Manusia Hebat, Tapi . . .
Manusia adalah makhluk yang hebat. Disanjung sebagai “hampir sama seperti Allah,” dimahkotai dengan “kemuliaan dan hormat,” dan punya wewenang untuk “berkuasa atas buatan tangan” Allah (Mzm. 8:6-7). Nyaris, tidak ada yang tidak dapat dikerjakan oleh manusia.
Namun, manusia yang sama juga mendatangkan tragedi atas dirinya, sesamanya, lingkungan dan dunia. Lihatlah Perang Dunia I dan II, genosida (pembunuhan masal) dan kerusakan alam lingkungan akibat nuklir, limbah plastik, perusakan hutan di berbagai belahan dunia. Belum termasuk perampokan, penculikan, pengguguran janin (aborsi), fitnah, penipuan, dan masih banyak lagi. Manusia yang hebat itu, adalah manusia perusak! Ironis.
Lalu, siapakah manusia? Manusia memang adalah: (1) gambar Allah yang mulia, namun juga (2) manusia yang telah terusak oleh dosa. Di sini kita belajar tentang aspek kedua dari diri kita. Kita telah berdosa secara radikal (sampai ke akar-akarnya), begitu dalam dosa kita itu sehingga kita tidak dapat kembali kepada Allah, kecuali Allah yang pertama berintervensi.
Perhatikan, pertama, dosa kita telah sebegitu dalam. “Hati” sebagai akar keberadaan manusia, pusat kehidupan manusia, yang mengarah kepada Allah, sudah terusakkan oleh dosa!
· Sabda Allah tentang manusia, “Ketika dilihat TUHAN, bahwa kejahatan manusia besar di bumi dan bahwa segala kecenderungan hatinya selalu membuahkan kejahatan semata-mata” (Kej. 6:5).
· Nabi Yeremia meratapi bangsanya, “Betapa liciknya hati, lebih licik daripada segala sesuatu, hatinya sudah membatu; siapakah yang dapat mengetahuinya?” (Yer. 17:9).
· Yesus Kristus menegaskan, “dari dalam, dari hati orang, timbul segala pikiran jahat, percabulan, pencurian, pembunuhan, perzinahan, keserakahan, kejahatan, kelicikan, hawa nafsu, iri hati, hujat, kesombongan, kebebalan. Semua hal-hal ini timbul dari dalam dan menajiskan orang.” (Mrk. 7:21-23).
· Rasul Paulus menggarisbawahi kebenaran ini, “Sebab itu kukatakan dan kutegaskan ini kepadamu di dalam Tuhan: Jangan hidup lagi sama seperti orang-orang yang tidak mengenal Allah dengan pikirannya yang sia-sia, dan pengertiannya yang gelap, jauh dari hidup persekutuan dengan Allah, karena kebodohan yang ada di dalam mereka dan karena kedegilan hati mereka.” (Ef. 4:17-18).
Kedua, dosa membuat kita tidak mungkin mencari Allah. Kita lebih menaati roh dunia, daripada taat kepada Allah. Demikianlah kondisi manusia:
· “Tidak ada yang benar, seorang pun tidak, Tidak ada seorang pun yang berakal budi, tidak ada seorang pun yang mencari Allah . . . rasa takut kepada Allah tidak ada pada orang itu” (Rm. 3:10, 11, 18).
· “Karena semua manusia telah berbuat dosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah” (Rm. 3:23).
· “Kamu dahulu sudah mati karena pelanggaran-pelanggaran dan dosa-dosamu. Kamu hidup di dalamnya, karena kamu mengikuti jalan dunia ini, karena kamu menaati penguasa kerajaan angkasa, yaitu roh yang sekarang sedang bekerja di antara orang-orang durhaka” (Ef. 2:1-2).
