Sunday, April 26, 2009

BELAJAR TABAH DARI SEORANG IBU

BELAJAR TABAH DARI SEORANG IBU



Saya cukup dikejutkan dengan kitab 2 Raja-raja, khususnya daftar biografi raja-raja Israel dan Yehuda. Ada pola seperti ini, “Nama ibunya . . . . Ia melakukan yang . . . di mata Tuhan.” Kita dapat mengisikan satu nama di ruang kosong pertama, dan kata sifat “benar” atau “jahat.” Kata sifat “benar” di sana bukan menunjuk kepada kebenaran matematis (true), tetapi righteous, kebenaran yang dikarenakan relasi yang intim dengan Allah dan menghormati hukum-hukum Allah. “Jahat” berarti dengan sadar menolak Allah dan menginjak-injak hukum-Nya.



Yang sangat menarik perhatian saya adalah peran seorang ibu di balik kesuksesan atau kegagalan anak. Sejak dini, Kitab Suci telah menerangkan kepada kita, betapa vitalnya peran seorang ibu. Memang, Kitab Suci ditulis pada zaman orang masih mengagung-agungkan budaya patriakhal, dan menganggap kaum perempuan adalah kanca wingking. Bagi orang Yahudi di zaman Tuhan Yesus, seorang perempuan tidak boleh tampil di muka umum. Bahkan kesaksian mereka tidak berlaku di dalam suatu pengadilan. Namun faktanya, peran sang ibu ternyata sangat besar.



Allah yang kita kenal menghargai citra kaum ibu. Itulah sebabnya, dalam menuntaskan karya agung keselamatan, Allah pun memakai perempuan-perempuan. Kristus, Sang Allah yang menjadi manusia dan diam di antara kita, hadir melalui rahim seorang ibu (Luk. 1:28-38). Dalam melaksanakan karya-Nya di dunia, Kristus selalu diiringi oleh perempuan-perempuan yang turut serta melayani (Luk. 8:1-3). Ia pernah menjumpai secara khusus perempuan yang dianggap sampah masyarakat Samaria (Yoh. 4). Tetapi dampak dari perjumpaan itu ialah adalah suatu perubahan besar. Ia pergi kepada orang sekotanya dan memberitakan perjumpaan-Nya itu kepada mereka, dan Alkitab mencatat, “Dan banyak orang Samaria dari kota itu telah menjadi percaya kepada-Nya karena perkataan perempuan itu . . .” (Yoh. 4:39).



Wafat-Nya juga telah diantisipasi oleh seorang perempuan yang datang dan mengurapi Dia dengan minyak (Yoh. 12:1-8). Pada waktu Ia meregang nyawa di atas kayu salib, hingga embusan napas yang terakhir, kaum perempuan ada di kaki salib-Nya (Yoh. 19:25). Di fajar Paskah, tatkala hari masih gelap, kaum perempuanlah yang bergegas menuju ke kubur Yesus, dan merekalah yang menyadari bahwa kubur itu telah kosong. Kepada seorang perempuan, Maria Magdalena, Tuhan Yesus menampakkan diri-Nya untuk pertama kalinya setelah Ia dibangkitkan (Yoh. 20:11-18). Ia pula yang berlari-lari mendapatkan murid-murid lain dan menjadi pewarta pertama kebangkitan Kristus. Itulah sebabnya, ada seorang pakar tafsir Alkitab yang mengatakan bahwa Maria Magdalena adalah “rasul bagi para rasul.” Pada pengurapan agung Pentakosta, Ibu Maria, yaitu Ibu Yesus sendiri pun hadir di sana (Kis. 1:14). Allah mengangkat kaum perempuan sedemikian tinggi dalam sejarah keselamatan!



Betapa teramat merendahkan kaum perempuan, bila ada pandangan bahwa kaum perempuan adalah biang dosa (lih. Kej. 3)! Bahwa dosa mula-mula disebabkan karena perempuan, dan betapa lebih baik bila perempuan itu tidak ada. Seolah-olah, para lelaki dapat imun dari tanggung jawab kejatuhan. Tetapi kesaksian firman Tuhan menyelipkan sebuah kalimat yang sebenarnya sangat penting untuk disimak, “diberikannya [Hawa] kepada suaminya yang bersama-sama dengan dia, dan suaminya pun memakannya” (Kej. 3:6). Jelas sekali, Adam ada di situ. Berarti Adam pun menyetujui tindakan Hawa. Jika demikian, Adam pun sama-sama memiliki hasrat dan kehendak untuk melawan Allah! Sehingga, hal kejatuhan dosa, sama sekali bukan kesalahan yang harus ditimpakan ke atas kaum perempuan!



Lebih lanjut Kitab Suci mengingatkan kita tentang siapa perempuan itu. Ia adalah “penolong yang sepadan bagi laki-laki” (Kej. 2:18). Di mana pun dan kapan pun, penolong adalah sosok yang lebih kuat daripada yang ditolong. Ia bukan pihak yang lemah. Tanpa dia, maka yang ditolong itu malahan nampak kelemahannya. Allah menghendaki agar Adam menjadi seorang penolong bagi Adam. Demikian pun dalam sejarah raja-raja Israel di kemudian hari, kesuksesan dan kegagalan mereka ternyata ditimbang dari siapa ibu mereka!



Pertanyaannya kini, bagaimana mungkin seorang ibu dapat mengantar anaknya masuk dalam hidup yang “sukses” di mata Allah? Ingat, kesuksesan tidak boleh ditakar hanya dari sisi harta benda duniawi. Sukses sama artinya “benar” di hadapan Allah. Kita hendak belajar dari ketabahan ibu. Kata “ketabahan” sama maknanya dengan ketetapan hati dan kekuatan hati. Ya, di hari-hari yang kian berat ini, yang diwarnai oleh dekadensi moral dan krisis multidimensi, dicari sosok perempuan yang hatinya tetap, yang hatinya kuat, untuk mengantar anak-anaknya menuju kesuksesan hidup. Rahasia di balik semua ini adalah apakah seorang ibu mengingat perjanjian Allah (covenant).



