Friday, September 28, 2012

MENGGAPAI PRESTASI HIDUP



MENGGAPAI PRESTASI HIDUP

“Tidak tahukah kamu, bahwa dalam gelanggang pertandingan semua peserta turut berlari,
tetapi hanya satu orang saja yang mendapat hadiah?  Karena itu, larilah begitu rupa,
sehingga kamu memperolehnya!  Tiap-tiap orang turut mengambil bagian dalam pertandingan,
menguasai dirinya sendiri dalam segala hal.  Mereka berbuat demikian untuk memperoleh suatu mahkota yang fana, tetapi kita untuk memperoleh suatu mahkota yang abadi.  Sebab itu, aku tidak berlari tanpa tujuan dan aku bukan petinju yang sembarangan saja memukul tetapi aku melatih tubuhku dan menguasainya seluruhnya, supaya sesudah memberitakan Injil kepada orang lain, jangan aku sendiri ditolak.” (1 Korintus 9:24-27)

Demi Emas

Membaca tuturan rasul Paulus, kita seolah-olah sedang berada di gelanggang Olimpiade.  Setiap kali menyaksikan tayangan pertandingan Olimpiade di TV—sambil bermimpi bila waktunya tiba Indonesia menjadi tuan rumah kejuaraan beken dunia ini—kita terkesan dengan disiplin ketat yang dijalani oleh para atlet agar mereka dapat meraih hadiah tertinggi: medali emas!  Ratusan pelari, pelompat, perenang, dan atlet-atlet cabang-cabang olahraga yang lain berjuang menggunakan seluruh waktunya sebagai upaya untuk mengukir prestasi dalam ajang perlombaan ini.

Pada Olimpiade tahun 1992 di Barcelona, Spanyol, ada seorang atlet berkebangsaan Prancis bernama Gatier, serta Waldner dari Swedia yang bertanding dalam final cabang tenis meja.  Pertanyaan yang membuat tegang kedua pemain itu dan juga ribuan penontonnya, termasuk Raja Gustav dari Swedia dan istrinya ialah, “Siapa dari antara kedua pemain ini akan meraih medali emas, dan siapa yang harus puas menerima medali perak?”

Dengan semangat tinggi kedua pemain itu melompat, meliuk di sekitar meja tenis sambil berusaha untuk mengembalikan bola kecil berwarna kuning yang di-smash oleh lawan, berjuang untuk mengalahkan lawannya, dan setiap kali membuat pendukung mereka masing-masing bertepuk kagum.  Kekuatan, kecepatan, ketepatan, serta kecermatan mereka dalam mengumpulkan angka yang susul-menyusul membuat penonton terus bertanya sampai akhir, siapa yang akan keluar sebagai pemenang.

Ketika akhirnya Waldner menang dengan angka 25-23, wajahnya yang tegang menjadi cair ketika ia melemparkan diri ke pelukan pelatihnya.  Ini adalah medali emas pertama bagi kontingen Swedia dalam Olimpiade Barcelona itu.  Tepuk tangan yang gemuruh di ruangan pertandingan dan kegembiaraan orang-orang Swedia menunjukkan bahwa sesuatu yang amat penting telah terjadi.

Ketika rasul Paulus melihat pertandingan seperti ini, ia bertanya-tanya kapan ia akan memusatkan seluruh kemauan dan mempunyai disiplin tinggi seperti orang-orang itu, agar dapat memenangkan kemuliaan abadi seperti halnya para atlet memenangkan medali emas mereka.  Mungkin ada baiknya kita membayangkan orang-orang yang saleh, para malaikat, dan para malaikat agung sebagai penonton dan menyadari bahwa Sang Raja sendiri melihat kita dan ingin memberikan kepada kita emas kasih-Nya yang abadi.

Tujuan yang Jelas?

