manusia



Rahasia Allah Menjadi Manusia



Mengapa Firman menjadi daging? Permenungan kita disarikan dari pemikiran St. Anthanasius Agung (m. 373), yang mungkin merupakan salah satu bapa gereja yang dihormati dalam sejarah Gereja. St. Athanasius menghadiri Konsili Ekumenikal Pertama di Nikea (325 M.) di bawah pemerintahan Kaisar Konstantinus Agung.



Sebagai diaken muda, dan dipersiapkan untuk menggantikan uskup seniornya yang memiliki nama pada waktu itu, Aleksander dari Aleksandria. Athanasius terkenal sebagai seseorang yang melawan para pengikut Arius. Ia banyak mempromosikan Konsili Nikea. Ia sendiri adalah pribadi yang kontroversial dalam sejumlah pemikiran. Namun, ia tetap menjadi sosok yang sangat dikagumi dalam keseluruhan sejarah Gereja. Ia banyak menulis, sering cukup rumit dan tajam ketika terlibat dalam kontroversi pengajaran. Dalam pada itu, di samping gaya tulis yang tajam, harus diakui keindahan yang mengagumkan. Pusat tulisannya adalah mengenai Pribadi Kristus, berinkarnasi di dalam dunia, Juruselamat umat manusia.



St. Athanasius tidak sekadar berbicara mengenai apa maknanya dahulu dan kini, Sang Sabda itu menjadi manusia, tetapi juga mengapa Ia mengambil alih tempat kita. Apa yang memotivasi Allah untuk bertindak secara menakjubkan seperti itu. Jawabannya terletak pada penciptaan! Menurut St. Athanasius, Allah bertindak karena Ia telah menjadikan ciptaan-Nya dalam gambar dan rupa-Nya. Dan ciptaan-Nya itu tengah menderita!



Dari tulisannya yang ringkas dan sangat ternama, yang mencerminkan keagungan pemikirannya di zaman patristika, St. Athanasius mengemukakan sebuah pemikiran penting, tertuang dalam sebuah pertanyaan: Apa yang harus dilakukan oleh Allah? Akankah Allah menerima begitu saja manusia yang tertipu oleh setan dan kehilangan pengenalan akan Allah? Tetapi bila demikian, apa perlunya Ia menciptakan manusia dalam gambar dan rupa Allah? Mengapa keduanya diciptakan sebagai makhluk yang rasional, namun kemudian mereka menghidupi kehidupan sebagai makhluk yang irasional? Atau, apakah untungnya bagi Allah, bila manusia tidak menyembah Dia? Lalu, apa yang Allah harus lakukan untuk memulihkan keberadaan manusia dalam citra-Nya? Bagaimana mungkin ini terjadi, jika bukan dengan kedatangan Putra Tunggal Allah, Tuhan kita Yesus Kristus—Gambar Allah yang Sejati (St. Athanasius, De Incarnatione XIII).



Apa yang Allah lakukan, terhadap makhluk yang Ia ciptakan seturut gambar-Nya, yang kini sedang menuju kebinasaan? St. Athanasius menulis di bagian lain traktat De Incarnatione, bahwa Allah menyaksikan dehumanisasi makhluk manusia milik-Nya. Lebih manusia tidak pernah diciptakan dalam gambar dan rupa Allah, ketimbang kehilangan citra itu dan hidup di luar citra itu. Sehingga, berulang-ulang St. Athanasius bertanya, “Apa yang Allah harus lakukan?” Dapatkah Ia berdiri saja, dan memandangi? Dapatkah Ia menyaksikan penghancuran buatan tangan-Nya? Tentu saja, setiap kali pertanyaan ini dilontarkan, tampak sifat retoriknya. Secara tersirat, jawabannya sudah tersedia. Tentu saja, tak mungkin bagi Allah bertindak seperti ini!



Adalah jelas bahwa Allah pasti bertindak, bukan karena Ia terikat oleh keharusan. Tetapi Ia pasti bertindak. Bukan ini sebenarnya poin pertanyaan retorik St. Athanasius. Tetapi, tak mungkin kasih ilahi tahan menyaksikan penghancuran yang sedemikian itu. Tak mungkin Allah yang mahakasih dan mahacipta itu hanya membiarkan objek cinta-kasih daya cipta-Nya. Dan Allah sungguh-sungguh bertindak!



Pertanyaannya adalah, bagaimana? Bagaimana Ia bertindak di dalam situasi dehumanisasi manusia seperti ini? Mengapa Ia tak cukup bersabda dari surga sebagai sebuah fiat—mengampuni manusia, sekali gerakan saja, maka pulihlah segenap umat manusia? Di sini, dapat dipertanyakan kembali apakah ini adalah satu pertanyaan yang sah!



Apakah sekadar mengampuni manusia—di dalamnya telah termaktub segala keperluan untuk memulihkan manusia dari kehancuran yang demikian? Dalam tulisannya melawan kaum Arianis, St. Athanasius menjawab, adalah lebih masuk akal dan tepat bila Allah bertindak dengan cara lain. Lebih masuk akalnya tindakan Allah yang lain itu dapat dilihat dari hal demikian. Jika Allah hanya berbicara, dan kutuk itu disingkirkan, memang bisa jadi suatu pertunjukan kuasa dari Dia yang mengucapkan perintah itu, tetapi manusia hanya dapat dipulihkan keadaannya seperti Adam sebelum kejatuhan—menerima anugerah dari luar namun tidak memilikinya dalam kesatuan dengan tubuhnya, sebab demikianlah keadaan manusia ketika ditempatkan di Eden. Dalam keadaan seperti itulah, manusia belajar berdosa, dan ia mudah dibujuk oleh si ular. Dan bila demikian, Allah harus kembali mengucapkan perintah itu lagi, supaya kutuk itu terhilang. Terus-menerus, tak ada habisnya (St. Athanasius, Contra Arianos II.68).