Sebagai Tuhan, Allah mendambakan persekutuan dengan kita. Ia menjalin hubungan dengan manusia melalui ikatan-ikatan perjanjian (kovenan). Ia mengikatkan perjanjian dengan Adam, Nuh, dan kepada Israel di bawah Musa, Daud dan puncaknya adalah Yesus Kristus. Konsep ikatan perjanjian merupakan konsep yang umum di dunia kuno, di mana bangsa-bangsa dunia pada waktu itu gemar berperang dan meluaskan wilayah kekuasaan. Seorang raja yang menang, akan mengikatkan perjanjian dengan raja yang ditaklukkan. Ia berhak menjabarkan latar belakang historis, bentuk hubungan itu, menyatakan hukum, menjanjikan berkat bagi raja yang patuh, serta kutuk bagi pelanggaran atasnya.[1]



Jantung hati kovenan terletak pada kalimat, “Aku akan menjadi Allahmu, dan kamu akan menjadi umat-Ku” (mis. Kel. 6:7; Im. 26:12; Yer. 7:23; 11:4; Why. 21:22). Perhatikanlah bahwa berita ini mulai diserukan sejak awal sejarah pembentukan bangsa Israel, dengan dibebaskannya mereka dari Mesir, sampai kepada klimaks sejarah dunia, pada masa akhir. Berarti, berita ini menyusup ke jantung hati sejarah kehidupan umat Allah di sepanjang zaman. Hal ini menyiratkan kebenaran bahwa Allah akan selalu bersama kita, sebagaimana Ia beserta dengan Abraham, Ishak dan Yakub (mis. Kej. 26:3; 28:15; 31:3; Kel. 3:12).



Ia menyatakan komitmen-Nya terlebih dahulu kepada kita, dan sebagai ganti-Nya, Allah memampukan kita memiliki kepercayaan serta kepatuhan. Dr. Zacharias Ursinus, seorang pemikir Protestan yang hidup 500 tahun silam, berkata bahwa kovenan Allah adalah “suatu perjanjian dan kesepakatan dua pihak antara Allah dan manusia, di mana Allah memberi manusia jaminan bahwa Ia akan mencurahkan anugerah dan mengasihi mereka . . . dan di sisi lain, manusia mengikatkan diri dalam iman dan pertobatan.”[2]



Kepatuhan itu merupakan buah dari “pertobatan” dan “kepercayaan,” yang sesungguhnya bertumbuh secara natural bila seseorang merasakan Komitmen, Anugerah dan Jaminan dari pihak yang lebih tinggi. Alkitab sendiri menyatakan bahwa hukum itu mengikuti anugerah. Sama seperti ini: kita mengikuti Tuhan bukan demi mendapatkan keselamatan kita, tetapi memelihara hukum itu oleh rasa syukur kepada Dia karena anugerah keselamatan. Saya lebih suka memakai istilah “transformasi dari dalam” untuk kepatuhan. Karena ada jaminan, maka kita dimampukan patuh. Kepatuhan bertumbuh bukan karena paksaan dari luar, tetapi pengubahan total hati dan kehendak manusia.



Seorang ibu yang tabah adalah seorang ibu yang memiliki komitmen penuh untuk hidup bagi Allah! Sebuah komitmen yang dihasilkan oleh anugerah Allah, yang memberikan jaminan rasa aman dan kekuatan kepadanya hari lepas hari. Ia menjadi pribadi yang memiliki hubungan dekat dan intim dengan Allah, dan memiliki kehendak agar anak-anaknya pun dekat dengan Allah. Itulah yang dibuat oleh ibu para raja Israel yang “melakukan apa yang benar di mata Allah.” Itulah yang dilakukan oleh Ibu Maria, yang rahimnya dipinjam untuk melahirkan Putra Allah. Itulah yang saya rasakan terhadap ibu saya sendiri, yang berasal dari keluarga yang sangat sederhana dan seorang pekerja keras, namun telah berhasil mengantar anak tunggalnya untuk menjadi seorang pelayan Tuhan. Ia rela memberikan persembahan yang terbaik bagi pekerjaan Tuhan. Saya tidak pernah merasa kecewa dalam meniti jalan panggilan ini, karena saya tahu, sang ibu selalu hadir dalam doa-doanya! Saya berdoa, hal yang sama pun terjadi dalam tiap-tiap ibu muda yang dipanggil Tuhan dalam matra kehidupan yang makin rumit dan kompleks.




[1]Selengkapnya baca D. R. Hillers, Covenant: The History of a Biblical Idea (Baltimore: John Hopkins University Press, 1969).

[2]Dikutip dalam John Murray, The Covenant of Grace, Biblical and Theological Studies (Phillipsburg: P&R, 1953), 6.



TEOLOG ITU “PAK NO” NAMANYA

TEOLOG ITU “PAK NO” NAMANYA



Tak seorang pun menyebut dia teolog. Bahkan dia pun tidak tahu apa itu teolog atau istilah teologi. Sangat susah untuknya yang hanya lulusan Sekolah Rakyat. Tak pernah ia duduk dalam ruang kuliah teologi dan laboratorium seminari yang penuh buku tebal berharga mahal. Ketimbang berpikir susah, lebih baik ia mengerjakan pekerjaan tiap-tiap hari saja.



Namanya Sudiono. Panggilan akrabnya Pak No. Perawakannya tinggi dan ramping. Rambutnya yang agak ikal itu sudah banyak yang memutih. Nampak jelas, sudah hampir 60 tahun ia hidup di dunia ini. Wajahnya oval. Bola matanya yang satu tidak bisa melihat lagi karena ada kerusakan—sudah sangat lama ia hidup hanya dengan 1 bola mata. Suaranya melengking, dan cukup keras. Dari jarak 25 meter, suara sang bapak dapat cukup jelas tertangkap. Namun senyum keramahan tak pernah hilang dari wajahnya!



Ada sesuatu yang menarik dari sosok yang tiap hari pasti berjumpa denganku. Bila menyelesaikan tugas rutin, lap pembersih hampir selalu ia sampirkan di salah satu pundaknya. Kalau ia mengangkat sesuatu yang berat, tak pernah benda itu diletakkan di depan dadanya atau dipikulnya, tetapi diletakkan di panggulnya. Mirip kaum Hawa kalau mengangkat sesuatu, pikirku.



Aku menerima kabar bahwa konon kabarnya, pria paruh baya ini memiliki masa lalu yang sangat berbeda. Semasa mudanya, ia dulu tidak pernah memakai celana. Ia berdandan seperti perempuan. Memakai kain atau jarik, dengan rambutnya pun panjang diikat di belakang. Tak ubahnya seperti seorang gadis desa tempo-tempo silam. Apakah benar demikian, terus terang tidak pernah kutahu kebenarannya.