Apakah dalam hidup ini kita mempunyai tujuan yang jelas?  Para atlet mempunyai tujuan yang jelas, yaitu meraih medali emas dalam Olimpiade, dan untuk itu semua, yang lain menjadi nomor dua.  Cara mereka makan, tidur, belajar, dan berlatih ditentukan oleh satu tujuan jelas itu.

Hal seperti ini benar juga dalam hidup rohani.  Tanpa tujuan yang jelas, perhatian kita selalu akan bercabang dan kita menghabiskan tenaga untuk hal-hal yang remeh-temeh.  Kepada para pendengarnya, Martin Luther King Jr. berkata, “Arahkanlah pandangan Anda pada hadiah yang disediakan.”  Apakah hadiah kita?  Hadiah kita adalah hidup ilahi, hidup abadi, hidup bersama, dan dalam Allah.  Yesus menunjukkan tjuan dan hadiah itu kepada kita.  Ia berkata kepada Nikodemus, “Begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.” (Yoh. 3:16).  

Tidaklah mudah mengarahkan pandangan kita kepada hidup abadi, khususnya di dunia yang selalu mengatakan kepada kita bahwa ada hal-hal yang lebih dekat dengan kita dan lebih mendesak yang meminta perhatian kita.  Tidak ada hari yang tidak menarik kita untuk melepaskan pandangan ke arah tujuan itu dan membuatnya kabur dan tidak jelas.  Meskipun demikian, dari pengalaman kita tahu bahwa tanpa tujuan yang jelas, hidup kita menjadi terpotong-potong oleh berbagai beban dan tugas yang tidak berhubungan satu dengan yang lain.  Pengalaman seperti itu menghabiskan tenaga dan membuat diri kita lebih lelah dan merasa seluruh usaha sia-sua.  Lalu, apa yang harus kita lakukan agar ujuan itu tetap jelas dan pandangan kita terarah kepada hadiah yang disediakan?

Jawabannya ialah disiplin doa.  Disiplin ini membantu kita untuk terus-menerus mempersilakan Allah datang dan masuk ke pusat kehidupan kita.  Perhatian kita akan selalu terpecah, sibuk dengan berbagai macam tuntutan yang mendesak.  Tetapi kalau ada waktu dan tempat yang disediakan untuk kembali kepada Allah yang menawarkan hidup abadi kepada kita, langkah demi langkah kita dapat menyadari bahwa begitu banyak hal yang harus kita kerjakan, kita katakan, atau kita pikirkan tidak lagi memecah-mecahkan perhatian kita.  Sebaliknya, semua itu membawa kita lebih dekat kepada tujuan kita.  Doa menjamin hal itu dan kalau tujuan kita menjadi kabur, doa membuatnya kembali jelas.

Pertanyaan Reflektif (Sharingkan dalam kelompok Anda)

1.       Apa yang biasanya membuat Anda mudah stres (tertekan) dalam hidup Anda?  Bagaimana Anda menghadapi stres dalam hidup?
2.       Apa yang biasanya pertama kali Anda kerjakan setelah Anda dapat menanggulangi stres itu?
3.       Bagi Anda, hidup itu apa (definisikan!)?  Apa yang harus Anda temukan di dalam hidup?  Apa yang harus Anda kerjakan dalam hidup?

(Diadopsi dari Henri J. M. Nouwen, Mencari Makna Kehidupan.  Yogyakarta: Kanisius, 1998.  Hlm. 40-46)

*Refleksi Kelompok pengantar Doa Taize Persekutuan Pemuda Vox Reformata, Sabtu, 29 September 2012

Thursday, September 27, 2012

BILA SEORANG KRISTEN BERBISNIS



BILA SEORANG KRISTEN BERBISNIS:
MARI MERENUNGKANNYA!