Sekadar mengampuni manusia, bukanlah luas jangkauan karya Allah. Apakah Allah sekadar menyabdakan pengampunan dan memulihkan manusia ke dalam keadaan kepatuhan? Umat manusia mungkin dapat mengalami keadaan terberkati dalam sejangka kurun waktu, tetapi keterasingan yang sama dapat muncul kembali. Menerima anugerah dari luar, akan membuat manusia kembali dan kembali lagi terjatuh-terjerembab dan terhilang. Lingkaran ini terus-menerus akan berulang. Anugerah eksternal serta penebusan eksternal, seberapa pun nilai cinta kasih di dalamnya, tidak membuat manusia merasa aman dan mendapatkan jaminan terhadap apa yang ia sedang cari-cari.



Dan Allah bertindak dengan unik. Umat manusia dipulihkan bukan dari luar, tetapi dari dalam. Allah masuk ke dalam kehidupan ciptaan-Nya dan dengan masuk-Nya, Ia merestorasi dan membangun kembali. Menawarkan anugerah dari dalam diri seseorang dan bukan dari luar. Inilah yang sering disebut sebagai "pengilahian" atau "deifikasi." Atau dalam bahasa Yunani theosis. Allah mengikat manusia kepada diri-Nya sendiri. Makhluk yang direstorasi bukanlah yang ke atasnya Allah memberikan terang, tetapi yang di dalamnya Allah mengerjakan pemuliaan dan perubahan.



Dalam satu bagian yang mungkin merupakan yang terpenting dari tulisan St. Athanasius, Sang Sabda menjadi manusia, supaya manusia dapat dibuat menjadi ilahi. Ia menunjukkan Diri-Nya kepada kita melalui tubuh-daging, supaya kita dapat memperoleh pengetahuan mengenai Allah Bapa yang tidak kelihatan. Ia menderita sengsara di bawah tangan manusia, agar kita memperoleh ketidakbinasaan. Di dalam Diri-Nya sendiri, Ia tidak mengalami luka, karena Ia adalah kekal dan ilahi—Sang Sabda kekal dari Allah. Dalam keilahian-Nya, Ia membimbing dan menyelamatkan umat manusia yang sengsara. Demi merekalah, Ia rela mengalami perlakuan yang menyakitkan itu (De Incarnatione LIV). Allah menjadi manusia, supaya manusia dapat menjadi allah.



Respons terhadap dehumanisasi dari makhluk-Nya adalah dengan theanthroposis Sang Sabda sendiri. Allah menjadi yang dapat mengalami sakit. Allah di dalam anugerah dan kekekalan-Nya tidak dapat dikalahkan. Maka, dengan mengangkat derita dan sengsara makhluk-Nya di dalam kehidupan-Nya sendiri, manusia menerima ketidakbinasaan. Yaitu tatkala Sang Putra menjadi makhluk hina. Allah menjadi manusia, supaya manusia dapat menjadi allah.



Banyak orang mempertanyakan istilah yang dipakai oleh St. Athanasius dan para bapa Gereja pada zaman itu mengenai theosis atau “deifikasi.” Dalam pada itu, tidak salah untuk mengatakan manusia menjadi Allah. Ini bukanlah penghujatan. Ketika seseorang membaca dengan teliti keseluruhan traktat De Incarnatione, maka Athanasius beserta semua bapa gereja tidak tengah berbicara manusia menjadi Allah yang kedua. Atau menjadi equal (sama dengan) Allah. Tetapi ia sedang berbicara umat manusia diikat dan dipersatukan dalam kehidupan Allah.



Adalah tidak cukup bagi Allah sekadar mengirimkan berkat-berkat tertentu ke atas manusia. Bisa jadi itu merupakan anugerah, namun seperti yang telah dikatakan St. Athanasius, jika anugerah dari luar seperti itu dapat menyembuhkan umat manusia, maka penyembuhan itu tak pernah dapat sempurna. Tak pernah dapat menjadi kekal. Akhirnya, hilang lagi. Tergoncang. Manusia akan jatuh ke dalam dosa terus-menerus. Namun bila manusia ditarik ke dalam Allah, sehingga kehidupan Allah sendiri yang dikenal, dialami, dan dihidupi dalam daging dan tulang makhluk manusia, maka kekuatan Kristus yang berinkarnasi, menjadi kekuatan pribadi manusia. Yesus Kristus yang ditelan maut, telah menjadi “aku” yang ditelan maut. Kebangkitan-Nya, kemustahilan maut untuk menguasai dan mengikat-Nya agar tetap tinggal di dalam kubur, kini menjadi janji penebusanku. Kemenanganku terhadap kutuk dan ikatan dosaku. Bukan karena aku memiliki daya sedemikian, tetapi hanya dalam inkarnasi, Allah telah menarik anggota-anggota tubuhku yang melemah ke dalam kehidupan-Nya sendiri. Allah menjadi manusia, agar manusia menjadi allah. Inilah sumbangan pemikiran St. Athanasius, yang suaranya tetap menggema di dalam sejarah Gereja. Bapa Nikea. Semoga memberkati kita. Kini dan di sepanjang zaman.