Namun siapa pun dia di masa lampau, aku yakin Allah tidak memandang masa lalu dan menghukum masa lalu itu. Tidak. Allah yang kukenal adalah Allah yang mengampuni. Ia adalah Allah yang mengubah dari dalam. Ia bertindak di dalam Mesias Yesus untuk memulihkan tatanan yang terjungkir balik. It’s not what someone was, but what he could be, that’s how God’s grace saw him/her! Perubahan hidup itu yang membuat Pak No tiap-tiap Minggu tetap ngabekti (“berbakti”) dalam ibadah tiap Minggu, sebelum melakukan tugas rutin rumah tangga gereja sebagai koster.



Siapa pun yang dekat dengan Pak No, pasti segera memperhatikan bahwa senyum keramahan tidak pernah lepas dari mukanya yang telah banyak kerutan karena faktor usia. Rumahnya kira-kira setengah kilometer dari gereja, namun ia sudah mulai ngantor pukul 05.30. Di gereja kami, tiap hari ada doa pagi pada pukul 05.00-06.00, dan Pak No sudah siap bertugas menyelesaikan segala urusan rumah tangga gereja. Bila ada tamu menginap di kamar tamu gereja, Pak No selalu mengucapkan kata-kata yang wajib, “Kalau nanti mau minta apa-apa, tinggal bilang Pak No saja.”



Pak No seorang yang cepat kaki ringan tangan. Ia banyak membantu kami sebagai rohaniwan gereja. Kepada siapa pun pengerja gereja (hamba Tuhan), ia selalu memberikan hormat. Bahkan kepadaku yang jauh lebih muda, yang ia telah kenal sejak aku di remaja, ia tidak pernah berkata kasar. Demikian pun aku sangat menghormati Pak No, dan menghargai sedalam lubuk hatiku pengabdian bagi gereja ini. Kalau aku mau meminta secangkir kopi atau gelas bersih atau air minum galon yang habis, aku pasti menggunakan bahasa Jawa krama, yakni gaya halus dalam tingkatan bahasa Jawa. Memang, Pak No tidak mampu berbahasa Jawa halus sekali, ia hanya bisa krama andhap sampai krama madya, bahasa halus rendah dan menengah. Tapi yang jelas, aku tidak pernah mengeluarkan kalimat perintah, “Tolong buatkan kopi!” Aku berusaha untuk selalu mengatakan, “Nyuwun tulung, Pak No, penjenengan kagungan kopi kaliyan toya benter? Kula nyuwun wedang, Pak No.” (“Minta tolong, Pak No, Anda mempunyai kopi dan air panas? Saya minta minuman panas, Pak No.”)



Semua hamba Tuhan di gereja pun ternyata menghargai Pak No. Apabila kami mengadakan pertemuan di gereja, Pak No menyediakan seteko teh, seteko kopi susu, seteko kopi hitam ke dalam ruang rapat kami, dan ada saja rekan yang mengucapkan, “Matur nuwun, Pak No!” (“Terima kasih, Pak No!”) dengan sopan dan halus. Jelas, ini adalah tanda rekan-rekan pun menghargai sang koster.



Pak No adalah salah satu organ gereja yang tulus, lepas dari segala intrik dan politik. Tak jarang, kaum elit yang menyebut diri hamba Tuhan dan majelis penuh dengan strategi, politik, lobi-lobi, ketegangan, kemarahan, atau tata aturan yang njelimet. Mata hatinya hanya terarah pada satu hal, ngabekti marang Gusti (“berbakti kepada Tuhan”). Ia adalah pekarya gereja yang tidak pernah membaca Tata Gereja sebagai “Taurat Baru” untuk setiap tindakan dan keputusan gereja. Ia tidak pernah mengecap ketegangan rapat majelis, ataupun pertentangan kubu-kubu para “gajah-gajah gereja.”



Bagiku, Pak No adalah teolog. Kepada siapa saja yang menyempatkan diri untuk bercakap-cakap dengan dia, Pak No selalu mengeluarkan filosofi hidupnya. Filosofi yang kerap dilatari oleh budaya Jawa dan kejawen, namun yang telah “dibaptiskan” ke dalam iman Kristen. Ia tidak mencampuradukkan imannya. Tetapi, sebagai seorang Jawa, ia belajar untuk menjadi seorang Jawa yang Kristen. Filosofi yang padat dan menarik pasti ia miliki. Pak No bukan orang yang pelit berbagi pengetahuan, meski pengetahuannya terbatas.



Pak No pasti tidak pernah membaca buku sebanyak aku. Rumahnya yang kecil dan sempit tak mungkin dapat menampung buku-buku. Tiada guna untuknya. Tetapi Pak No selalu punya hikmat yang baru. Itulah sebabnya, aku kerap pakai waktu untuk keluar dari kantor yang sekaligus studiorum-ku, untuk berjumpa Pak No, duduk dekat dia ketika sedang santai atau sambil menyelesaikan tugasnya, dan aku menyimak kata-katanya. Suaranya yang melengking menambah aksen hikmat yang tersembunyi di balik uban putihnya.



Filosofi hidup Pak No sederhana saja. Adalah beda antara orang yang eling Gusti (“ingat Tuhan”) dengan orang yang ora eling Gusti (“tidak ingat Tuhan”). Kalau orang ingat Tuhan, maka hatinya selalu terarah kepada-Nya. Orang ini, bila dirundung masalah dan dukacita, tidak cepat-cepat menyalahkan Tuhan. Orang ini akan datang kepada Tuhan. Hidupnya penuh dengan ucapan syukur. Apabila orang masih bisa mengucap syukur, pastilah ia akan menikmati hidup yang berkecukupan, bahkan berkelimpahan.



Berbeda dengan orang yang tidak mengingat Tuhan. Hidupnya pasti kacau. Sebab, ke mana ia akan pergi untuk mencari kelegaan? Oleh sebab ia tidak memiliki sandaran, hidupnya penuh uring-uringan. Selalu menyalahkan orang lain, menyalahkan diri sendiri, atau siapa saja yang ada di sekitarnya. Hidup selalu diwargai dengan ketidakpuasan.



Wis, paling enak kuwi nek manungsa gelem nenuwun karo Gusti! (“Sudah, paling enak itu kalau manusia mau bersyukur kepada Tuhan!”). Benar bukan? Itu mirip sekali dengan kata-kata rasul Paulus, “Mengucap syukurlah dalam segala hal, sebab itulah yang dikehendaki Allah di dalam Kristus Yesus bagi kamu” (1Tes. 5:18). Betapa dalamnya teologi Pak No! Ia sampai kepada jantung pengajaran iman Kristen, bahwa inti hidup seseorang yang telah dimerdekakan dari kuasa dosa dan kutukan hukum maut adalah mengucap syukur.