Era Kompetitif

Dalam percepatan kemajuan dunia yang tidak dapat dibendung, teknologi komunikasi yang perubahan kemajuannya sudah masuk dalam digit detik, dan budaya konsumerisme yang menyedot uang masyarakat menit demi menit, menyentak kita bahwa konteks hidup kita sekarang ini adalah era persaingan.  Hidup bagaikan mesin yang tak berjiwa, yang dihidupkan oleh listrik yang juga tak berperasaan.  Hidup seolah-olah hanya berorientasi pada perolehan target penghasilan sehingga mampu menutup segala kebutuhan hidup.  Terlena atau lengah barang sedikit saja, bisa-bisa hancurlah penghidupan yang telah kita rintis selama ini, dikalahkan oleh para saingan usaha.

Era persaingan melahirkan sifat lain: letih.  Banyak orang letih menghadapi hidup.  Bukan saja karena di atas awan masih ada awan yang lebih tinggi, tetapi makin kita kita menjadi “segumpal awan” di angkasa, makin besar dan kencanglah angin menerpa kita, hendak menyerak-pisahkan gumpalan-gumpalan awan yang terkumpul.  Tantangan makin hebat.  Sementara banyak orang mengalami stagnasi—kok tidak ada perbaikan dalam usahaku ini, ya?

Mungkin kondisi ini yang tengah kita hadapi.  Khususnya para pebisnis.  Banyak perusahaan yang terpaksa gulung tikar dan memutus-hubungan-kerja semua karyawan perusahaan.  Akibatnya, angka pengangguran pun bertambah.  Sementara bisnis-bisnis lain yang masih berjalan menghadapi desakan, impitan, bahkan goncangan, kekhawatiran dan kecemasan menjadi berlimpat kali ganda.  Bukankah kondisi zaman seperti ini dapat kapan saja menghancurluluhkan usaha yang dibangun dengan asa maupun derai air mata?

Alat Ukur Kebahagiaan

Pebisnis Kristen pun bisa jadi menghadapi hal yang sama.  Mungkin Anda pun mengalami ketakutan yang sama.  Tetapi sebagian Anda mungkin sedang tidak mengalaminya.  Walau demikian, adalah kebenaran bahwa memiliki usaha yang baik, menambah satu mobil lagi di garasi atau mengoleksi barang-barang branded (bermerk), bisa berlibur ke luar negeri sama sekali tidak menjadi alat ukur bahwa seseorang telah mencapai tujuan hidupnya.  Tak cukup dengan semuanya itu.

Ternyata, hidup memang bukan masalah uang.  Hidup juga bukan masalah berapa negeri di bumi yang sempat dikunjungi.  Para filsuf mengatakan bahwa hidup yang berbahagia itu tercapai tatkala kita hidup aktif.  Bukan sekadar ada banyak aktivitas dari pagi sampai malam.  Tetapi aktivitas yang selaras dengan tujuan kehidupan Anda, aktivitas yang memberi makna bahwa Anda adalah seorang manusia yang hidupnya berharga!

Sebagai pebisnis Kristen, kunci keberhasilan Anda bukan modal.  Makin besar modal Anda berarti makin aman kehidupan Anda?  Modal adalah faktor yang kecil, bahkan bisa disebut yang paling kecil.  Apakah network?  Berjejaring itu penting.  Memiliki sahabat sebanyak-banyaknya adalah sikap yang harus ada dalam diri para pebisnis—meminimalisir pesaing dan musuh bisnis tetapi menambah kenalan dan kolega.  Namun menjaga mutu, kualitas, dan pelayanan juga faktor yang menentukan.  Kita boleh memiliki modal, memiliki jaringan, tetapi jika mutu yang kita tampilkan mengecewakan pelanggan, niscaya bisnis kita akan mengalami kemunduran.  Menjaga kualitas untuk tetap baik, bahkan makin baik, harus menjadi prioritas para pebisnis.

Bahagia = Berharga

Modal, jejaring, dan mutu tidak pernah menjamin kebahagiaan akan menjadi bagian hidup seorang pebisnis Kristen.  William James pernah mengatakan, “The great use of life is to spend it for something that will outlast it.”  Hidup menemukan manfaat yang besar jika dipakai untuk sesuatu yang melampaui kehidupan itu.  Untuk mendapatkan hidup yang bahagia, kita perlu melampaui tingkat kepuasan materi, dan kembali bertanya apa arti menjadi manusia dan menemukan tujuan hidup.  Seorang pebisnis perlu juga memikirkan dan menemukannya.