Sunday, March 22, 2009

AKU LEMAH, AKU KUAT!



AKU LEMAH, AKU KUAT!



Entah mengapa, malam ini aku ingin terus menulis. Banyak hal ada dalam pikiranku, berjejal untuk segera ditulis. Apakah aku sedang tergila-gila dengan Facebook? Apakah aku ingin membayar utangku selama berbulan-bulan agak pasif dalam mengisi weblog? Apakah memang aku sedang banyak ide? Semua itu aku rasa mungkin. Namun aku akui, aku senang menulis. Aku pun sedang belajar menulis apa saja yang terlintas.



Aku teringat sesuatu di tahun 2006! Aku pernah menulis sebuah artikel akademik tentang Injil Yohanes sebagai “biografi” ciptaan baru, yang telah dimuat dalam jurnal Veritas milik SAAT untuk edisi Oktober 2006. Artikel itu aku selesaikan 70% bagiannya di Rumah Sakit Mardi Rahayu, Kudus. Waktu itu, aku sempat dua kali masuk RS di bulan Juni-Juli! Aku menghuni lantai 2 Ruang Maranatha. Yang pertama, karena operasi hidrocell! Dua minggu kemudian, aku masuk kembali ke RS karena broncho-pneumonia.



Sakit adalah hal yang menyiksa bagiku! Ya, sebagai hamba Allah, aku yakin Tuhan mau aku merenung untuk lebih dekat dan mengenal isi hati-Nya. Itulah yang sering kukatakan kepada jemaat yang sakit. Namun aku bertanya, apakah dengan aku sakit, maka aku tidak dapat bekerja? Aku tidak produktif? Aku tidak mau! Dalam dua kali masuk RS itu, aku membawa serta notebook-ku, buku-buku tafsir Yohanes dari Carson, Koestenberger, Morris, Ridderbos, dan sejumlah monografi akademik buah studi Bauckham, Burridge, Culpepper, dan beberapa artikel dari jurnal maupun buku-buku yang sempat aku fotokopi dari almamater, tentang Injil kegemaranku itu. Aku harus mempertajam tesis artikelku meskipun nantinya aku harus menghabiskan banyak waktu dengan berbaring. Bahkan ketika berada di ruang operasi, sebenarnya aku masih ingin membaca buku. Di lorong tunggu ruang itu, dalam posisi tidur, aku sempat-sempatkan membaca buku Richard Burridge, Four Gospels, One Jesus? (2nd. edition).



Aku tahu bahwa operasi itu dijalankan dengan anestesi spinal, dengan suntikan bius itu dimasukkan di ruas tulang belakangku, “Jusss . . .” dan dalam beberapa menit saja, setengah badanku sampai ke kaki terasa mati. Aku sudah berhasil menyelundupkan buku itu sampai ke kamar operasi! Walhasil, aku tak bisa membaca! Aku harus pindah dari ranjang ke meja operasi yang lebih tinggi. Bukan itu saja. Kedua tanganku diletakkan seperti posisi disalib—terentang kiri dan kanan, sementara tangan kiri terdapat infus, dan lengan atas tangan kananku dipasang tensi meter, dan ujung jari telunjuknya dipasang penjepit pengukur detak jantung. Buku Richard Burridge tergeletak lunglai tak bertuan di ranjang di ujung sana! Yang aku dapat rasakan adalah dinginnya ruangan itu, sampai-sampai badanku menggigil! Untunglah, ada suntikan lain yang diberikan sehingga badanku pun terasa hangat.



Ketika kembali ke kamar, aku hanya dapat berbaring. Anehnya, aku sama sekali tidak merasa kesakitan di luka operasi itu. Aku minta notebook dinyalakan dan aku pun memilih mendengarkan MP3 seminar-seminar yang mendukung tulisanku. Terutama yang aku simak baik-baik adalah seminar dari Tom Wright. Begitu mampu duduk, aku membaca tafsir-tafsir Yohanes. Aku belum bisa menulis! Baru sepulang dari RS, aku tancap gas dalam-dalam! Aku nglembur. Dua minggu aku menulis. Mengetik, mencetak draf, membaca ulang dan merevisi. Itulah yang terus menerus kulakukan. Tidur sangat minim. Ranjang dan kamarku yang sempit itu berserakan buku dan kertas. Aku tidur didampingi notebook di samping kanan serta printer di bawah kakiku. Posisi tidurku harus meringkuk seperti udang. Acapkali notebook masih hidup, atau dalam keadaan standby. Syukur kepada Tuhan, artikel itu pun dapat terselesaikan dan dapat dikirimkan ke redaksi melalui surat elektronik.



