Kejadian 1 adalah sebuah puisi. Bukan sekadar puisi biasa, tetapi puisi yang indah dan tentang keindahan. Keindahan terpancar melalui pernyataan yang memahkotai bagian ini, “Maka Allah melihat segala yang dijadikan-Nya itu sungguh amat baik.” (Kej. 1:31) Padahal di awal, puisi ini dibuka dengan “Bumi belum berbentuk dan kosong, gelap gulita menutupi samudera raya . . .” (ay. 2).
Para teolog telah banyak mendiskusikan bagian ini. Dulu, kajian teologis difokusikan pada latar belakang historis dan penyelidikan kritis atas teks. Kini, riset menitikberatkan pada teks dan perbandingan dengan teks-teks kuno. Salah satu pemikir Perjanjian Lama bernama John H. Walton baru-baru ini menerbitkan buku The Lost World of Genesis 1 (2009). Buku ini mengisahkan kosmologi kuno dan perdebatan mengenai asal-muasal dunia.
Penjelasan Teks
Pendahuluan
Banyak kali, pembahasan tentang Kejadian 1 berkutat pada peperangan mengenai evolusionisme versus kreasionisme. Kubu evolusionis yang mengklaim saintifik dan memakai penemuan canggih dari ilmu pengetahuan alam dan teknologi, dengan gencar mengatakan bahwa semesta raya ini telah berumur milyaran tahun, dengan proses yang sangat pelan dari unsur yang paling sederhana sampai yang paling kompleks. Sebaliknya, kaum kreasionis tak kalah kuatnya menghardik pandangan itu dan memakai Kejadian 1 ini sebagai dasar argumentasi: Allah mencipta dalam enam hari dan satu hari Allah beristirahat. Mereka ini mengetengahkan data linguistik mengenai kata “hari,” dan kesimpulannya bumi ini masih muda, sekitar 10.000 tahun.
Makin gencar perdebatan ini, makin jauh pula penyelesaian atas masalah. Masing-masing berpijak pada dasar pikir yang berbeda, antara sains dan iman. Sains ingin merambah ke masalah iman, dan iman ingin mendominasi sains. Jangan salah sangka, bukan berarti iman ditanggalkan jika seseorang hendak menjadi saintis. Sebagaimana kata St. Augustinus dari Hippo, “Ketika saya beriman, saya ingin tahu lebih banyak!” Atau kata St. Anselmus dari Canterbury, Credo ut intelligam, “Aku percaya maka saya mengerti.” Yang salah adalah manakala penyelidikan saintifik merasa dapat berdiri lepas dari iman, atau iman mencoba menguasai sains. Keduanya harus bergandengan tangan, tetapi bukan saling mendominasi. Jadi, bagaimana memahami Kejadian 1? Kita perlu memahaminya dengan cara lain.
Mega Proyek
Kitab Kejadian ditulis dalam sebuah masyarakat pramodern. Mereka belum memiliki pengetahuan secanggih sekarang. Maka, kepercayaan dan seni sangat dominan dalam masyarakat seperti ini. Kitab Kejadian, selain merupakan kesaksian yang menakjubkan mengenai buah karya tangan sang ilahi, juga merupakan karya seni tulis yang indah. Di dalamnya ada narasi, kisah hidup dan cerita yang menarik dari pada teladan iman. Ada pula ucapan hikmat. Ada juga nyanyian atau puisi.
Kejadian 1 adalah puisi atau nyanyian. Nyanyian tentang karya Allah Sang Pencipta. Nyanyian ini seolah merupakan sebuah cresendo, dari suara lembut sampai keras. Dari kekacauan, sampai ujungnya keindahan. Bukan hanya keindahan, tetapi keindahan yang tiada tara, sebab Kitab Suci bersaksi, “sungguh amat baik” segala yang Allah pandang dan kerjakan.
