P: Apa guna pengalaman rohani bagi kehidupan Kristen?
Iman Kristen dimulai dengan pemberitaan mengenai Kabar Baik. Kabar baik itu seperti yang diberitakan oleh Tuhan Yesus, “Waktunya telah genap; Kerajaan Allah sudah dekat. Bertobatlah dan percayalah kepada Injil” (Mrk. 1:14; Mat. 4:17). Ke mana Tuhan Yesus pergi, Ia mengaku bahwa panggilan hidupnya adalah untuk memberitakan Injil dan mengusir setan (Mrk. 1:38-39). Yesus pun di kemudian hari memanggil 12 murid dan mengutus mereka berdua-dua, dan mereka harus memberitakan bahwa orang harus bertobat (yaitu, percaya kepada Injil Kerajaan Allah), dan mengusir setan serta menyembuhkan banyak orang (Mrk. 6:6b-13).
Kita dapat simpulkan, inti iman Kristen adalah Injil Kerajaan Allah. Artinya, pemberitaan bahwa Kerajaan Allah sudah datang. Yaitu bahwa pada masa sekarang, pemerintahan Allah nyata atas bumi. Jikalau Allah kini yang memerintah, maka tidak ada kuasa lain yang sanggup mengalahkannya. Tidak ada kuasa lain juga yang sama-sama memerintah selain kuasa Allah. Rasul Paulus tambah menegaskan bahwa Injil itu adalah tentang Anak Allah, yang dibangkitkan dari antara orang mati, dan bahwa Ia adalah Anak Allah yang berkuasa (Rm. 1:4). Inilah klimaks berita mengenai Kerajaan Allah. Kekristenan tanpa berita mengenai kebangkitan Tuhan Yesus Kristus (1Kor. 15:12-27), adalah Kekristenan yang patut dipertanyakan.
Lalu, bagaimana dengan pengalaman rohani, yang sifatnya pribadi dan unik? Marilah kita kembali kepada Firman Tuhan sebagai satu-satunya dasar pijakan yang dapat dicek, diricek dan dikroscek oleh setiap orang Kristen. Salah satu pengalaman pertobatan yang menarik di Alkitab adalah yang terjadi atas seorang eks-Farisi, pengajar Taurat, pernah duduk di kaki Profesor Alkitab Ibrani yang ternama pada waktu itu, Gamaliel I. Ya, dia adalah rasul Paulus. Ia dijumpai oleh Tuhan secara pribadi, dengan pengalaman khusus (Kis. 9:1-9). Dua kali dicatat dalam Perjanjian Baru, ia menceritakan kesaksian pertobatannya kepada orang lain (Kis. 22:3-16 dan 26:18). Bila kita perhatikan, Paulus tidak berbicara kepada orang Kristen, tetapi kepada orang-orang Yahudi dan; kedua, kepada Raja Herodes Agripa.
Kesaksian pribadi sangat berguna menjadi jalan masuk kepada pemberitaan Injil. Tetapi ternyata, kepada orang yang tidak percaya (orang yang belum bertobat), kesaksian hidup itu menjadi efektif. Kendati demikian, tujuan dari rasul Paulus yang terutama ialah “Tetapi mula-mula aku memberitakan kepada orang-orang Yahudi di Damsyik, di Yerusalem dan di seluruh tanah Yudea, dan juga kepada bangsa-bangsa lain, bahwa mereka harus bertobat, dan berbalik kepada Allah serta melakukan pekerjaan-pekerjaan yang sesuai dengan pertobatan itu” (Kis. 26:20). Bagaimana cara kerinduan Paulus itu dicapai? Berita apa yang ia sampaikan? Sangat menarik bila kita perhatikan, “Dan apa yang kuberitakan itu tidak lain daripada yang sebelumnya telah diberitahukan oleh para nabi dan juga oleh Musa [orang yang paling penting di Perjanjian Lama], yaitu bahwa Mesias harus menderita sengsara dan bahwa Ia adalah yang pertama yang bangkit dari antara orang mati dan bahwa Ia akan memberitakan terang kepada bangsa ini dan kepada bangsa-bangsa lain” (Kis. 26:22b-23).
