Pendahuluan
Tugas saya di sini adalah memaknai kaleidoskop kekerasan 2015
dari sisi teologi Kristen. Menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia, kaleidoskop memiliki dua arti: 1. Alat optik yang bentuk luarnya seperti keker, dilengkapi dengan dua kaca
persegi panjang yang dipasang pada lapisan dalam pada salah satu ujungnya
sehingga dapat memperlihatkan pelbagai gambaran yang indah dan simetris dari
kepingan barang berwarna yang diletakkan di antaranya apabila dilihat dari
ujung yang lain; 2. aneka
peristiwa yang telah terjadi yang disajikan secara singkat. Nah, bagaimana menyajikan gambaran kekerasan
di tahun 2015, yang pastilah tidak menyenangkan sama sekali. Saya sangsi bahwa saya mampu merangkum semua
kekerasan yang telah terjadi. Saya yakin
Anda sudah well-informed, dan
rekan-rekan panelis yang merupakan ahli dalam bidangnya pun dapat memaparkan
data yang lebih akurat daripada seorang teolog.
Harus diakui, disiplin ilmu teologi dapat dikategorikan sebagai
disiplin ilmu yang paling tidak jelas secara metodologis. Teori apa yang akan dipakai untuk
mengkaji? Apa objek penelitiannya? Apa hasilnya?
Apakah hasilnya dapat diukur? Dan
masih banyak lagi “keluhan” yang dapat ditujukan kepada disiplin teologi. Namun toh saya harus berbicara sebagai
seorang teolog. Alasan pertama tentu
saja karena saya tidak dapat memungkiri “takdir” saya dan mata pencaharian
saya. Namun yang kedua, yaitu bahwa
teologi mengajak kita berhenti sejenak dan merenungkan makna dari setiap hal
yang kita hidupi dan alami setiap hari.
Memang, teologi adalah refleksi agar kita menghentikan diri di tengah
hiruk pikuk, bertanya kepada batin kita tentang apa yang sesungguhnya diminta
oleh Dia yang Tak Terperi itu: siapa kita, tujuan kita, dan bagaimana kita
mencapainya. Entah Anda hendak menamai
Dia sebagai Allah, sebagai Yang Tak Terpermanai, Sang Kudus, Sang Tiada, tetapi
setiap kita berada di sini dan kini bukan karena kecelakaan atau karena peluang-peluang
random. Kita hidup kini dan di sini
karena ada yang menempatkan kita. Tanpa
ini, hidup kita tidak bermakna. Jadi,
teologi tidak dapat dipisahkan dari antropologi. Memahami tentang siapa Dia pada akhirnya
bertanya kembali tentang siapa kita.
Saya akan membatasi diri dalam menguraikan masalah ini. Karena saya pengikut Yesus Kristus dari
Nazaret maka pertama-tama apa yang Injil katakan tentang perkataan Yesus
Kristus tentang serentetan kekerasan.
Maka di sini saya akan berfokus pada berita di Injil tentang kaleidoskop
kekerasan, khususnya dari Injil Matius 23:33-36. Dari sini, saya akan mencoba membaca dengan
dua sudut pandang: pertama, saya akan menguraikan dari sisi teks, namun
kemudian, yang kedua, saya akan berusaha melawan teks ini, karena teks ini,
yang semula dipakai oleh Yesus untuk melawan status quo dan melawan kekerasan,
telah beralih fungsinya, dibalik dan dipakai untuk mengesahkan kekerasan atas
orang lain yang dianggap musuh bebuyutan. Dari sini, saya mengajak kita berefleksi bukan
saja kita harus tolak, namun kita pun harus wawas diri bahwa setiap kita
berpotensi untuk menjadi pelaku kekerasan.
Membaca Matius 23:33-36
sebagai Perlawanan
Matius 23:33-36 berkata,
Hai
kamu ular-ular, hai kamu keturunan ular beludak! Bagaimanakah mungkin kamu dapat meluputkan
diri dari hukuman neraka? Sebab itu,
lihatlah, Aku mengutus kepadamu nabi-nabi, orang-orang bijaksana dan ahli-ahli
Taurat: separuh di antara mereka akan kamu bunuh dan kamu salibkan, yang lain
akan kamu sesah di rumah-rumah ibadatmu dan kamu aniaya dari kota ke kota,
supaya kamu menanggung akibat penumpahan darah orang yang tidak bersalah mulai
dari Habel, orang benar itu, sampai kepada Zakharia anak Berekhya, yang kamu
bunuh di antara tempat kudus dan mezbah.
Di mana sebuah kaleidoskop kekerasan kita temukan? Perhatikan frase “mulai dari Habel, orang
benar itu, sampai kepada Zakharia anak Berekhya.” Di mata Yesus, alusi dari kisah pertikaian
dan penumpahan darah akibat pertikaian saudara di Kejadian sampai kisah menjelang
pembuangan merupakan rangkaian kekerasan.