Ketiga, tanpa pertolongan Allah, kita tetap berada di bawah kutuk dosa. Dosa sedemikian mengikat manusia, sehingga tidak mungkin manusia keluar dari dosa! Dosa merusak pikiran manusia serta membangun permusuhan dengan Allah. Fungsi kognitif, fungsi afektif (emosi), fungsi kehendak telah rusak total! Tunggu, jangan salah paham! Dosa tidak membuat manusia menjadi begitu buruk, sehingga yang ia kerjakan hanyalah dosa dan dosa saja. Kita melihat ada kemajuan di sana-sini, hasil olah pikir dan budi-daya manusia yang luar biasa: teknologi, ilmu, penemuan-penemuan dan lain-lain. Tetapi, untuk siapakah semua ini? Untuk manusia dan sesamanya saja?
Dosa telah menggeser keberadaan dan fungsi manusia yang seharusnya! Bahwa seharusnya manusia mengembalikan semuanya itu “boleh menjadi puji-pujian bagi kemuliaan-Nya” (Ef. 1:12) atau “untuk memuji kemuliaan-Nya” (ay. 14). Jadi, akar keberadaan manusialah yang telah tercemar dan rusak—kemampuan manusia untuk bersekutu dengan Allah dan memuliakan Dia dalam setiap gerak dan langkahnya. Manusia tidak lagi mampu memahami bahwa hanya apabila Allah dimuliakan, maka hubungan dengan diri sendiri, sesama dan lingkungan dapat dipulihkan. Manusia tidak dapat lagi mengasihi Allah, atau melakukan apa pun untuk mendapatkan keselamatan.
Awal Mula Dosa
Ajaran dosa dimulai dengan kejatuhan umat manusia di Kejadian 3. Inti kejatuhan manusia dapat diringkas ke dalam tiga sebab: (1) meragu-ragukan kebaikan Allah; (2) meragu-ragukan Firman Allah; (3) ingin menjadi seperti Allah. Akibatnya? Bukan hanya ketidaksempurnaan, atau rendah diri, atau melemahnya kapasitas manusia untuk berbuat baik. Alkitab katakan: MATI! “Pada hari engkau memakannya, pastilah engkau mati” (Kej. 2:17).
Kematian ini bukan hanya kematian fisik, tetapi juga kematian rohani. Ingatlah bahwa ketika manusia berbuat dosa, mereka bersembunyi dari hadapan Allah. Mereka saling mempersalahkan. Adam dan Hawa tidak dapat mengasihi dan merespons dengan benar kepada Allah. Mereka memilih untuk mengikuti kehendak mereka—menjauh dari Allah!
Menurut Alkitab, seorang berdosa tidak hanya disebut sebagai pribadi yang tidak dapat mencapai standar moral tertentu, atau untuk mencapai potensi penuh sebagai seorang manusia tanpa Allah. Jika dikatakan bahwa dosa hanya ketidakmampuan untuk mencapai satu standar tertentu, maka suatu saat dia pasti dapat mencapainya. Dan jika dikatakan bahwa dosa adalah kegagalan manusia untuk mencapai potensi penuh kemanusiaan, maka lambat laun—waktu akan membuktikan—kita pasti mampu mencapai standar itu. Salah satunya melalui evolusi, karena paham ini mengatakan bahwa manusia pasti bertumbuh menjadi lebih baik lagi.
Tetapi dosa tidak sekadar keadaan tidak sempurna, atau gagal mencapai potensi. Dosa jauh lebih serius untuk dipikirkan, karena telah membuat manusia benar-benar di dalam keadaan hancur berkeping-keping, yaitu keadaan di mana kita tidak dapat membebaskan diri kita sendiri, kecuali hanya satu: BINASA! Inilah yang adil bagi kita.
Apa Yang Sudah Dirusak oleh Dosa?
Kita kembali menyelidiki Roma 3:10-11. Tidak ada seorang manusia yang dapat memperkenankan, memahami, atau mencari Allah. Dosa telah merusak hati, akal budi dan kehendak manusia.
Pertama, dosa merusak natur moral: Tidak ada yang benar. Manusia berada dalam keadaan tak berpengharapan. Manusia memiliki sifat moral, tetapi kita bukan orang benar. Apa yang dimaksud oleh Paulus ialah bahwa orang berdosa tidak memiliki persekutuan dengan Allah. Tidak ada seorang pun yang dapat memperkenankan hati Allah dengan potensi yang ada pada diri mereka.