Ternyata, apa yang disampaikan oleh rasul Paulus dalam beritanya, bukan cerita yang baru. Dapat kita lihat bersama, bukan pula pengalaman seseorang yang unik, tetapi berita yang lama sekali: mengenai kedatangan Mesias dan di dalam siapa hal itu digenapi. Ia hanya mewarisi apa yang diberitakan oleh leluhur iman. Warisan itu ia pelihara, dan ia ceritakan kepada orang lain, yang belum percaya. Sekarang Paulus bawa dalam pemberitaan Injil, dan inilah yang terus ia beritakan dengan konsisten (tidak berubah), dan konsekuen (membawa risiko-risiko buat hidupnya). Paulus harus menahan diri untuk menceritakan pengalaman-pengalaman hidupnya yang unik.
Karena itulah, setelah menjalani panggilannya sebagai rasul Kristus selama lebih dari 17 tahun, ada orang yang mengatakan, Paulus tidak punya pengalaman rohani. Berita yang ia sampaikan kering, hampa. Ia bukan tergolong 12 rasul. Ia nggak pernah berjumpa dengan Tuhan Yesus secara langsung (di Kisah Para Rasul hanya dikisahkan ada “sinar terang”). Ah, bila demikian, apa benar ini rasul yang sejati? Jangan-jangan Paulus berdusta.
Rasul Paulus bersaksi, “Aku harus menahan diri, supaya jangan ada orang yang menghitungkan kepadaku lebih daripada yang mereka lihat padaku atau yang mereka dengar daripadaku” (2Kor. 12:6). Paulus sangat berhati-hati. Pengalaman sangat subjektif sifatnya, sehingga punya banyak sisi yang dapat dinilai macam-macam oleh orang lain. Karena itu, menurut Paulus, biarlah orang melihat Paulus apa adanya—kelemahan-kelemahan yang ia miliki (2.Kor. 12:5, 9, 10; 11:30). Tetapi orang mendengar sendiri dari rasul Paulus apa yang ia beritakan, yaitu tentang salib dan konsekuensi yang ia hadapi karena berita salib Kristus (11:23-33).
Tetapi memang, Paulus sedang dikejar para lawannya masalah citra (yang nampak di permukaan, di hadapan orang-orang, yang menambah “nilai jual” seseorang). Karena itulah, ia dengan “terpaksa” (2Kor. 12:11) menceritakan satu pengalaman yang unik, yang diharapkan oleh orang-orang pada waktu itu: di bawa oleh Tuhan sampai ke surga tingkat ketiga, masuk Firdaus. Sangat dapat dipahami. Ketika orang diperhadapkan pada tantangan masalah citra (“Mampu apa dia?” atau “Punya apa dia?”) maka orang akan tergoda untuk menjawabnya.
Dalam pada itu bila kita perhatikan, Paulus tidak pernah berani mengatakan bahwa hal itu pasti benar. Mari perhatikan kalimat “entah di dalam tubuh, aku tidak tahu, entah di luar tubuh, aku tidak tahu, Allah yang mengetahuinya” (2Kor. 12:2, 3). Ia tidak pasti dengan pengalaman tersebut: benar-benar ia dibawa oleh Tuhan ke surga, atau hanya mimpi. Ia tidak berani memutlakkannya: Ini pasti benar! Ini pasti berasal dari Allah! Dan patut kita perhatikan, rasul Paulus tidak pernah mengulang lagi kisah pengalaman hebatnya ini di mana pun. Bahkan pengalaman yang menarik lainnya pun, enggan ia ceritakan. Hal ini akan jelas bila kita mengambil waktu untuk membaca ke-13 suratnya (nyaris separuh bagian dari PB!) dan “biografi”-nya di Kisah Para Rasul.
Bila seseorang yang kenyang pengalaman di ladang Tuhan, enggan untuk memutlakkan pengalaman rohani, maka hendaknya kita kini dan di sini perlu belajar menghayati, iman Kristen lebih dari sekadar berisi mengenai pengalaman-pengalaman orang percaya. Rasul Paulus menasihati Timotius untuk memelihara “harta yang indah,” yakni warisan iman Kristen (2Tim. 1:14), yang tak lain adalah Injil yang mematahkan maut dan mendatangkan hidup yang tak dapat binasa (2Tim. 1:10). Sudahkah Anda percaya kepada Injil?