***



Malam ini, waktu mengenang peristiwa itu, tiba-tiba teringatlah aku pada perkataan rasul Paulus, “Sebab jika aku lemah, maka aku kuat.” Sebuah paradoks! Nampaknya bertentangan. Tetapi tidak! Dalam kelemahan, Paulus merasakan kekuatan. Banyak diskusi dilakukan tentang kelemahan Paulus. Ada yang mengatakan bahwa ia memiliki penyakit yang kronis. Mungkin saja penglihatannya kabur. Bisa jadi pula yang lain, “duri dalam daging” adalah sejumlah orang dalam jemaat Korintus yang menggocohnya dan menentang pelayanan sang rasul. Bahkan ada ahli PB yang mengatakan bahwa Paulus sedang bergumul dengan desakan homoseksualitas dalam dirinya. Tentu kita dapat sepakat, hal yang terakhir ini mengada-ada. Spekulatif sekali. Tidak ada bukti.



Aku merenung. Kemunduran fisik. Ulah manusia. Pergumulan batin. Ketiganya pasti akan dialami oleh setiap pelayan Tuhan! Ketiga-tiganya dapat membuat sang pelayan undur dari pelayanan. Seseorang yang tengah bergulat dengan penyakitnya, kadang menjadikannya alasan untuk tidak aktif lagi dalam pelayanan. Apalagi, bila ia terserang penyakit terminal seperti kanker. Kanker adalah pembunuh tingkat tinggi. Tak sedikit orang yang kemudian berkata, “Mengapa ini terjadi pada diriku? Padahal aku sudah . . .” dilanjutkan daftar panjang riwayat pelayanan. Penyakit dapat membuat orang undur, atau bisa jadi kecewa dengan Tuhan. Tak sempat bertanya apa yang sesungguhnya Tuhan mau atas hidupku, mental dan pengharapan memudar, ketajaman batin kepada sang Ilahi pun berkurang.



Berbagai orang yang dulu aktif melayani, ketika aku jumpai, mereka bertanya, “Salahku (atau: dosa) apa, ya Pak?” Sebagai gembala jemaat, saya jujur tidak dapat menjawab pertanyaan ini. Yang tahu, hanya dia dan Dia saja! Belum bertanya kepada Tuhan, aku rasa, orang yang terkena penyakit kerap menyalahkan diri sendiri dan pada gilirannya menyalahkan Tuhan.



Paulus memberi cara pandang yang baru! “Jika aku lemah, maka aku kuat.” Dengan kata lain, apakah penyakit, betapa pun mematikannya, telah sepatutnya membuat seorang pelayan Tuhan mundur dari pelayanan? Paulus menjawab, “TIDAK!”



Hal yang kedua adalah ulah manusia. Paulus sedemikian jelas mendeskripsikan tantangan yang dihadapi karena ulah dan perlakuan sejumlah jemaat yang tidak senang dengan dirinya. Mereka sentimen. Mereka bercuriga. Mereka berpikir negatif tentang Paulus. Bila kita sempat membaca 2 Korintus, berkali-kali Paulus mengeluhkan perlakuan mereka terhadap dirinya. Apa kurang pelayanannya? Apa yang Paulus tidak “kurbankan” demi pertumbuhan jemaat? Apa yang Paulus tidak persembahkan bagi kemuliaan Allah? Paulus memberikannya total, tanpa diskon.



Setiap pelayan Tuhan di masa kini, sangat mungkin menghadapi tantangan yang sama seperti Paulus. Makin besar jemaat, makin banyak mula hasrat dan keinginan. Makin banyak keinginan, makin banyak perasaan suka-tidak suka satu dengan yang lain. Konflik kepentingan. Persepsi negatif yang dibangun terhadap pihak “lawan.” Mitos-mitos yang dilestarikan mengenai keburukan orang perorang. Memang, makin banyak orang, makin banyak pula yang tidak suka dengan seorang pelayan.



Tak jarang, pelayan menjadi kikuk dan serba salah. Diam saja, salah. Melakukan perubahan, salah. Tidak ada keputusan dalam rapat, salah. Melakukan keputusan, salah juga. Inilah yang membuat seseorang loyo dalam pelayanan. Visi dan semangat digantikan dengan mental ABS, “Asal Babe Senang.” Daripada dipersalahkan terus, lebih baik hanyut ikut arus. Atau turut menjadi oposan yang memainkan mesin penggerus.



Perhatikan bagaimana Paulus memandang msalah yang ditimbulkan oleh sebab ulah manusia! “Jika aku lemah, maka aku kuat.” Ia tidak membangun benteng kubu pertahanan untuk melawan musuh. Jemaat yang tidak suka dengannya, bukanlah musuhnya. Maka, apakah manusia, sejahat apa pun dia, dapat menjadi alasan seorang pelayan Tuhan mundur dari pelayanan? Paulus pun menjawab, “TIDAK!”



Hal yang ketiga, adalah pergulatan batin. Batin adalah bagian yang tidak kelihatan, yang merupakan sisi rohani dari manusia. Pergolakan ini dapat terjadi karena ulah manusia, misalnya memfitnah atau mengucilkan dia, atau tumbuh dari perasaan diri sendiri: Malas, tidak mood, kehilangan gairah. Pada intinya, pergulatan batin ini mengaburkan fokus kita kepada Allah. Mungkin terlalu banyak hal yang diurusi, pernak-pernik yang menyita waktu, pikiran dan tenaga. Konsentrasi divergen. Terpencar ke sana-sini. Ujung-ujungnya, lelah bahkan burnt out. Kehilangan daya. Padam semangat.



