PERJANJIAN DI SINAI, SUATU MORAL DASAR
ULANGAN 5:1-22, 32-33
Iman yang dipercaya oleh umat Allah di sepanjang sejarah, dan yang disaksikan oleh Kitab Suci, adalah iman yang dimulai dengan tindakan kasih Allah. Sejak semula, Allah adalah kasih. Kasih itu mengalir secara suka rela dari Allah.
Pada permulaan zaman, Allah menciptakan langit dan bumi. Allah mengikatkan diri-Nya dalam janji suci dengan bapa-bapa iman bangsa Israel: Abraham, Ishak dan Yakub. Allah ini pula yang mendengar jeritan kaum yang tertindas di tanah Mesir. Allah pun mengutus Musa dan Harun untuk membebaskan umat-Nya. Allah yang bertindak dengan tangan-Nya yang perkasa untuk membebaskan umat pilihan-Nya dari penindasan bangsa asing. Allah melakukan semuanya ini tanpa bujukan dan paksaan dari siapa pun. Allah melakukannya dengan merdeka.
Ketika Allah mengasihi, Allah berkenan mengikatkan Diri kepada objek yang dikasihi-Nya. Ada hubungan kasih yang intim antara Allah dan umat. Inilah yang disebut sebagai “perjanjian.” Gambaran perjanjian yang dikenal di zaman kuno ialah jika seorang raja agung menaklukkan satu wilayah, maka ia akan mengikat perjanjian dengan rakyat taklukannya. Tindakan raja dalam menaklukkan wilayah itu dijelaskan sebagai bentuk pemerdekaan bagi para penduduk di sana, bukan sebagai penindasan. Adapun raja memiliki kewajiban untuk melindungi seluruh rakyat, menyatakan keadilan dan membela hak-hak mereka. Sebaliknya, kewajiban bagi rakyat adalah untuk patuh dan setia kepada sang raja. Jika mereka patuh, niscaya mereka akan mendapatkan apa yang dijanjikan, yaitu kesejahteraan.
Demikian kita melihat ikatan perjanjian Allah. Di dalam narasi perjalanan umat Allah, babak di lereng Gunung Sinai merupakan peristiwa penting. Allah memberikan Hukum Taurat sebagai bagian dari kisah pembebasan-Nya atas umat yang teraniaya. Dengan demikian, Taurat merupakan wujud kasih Allah! “Ketetapan dan peraturan” tak lain merupakan perwujudan dari tindakan Allah “yang membawa engkau keluar dari tanah Mesir, dari tempat perbudakan.” (ay. 6) Allah memberikan hukum setelah Ia bertindak terlebih dahulu.
Di sini kita melihat kebenaran dasar iman Kristen: anugerah mendahului peraturan. Allah sudah mencurahkan kasih-Nya terlebih dahulu. Baru kemudian, Allah meminta umat-Nya untuk berlaku sesuai dengan karakter-Nya yang kudus. Allah telah mencurahkan kasih, memberikan anugerah, menyatakan rahmat kepada mereka yang dikasihi-Nya.
Dari sisi Israel sebagai umat Allah, mereka dipanggil untuk “lakukanlah semuanya itu dengan setia.” (ay. 32). Dua hal yang kita catat di sini. Umat Allah harus melakukan semuanya itu. Tiada satu hal pun yang boleh di-discount. Tak ada setitik pun yang boleh dikurangi dari hukum Taurat (bdk. Mat. 5:18-19). Umat pun harus melakukan dengan setia. Artinya, memperjuangkan supaya nilai-nilai kekudusan Allah berlaku dalam tindak-tanduk sehari-hari dan perikehidupan umat secara berkomunitas. Intinya, kasih Allah yang total, patutlah disambut dengan cinta umat yang total.
Jika umat setia melakukan perintah Allah, maka ada janji yang Allah berikan. Mereka akan “hidup, dan baik kedaanmu serta lanjut umurmu di negeri yang akan kamu duduki.” Kehidupan adalah anugerah bagi mereka yang menjadi umat Allah. Allah tidak menghendaki kematian, baik rohani, fisik maupun kematian kekal. Umat akan menikmati sejahtera, yang berarti keadaan hidup yang baik, cukup sandang, pangan dan papan serta memiliki relasi yang baik dengan Allah, sesama dan lingkungan. Mereka pun akan menikmati kehidupan yang tenteram di tanah Perjanjian, yakni hidup dalam lindungan Tuhan dari hari ke hari.
Sebagai kesimpulan, betapa banyak orang Kristen yang salah memahami Alkitab sebagai buku yang penuh dengan aturan yang menjerat. Kitab Suci bak kitab hukum pidana. Dipandang dari sisi perjanjian, sekarang kita memahami bahwa semua aturan ini merupakan ungkapan cinta kasih Allah, yang sudah sepatutnya disambut dengan gembira oleh setiap umat Allah. Peraturan ini sesungguhnya merupakan petunjuk agar kita menjadi umat dengan karakter Allah sendiri, di tengah-tengah dunia yang bengkok dan yang melawan Allah.
Mungkinkah kita bisa melakukannya? Yesus Kristus adalah Teladan kita. Ia menyambut kasih Allah yang Ia dengar ketika dibaptiskan, “Engkaulah Anakku yang Kukasihi,” (Luk. 3:22) dengan bergaul akrab dengan firman Allah. Sehingga, ketika cobaan si jahat datang, Kristus selalu menjawab dengan “Ada tertulis” (Luk. 4:4, 8, 12). Cintailah hukum Allah, maka Saudara akan mendapatkan kemerdekaan yang sejati! Syukur kepada Allah!