Seseorang memang tampak lebih baik daripada yang lain. Namun kebaikan yang dapat dilakukan oleh manusia, berbeda dengan bagaimana Allah memandang kebaikan itu. Manusia tidak mungkin bisa menumpuk kebaikan-kebaikannya di hadapan Allah, dengan pamrih bahwa Allah akan senang dengan itu. Kebaikan manusia bukanlah standar kebaikan Allah. Standar kebaikan Allah ditetapkan oleh Dia sendiri. Datangnya dari surga, tahta Allah!
Sama seperti kalau kita berbelanja di Indonesia, maka pecahan mata uang yang berlaku adalah yang ditetapkan di Indonesia—Rupiah. Jadi, kita tidak mungkin berbelanja memakai Ringgit Malaysia di pasaraya, atau di supermarket. Demikian pula, kebaikan manusia tidak akan berlaku di hadapan Allah. Manusia berdosa tidak mungkin dapat mencapai ukuran yang ditetapkan Allah. Maka, yang adil bagi manusia adalah hukuman atas ketidakpatuhannya.
Kedua, dosa merusak pikiran: Tidak ada yang berakal budi. Di dalam dosa, manusia tidak memahami hal-hal yang membuat kita diselamatkan. Bukan manusia tidak punya hasrat pada hal-hal rohani saja. Atau, pengetahuan dan ilmu. Banyak orang pandai di dunia. Tetapi manusia seolah-olah tahu banyak tentang Allah dan hal rohani, tetapi semua ini dari pandangan manusia. Apa yang kita butuhkan yaitu dalam masalah rohani, tidak ada yang dapat memahami dan mencari Allah.
Dalam 1 Korintus 2:14, Paulus menulis, “Tetapi manusia duniawi tidak menerima apa yang berasal dari Roh Allah, karena hal itu baginya adalah suatu kebodohan; dan ia tidak dapat memahaminya, sebab hal itu hanya dapat dinilai secara rohani.” Artinya, sangat dimungkinkan orang yang tidak percaya tahu banyak tentang Kekristenan. Atau ajaran Alkitab meski tanpa penerangan Roh Kudus di dalam pikirannya. Seorang profesor ateis dapat berbicara mengenai konsep Allah di dalam agama Kristen. Tetapi orang ini tidak memiliki kepercayaan. Semua itu tidak masuk akal baginya. Ia tidak bersandar kepada Allah itu. Ia tidak menaruh iman kepada Pribadi Allah yang dikatakan iman Kristen. Dalam hal ini, ia bukan rohani, sebab ia tidak bersandar kepada Allah.
Ketiga, dosa merusak kehendak: Tidak ada yang mencari Allah. Di sejarah peradaban, manusia terkenal sebagai makhluk religius. Masyarakat yang paling primitif pun punya konsep religi yang tersusun dengan baik. Manusia mempunyai gambaran tentang seperti apa Allah itu, seolah-olah menyembah Allah. Tetapi sesungguhnya semua ini adalah gambaran-gambaran yang “lebih tinggi” terhadap yang ilahi, dan bukan Yang Ilahi yang sejati. Jadi, mereka tidak menyembah Allah yang benar. Mereka menyembah roh-roh yang berkuasa di dunia.
Seseorang dapat kelihatan aktif. Bahkan ke gereja! Mereka menjadi jemaat di satu gereja. Tetapi apa yang sesungguhnya mereka kerjakan adalah lari dari Allah, dan mencari Allah yang sesuai dengan keinginan mereka. Mereka menggunakan agama untuk menutupi maksud-maksud hati mereka yang jahat.
Adakah Kehendak Bebas?