Kadang, komunitas orang percaya pun menuntut seseorang untuk ambil bagian dalam banyak hal. Namun kita terkadang lupa, seorang misionaris seperti Paulus bukanlah seorang gembala seperti Simon Petrus atau Yakobus atau Yudas saudara Kristus. Meski isi surat-suratnya tetap bernada pastoral, namun panggilan Paulus jelas sebagai penuntun semua bangsa bukan Yahudi untuk percaya kepada Kristus (Rm. 1:5), dan bukan gembala (lih. Petrus dalam 1 Ptr. 5:1). Kepada tiap-tiap orang, dikaruniakan penyataan Roh untuk kepentingan bersama (1 Kor. 12:7). Masing-masing orang berbeda karunia!



Paulus adalah hamba Tuhan yang kenyang dengan penjara. Namun ia tetap berkata, “Jika aku lemah, maka aku kuat.” Kesesakan dan penindasan, pergumulan dan beratnya panggilan hidupnya, tidak menjadi pembenaran baginya untuk tutup buku pelayanan. Oleh sebab itu, apakah pergulatan batin mengizinkan kita untuk tidak lagi melayani? Paulus berkata, “TIDAK!”



Mengingat kompleksnya hidup, dan kian “sempitnya” waktu yang dimiliki, seseorang yang sebenarnya mau melayani, belum tentu dapat penuh tenaga serta penuh konsentrasi. Kiranya tiap-tiap orang mampu menakar kekuatannya. Memilih yang sedikit, tetapi menghasilkan banyak. Kecil wujud keterlibatannya, namun besar dampaknya. Ketimbang menuntut orang lain melakukannya, atau mendesak-desak mereka untuk memberikan teladan, betapa indahnya masing-masing orang bersedia mengangkat tangan dan berkata, “Saya mau ambil bagian!” dan berkomitmen untuk mengerjakannya sebaik mungkin. Apa yang kira-kira dapat dilakukan—hal-hal kecil berdampak besar itu? Memperhatikan jemaat yang telah undur. Mengunjungi mereka, mengajak mereka kembali, dan mendoakan mereka. Komunitas pun akan menjadi sebuah keluarga baru, dan keluarga itu teramat sangat menyenangkan!



Sang rasul, di tempat lain, juga menulis kalimat yang indah, “Tetapi jika aku harus hidup di dunia, ini, itu berarti bagiku bekerja memberi buah” (Flp. 1:22). Terpujilah Allah!



Saturday, March 21, 2009

MAAFKAN DAKU, BILA TAK PERNAH BALAS SALAMMU



MAAFKAN DAKU, BILA TAK PERNAH BALAS SALAMMU





Maafkan aku, Sobat, bila aku tak pernah membalas salammu! Ketika kau berdiri di depan dan mengucapkannya, aku mungkin hanya tersenyum. Ketika ada seorang pemimpin ibadah menghendaki salam itu diulang-ulangi dengan lebih keras, aku merasa terganggu. Hatiku tiada maksud untuk merendahkanmu atau dia. Apalagi bermaksud menolak sapaan hangat darimu. Aku berusaha menyelami ketulusanmu bila kau sampaikan salam itu. Ya, aku tahu betapa kau tulus mengatakannya. Dan benarlah, kau sedang mendoakanku dengan salammu itu. Untuk keselamatanku. Untuk kebaikan yang terjadi dalam hidupku. Atau bisa juga, untuk well-being seutuh jiwa dan tubuhku. Tetapi, jujur kukatakan Sobatku, aku hampir-hampir tak tahu arti salammu itu!



Memang, secara harfiah, aku tahu arti kata itu. Aku pernah dididik untuk sedikit memahami arti kata asing yang kauucapkan itu, dan yang terucap oleh banyak sohibku. Memang, hanya 6 SKS untuk memelajarinya, dan itu kurang! Aku tidak pernah menjadi ahli bahasa ini. Tapi cukuplah untuk tahu sekelumit, untuk membaca huruf-huruf nan asing yang berjajar di sebuah buku tebal yang kita hormati itu.



Namun, ketika kau mengucapkannya sebagai sebuah salam, aku bingung! Aku bingung karena kata itu tak mungkin berdiri sendiri sebagai sebuah salam. Kata itu adalah kata benda. Dari dulu sampai kini, yang kutahu, pengguna aslinya tak pernah memakai kata itu untuk salam. Bila kau berjumpa dengan para ahli yang petah lidah dengan bahasa itu, dan kaucoba memakainya, pastilah dia akan garuk-garuk kepala. Asing baginya salam itu, meskipun kau dan dia sering mengucapkannya.



Yang aku maksud adalah kata yang terucap “Shalom,” Sobatku. Aku tertegun; aku sering menjumpainya tertulis “shalom,” “syalom,” “salom,” “shallom,” “syallom,” “shalloom,” “syalloom.” Ah, paling tidak, ada 7 macam orang menuliskan kata ini! Mana yang benar? Dapatkah kautunjukkan padaku mana yang tepat, Kawanku? Setahuku, bila ditulis dalam huruf Latin, maka kita menemukan SLWM. Bahasa Ibrani memang aslinya tidak mempunyai vokal. Coba, bagaimana kau membaca kata itu? Yang bunyinya panjang itu vokal “a” atau “o”? Yang mendapat penekanan di suku kata pertama ataukah kedua? Rumit bukan?