Yesus sebagai seorang Yahudi pasti membaca Kitab Suci Ibrani, yang
disusun tidak sama dengan Perjanjian Lama yang kita miliki. Kitab Suci Ibrani disingkat TANAK, yang
merupakan kependekan dari Torah, Neviim
we-Ketuvim. Susunan Kitab Suci
Ibrani dimulai dari Kejadian dan, tidak seperti Perjanjian Lama yang kita
miliki, diakhiri dengan 2 Tawarikh. Singkatnya,
bagi Yesus, Kitab Suci Ibrani (Perjanjian Lama) merupakan sebuah kumpulan
tragedi kemanusiaan—kaleidoskop pembantaian.
Dengan kata lain, Yesus membaca Kitab Suci bukan hanya sebagai kitab
suci keagamaan, tetapi sejarah politik yang telah memakan korban-korban di
sepanjang sejarahnya.
Penting untuk diperhatikan di sini, bagi Yesus, kisah-kisah
pembantaian manusia ini merupakan alasan atas kematiannya sendiri yang kian
mendekat. Dapat dipahami, bahwa kematian
Yesus merangkum semua korban yang sudah jatuh bergelimpangan sebelum dia. Dan jika Yesus adalah utusan Allah, sama
seperti yang lain (nabi-nabi, kaum saga, dan para ahli-ahli Taurat), maka
sebenarnya politik itu tidaklah netral dan tidak dapat dihindari. Namun bagi Yesus, politik yang benar adalah
politik Allah, politik yang berintegritas, yang karena integritasnya itulah
maka nyawa menjadi taruhannya.
Bagian yang baru saja kita baca merupakan bagian akhir dari
ucapan kutukan (yang berjumlah tujuh), di Matius 23. Benarlah perkataan ahli tafsir Warren Carter,
bahwa ucapan kutuk yang terakhir ini (23:29-36) tertuju kepada para pemimpin
yang telah menolak ucapan-ucapan para nabi untuk menjaga status quo, yaitu mereka yang demi posisi dan keuntungan pribadi
menindas orang-orang yang memperkatakan kebenaran dan tidak menunjukkan
keadilan Allah bagi umat-Nya. Mereka
kehilangan integritas mereka dan tidak menjaga keseimbangan antara apa yang
mereka ajarkan dan yang mereka lakukan.
Mereka hanya menjadi penjaga-penjaga kedudukan nyaman di masyarakat yang
serba hirarkhis dan imperial.
Di sini, mengikut Yesus yang nanti akan menjadi bagian dari
korban yang melawan status quo berarti tidak naif dalam beragama. Beragama jangan sampai berhenti kepada berdoa
meminta “pie in the sky when you die, bye
and bye!,” tetapi sebuah perlawanan terhadap kekuasaan yang lalim. Perlawanan Yesus bukanlah perlawanan dengan
mengangkat senjata, namun demikian perlawanan ini dilakukan secara terbuka dan,
karena itu, membuat penguasa tidak nyaman—subversif.
Namun perlawanan ini dilakukan dengan pathos. Inilah yang seperti
dikatakan oleh Walter Brueggemann bahwa kekuasaan imperial dan status quo tidak
pernah dibangun di atas bela-rasa. “Empires are never built or maintained on the
basis of compassion.” (Brueggemann, Prophetic
Imagination, 88). Sebaliknya gerakan
Yesus menitikberatkan pada bela-rasa yang terbuka. Brueggemann melanjutkan, “Thus the compassion of Jesus is to be
understood not simply as a personal emotional reaction but as a public
criticism in which he dares to act upon his concern against the entire numbness
of his social context.” Jadi, welas-asih
yang seolah-olah tampak seperti perbuatan baik sesungguhnya merupakan kritik
terhadap sistem, kekuatan-kekuatan dan ideologi-ideologi yang menghasilkan penyakit
dalam masyarakat. Baik para nabi dan Yesus
yang mengikuti mereka memasuki sengsara dan petaka manusia serta menubuhkan
dalam dirinya sendiri.
Membaca Matius 23:33-36
sebagai Kewawasan Diri
Dalam pada itu, kita pun perlu waspada ketika membaca ayat
ini. Anthony Saldarini, S.J. menyebutkan
bahwa kehadiran ketujuh kutuk Yesus di Matius 23 ini telah menjadi sumber
masalah berkepanjangan dalam sejarah Kristianitas. Begitu mudahnya orang-orang, termasuk yang Kristen
menuduh orang yang berbeda pendapat dengan mereka sebagai “Farisi atau
ahli-ahli Taurat.” Hieronimus menyebut
orang-orang Kristen yang mencari pujian di muka umum sebagai “ahli-ahli Taurat
dan para Farisi.” Dante menyebut Paus
Bonifasius VIII seorang Farisi, Luther melabeli semua Katolik lawan-lawannya
sebagai kaum Farisi. Para reformator
menyebut orang-orang yang menyandarkan diri pada perbuatan baik sebagai kaum
munafik. Sampai di sini masih belum
terlalu mencemaskan.