Iman Kristen dimulai dengan pemberitaan mengenai Kabar Baik. Kabar baik itu seperti yang diberitakan oleh Tuhan Yesus, “Waktunya telah genap; Kerajaan Allah sudah dekat. Bertobatlah dan percayalah kepada Injil” (Mrk. 1:14; Mat. 4:17). Ke mana Tuhan Yesus pergi, Ia mengaku bahwa panggilan hidupnya adalah untuk memberitakan Injil dan mengusir setan (Mrk. 1:38-39). Yesus pun di kemudian hari memanggil 12 murid dan mengutus mereka berdua-dua, dan mereka harus memberitakan bahwa orang harus bertobat (yaitu, percaya kepada Injil Kerajaan Allah), dan mengusir setan serta menyembuhkan banyak orang (Mrk. 6:6b-13).
Kita dapat simpulkan, inti iman Kristen adalah Injil Kerajaan Allah. Artinya, pemberitaan bahwa Kerajaan Allah sudah datang. Yaitu bahwa pada masa sekarang, pemerintahan Allah nyata atas bumi. Jikalau Allah kini yang memerintah, maka tidak ada kuasa lain yang sanggup mengalahkannya. Tidak ada kuasa lain juga yang sama-sama memerintah selain kuasa Allah. Rasul Paulus tambah menegaskan bahwa Injil itu adalah tentang Anak Allah, yang dibangkitkan dari antara orang mati, dan bahwa Ia adalah Anak Allah yang berkuasa (Rm. 1:4). Inilah klimaks berita mengenai Kerajaan Allah. Kekristenan tanpa berita mengenai kebangkitan Tuhan Yesus Kristus (1Kor. 15:12-27), adalah Kekristenan yang patut dipertanyakan.
Lalu, bagaimana dengan pengalaman rohani, yang sifatnya pribadi dan unik? Marilah kita kembali kepada Firman Tuhan sebagai satu-satunya dasar pijakan yang dapat dicek, diricek dan dikroscek oleh setiap orang Kristen. Salah satu pengalaman pertobatan yang menarik di Alkitab adalah yang terjadi atas seorang eks-Farisi, pengajar Taurat, pernah duduk di kaki Profesor Alkitab Ibrani yang ternama pada waktu itu, Gamaliel I. Ya, dia adalah rasul Paulus. Ia dijumpai oleh Tuhan secara pribadi, dengan pengalaman khusus (Kis. 9:1-9). Dua kali dicatat dalam Perjanjian Baru, ia menceritakan kesaksian pertobatannya kepada orang lain (Kis. 22:3-16 dan 26:18). Bila kita perhatikan, Paulus tidak berbicara kepada orang Kristen, tetapi kepada orang-orang Yahudi dan; kedua, kepada Raja Herodes Agripa.
Kesaksian pribadi sangat berguna menjadi jalan masuk kepada pemberitaan Injil. Tetapi ternyata, kepada orang yang tidak percaya (orang yang belum bertobat), kesaksian hidup itu menjadi efektif. Kendati demikian, tujuan dari rasul Paulus yang terutama ialah “Tetapi mula-mula aku memberitakan kepada orang-orang Yahudi di Damsyik, di Yerusalem dan di seluruh tanah Yudea, dan juga kepada bangsa-bangsa lain, bahwa mereka harus bertobat, dan berbalik kepada Allah serta melakukan pekerjaan-pekerjaan yang sesuai dengan pertobatan itu” (Kis. 26:20). Bagaimana cara kerinduan Paulus itu dicapai? Berita apa yang ia sampaikan? Sangat menarik bila kita perhatikan, “Dan apa yang kuberitakan itu tidak lain daripada yang sebelumnya telah diberitahukan oleh para nabi dan juga oleh Musa [orang yang paling penting di Perjanjian Lama], yaitu bahwa Mesias harus menderita sengsara dan bahwa Ia adalah yang pertama yang bangkit dari antara orang mati dan bahwa Ia akan memberitakan terang kepada bangsa ini dan kepada bangsa-bangsa lain” (Kis. 26:22b-23).