Kebahagiaan berarti siapa kita dan apa yang kita lakukan bagi dunia.  Kebahagiaan berarti belajar untuk memberi diri bagi sesuatu yang lebih penting, lebih berharga, daripada memberi diri untuk sesuatu yang lebih baik, lebih menyenangkan, lebih menguntungkan.  Menemukan makna hidup di satu sisi berani kehilangan.  Kehilangan sesuatu yang kita sayangi, dan merasakan keterhilangan itu.  Bagaimanakah rasanya kehilangan sesuatu, namun sesuatu yang hilang dari kita itu ternyata berguna bagi orang lain yang membutuhkan?  Tidakkah kita bahagia?  Tidakkah kita bahagia ketika kita memberikan milik kita untuk proyek-proyek pemeliharaan alam, sebab bumi ini adalah rumah kita dan kita diberi makan olehnya?

Para pebisnis Kristen diundang untuk melakukan bisnis dalam spirit shalom(damai sejahtera)—tidak terjebak dalam pola hidup egosentris (cinta diri sendiri) dan hedonis (cinta kenikmatan), tetapi menjadi seseorang yang berharga bagi orang lain dan bagi bumi.  Apa yang kita lakukan demi mengangkat harkat orang lain, dan rumah kita ini, adalah sesuatu yang berharga yang kita lakukan bagi Allah.  Bersaing tidak ada habisnya.  Hidup dalam persaingan yang tiada henti akan membuat kita letih dan patah semangat.  Namun ada hal yang lebih baik, yaitu menghayati panggilan Allah bagi kita.  Sekarang.  Panggilan Allah ini juga bagi Anda!

Terpujilah Allah!

Tuesday, September 11, 2012

(Book Review) THE SACRIFICE OF JESUS: UNDERSTANDING ATONEMENT BIBLICALLY

BOOK REVIEW

THE SACRIFICE OF JESUS: UNDERSTANDING ATONEMENT BIBLICALLY (Fortress, 2011) oleh Christian A. Eberhart (x + 170 hlm.)


Entah berapa banyak di antara kita yang turut menggeluti diskusi akhir-akhir ini mengenai masalah "atonement," doktrin pendamaian, yang dikembangkan oleh Anselmus dari Canterbury, yang menggambarkan Allah sebagai Bapa yang murka dan menuntut kurban niscaya dari satu pribadi tanpa dosa.

Dalam konteks Indonesia, berita santer melawan doktrin atonement adalah buku Ioanes Rakhmat yang ditanggapi oleh Joas Adiprasetya. Dalam spektrum diskusi lebih luas, dua teolog sistematika AS juga menerbitkan buku melawan pandangan atonement Anselmian. Yang satu dari seorang teolog Anabaptis-Mennonite, J. Denny Weaver dari Bluffton University, Ohio, dengan buku The Nonviolent Atonement (2nd. ed.; Eerdmans, 2011), dan yang lain teolog Baptis, S. Mark Heim, Saved from Sacrifice: A Theology of the Cross (Eerdmans, 2006).


Buku saku yang saya beli pada 25 Januari lalu di Baker Book House, Grand Rapids, MI, memberikan sumbangsih yang menarik. Diterbitkan dalam seri Facets (Augsburg Fortress) yang membahas tema-tema teologis namun ringkas dalam penyajian, buku ini membedah teologi pengurbanan Yesus dari sisi biblis. Penulis adalah guru besar PB di Lutheran Theological Seminary, Saskatoon, Saskatchewan, Canada, dengan gelar doktoral dari Universitas Heidelberg, Jerman. Beliau telah menulis secara ekstensif mengenai teologi kurban di dalam PL dalam bahasa Jerman dan Inggris.