Lihat, Pak No pun seorang teolog! Teolog yang bagiku sekelas dengan semua pakar teologi yang kebanyakan berasal dari belahan dunia Barat itu. Teolog yang tidak mempunyai buku teologi, tetapi menjadikan dirinya sebagai buku teologi yang dengan cuma-cuma dibagikan kepada orang lain. Teolog yang tidak pernah mengenyam bangku kuliah seminari, tetapi mengajarkanku teologi yang tak pernah kudapatkan hingga wisudaku. Teolog yang tak mampu berpikir sistematis, tetapi melampaui ahli-ahli Belanda dan Jerman dalam kedalaman berpikir dan keluasan untuk menguraikan gagasan. Teolog yang tidak menghabiskan waktunya di dalam studiorum, hanya untuk berkutat dengan eksegesis, latar belakang kitab, dogmatika, ilmu berkhotbah, ilmu konseling, tetapi yang benar-benar menginkarnasikan pemikirannya dalam karya dan tindakan sederhana namun bernilai kekal. Teolog yang tidak pernah membuka leksikon untuk mencari arti kata sphlangnizomai (“bela rasa”), namun berhasil mengejawantahkan kata itu tanpa keluhan dan putus asa.



Friday, April 10, 2009

THE LAST TEMPTATION OF CHRIST: SEBUAH CATATAN PINGGIR (1)

Penulis Novel



Nikos Kazantzakis adalah seorang jurnalis, penulis novel dan teater, juga seorang filsuf, salah satu yang ternama di kalangan filsuf abad ke-20. Murid Friedrich Nietzsche, Henri Bergson dan Buddha; pengagum Kristus dan Lenin, dipuji-puji oleh Thomas Mann, Albert Schweitzer dan Albert Camus, karya-karyanya menampilkan sebuah jeritan hati yang mencari jawaban hakiki mengenai keberadaan.



Dilahirkan pada tanggal 18 Februari 1883 di Heraklion, di Pulau Kreta, ia menutup usianya di Freiburg, Jerman pada tanggal 26 Oktober 1957. Pada waktu ia dilahirkan, Kreta merupakan wilayah kekuasaan Dinasti Otoman dari Turki. Pulau ini berkali-kali berupaya untuk lepas dari Turki dan bergabung dengan Yunani.



Kazantzakis memulai studi hukumnya di Universitas Atena, dan melanjutkan di Paris pada tahun 1907 untuk bidang filsafat, di bawah bimbingan Henri Bergson. Sekembalinya ke Yunani, ia mulai menerjemahkan karya-karya filosofi. Pada tahun 1914 ia berjumpa dengan seorang penulis yang kemudian menjadi sahabatnya, Angelos Sikelianos. Bersama-sama mereka berkelana selama dua tahun di tempat-tempat di mana kebudayaan Kekristenan Ortodoks Yunani berkembang pesat. Hal ini dimotivasi oleh jiwa nasionalisme Sikelianos juga.



Ia menikah dengan Galatea Alexiou pada tahun 1911. Mereka bercerai pada tahun 1926. Kemudian ia menikah lagi dengan Eleni Samiou pada tahun 1945. Antara tahun 1922 sampai kematiannya pada tahun 1957, ia berpesiar ke Paris dan Berlin (dari tahun 1922 s.d. 1924), Italia, Rusia (1925), Spanyol (1932), dan kemudian ke Siprus, Aegina, Mesir, Gunung Sinai, Chekoslowakia, Nike (dan di sana ia membeli satu villa di dekat Antibes, di bagian Kota Tua yang berbatasan dengan pantai yang indah), China dan Jepang.



Ketika di Berlin, di mana situasi politik sangat berkecamuk, Kazantzakis berkenalan dengan komunisme dan menjadi pengagum Lenin. Ia tidak pernah benar-benar menjadi seorang komunis yang konsisten, tetapi ia sempat mengunjungi Uni Soviet dan tinggal dengan politisi dan penulis dari Oposisi Kiri, Victor Serge. Ia menyaksikan penobatan Joseph Stalin, namun kemudian surutlah kekagumannya kepada komunisme gaya Soviet. Di sekitar tahun ini, rasa nasionalismenya telah digantikan dengan suatu ideologi yang lebih universal.



Pada tahun 1945, ia menjadi seorang pimpinan partai kecil berhaluan kiri nonkomunis. Ia sempat masuk ke pemerintahan Yunani sebagai menteri, namun tanpa pengesahan yang jelas. Setahun kemudian, ia mengundurkan diri.



Pada tahun 1946, Perserikatan Penulis Yunani merekomendasikan Kazantzakis dan Angelos Sikelianos dihadiahi Nobel Kesusastraan. Pada tahun 1957, kesempatannya direbut oleh Albert Camus hanya dengan selisih 1 suara. Camus di kemudian hari mengatakan bahwa Kazantzakis layak menerima anugerah itu “seratu kali lipat” daripada dirinya sendiri. Ada indikasi, sosok Kazantzakis cukup terpandang di antara para filsuf eksistensialis.



Pada akhir tahun 1957, meski menderita leukimia stadium lanjut, ia tetap melakukan perjalanan ke China dan Jepang. Ia jatuh sakit pada penerbangan menuju kembali ke tanah airnya. Ia berbelok ke Freiburg dan di sana meninggal dunia. Ia dikuburkan di tembok yang mengitari kota Heraklion, sebab Gereja Ortodoks melarang jasadnya dimakamkan di sebuah pekuburan umum. Kalimat yang tertulis di batu nisannya adalah: Den elpizō tipota. De phobumai tipota. Eimai leuteros. Yang artinya, “Aku tidak berharap apa-apa. Aku tidak takut terhadap apa-apa. Aku bebas.”



Di sepanjang kehidupannya, ia banyak menulis novel dan naskah teater. Karya pertamanya yang muncul di muka umum adalah Serpent and Lily (Yunani: Ophis kai Krino), di mana ia memakai nama samaran Karma Nirvami. Bagi Kazantzakis, karya paling pentingnya adalah sajak yang pajangnya 33.333 bait yang berjudul The Odyssey: A Modern Sequel. Karya ini mulai dibuat pada tahun 1924 dan terus mengalami perbaikan sebanyak tujuh kali sebelum diterbitkan pada tahun 1938.