Ya, aku tahu, ketika kau ucapkan kata itu kepadaku, aku sungguh yakin, itulah doamu untukku. Agar damai atau sejahtera, bukan di surga kelak semata, namun di sini dan kini dalam kehidupan sesehari, aku pun alami. Terima kasih untuk doa dan pengharapan itu. Namun Sobatku, kata itu tiada tepat bila dipakai untuk sebuah salam.



Perlukah kita mempermasalahkannya? Bukankah yang penting Tuhan tahu isi hati ini? Bilapun salah, toh tak pernah mengurangi nilai anugerah keselamatan, bukan? Oh Sobatku, perkenankan aku memakai contoh yang sangat sederhana ini. Ketika kita belum sekolah, bila ditanya 1 + 1, kita “boleh” menjawab apa saja. Namun ketika kita sudah tahu jawabannya, sebab kita belajar di sekolah, niscaya takkan meleset kita menjawabnya. Apalagi, Tuhan itu kudus, sudah barang tentu, Ia mempunyai standar yang lebih tinggi, bahkan tak boleh dikompromikan. Andai kita tak tahu, bukankah lebih baik memakai kata yang kita ketahui? Dan bila kita telah tahu, maka tiada boleh kita salah menggunakannya, bukan? Memang, tiada mengurangi keselamatan kita! Namun bila demikian, bukankah jauh lebih indah bila kita menggunakan kata yang kita pahami bersama sebagai kaum beriman?



Aku pun bertanya-tanya, sebenarnya apa yang membuat banyak orang gemar memakai kata itu sebagai salam? Mungkin kau akrab dengan lagu “Shalom Khaverim” sehingga kau pun memakai lagu itu sebagai pembenaran. Ah, tunggu dulu. Itu lagu, Sobat. Dalam pada itu, dalam percakapan, tak pernah mereka memakai kata itu untuk bersalam-salaman. Apalagi kita mengadopsinya dengan bercampur aduk dengan kata Indonesia, "Shalom, Saudara-saudara!" Yang kutahu, "shalom" belum diserap ke dalam bahasa Indonesia.



Aku masih ingat, beberapa tahun lalu, dalam sebuah seminar tentang kontroversi nama Allah, Pdt. Dr. Anwar Tjen dari LAI pernah menyatakan bahwa dirinya terkaget-kaget setelah pulang dari luar negeri untuk menempuh studi S3 biblika, beliau menemukan bahwa orang Indonesia amat sangat gemar sekali memakai kata “Shalom” itu sebagai salam. Bagi beliau, ini sebuah kelatahan.



Kelatahan? Hmm, mohon hatimu tetap tenang, Sobat. Aku hanya bertanya, apakah orang Kristen memakai kata itu oleh karena saudara kita seberang Sungai Yordan memakai salam dengan bahasa leluhur iman mereka? Sebagai rumpun kaum beragama pewaris agama samawi dari Timur Tengah, kita mungkin merasa canggung (dan minder?) bila dianggap tak memiliki salam dalam bahasa asli leluhur iman kita! Kata Ibrani itu pun serta-merta kita isap menjadi salam. Namun Sobat, tak pernah Allah kita datang kepada siapa pun umat-Nya lalu mengucapkan salam “Shalom!” Tak pernah Sang Gusti menitahkan para murid untuk saling menyapa, atau masuk ke rumah seseorang dengan kata, “Shalom.”



Lalu bagaimana? Aku menawarkan ini, Sobat. Karena kata Arab “salam” itu sudah diserap ke dalam bahasa Indonesia, yang artinya sama persis dengan kata Ibrani “shalom,” yaitu “damai,” “makmur,” “sentosa” dan “baik keadaan hidup,” bagaimana kalau kita mulai melatih diri untuk mencintai bahasa Indonesia (sambil terus mengingat bahwa butir ketiga Sumpah Pemuda 1928, “Kami, tumpah darah Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia”), yaitu dengan menggunakan istilah bahasa Indonesia? Bila ada Sobat, sesama tumpah darah Indonesia mengatakan:



“Salam bagimu!”

“Damai-sejahtera bagimu!”

“Salam kasih untukmu!”

“Salam persahabatan/persaudaraan kepadamu!”



Aha, itu bahasa kita! Indah kedengarannya! Dan menuliskannya pun mudah, minim sekali kesalahan! Lalu, bagaimana menjawabnya? Balaslah dengan salam yang sama, atau katakanlah saja, “Salam!” Itulah sebabnya mengapa Alkitab hadir ke tangan kita dalam bahasa Indonesia, Sobatku! Supaya semua orang yang percaya, yang hidup di Indonesia, dan mengenal bahasa Indonesia dapat mengerti dan semakin teguh iman. Yuk, kita belajar!