Alasan Eberhart menulis yaitu menyikapi makin banyak orang Kristen yang sulit menerima konsep kekerasan yang dikenakan pada kurban Kristus. Sang penulis juga mengetengahkan tesis mengenai "non-violent image of atonement", bukan paparan dogmatis, atau filosofis, tetapi menggali kembali kekayaan konsep ritual dan pengurbanan di Kitab Suci. Ia menyimpulkan dalam 5 poin (hlm. 131-134):


1. Penyembelihan hewan tidak memiliki makna penting untuk ritual pengurbanan pada kultus Israel kuno. Di sisi lain, ritual peneraan darah tidak menyiratkan vicarious death (kematian yang menggantikan tempat umat) tetapi penyucian melalui hidup hewan, yaitu darahnya.


2. Ritus kurban muncul sebagai cara untuk mendekati tempat kudus dengan tujuan untuk berjumpa dan berkomunikasi dengan Allah. Lebih lagi, kurban merupakan sarana pemurnian dan pengudusan dalam peribadahan (expiation).


3. Soteriologi PB tidak berfokus secara eksklusif pada kematian Yesus tetapi juga kehidupan dan misinya. Hal ini diterangkan dengan simbol rahasia kekristenan kuno yaitu ICHTYS yang merupakan akronim gelar Yesus, yang menyiratkan kehidupan dan misinya, bukan sekadar kematiannya.


4. Kematian Yesus bagi kekristenan perdana memang mengandung keselamatan, tetapi gambaran yang dipakai bukan sama dengan perkembangan terkemudian yang diambil dari konteks sekular (diplomasi dan ekonomi).


5. Menurut teologi Kristen perdana, Allah mengambil inisiatif untuk menempatkan Yesus sebagai "tempat pendamaian" (place of atonement) yang dapat dimasuki oleh semua umat manusia, dan Allah adalah Dia yang mendamaikan dunia dengan menyediakan sarana efektif bagi pengampunan. Di dalam Yesus, Allah trinitas memilih untuk berjumpa dengan umat manusia sehingga kasih ilahi dapat dikenali dan dibagikan kepada dunia.

Monday, September 10, 2012

THE FAITH OF THE FAITHLESS (Book Review)

THE FAITH OF THE FAITHLESS: EXPERIMENTS IN POLITICAL THEOLOGY by Simon Critchley (Verso, 2012)

Nama Simon Critchley mungkin sangat asing bagi sebagian anggota FTB. Saya berjumpa pertama dengan nama ini ketika membaca-baca Slavoj Zizek. Kedua, sewaktu saya berada di satu toko buku bandara Cleveland, OH, Januari yang lalu, dan membeli buku The Book of Death Philosophers. Critchley adalah Ketua Dept. Filsafat di New School for Social Research, NY dan Profesor paruh-waktu di Universitas of Tilburg, Belanda.

Ia bukan teolog, tetapi pakar Filsafat Kontinental dan berminat besar dalam teologi politik. Ia bukan seorang teis, tapi seorang agnostik. Baginya iman tidak harus teistik, sebuah kepercayaan atas adanya entitas metafisik seperti Allah. Iman adalah proklamasi subjektif, dalam sebuah relasi dengan tuntutan tertentu. Iman menempatkan seseorang terhadap sesuatu yang mengikat dirinya sebagai seorang subjek (etis dan politis). Selaras dengan Terry Eagleton, "faith is performative rather than propositional."


Critchley mengaku bahwa ia tidak pernah berminat untuk menjadi pemikir yang benar-benar sekular. Kritik utama dilancarkan oleh Critchley atas situasi kontemporer pasca-gonjang-ganjing pakta Warsawa dan Uni Soviet, dan memasuki era 90-an yang mengagungkan optimisme yang terkandung dalam demokrasi. Optimisme ini segera terengah-engah karena kehabisan energi. Titik balik pun terjadi pada saat itu--kembali ke teologi.