Bagian ini sampai berabad-abad dipakai untuk melegitimasi
kebencian kepada kaum Yahudi dan melegalkan semangat anti-semitisme. Orang-orang Kristen berpikir bahwa
orang-orang Yahudi selalu melawan Kekristenan dengan keyakinan dan
praktik-praktiknya. Mereka, kaum Yahudi,
adalah orang-orang yang sok rohani,
namun tidak memenuhi targetnya. Bahkan,
karena ketaatan mereka ini, kaum Yahudi sampai kini masih dianggap sebagai
pembunuh Tuhan orang Kristen.
Membaca teks Matius ini membutuhkan kecermatan. Matius memimpikan sebuah tatanan yang
egalitarian, yang menjadi alternatif bagi masyarakat yang hirarkhis (23:8-12
melanjutkan ps. 18-20). Matius mengimajinasikan
sebuah jalinan sosial yang berbeda, yang lebih radikal, yang dilandasi dengan pengakuan
teologis dan kristologis yang khas.
Dengan demikian, kita perlu berhati-hati dengan diri kita sendiri karena
kita pun berpotensi untuk melanjutkan spiral kekerasan yang semula dipakai oleh
lawan-lawan kita. Pembacaan teks seperti
ini perlu dilawan.
Penutup
Di sini, orang-orang Kristen perlu berhati-hati. Bahwa teks ini dapat dipahami dengan dua sisi
yang sama sekali bertolak belakang. Di sini
problem interpretasi menjadi sangat penting namun licin. Siapa yang menafsir dan dengan ideologi apa
ia menafsir? Dalam kaitan dengan inilah
saya malahan percaya teologi sangat diperlukan karena teologi sangat berpengaruh
dalam menggerakkan massa. Masyarakat
justru lebih mudah digerakkan oleh apa yang mereka percaya, dan karena itu,
jika keyakinan mereka itu violent,
maka kekerasan pun tidak akan pernah selesai di masyarakat.
Memaknai kaleidoskop kekerasan di tahun 2015 membuat kita
bertanya: siapa kita dan siapa yang kita ikuti.
Jika kita mengikuti Dia yang sengsara dan disalib itu sebagai perwujudan
bela-rasa (welas-asih) Allah, maka paling tidak ada dua hal yang kita refleksikan. Pertama, kita adalah bagian dari arak-arakan
itu, dank arena itu mengenang mereka ini merupakan bagian yang sangat penting. Ada dua contoh yang saya dapat sampaikan.
Tahun ini, bulan Mei saya mengikuti ritual pelarungan
lentera di Hawaii yang disponsori oleh Shinnyo-en Buddhism, Jepang. Sekitar 30.000 orang berkumpul di Pantai Ala
Moana, Hawaii untuk menyaksikan prosesi pelarungan 6.000 lentera untuk
mengenang mereka yang sudah meninggal. Saya tentu bukan pengikut Buddhisme esoterik Shinnyo-en. Namun saya merasa ritual untuk mengenang
mereka yang dekat dengan kita dan yang sudah mendahului kita merupakan bagian
yang penting. Saya tidak dapat
menjelaskan, namun tubuh saya merasakan bahwa saya memerlukannya!
Contoh kedua. Di
Sidang Dewan Gereja Dunia Canberra pada tahun 1991, teolog perempuan Korea
Chung Hyung Kyun membuat heboh sidang pleno DGD karena alih-alih menyampaikan
pidato ilmiah, ia mendemonstrasikan sebuah shamanism
yang dituduh sinkretis oleh delegasi Ortodoks dan Evangelikal. Di dalam presentasinya, Kyun memanggil untuk
datang bukan saja roh-roh yang ada di dalam ciptaan, tetapi juga roh-roh mereka
yang sudah mati, bahkan roh-roh mereka yang mati tertindas dalam tragedi
kemanusiaan.
Bagaimana kita mengenang mereka? Sebagai komunitas iman, apakah cukup hanya
memasukkan mereka ke dalam salah satu pokok doa syafaat? Atau perlukah ada semacam ibadah pengenangan
untuk mereka?
Hal kedua.
Pengenangan seperti ini bukan hanya pengenangan yang melankolis dan
emosional semata-mata. Namun ini
merupakan pengenangan yang subversif, atau dalam istilah Johann Baptist Metz,
sebagai memoria passionis Christi,
memori kesengsaraan Kristus. Karena
dengan mengenang sengsara Kristus, gereja diingatkan kembali siapa yang mereka
ikuti. Karena mengingat siapa yang
mereka ikuti, gereja tidak akan mengikuti tata hidup dunia. Demikian pun ketika kita mengenang para
korban yang berjatuhan oleh karena ketidakadilan, mereka telah dipeluk oleh Dia
yang telah mengalami kematian, dan kenangan subversif ini bangkit kembali dalam
diri kita yang masih hidup kini dan di sini.
Disampaikan dalam
Diskusi Advent III “Kaleidoskop Pelanggaran HAM di Indonesia,” Gereja Komunitas
Anugerah, 13 Desember 2015.