Menarik untuk diamati, sejak mudanya, Kazantzakis tak pernah berhenti melakukan pengembaraan spiritual. Dibayang-bayangi oleh problematika metafisik dan eksistensial, ia berusaha mencari pelepasan dengan pengetahuan, dengan berpesiar, berkontak dengan begitu banyak orang, dan banyak lagi pengalaman spiritual. Sangat nyata pengaruh Friedrich Nietzsche pada tiap-tiap karyanya. Pengaruh yang paling besar adalah karya-karya ateisme Nietzsche dan konsep mengenai super-insan (Übermensch). Dalam pada itu, problematika religius pun terus menghantuinya. Untuk mencapai kesatuan dengan Allah, Kazantzakis masuk ke dalam sebuah biara untuk tinggal di sana selama enam bulan.



Pergulatan eksistensialnya seperti dinampakkan dalam buku The Saviors of God (1927; Inggris 1960):



Kita telah melihat lingkaran tertinggi kekuatan-kekuatan yang berspiral. Kita telah menamai lingkaran ini Allah. Kita pun dapat menamainya yang lain seturut keinginan kita: Samudra, Misteri, Kegelapan Absolut, Terang Absolut, Materia, Roh, Pengharapan Asasi, Keputusasaan Asasi, Keheningan.



Kita datang dari satu samudra gelap, kita mengakhirinya dalam satu samudra gelap, dan kita sebut sesuatu yang terang itu kehidupan di antaranya (interval life).



THE LAST TEMPTATION OF CHRIST: SEBUAH CATATAN PINGGIR (2)

Sinopsis



Yesus adalah seorang tukang kayu dari Nazaret, yang selalu diganggu oleh suara batin dan selalu bimbang apakah Ia sedang mendengarkan warta dari Allah, Iblis atau kesombongan dirinya sendiri. Ia telah mencoba untuk menggapai Allah dengan berpuasa dan mati-raga. Sekarang ia berjuang untuk menerima tuntutan terhadap dirinya, ia memberontak untuk sejangka waktu dengan bekerja sama dengan orang-orang Roma, yaitu membuat salib untuk eksekusi para penyamun.



Dua orang yang terdekat dengan Yesus tidak memahami pergumulannya dengan Allah. Yudas, seorang anggota Zelot Yahudi yang percaya bahwa kekuatan Roma harus dijungkirbalikkan dengan kekerasan, menuntut Yesus sebagai seorang pengecut. Maria Magdalena, seorang pelacur yang telah mencintai Yesus sejak masa kanak-kanak mereka, marah karena Yesus telah menolaknya.



Mencari rencana Allah baginya, Yesus mengundurkan diri ke suatu pertapaan di padang gurun. Di sana ia berjumpa muka dengan muka, dengan ketakutan dan hasrat-hasratnya. Seorang pertapa muda, Yerobeam, menangkap hubungan khusus antara si orang asing itu dengan Allah dan memaksa dia untuk berbagi hati dengan dunia. Yudas, yang telah diperintahkan kaum Zelot untuk membunuh Yesus, menemukan peluang untuk melakukannya, tetapi membuang pisaunya ketika ia menyadari bahwa mungkin saja temannya ini (Yesus) adalah benar-benar utusan Allah.



Setelah menolong Maria Magdalena dari kerumunan massa yang hendak merajamnya dengan batu, Yesus berkhotbah untuk pertama kalinya. Tetapi beritanya mengenai cinta-kasih tidak digagas oleh sebagian besar yang hadir. Hanya sedikit orang, termasuk Petrus, Yohanes dan Andreas, yang berkeputusan untuk mengikutinya.



Yesus berusaha untuk memahami perannya dan berita yang akan dibagikannya. Setelah melalui sebuah diskusi panas dengan Yudas mengenai misi mereka, Yesus memutuskan untuk berbicara kepada sang nabi di belantara. Yohanes Pembaptis membaptiskannya dan kemudian menasihatinya bahwa cinta tidaklah cukup; ia harus mengambil kapak dan membabat habis kejahatan.



Yesus pergi kembali ke padang gurun. Ia bersumpah tak akan beranjak hingga Allah berbicara secara langsung kepadanya. Di sana ia dicobai oleh seekor ular yang menawarkan kepadanya pendamping hidup, oleh seekor singa yang menjanjikan kuasa duniawi, dan oleh satu penghulu malaikat dalam bentuk nyala api yang memberi tahu Yesus bahwa Ia adalah Allah dan menyarankan untuk memerintah berdampingan. Mengenali bahwa itu adalah Iblis, Yesus menghardiknya.



Ia meninggalkan gurun, berhenti di rumah Maria dan Marta. Di sana ia tahu bahwa Yohanes Pembaptis telah wafat. Kembali bersama dengan murid-muridnya, ia mengundang mereka untuk berkumpul dengannya dalam sebuah perang melawan Iblis. Dalam suatu tindakan di tengah angin puting beliung, Yesus mengusiri setan-setan, menyembuhkan orang sakit, memberitakan kepada dunia bahwa Allah telah hadir. Ia membangkitkan saudara Maria dan Marta, Lazarus dari antara orang mati. Ia berkhotbah dan ditolak di kotanya sendiri, Nazaret. Di Yerusalem, ia melawan para pedagang dan para penukar uang di dalam Bait Allah.



Yesus lalu meyakinkan Yudas bahwa ia telah melihat suatu nubuat dari Yesaya dan mengetahui apa yang ia harus perbuat. Ia harus pergi ke Yerusalem dan mati dengan suka rela di atas salib. Bersama murid-muridnya, Yesus kembali ke Bait Allah. Massa sudah menunggu kedatangannya untuk menyerang Roma, namun Yesus menolak memberikan tanda-tanda penyerangan itu. Di lain waktu, ia memberi tahu Yudas untuk menyerahkannya kepada para penguasa.



Pada perjamuan Paskah, Yesus membagikan semangat dan visinya kepada para pengikutnya, tatkala mereka makan roti dan minum anggur bersama. Malam itu di Taman Getsemani, ia meminta Allah untuk melepaskannya dari misinya, lalu ia berdoa memohon kekuatan. Ditangkap oleh orang-orang Roma, Yesus ditanyai oleh Pontius Pilatus, disesah, dan dibawa ke Golgota. Di sana ia disalibkan.