Friday, March 13, 2009

The Prayer Inspired by the Our Father



The Prayer Inspired by the Our Father (attributed to St. Francis of Asissi)





O our most holy Father:

O our Creator, Redeemer, Concoler, and Savior



Who art in heaven:

In the angels and in the saints,

enlightening them to love, because You, Lord, are light

inflaming them to love, because You, Lord, are love

dwelling [in them] and filling them with happiness

because You, Lord, are the Supreme Good, the Eternal Good

from Whom comes all good

without Whom there is no good



Hallowed be Your name:

May our knowledge of You become ever clearer

That we may know the breadth of Your blessings

the length of Your promises

the height of Your majesty

the depth of Your judgments



Your Kingdom come:

so that You may rule in us through Your grace

and enable us to come to Your kingdom,

where there is an unclouded vision of You

a perfect love of You

a blessed companionship with You

an eternal enjoyment of You



Your will be done on earth as it is in heaven:

That we may love You with our whole heart by always thinking of You

with our whole soul by always desiring You

with our whole mind by directing all our intentions to You and by seeking Your glory in everything

and in our whole strength by spending all our energies and affections of soul and body in the service of Your love and of nothing else

and may we love our neighbors as ourselves

by drawing them all with our whole strength to Your love

by rejoicing in the good fortunes of others as well as our own

by sympathizing with the misfortunes of others

and by giving offense to no one



Give us this day:

In memory and understanding and reverence

Of the love which [our Lord Jesus Christ] had for us and of those things which He said and did and suffered for us



Our daily bread:

Your own beloved Son, our Lord Jesus Christ



And forgive us our trespasses:

Through Your ineffable mercy

through the power of the Passion of Your beloved Son

together with the merits and intercession of the blessed Virgin Mary and all Your chosen ones



As we forgive those who trespass against us:

And whatever we do not forgive perfectly

do You, Lord, enable us to forgive [our] enemies

and fervently intercede for them before You,

returning no one evil for evil

and striving to help everyone in You



And lead us not into temptation:

Hidden or obvious

sudden or persistent



But deliver us from evil:

Past, present, and to come

Glory to the Father and to the Son and to the Holy Spirit,

as it was in the beginning, is now, and will be forever.



Amen.



Wednesday, March 11, 2009

Caleg: Mengabdi atau Lowongan Kerja?

CALEG: MENGABDI ATAU LOWONGAN KERJA?



Saya sedang menuju ke tempat tinggal seorang rekan sejawat. Ia tinggal di pastori samping gereja yang terletak di perbatasan kota Kudus dan Grobogan. Hari Rabu kemarin (11 Maret), tim Gembala Jemaat GKMI Kudus mengadakan persekutuan khusus di rumahnya, bertepatan selepas pelantikan kawan kami sebagai pendeta muda (Pdm.). Selain itu, ya memang kewajibannya yang mendapatkan arisan bulan lalu. Arisan? Ya benar, arisan! Arisan ini dimaksudkan untuk keakraban di antara kami, untuk menjalin persekutuan dan saling membantu satu dengan yang lain. Saya tidak akan bicara lebih panjang mengenai arisan, tapi apa yang saya lihat dalam perjalanan itu.



Duduk di sebelah pendeta senior, yang mengendarai mobil kijang birunya, mata saya melihat ke kiri dan ke kanan. Yang jelas, tidak ada pohon cemara (apalagi stroberi), karena tidak sedang naik ke puncak gunung! Tampak berjejeran spanduk dan baliho kampanye para caleg dan berbagai partai. Banyak jenisnya. Ada yang kecil. Ada yang besar. Tiba-tiba mata saya sekilas menangkap satu nama. Tapi saya semula tidak memperhatikan. Setelah lewat, saya baru ingat, nama itu saya kenal dengan baik. Ya, karena masih ada hubungan saudara dengan saya. H**** W**** P*******.



Saya berkata kepada pendeta di samping saya, “Kayaknya ada nama yang saya kenal, Pak. Tapi kok ada yang beda!” Bedanya di mana? Tanya beliau. Mata saya tadi menangkap ada sesuatu di belakang namanya, yaitu “Ph. D.” Aneh! Pernahkah dia mengambil gelar kesarjanaan itu? Saya penasaran! Saya yakin, di depan nanti, pasti saya akan menemukan namanya lagi. Benar! Ya, itu dia. Orang yang saya kenal. Bernaung di bawah sebuah partai yang bernuansa agama, dengan potret seorang pemuka agama dipajang disamping gambarnya yang besar, ia menjadi salah satu caleg untuk DPRD I Jawa Tengah. Wah luar biasa! Jawa Tengah akan punya wakil rakyat bergelar Ph. D., kalau orang yang satu ini benar terpilih!



Beberapa tahun yang lalu, nama orang yang sama muncul di sebuah koran Jawa Tengah dan menjejer gelar S. E., M. M. Beberapa tahun sebelumnya, saya ingat dia memakai gelar S. U. (Sarjana Utama, setara dengan magister). Sayangnya, bukan dalam bentuk esai atau artikel, hanya cuplikan kecil wawancara untuk sebuah peristiwa, yang sebenarnya nggak penting-penting banget, deh! Pernah juga dia memakai S. H. Wah, wah, wah . . . bukan orang sembarangan, donk! Pikir saya. Orang yang satu ini pasti (super jenius).



Kembali ke pertanyaan di atas, kapan dan di mana dia mengambil gelar S3 itu? Philosophical Doctor lagi! Berapa tahun sekolahnya? Bukankah di Indonesia, hanya ada beberapa institusi pendidikan yang boleh menyelenggarakan pendidikan sampai ke tingkat ini? Apakah orang yang satu ini pernah mendaftar ke universitas itu? Boro-boro, saya ingat benar, S1 pun tidak pernah tamat. Bukan itu saja. Karena cukup mengenal latar belakangnya, saya tahu persis bahwa ia tidak pernah mempunyai pekerjaan yang mapan. Bahkan, tipu sana tipu sini. Sampai-sampai ia kabur ke Jakarta karena membawa lari sejumlah uang hasil penipuan. Dalihnya, bersekolah di sana. Ah, yang benar saja! Ia ternyata menjadi buron.