Kita dapat memahami Kejadian 1 ini sebagai sebuah mega proyek pembangunan sebuah tempat ibadah, sebuah bait suci. Tidak perlu mengherankan, bangsa Israel seperti bangsa-bangsa kuno lain berorientasi pada kehidupan religiositas dan agama. Penyembahan kepada Yang Ilahi menjadi bagian utama. Kuil penyembahan menjadi pusat kehidupan masyarakat. Pakar Kitab Suci John H. Walton menemukan paralelisme ketika melakukan penyelidikan. Ada tahap-tahap yang dipersiapkan ketika masyarakat kuno membangun sebuah kuil. Tahap-tahap itu begitu detail. Tiap tahap ditandai dengan upacara ritual yang rumit.
Namun yang sangat menarik, di akhir pembangunan kuil tadi, umat mengadakan upacara khusus, lebih rumit dari yang sebelumnya. Upacara ini menandai tahap akhir pembangunan kuil. Itulah masa ketika umat memboyong gambar atau rupa Dewa Agung diarak masuk ke dalam kuil yang baru didirikan tadi, tepat di tempat yang paling disakralkan, ruang mahakudus. Gambar atau rupa itu biasanya dalam bentuk patung.
Bagaimana kisah Kejadian memotret ini? Serupa tetapi tidak sama. Kisah penciptaan dunia kini dapat dipahami dalam konteks masyarakat yang berpusatkan ibadah, dan kuil menjadi sentra kehidupan masyarakat. Sementara itu, bedanya adalah sebagai berikut. Sementara di agama-agama kuno itu umat manusia yang membuat kuil bagi Allah, maka Kejadian 1 sebaliknya—Allahlah yang menciptakan kuil bagi diri-Nya sendiri. Di klimaks pembangunan kuil, jika di bangsa-bangsa kuno, umat mengarak masuk rupa Allah ke dalam tempat ibadah, maka Kejadian menyaksikan Allah yang berinisiatif mencipta dan membawa masuk di tempat mahakudus, yaitu Taman Eden.
Implikasi
Pertama, bumi dan ciptaan Allah ini indah. Keindahan dunia yang tampak sesungguhnya dijiwai oleh kekudusan yang ada di baliknya. Keindahan dunia juga mencerminkan anugerah yang menjadi daya hidupnya. Baik kekudusan dan anugerah ini berasal dari Allah. Sebagaimana St. Agustinus berkata, melalui alam, seharusnya kita dapat melihat “a visible form of the invisible grace and a sign of a sacred thing,” bentuk yang kelihatan dari anugerah yang tidak kelihatan dan merupakan tanda dari sesuatu yang kudus. Dengan begitu, kehidupan ini suci. Tanda kesucian itu dapat kita lihat ketika melihat keindahan semesta.
Kedua, bumi adalah sebuah Bait Allah yang besar. Biasanya tempat ibadah selalu diperlihara agar tetap bersih. Bahkan tak jarang, tempat ini jauh lebih indah daripada rumah-rumah kebanyakan orang, karena menjadi pusat kehidupan umat. Kejadian satu merentangkan pemahaman ini. Seluruh bumi adalah Bait Allah. Maka, semesta ini harus dijaga selalu bersih, rapi dan tertata dengan baik agar selalu indah, dan dengan demikian memancarkan anugerah serta kekudusan yang menjadi daya hidupnya.
Ketiga, manusia adalah rupa dan gambar Allah, yang ditempatkan oleh Allah di tempat mahakudus. Taman Eden adalah tempat mahakudus itu. Tetapi taman ini bukan di surga. Taman ini ada di muka bumi. Manusia ditempatkan di Eden untuk menjaga dan memelihara taman (Kej. 2:15) berarti manusia yang adalah gambar Allah itu menjadi kepanjangan tangan Allah dalam merawat ciptaan-Nya. Di satu sisi, manusia dicukupkan dengan segala kebutuhan. Ia boleh memakan semua buah di taman itu; Allah telah menyerahkan semua buah itu kepada manusia. Di sisi lain, manusia mencerminkan Sang Pencipta, yang terus bekerja memelihara ciptaan, maka manusia juga bekerja menjaga keindahan bumi.
No comments:
Post a Comment