Ia senang dengan orang-orang macam Paulus, Agustinus dan Pascal. Ia mengklaim bahwa jika seseorang memulai satu ide tanpa agama maka dengan bodohnya ia akan terputus dari sebuah gudang arsip penting yang menyimpan kemungkinan-kemungkinan. Tanpa agama, tak mungkin filsafat dapat berhasil. Namun, hal ini jangan dipahami bahwa filsafat dilakukan hanya dengan agama.


Agama, bagi Critchley, dipergunakan untuk tujuan yang berbeda daripada sekadar persekutuan pribadi orang percaya dengan Sang Sakral, yang disebut Allah. Ia menyebut pendekatannya "diagnostic"--memahami sifat dan bentuk politik sebagai bentuk yang berbeda dari proses "sakralisasi." Apa pun bentuk politik (fasisme, demokrasi liberal, Stalinisme) adalah pelbagai bentuk dari sang sakral. Pun selalu ada objek sakral: bangsa, rakyat, ras, dan yang lain. Jadi, sejarah politik bukan pergerakan dari religius menuju sekular, tetapi sebagai pergeseran arti terhadap sang sakral (Ia mencontohkan Amerika Serikat sebagai studi kasus).


Critchtley menyebut politik sebagai "association without representation." Baginya agama, yang diyakininya berasal dari kata Latin "Relegare" (to bind fast, "mengikat kuat"), erat kaitannya dengan tema asosiasi. Apa yang mengikat kuat itu? Ia tidak dapat menjawab, karena panjang dan luasnya sejarah agama-agama (secara sempit Kristianitas). Justru inilah sebabnya, tradisi religius tidak dapat diabaikan begitu saja. Ia mengaku bahwa buku Alain Badiou tentang St. Paul adalah yang paling dahsyat berbicara mengenai politik.

BEKERJA DALAM SPIRIT SYALOM (KOLOSE 3:22-25)



BEKERJA DALAM SPIRIT SYALOM
KOLOSE 3:22-25

Telah kita pelajari di Minggu lalu bahwa berkeluarga harus dilandasi oleh semangat “Kristus adalah hidup kita.”  Semboyan ini mendorong orang-orang Kristen untuk memikirkan apa yang Kristus pikirkan dalam kehidupan sehari-hari.  Maka, makin kita sadari bahwa menjadi Kristen bukan melulu berurusan dengan kehidupan di surga setelah kematian, tetapi kehidupan konkret.  Kini dan di sini.  Dalam berbisnis.  Dalam keluarga.  Sekarang, dalam bekerja.

Teks pokok kita berbicara mengenai relasi tuan dan hamba, atau lebih gamblang—majikan dan budak.  Majikan adalah orang yang punya modal; budak adalah alat produksi yang akan mendatangkan keuntungan.  Gaya perbudakan di zaman Romawi tidak sekejam perbudakan di zaman kolonial, di mana budak sama sekali tidak boleh menikmati hak asasi manusia.  Budak-budak di zaman rasul Paulus diperlakukan cukup manusiawi, karena setiap majikan terikat dalam hukum Roma.  Bahkan ada budak yang diangkat menjadi pengatur rumah tangga majikan, jika ia mendapat kepercayaan sang tuan.  Namun demikian, perbudakan tetap menyiratkan ketimpangan sosial, dan ketidakadilan.  Di dalamnya tidak ada syalom, damai sejahtera seperti yang dicita-citakan Allah.

Teks pokok kita terkesan mendukung ketidakadilan dan perbudakan!  Budak diminta untuk taat.   Bahkan perintah untuk budak lebih banyak daripada untuk tuan (4:1).  Paulus sepertinya pro-status quo, padahal di tempat lain kata-katanya sangat radikal ketika berbicara “tidak ada lagi budak dan orang merdeka” (Gal. 3:28).  Apakah Paulus berubah pikiran?  Tidak.  Jika kita memperhatikan konteks Kolose, baik hamba maupun tuan disapa “saudara-saudara yang kudus dan yang percaya dalam Kristus” (1:1).  Mereka semua memiliki hak yang sama di dalam komunitas tubuh Kristus.  Komunitas ini dibentuk berpusatkan pada peribadahan yang menyediakan tempat yang aman untuk mengungkapkan isi hati, berdoa serta mengenali kehendak Allah.  