Memang, orangnya PD! Percaya dirinya tinggi. Bahkan cenderung BG, bualan gedhe! Bila ia berbicara, ada saja orang yang tertawan dengan kata-katanya. Kata orang yang saya percaya, ia memang pernah meminta kepada guru spiritualnya untuk menurunkan ilmu pengasihan, sehingga banyak orang yang terpikat oleh kharisma dan tutur katanya. Jadi kalau saya menelisik ke belakang, ke masa lalu, waktu-waktunya habis bukan untuk belajar di jalur akademik resmi, tetapi cari ngelmu. Anda boleh percaya, boleh tidak. Namun terlepas dari polemik alam gaib ini, anehnya, ia memang cepat mendapat teman, tetapi juga cepat menipu teman dan akhirnya dimusuhi banyak orang. Easy come, easy go! Hikmat manusiawi, selicin dan selihai apa pun, pasti membuat cepat kandas.



Memikir lebih jauh, bukankah zaman ini tidak lagi memusingkan isi. Siapa yang keras dan lantang suaranya, dialah yang mendapatkan banyak pengikut. Retorikanya menawan, mengumbar janji-janji. Tantangan hidup makin berat, banyak orang terancam kehilangan pekerjaan. Maka siapa memberikan janji-janji manis, dialah yang akan dapat merebut hati banyak orang.



Tak terkecuali gereja, bukan? Pengajaran dan penggalian isi firman Tuhan menjadi nomor sekian, yang penting asyik dan memikat. Orang Kristen pun lebih suka para pengkhotbah keliling daripada gembalanya sendiri. Memang, semakin mengenal gembalanya, semakin kecewalah dia. Buruknya sang pendeta kian jelas. Dan, ekspektasi dan apresiasi sang jemaat pun turun. Begitu memandang pengkhotbah menawan, “Ini dia yang saya cari!” Tetapi bayangkan bila sang pengkhotbah itu menjadi pendetanya. Akhirnya, sama saja!



Pendeta senior, tatkala saya tunjukkan baliho besar orang itu, berkata dengan singkat, “Banyak caleg yang nyari pekerjaan!” Gawat! Bukan mengabdi kepada bangsa dan negara, tetapi mencari pekerjaan. Mau dibilang mengabdi, lha kok memakai gelar-gelar palsu? Apalagi banyak diberitakan di TV dan internet, sejumlah baliho dan spanduk kampanye, menyertakan potret artis: entah itu anaknya, atau orangtuanya. Caleg yang mendompleng popularitas orang lain, meski darah dagingnya sendiri!



Hal ini dikukuhkan oleh ayah saya, seorang pensiunan karyawan sebuah pabrik swasta, yang selalu menyimak acara-acara berita di TV dan radio, ternyata banyak juga, CPNS (calon-calon pegawai negeri sipil) yang akhirnya menolak pengangkatannya sebagai pegawai negeri demi berebut kursi. Siapa tahu jadi? Pikirnya. Apalagi orang yang berprinsip, lebih baik mencoba, tak ada salahnya. Hidup itu harus berani risiko. Kalau tidak sekarang, kapan lagi? Yaah, adalah hak masing-masing orang untuk mencari justifikasi atas tindakannya. Sumangga kemawon.



Namun, apa jadinya bangsa dan negeri kita yang sudah morat-marit ini? Para oportunis telah banyak menguasai negeri. Masih mau ditambah lagi? Betapa banyak orang yang mengobral janji namun kosong isi, hanya demi perut sendiri, tak peduli nasib bangsa dan negeri, tapi mengeksploitasi isi perut bumi pertiwi!



Di tengah-tengah maraknya kampanye, banyak jemaat yang bertanya kepada gembalanya, “Pak, enaknya nyoblos apa, ya? Saya bingung.” Bahasa percakapan sehari-hari memang terkadang ambigu. Mendua arti. “Enaknya” itu mungkin artinya “baiknya.” Ada jemaat yang bertanya kepada kami, “Bagaimana dengan si A, Pak? Dia kan pendeta.” Wah, menarik! Jadi kalau pendeta, credit point-nya jauh lebih tinggi dibandingkan yang lain. Kiprahnya sudah jelas? Pemahaman politiknya? Mau menjadi terang dan garam? Bayangkan ketika ia berada di antara orang-orang yang lihai dalam masalah perpolitikan, benarkah ia mampu menjadi garam dan terang? Ah, bukan hanya untuk pendeta yang nyaleg, pertanyaan ini untuk semua caleg.



Tulisan ini saya buat, semata-mata karena keprihatinan melihat kondisi bangsa dan negara. Berapa wakil kita yang masih memiliki hati? Saya was-was untuk menambahkan “nurani,” yang sudah dipakai sebagai merek dagang sebuah partai. Wahai para wakil rakyat, tanyakan kepada dirimu sendiri, engkau hendak mengabdi kepada ibu pertiwi, atau demi memenuhi isi perut sendiri? Kiranya hikmat Allah menuntun kita, untuk mencermati siapa yang akan kita pilih untuk menjadi wakil kita, dan wakil segenap tumpah darah Indonesia.



Terpujilah Allah!