Kehendak manusia di dalam dosa adalah kematian. Ia hidup dalam kematiannya. Artinya, kehendaknya sangat terikat. Kehendak manusia di dalam kematian hanyalah memilih dosa. Kalaupun ada pilihan, pilihannya adalah berdosa. Ia akan menjauh dari Allah. Tetapi, bukankah Tuhan Yesus memberikan pilihan, “Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu” (Mat. 11:28). Bukankah ini pilihan: Mau atau tidak mau?
Harus kita bedakan! Memilih hidup dalam persekutuan dengan Allah berbeda dengan memilih coklat atau es krim. Kalau ada tawaran makan siang kepada kita—soto atau rawon, jelas berbeda dengan pilihan moral—apakah mau hidup menikmati persekutuan dengan Allah atau tidak. Atau pilihan afeksi (emosi)—apakah memilih bahagia atau susah, tentu berbeda dengan pilihan untuk mengikut Kristus dan percaya kepada Dia. Manusia mampu memilih hal-hal setiap hari sebagai pilihan natural, pilihan wajar. Namun, ketika diperhadapkan pada pilihan moral, manusia berdosa tidak akan sanggup. Alasannya? Ia sudah mati (Ef. 2:1). Ia tidak mencari Allah (3:11).
Ya memang, pilihan itu ada. Tawaran itu real. Tetapi manusia berdosa tidak mampu memilih. Tawaran itu malah menguak ketidakmampuan manusia untuk datang kepada Kristus. Inilah alasannya, “Semua telah diserahkan kepada-Mu oleh Bapa-Ku dan tidak seorang pun mengenal Anak selain Bapa, dan tidak seorang pun mengenal Bapa selain Anak dan orang yang kepadanya Anak itu berkenan menyatakannya” (Mat. 11:27). Pengenalan kepada Bapa itu adalah anugerah—bahwa Kristus berkenan menyatakannya bagi kita! Maka tawaran di 11:28, berdasarkan konteksnya, adalah tawaran yang diberikan kepada murid-murid yang sejati, yang telah mendapatkan anugerah. Mereka pasti datang kepada Kristus. Sedangkan bagi orang lain, mereka pasti menolak.
Bapa Gereja St. Agustinus mengatakan bahwa manusia berdosa itu non posse non peccare, artinya “tidak dapat tidak berdosa.” Pasti berdosa! Jika tanpa pertolongan Allah, seseorang tidak mampu berhenti berbuat dosa, apalagi memilih Allah. Kehendak manusia telah hilang bersama dengan kejatuhan manusia. Manusia memiliki kebebasan untuk menjauh dari Allah, tetapi tidak mungkin untuk kembali datang kepada-Nya.
Lalu Bagaimana?
Solusi yang Allah buat adalah dari dirinya sendiri. Pertama, Allah mencari kita. Iman Kristen dicirikan oleh Allah yang mencari. Kita menjauh dari-Nya, tetapi Ia mencari terus kita hingga mendapatkan kita.
Kedua, Allah memberikan pemahaman. Ia melakukan ini dengan menghidupkan kita di dalam Kristus Yesus oleh kuasa Roh Kudus. Mata rohani kita terbuka dan kita dapat memahami seberapa dalam kasih Allah itu kepada kita. Kita memang tidak akan sanggup memahami Allah sepenuhnya, tetapi kita dapat memahami Dia dengan benar, sesuai yang Ia kehendaki untuk kita pahami.
Ketiga, Allah memberikan kebenaran. Allah memberikan standar kebenaran itu kepada kita, tetapi Allah pun menganugerahkan jalan bagi kita untuk mencapai standar itu. Bukan dengan kebaikan yang ada pada kita, tetapi semata-mata oleh karena karya Yesus Kristus (Rm. 3:21-25). Kebenaran Kristus itulah yang diperhitungkan kepada kita sebagai orang-orang yang percaya. Kristus menerima penghukuman, agar kita terbebas. Kita bahkan menerima kebenaran Kristus. Kebenaran Kristus itulah yang menjadi dasar keselamatan kita.
“Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman;
Itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah,
Itu bukan hasil pekerjaanmu: jangan ada orang yang memegahkan diri.”
(Efesus 2:8-9)
No comments:
Post a Comment