Namun ternyata, di dalam komunitas ini terdapat kaum entrepreneur dan kaum pekerja, karena itu kedua golongan ini juga memerlukan dasar kebenaran yang sama jika mereka hendak tolong-menolong.  Maka, komunitas Kristen perlu untuk bersama-sama menggumuli apa artinya bekerja di dalam Kristus dan bagaimana Kristus hadir di dalam pekerjaan yang mereka geluti.

Sang rasul tetap pemikir yang radikal dan menghendaki keadilan terjadi dalam realitas sehari-hari.  Transformasi tidak selalu revolusi.  Perubahan tidak dapat terjadi serta-merta, tetapi bisa setahap demi setahap.  Di sini, Paulus menasihati baik “pekerja” maupun “pemberi kerja” untuk menempatkan Kristus sebagai “Sang Pemberi Kerja.” Di atas si pemberi kerja, masih ada Kristus yang adalah Tuhan segala sesuatu.

Jika kita semua menyadari bahwa Kristus adalah Pemilik segalanya, maka kita pasti akan menjalankan usahanya dengan jujur dan sepenuh hati, serta memperlakukan orang lain—yang bekerja untuk kita dan yang bekerja bersama kita—sebagai pribadi-pribadi yang utuh, yang layak menerima hak-hak mereka secara benar dan adil.  Tak dapat dipungkiri, dalam dunia yang kian sarat dengan percepatan dan persaingan, maka motif-motif lain bisa terselip—sukses, penghargaan, keuntungan lebih, naik peringkat, dsb.  Jika para pemberi kerja menyadari bahwa “Kristus adalah hidup saya!” maka mereka akan terus bertanya, “Mengapa saya mengerjakan ini?  Apakah Kristus merasa senang jika saya melakukannya?”  Renungkanlah, apa yang harus dilakukan oleh para pekerja Kristen: 

·         ketika perusahaan menghadapi kemajuan (atau mungkin kemunduran)?
·         ketika menghadapi kompetisi, godaan untung besar, dan kebijakan pemerintah yang mencobai iman?
·         ketika kejahatan sistem dan struktural (perusahaan atau pemerintah) di depan mata dan godaan untuk mengkompromikan standar iman?

Juga, ke mana kira-kira para pekerja Kristen mencari pertolongan ketika dituntut untuk mengambil keputusan yang sulit di tempat kerja?

Sebagai penutup, apa konkretnya karakteristik syalom yang ada dalam pekerjaan orang Kristen?  Beberapa ide ini dapat kita kerjakan: Yang terutama, kita harus waspada akan bahaya materialisme.  Kita harus belajar untuk menjadi penatalayan Allah yang gemar memberi dan berbagi, demi terwujudnya kasih, kebenaran, perdamaian, keadilan dan keutuhan ciptaan.  Kita melatih diri untuk bekerja sama dengan orang lain, membentuk kelompok-kelompok kerja yang menolong orang lain untuk dapat membuka usaha.  Kita pun perlu untuk melibatkan diri dalam pengentasan kemiskinan di wilayah-wilayah minus di lingkungan kota kita (atau cabang-cabang GKMI Kudus).  Amin.  (TGJ)

Wednesday, September 5, 2012

BERKELUARGA DALAM SPIRIT SYALOM (Kolose 3:12-21)