Pencobaan terakhir Kristus datang sebagai suatu penglihatan ketika Yesus tengah sekarat di kayu salib. Sesosok “malaikat penjaga” muncul dalam seorang anak perempuan. Ia memberi tahu Yesus bahwa ia telah cukup menderita; ia tidak harus mati. Sebaliknya, ia dapat hidup sebagai seorang lelaki yang normal, menikahi Maria Magdalena, menjadi ayah bagi anak-anak, dan menjadi tua dan hidup bahagia dengan keluarganya. Setelah Maria Magdalena meninggal, ia menikahi Maria dan Marta. Iblis, yang menjelma dalam diri “malaikat penjaga” ini, membujuknya dan memperbesar keraguannya untuk bertolak dari satu perempuan ke perempuan lainnya.



Mendekati ajalnya, Yesus berjumpa dengan Paulus. Ia menjadi sadar betapa banyaknya umat manusia yang membutuhkan Mesias yang tersalib dan yang bangkit. Ia dijenguk oleh Petrus, Natanael dan Yohanes, yang memberitahukan bahwa Bait Allah telah dihancurleburkan dan Tabut Perjanjian telah dicuri. Yudas muncul dan memperingatkan mereka bahwa Yesus seharusnya yang menjadi “Perjanjian Baru.” Namun sebaliknya, Yesus telah mengkhianati misinya untuk mati sebagai seorang laki-laki sejati.



Setelah menyadari panggilannya yang sejati, Yesus beranjak dari ranjang ajalnya. Mengumpulkan segenap kekuatan dan keyakinannya, ia berdoa untuk meminta Allah memberinya kesempatan untuk menggenapkan rencana-Nya. Yesus menaklukkan pencobaannya yang terakhir dan terjaga! Ia tergantung meregang nyawa di atas kayu salib. Ia berseru, “Sudah selesai.” Ia menang!



THE LAST TEMPTATION OF CHRIST: SEBUAH CATATAN PINGGIR (3)

Film



Pada pembukannya, film ini menyatakan bahwa sumbernya tidak berdasarkan Injil-injil, tetapi sebuah novel dari Nikos Kazantzakis. Film ini dimulai dari sebuah novel. Novel The Last Temptation of Christ ditulis dalam bahasa Yunani pada tahun 1955 dengan judul O Teleutaios Peirasmos. Terjemahan Inggris terbit pada tahun 1960. Novel ini bukan biografi Yesus ataupun studi biblika atas kehidupan manusia dari Nazaret itu. Kazantzakis mengaku bahwa buku ini merupakan “pengakuan setiap manusia yang bergumul.” Dalam sebuah surat kepada seorang kawan, ia menulis, “Sejumlah orang terkejut bahwa Kristus memiliki pencobaan. Tetapi pada saat saya menuliskan buku ini, saya merasakan apa yang Kristus rasakan . . . dan saya tahu pasti bahwa pencobaan-pencobaan besar, yang sangat menggairahkan dan sahih, datang untuk menghalang-halanginya untuk menuju ke Golgota.” Di dalamnya, Yesus digambarkan sebagai seseorang yang bergulat dengan kemanusiaannya. Ia menghadapi pelbagai pencobaan, yang berujung untuk menghambat perannya sebagai Mesias.



Jika kita menyimak kehidupan Kazantzakis, maka kita tahu bahwa ia sendiri merupakan seorang pengembara hidup rohani yang tak kenal lelah. Ia ingin memahami kedalaman rahasia pengalaman religius. Kehidupannya sendiri digambarkan sebagai suatu perang tanding tiada habis dan tiada ampun antara roh dan kedagingan.” Ia mengidentifikasikan dirinya secara pribadi dengan suatu dilema kemanusiaan. Kristus adalah modelnya, “pergulatan antara daging dan roh, pemberontakan dan halangan, perdamaian dan kepatuhan dan akhirnya—tujuan tertinggi pergulatan itu—persatuan dengan Allah.”



Di tangan Martin Scorsese, novel ini diangkat menjadi sebuah film. Dinominasikan sebagai peraih 6 Oscar (Academy Award), film ini menggondol 1 Oscar untuk kategori sutradara terbaik. Memang layak bagi Scorsese. Ia adalah sutradara yang mumpuni. Di setiap filmnya, motif-motif religiositas selalu ada, seperti: pengampunan, penderitaan, penebusan, pengurbanan. Coba perhatikan film-film lainnya seperti Mean Street, Taxi Driver, Raging Bull, After Hours, The Color of Money dan yang cukup terkini Gangs of New York. Ia telah menyimpan hasrat untuk menggarap novel Kazantzakis selama 15 tahun, dan ia percaya hasilnya adalah “suatu peneguhan iman dan pengharapan” oleh karena dikerjakan dengan “keyakinan dan cinta-kasih.”



Yesus yang tampil di film ini digambarkan oleh Scorsese “dapat memahami problem-problem manusia; ia mengalami keterhilangan, hasrat, serta perasaan dan kelemahan manusia lainnya. Itulah sebabnya kita dapat mengenali pergumulannya dan mungkin mulai menghubungkannya dengan pergumulan kita.” Yesus ini bukan gambaran yang seperti tampil dalam kajian Yesus Sejarah atau penggalian alkitabiah mengenai si tukang kayu dari Nazaret. Potret Yesus di film ini kebanyakan fiktif, hanya saja meminjam banyak karakter dalam Injil. Imajinasi sang pembuat film berperan besar dalam pencitraan tokoh Yesus. Cerita yang tampil di dalamnya adalah gambaran Yesus yang lain. Yesus yang lain. Yesus yang mencoba banyak jalan kepada Allah: penyangkalan diri, meditasi, kepasrahan pada pembimbing rohani, perkumpulan yang ia bentuk, pengajaran, tindakan, nubuat dan akhirnya sengsara dan pengurbanannya. Pergumulannya sama seperti orang-orang kebanyakan yang sedang mencoba-coba laku religius.



THE LAST TEMPTATION OF CHRIST: SEBUAH CATATAN PINGGIR (4)

Pengajaran



Bila seksama diamati, tema yang dikembangkan oleh Nikos Kazantzakis nampaknya diambil dari kalimat Yesus di Getsemani, “Ya Abba, ya Bapa, tidak ada yang mustahil bagi-Mu, ambillah cawan ini daripada-Ku, tetapi janganlah apa yang Aku kehendaki, melainkan apa yang Engkau kehendaki.” Bagaimana bila Yesus mempunyai kesempatan untuk menghindarkan misi yang paling ultimat dalam hidupnya, yaitu salib?



