Salah satu pengalaman berhargaku selama studi di Amerika Serikat
adalah belajar berkomunikasi yang santun. Aku melihat kembali ke tahun
2013, ketika aku masih baru beberapa bulan tinggal di negeri ini.
Sebagai orang asing, aku mencoba melihat dan meniru gaya-gaya berkomunikasi orang
di Amerika Serikat. Tapi ternyata, aku latah. Aku sekadar
ikut-ikutan. Pikirku, karena banyak orang memakainya, kalau aku pakai,
ya pasti tidak ada salahnya, dan bisa diterima juga. Tapi anggapanku
itu tidak tepat. Aku akhirnya bersyukur ada yang mengingatkanku.
Ceritanya
begini. Pada pertengahan tahun 2013, aku mendapat pekerjaan di kampus
yang baik. Pekerjaan itu terbilang semi-profesional. Gajinya terbilang
tinggi. Aku senang dengan pekerjaan ini bukan semata-mata gajinya,
tetapi natur membangun komunitas di antara mahasiswa pascasarjana dan
mahasiswa nontradisional (S1 yang usianya di atas 25 tahun). Berjumpa
dengan banyak orang, berkenalan dengan mahasiswa lintas disiplin,
mengadakan banyak program untuk komunitas, dan mengajak mahasiswa
pascasarjana untuk berpartisipasi dalam program universitas. Dalam hal
ini, tim kami gemilang dan dinilai berhasil oleh supervisor. Beberapa
kali kami memenangkan lomba antarkomunitas dan hasilnya, komunitas kami
mendapatkan es-krim dari bos.
Namun tuntutan
pekerjaannya pun tinggi. karena aku menjadi koordinator dan supervisor
bagi sebuah staf yang terdiri dari 5 orang. Kadang ada masalah di
komunitas kami. Ada mahasiswa yang menimbulkan keresahan. Ada pula
anggota yang punya masalah pribadi. Atau ada perselisihan di antara
staf. Belum lagi tiap Senin ada pertemuan rutin antarkoordinator
komunitas bersama dengan supervisor kami. Harus mengadakan supervisi
pribadi dengan staf, dan memimpin rapat sebulan sekali (tiap kali rapat
kami mengagendakan poin-poin yang akan dibahas dan rapat selesai tepat
waktu--karena rapat pun masuk hitungan jam kerja dan mendapat
kompensasi).
Suatu kali, ketika rapat kedua. Kertas agenda kubagikan. Setelah acara pembukaan, lalu kami masuk pembahasan perpoin. Dengan pede-nya aku menyapa stafku yang berjumlah 5 orang itu dengan sebutan guys. Kupikir, tidak ada yang salah karena hampir semua orang juga memakai guys
ketika menyapa orang lain, tanpa melihat perbedaan umur, gender,
kedudukan, atau apa pun. Tapi di sinilah kelatahanku. Kupikir itu cara
biasa dalam berkomunikasi.
Salah satu stafku tiba-tiba menukas, "Siapa yang sebenarnya kamu panggil dengan guys?
Kamu pikir kita semua yang di sini laki-laki? Tolong, pakailah bahasa
yang resmi kalau kita sedang rapat." Yang mengucapkan ini adalah
seorang suster dari Uganda dan staf yang paling lama bekerja di
program/komunitas ini. Barulah aku tersadar. Aku lagi latah; ingin
ikut-ikutan seperti orang di sini, tetapi tidak sensitif terhadap
situasi bahwa kami tengah berapat, sehingga seharusnya aku membawa
suasana yang tetap formal walau bukan kaku. Aku tersadar, di situ dua
stafku usianya jauh lebih tua: satu laki-laki paruh baya, satu perempuan
yang memiliki anak usia remaja, suster yang kira-kira sepantaran
denganku, seorang veteran yang usianya sedikit lebih muda dariku, dan
seorang lagi perempuan dari program S1 Kimia.
Pengalaman
yang berharga bagiku. Seterusnya aku berusaha agar aku tetap peka
dengan keragaman budaya dan latar belakang di antara kami. Aku tersadar
bahwa makin besar perbedaan yang ada di antara kami, maka selaku
pemimpin aku harus memberi tempat yang sama bagi tiap-tiap orang dan
harus berusaha keras untuk selalu peka akan kenaifan yang meminggirkan
satu pribadi. Hal ini membuat aku perlu menyadari bahwa apa yang sering
kudengar baik itu logat maupun ungkapan-ungkapan di antara orang-orang
berbahasa Inggris sekalipun belum tentu tepat bila dikenakan dalam
suasana resmi. Guys adalah salah satunya.
Walau di lain waktu aku sering mendengar orang berbahasa Inggris pun memakai guys
dalam pertemuan-pertemuan seperti rapat, dari pengalaman di atas, ya
tidak apa-apa. Terserah mereka. Aku merasa tidak perlu untuk ikut-ikutan seperti mereka. Malah selanjutnya kupikir, aku sendiri jadi punya karakter.
Jadi, santun dalam
berbahasa itu lebih perlu, dan lebih baik. Terima kasih buat suster AT,
kolega terkasih yang karena dia, aku mau menerima pekerjaan ini dan
menjadi koordinator di kolegium McGoldrick.
Seattle, 29 Agustus 2015
No comments:
Post a Comment