BERKELUARGA DALAM SPIRIT SYALOM
Kolose 3:12-21

Membangun keluarga Kristen pada hakikatnya adalah membangun sebuah entitas masyarakat yang diikat oleh perjanjian Allah.  Allah yang menghendaki manusia untuk bekerja, dengan mencukupkan segala kebutuhannya.  Allah menempatkan manusia di dalam sebuah taman yang indah (Kej. 2:15-16).  Allah memberikan tanggung jawab yang harus dipatuhi oleh manusia (ay. 17).  Allah pun menyediakan pendamping yang sepadan bagi manusia (2:20).  Ada anugerah, tetapi ada kerja.  Ada berkat, tetapi ada tanggung jawab.  Singkatnya, keluarga perjanjian adalah keluarga yang diikat oleh cinta Allah.  Jadi, Allah menghendaki terbangunnya keluarga yang menempatkan Allah sebagai pusat.

Dengan mengutip kembali Kejadian 2:24-25, Yesus Kristus menegaskan kebenaran mengenai keluarga perjanjian itu.  Yesus meneguhkan pentingnya keutuhan keluarga, bukan karena kehendak manusia, bukan karena selera, tetapi karena “Ia [Allah] yang menciptakan manusia laki-laki dan perempuan” (Mat. 19:4).  Titik tekan Yesus adalah “Ia” atau “Allah.”  Bahwa Allah harus menjadi pusat kehidupan keluarga murid Yesus.

Motif yang sama diulang oleh rasul Paulus dalam bacaan pokok kita pada Minggu ini.  Ayat 4 adalah teks yang menginspirasi keseluruhan tema Surat Kolose.  “Apabila Kristus yang adalah hidup kita.”  Christ is my life.  Kristus adalah pusat kehidupanku.  Bukan semata-mata pernyataan dogmatis, atau kredo keimanan tetapi sebuah spirit, atau jiwa, atau pilihan ultima dari hidup itu sendiri.  Kalau kualitas Kristen harus hidup lebih baik dari hari ke hari, maka spirit ini harus menjadi kehidupan kita.  Selama jiwa dan semangat ini belum tertanam, tidak ada ada harapan bahwa hari esok lebih baik daripada hari ini.

Pilihan hidup untuk menjadikan Kristus sebagai pusat hidup ini bukanlah pilihan berdasarkan selera pribadi, tetapi merupakan buah dari pemilihan, pengudusan, dan kasih dari Allah (ay. 12).  Intinya yaitu mengingat bahwa hidup adalah kasih karunia Allah.  Bahwa kehidupan Kristen dimulai dari anugerah.  Anugerah ini bukan sekadar berbicara tentang awal keselamatan (seseorang diselamatkan dari hukuman dosa), ataupun akhir keselamatan (seseorangpasti akan diselamatkan), tetapi Allah juga menyediakan sarana keselamatan (bagaimana hidup di dalam keselamatan).

Maka, bagaimanakah membangun sebuah keluarga Kristen yang menghadirkan syalomdi dalamnya? 
·         Apakah ada Allah di dalamnya?  Apakah Kristus menjadi pusat kehidupan masing-masing anggotanya?
·         Apakah yang terpikir ketika kita mengambil keputusan?  Supaya aku untung dan supaya orang yang aku benci rugi?  Pokoknya aku menang tak peduli perasaan orang lain?  Ataukah “Kristus adalah hidup kita”?
·         Apakah yang keluarga pikirkan ketika masalah datang?  Kehendak dan keinginanku?  Kesalahan orang lain?  Atau prioritas yang lebih tinggi—“Kristus adalah hidup kita”?

Merenungkan pertanyaan-pertanyaan di atas, maka kami yakin bahwa ketika Saudara-saudari menghadapi masalah di dalam keluarga, ada pertimbangan yang lebih tinggi dan lebih utama, “Apa yang Allah dan Kristus kehendaki?”dan bukan pertimbangan-pertimbangan pribadi.  Kami berdoa, biarlah syalomhadir di dalam keluarga Saudara-saudari.  Jangan berhenti berdoa untuk hadirnya syalom.  Jadilah syalom itu sendiri.  Nyatakan anugerah dan damai sejahtera di mana pun kita berada.  Amin. (TGJ)