Namun demikian, karena film ini tidak didasarkan pada catatan-catatan Injil, tetapi sebuah novel imajinatif, maka sebenarnya hal ini tak perlu terlalu merisaukan kita. Yesus yang ditampilkan tentu berbeda dengan Yesus yang kita jumpai dalam halaman-halaman Injil. Kita harus ingat, potret Yesus Kristus dalam Injil adalah Allah sejati dan manusia sejati. Sedangkan Yesus dalam film ini adalah Yesus yang bukan saja manusiawi, tetapi Yesus yang dapat berdosa, Yesus yang menjadi bagian dari umat manusia berdosa. Dengan demikian, kita tidak akan pernah berjumpa dengan masalah kebersatuan Allah dan Kristus sejak kekekalan, kepatuhan total kepada misi Allah Bapa.



Kita tidak pernah menemukan arti penebusan di film ini, bahwa Sang Kristus menyerahkan nyawa-Nya sebagai “penebusan” (arrabon) bagi banyak orang (Mrk. 10:45). Kristus dalam Last Temptation tidak sedang menebus dosa. Ia bergumul dengan dirinya sendiri, dengan emosi, perasaan, dan kehendaknya. Tema mesianik yang maju sebagai tokoh yang diharapkan orang Yahudi sempat beberapa kali dimunculkan, tetapi pada akhirnya Sang Mesias yang tampil itu adalah Mesias yang mengerjakan misi salib karena pergumulan eksistensial.



Dalam tiap-tiap babak kehidupannya, Yesus juga dipotret sebagai orang yang mencari makna hidup. Ia tidak tahu bahwa ia adalah Mesias. Bahkan ia terus mencari jati dirinya. Kerap kali ia mengalami Angst, rasa takut yang luar biasa. Ia sering menyepi di padang gurun untuk bertapa dan bergulat untuk menaklukkan pencobaan yang terus muncul dari hatinya.



Tesis dasarnya adalah “pergumulan setiap manusia.” Bila kita menyimak tuturan Kazantzakis di bagian akhir novelnya, kita akan tahu apa yang sedang dikomunikasikannya:



It was the Last Temptation which came in the space of a lightning flash to trouble the Savior’s last moments.



But all at once Christ shook his head violently, opened his eyes and saw. No, he was not a traitor, glory be to God! He was not a deserter. He had accomplished the mission which the Lord had entrusted in him. He had not married, had not lived a happy life. He had reached the summit of sacrifice: he was nailed upon the Cross.



Content, he closed his eyes. And then there was a great triumphant cry: It is accomplished!



In other words, I have accomplished my duty, I am being crucified. I did not fall into temptation . . .



This book was not written because I wanted to offer a supreme model to the man who struggles; I wanted to show him that he must not fear pain, temptation or death—because all three can be conquered, all three have been conquered. Christ suffered pain, and since then pain has been sanctified. Temptation fought until the very last moment to lead him astray, and Temptation was defeated. Christ died on the Cross, and at that instant death was vanquished forever.



Every obstacles in his journey became a milestone, an occasion for further triumph. We have a model in front of us now, a model who blazes our trail and gives us strength.



This book is not a biography, it is a confession of every man who struggles. In publishing it I have fulfilled my duty, the duty of a person who struggled much, was much embittered in his life, and had many hopes. I am certain that every free man who read this book, so filled as it is with love, will more than ever before, better and ever before, love Christ.



Di mata Kazantzakis, Yesus adalah sosok yang mewakili pergulatannya (dan pergulatan hidup setiap insan) yang memiliki problem-problem metafisik dan eksistensial. Yesus yang selalu mencari jawaban atas pertanyaan yang selalu menghantuinya, yang sering menceraikan kesadarannya akan tugas dan asal-muasalnya, serta keinginan manusiawinya untuk menikmati kehidupan, untuk mencintai dan dicintai, dan untuk memiliki keluarga yang bahagia. Yesus tampil sebagai figur yang tragis yang di akhir kehidupannya mengorbankan harapan-harapan dan kenikmatan hidup. Kristus bukan tak dapat berdosa, bagi Kazantzakis, ataupun Allah yang tiada berasa. Yesus adalah manusia yang penuh hasrat dan emosi, yang telah diberi satu misi, dengan maksud utama supaya ia harus berjuang untuk terus memahaminya. Ia harus berhadapan dengan kesadaran dan perasaannya sendiri, dan mengorbankan kehidupannya demi mencapai kepenuhannya. Ia tetap dapat ragu-ragu untuk mengambil keputusan, takut dan bahkan memiliki rasa bersalah. Akhirnya, ia adalah Anak Manusia, seseorang yang pergulatan batinnya mewakili seluruh umat manusia.



Banyak kaum konservatif Yunani mengutuk karya Kazantzakis. Namun ia menjawab dengan kalimat yang menarik, “You gave me a curse, Holy Fathers, I give you a blessing; may your conscience be as clear as mine and may you be as moral and as religious as I” sebelum Gereja Ortodoks Yunani mengucilkannya pada tahun 1955.



Di mata Gereja Katolik Roma, novel The Last Temptation termasuk buku yang terlarang! Kazantzakis bereaksi dengan mengirim sebuah telegram kepada Takhta Suci di Vatikan dengan mengutip bapa gereja St. Tertulianus, “Ad tuum, Domine, tribunal appello.” (Ind.: “Aku letakkan permohonanku di panggung-Mu, Tuhan”; Yunani: “Sto dikastērio sou askō ephesē, ō Kuriē.”)



THE LAST TEMPTATION OF CHRIST: SEBUAH CATATAN PINGGIR (5)

Tanggapan



Jadi, bagaimana menanggapi film ini? Saya mengajak pembaca untuk menelaah dengan cerdas dan santun, tak perlu berburuk sangka. Tidak perlu emosi apalagi menjatuhkan penghakiman untuk ke sekian kalinya bagi Nikos Kazantzakis dan Martin Scorsese sebagai sutradara film. Jadilah pembaca/ penonton yang cerdas. Untuk itu, mari kita menelaah “epistemologi”-nya. Epistemologi adalah cabang filsafat yang menanyakan bagaimana seseorang mendapatkan pengetahuan. Dengan begitu, menelaah film ini, kita perlu bertanya, dari mana Kazantzakis mendapatkan pemahamannya?