Ternyata, apa yang disampaikan oleh rasul Paulus dalam beritanya, bukan cerita yang baru. Dapat kita lihat bersama, bukan pula pengalaman seseorang yang unik, tetapi berita yang lama sekali: mengenai kedatangan Mesias dan di dalam siapa hal itu digenapi. Ia hanya mewarisi apa yang diberitakan oleh leluhur iman. Warisan itu ia pelihara, dan ia ceritakan kepada orang lain, yang belum percaya. Sekarang Paulus bawa dalam pemberitaan Injil, dan inilah yang terus ia beritakan dengan konsisten (tidak berubah), dan konsekuen (membawa risiko-risiko buat hidupnya). Paulus harus menahan diri untuk menceritakan pengalaman-pengalaman hidupnya yang unik.
Karena itulah, setelah menjalani panggilannya sebagai rasul Kristus selama lebih dari 17 tahun, ada orang yang mengatakan, Paulus tidak punya pengalaman rohani. Berita yang ia sampaikan kering, hampa. Ia bukan tergolong 12 rasul. Ia nggak pernah berjumpa dengan Tuhan Yesus secara langsung (di Kisah Para Rasul hanya dikisahkan ada “sinar terang”). Ah, bila demikian, apa benar ini rasul yang sejati? Jangan-jangan Paulus berdusta.
Rasul Paulus bersaksi, “Aku harus menahan diri, supaya jangan ada orang yang menghitungkan kepadaku lebih daripada yang mereka lihat padaku atau yang mereka dengar daripadaku” (2Kor. 12:6). Paulus sangat berhati-hati. Pengalaman sangat subjektif sifatnya, sehingga punya banyak sisi yang dapat dinilai macam-macam oleh orang lain. Karena itu, menurut Paulus, biarlah orang melihat Paulus apa adanya—kelemahan-kelemahan yang ia miliki (2.Kor. 12:5, 9, 10; 11:30). Tetapi orang mendengar sendiri dari rasul Paulus apa yang ia beritakan, yaitu tentang salib dan konsekuensi yang ia hadapi karena berita salib Kristus (11:23-33).
Tetapi memang, Paulus sedang dikejar para lawannya masalah citra (yang nampak di permukaan, di hadapan orang-orang, yang menambah “nilai jual” seseorang). Karena itulah, ia dengan “terpaksa” (2Kor. 12:11) menceritakan satu pengalaman yang unik, yang diharapkan oleh orang-orang pada waktu itu: di bawa oleh Tuhan sampai ke surga tingkat ketiga, masuk Firdaus. Sangat dapat dipahami. Ketika orang diperhadapkan pada tantangan masalah citra (“Mampu apa dia?” atau “Punya apa dia?”) maka orang akan tergoda untuk menjawabnya.
Dalam pada itu bila kita perhatikan, Paulus tidak pernah berani mengatakan bahwa hal itu pasti benar. Mari perhatikan kalimat “entah di dalam tubuh, aku tidak tahu, entah di luar tubuh, aku tidak tahu, Allah yang mengetahuinya” (2Kor. 12:2, 3). Ia tidak pasti dengan pengalaman tersebut: benar-benar ia dibawa oleh Tuhan ke surga, atau hanya mimpi. Ia tidak berani memutlakkannya: Ini pasti benar! Ini pasti berasal dari Allah! Dan patut kita perhatikan, rasul Paulus tidak pernah mengulang lagi kisah pengalaman hebatnya ini di mana pun. Bahkan pengalaman yang menarik lainnya pun, enggan ia ceritakan. Hal ini akan jelas bila kita mengambil waktu untuk membaca ke-13 suratnya (nyaris separuh bagian dari PB!) dan “biografi”-nya di Kisah Para Rasul.
Bila seseorang yang kenyang pengalaman di ladang Tuhan, enggan untuk memutlakkan pengalaman rohani, maka hendaknya kita kini dan di sini perlu belajar menghayati, iman Kristen lebih dari sekadar berisi mengenai pengalaman-pengalaman orang percaya. Rasul Paulus menasihati Timotius untuk memelihara “harta yang indah,” yakni warisan iman Kristen (2Tim. 1:14), yang tak lain adalah Injil yang mematahkan maut dan mendatangkan hidup yang tak dapat binasa (2Tim. 1:10). Sudahkah Anda percaya kepada Injil?
No comments:
Post a Comment