Pertama, Kazantzakis mengalami liku-liku kehidupan yang tidak mudah. Bagaimana pun juga, liku-liku hidup ini menentukan seseorang menuangkan buah-buah pemikirannya. Ia pernah gagal dalam berumah tangga. Hidupnya tidak kaya. Ia menghasilkan karya-karyanya dalam bahasa Yunani modern, dan pada waktu itu tidak banyak peminat buku berbahasa Yunani. Terjemahan ke bahasa-bahasa Eropa baru terbit di usianya yang sudah lanjut. Ia menderita leukimia. Oleh karena itu, ketika berhasil menerbitkan karya Last Temptation ini, ia mengatakan telah memenuhi kewajiban dari seseorang yang telah bergumul banyak, dan banyak mengalami kepahitan dalam hidup, seseorang yang juga memiliki banyak harapan.



Kedua, Kazantzakis terpesona dengan filsafat eksistensialis, dan sepanjang kehidupannya ia berkelana untuk mendapatkan makna hidup. Maka, menonton film ini, Anda harus memikirkan hal-hal eksistensial berikut ini:



· Pikirkan film ini sebagai sebuah peluang untuk mendengar berbagai suara yang berbeda-beda, bahkan yang saling berkonflik dalam diri Anda sendiri, dan menyelami kepercayaan, nilai, prioritas dan cita-cita.



· Pikirkan film ini sebagai sebuah kesempatan untuk merenungkan ulang pengalaman Anda mengenai rasa bersalah, kesepian, ketidakberdayaan, keragu-raguan dan ketakutan.



· Pikirkan film ini sebagai sebuah perjumpaan tertutup dengan pemahaman eksistensial Anda mengenai kejahatan dan pencobaan.



· Pikirkan film ini sebagai langkah untuk menghadapi perubahan dan bagaimana Anda berespons terhadap dunia.



· Pikirkan film ini sebagai cara untuk mendapatkan guru-guru yang dapat menjadi model atau sahabat-sahabat yang simpatik yang berperan dalam pertumbuhan spiritual Anda.



· Pikirkan film ini sebagai suatu kesempatan untuk berhubungan dengan dampak penderitaan dan pengurbanan atas pertumbuhan kerohanian Anda.



· Pikirkan film ini sebagai suatu perjalanan yang akan memberi Anda pemahaman yang segar tentang makna pergumulan, kasih dan tanggung jawab dalam pengalaman religius Anda.



Dalam pada itu, Anda pun harus mawas diri bahwa filsafat eksistensialisme mengantar kepada nihilisme dan keputusasaan. Kebanyakan filsuf dan seniman eksistensialis dalam masa kejayaanya justru menjadi tidak/kurang waras dan bunuh diri. Mengapa? Aspek antroposentris menjadi bahasa utamanya. Bagi mereka, kehidupan adalah perjuangan yang harus dihadapi seorang diri. Tidak ada pertolongan dari luar. Manusia adalah juruselamat bagi dirinya sendiri. Namun, ketika manusia semakin masuk ke dalam dirinya dan mencoba menyelami dirinya, dalam hatinya muncul kecemasan yang tiada tara (Angst), yang pada akhirnya mengantar dia kepada kesia-siaan hidup.



Ketiga, filosofi dualistik Yunani bermain besar di dalam novel dan film ini. Siapa Allah? Di mana Allah? Apa yang diperbuat-Nya? Allah adalah Bapa-nya Yesus. Dia di surga. Dia memberi Yesus misi perutusan. Tetapi Ia tidak memiliki kuasa apa-apa atas diri Yesus. Antara Allah dan Yesus tidak ada kesatuan. Allah itu Roh. Ia di surga. Allah banyak membisu terhadap Yesus. Ia berintervensi hanya melalui kata-kata yang dari surga. Sedangkan Yesus adalah materi. Ia adalah manusia biasa, yang terpisah dari Allah. Yesus harus mencari jati dirinya sendiri. Ia ingin menghayati kebersatuannya dengan Allah melalui tindak-tindak askese. Ia mengatakan banyak kata yang menunjukkan kebingungan, kecemasan dan ketakutan. Yesus sendiri “bingung” dengan grand design Allah atas alam semesta ciptaan Allah Bapanya. Yesus berkata, dalam kegundahannya, adalah lebih baik bila rohnya mendapatkan kemerdekaan. Tipikal alam pikir Gerika (Yunani): roh yang suci terperangkap dalam raga yang cacat-cela dan sedang menantikan pelepasannya.



Betapa berbeda dengan cara pandang dunia Kristen yang integral. Allah bertindak di dalam Kristus untuk memulihkan dunia. Allah tidak semata-mata berurusan dengan keselamatan manusia. Ia memiliki grand design untuk keselamatan tata ciptaan. Ia tidak sekadar memberi tiap manusia tugas dan misi, tetapi Ia bertindak di dalamnya, melalui Yesus Sang Mesias. Kalau pun Yesus “belajar” untuk mengenal kehendak Allah atas diri dan perutusan-Nya di dunia, tak pernah diceritakan Ia mengambil perilaku asketis. Setiap tindakan dan ucapan-Nya, pengajaran maupun mukjizat-Nya, merupakan penggenapan dari firman Allah yang telah tertulis di Perjanjian Lama.



Keempat, betapa pun film ini mampu mengantar kita kepada permenungan eksistensial, hendaklah kita selalu sadar bahwa tidak mungkin kita berhenti di situ. Kita membutuhkan Juruselamat di luar diri kita. Ada pribadi yang lebih besar, yang tidak hanya melihat dari kejauhan, yang hanya memberi misi dan tuntutan, namun Pribadi itu yang datang dan mengubah kita dari dalam. Di dalam Kristus, kita mendapatkan pembenaran kita, yaitu pengampunan dosa (2Kor. 5:21). Melalui kuasa Roh Kudus, kita dilahirkan kembali untuk suatu kehidupan baru (Yoh. 3:3, 5), sehingga hidup kita sekarang ini adalah sebuah cicipan pertama dari antisipasi ciptaan baru yang akan datang dalam kesempurnaannya kelak.



Kita tahu bahwa Allah telah bertindak melalui Kristus dan di dalam kuasa Roh Kudus untuk mewujudnyatakan suatu tata kehidupan baru, yang berpuncak pada datangnya langit dan bumi yang baru. Jika kita hidup di dalam pengharapan ini, maka kita dapat melangkahkan kaki dengan jelas, tanpa putus asa. Kita tidak sedang berjuang seorang diri! Kita memiliki Penolong yang Mahakuasa! Kita yakin bahwa Ia pasti berjaya!



Terpujilah Allah!