Kata "yaroh" tidak akan dapat dijumpai di mana pun selain di Kudus. Bukan plesetan. Bukan slank-word. Hanya memudahkan orang mengucapkannya saja. Aku berpikir-pikir kecil, tampaknya natur bahasa memang seperti ini. Satu kata serapan akan didengar berbeda di tempat lain, lalu diucapkan sesuai dengan kemampuan orang setempat. Kuncinya, asal orang lain mengerti, cukup lah. Apa yang ingin kuceritakan? Simak saja.
Sore tadi, serombongan orang yang kukenal berkumpul di halaman gereja. Tiga puluh lima orang plus. Plus dua orang majelis jemaat, dan sebagian gembala jemaat. Ketiga puluh lima orang itu akan bertolak ke luar negeri. Israel dan sekitarnya, tepatnya.
Aku yang baru datang dari pertemuan gembala jemaat. Ketika doa keberangkatan rombongan akan dinaikkan oleh koordinator gembala, aku berdiri di samping seorang laki-laki. Turut serta juga ke Israel. Seorang majelis jemaat. Penatua.
Kucondongkan kepalaku ke arahnya dan kutanya, "Nyekar, Pak?" sambil nyengir. Artinya, "Hendak menengok tempat keramat, Pak?" Ketika sayup kudengar bahwa rombongan itu mau "ziarah" ke tanah suci. Yang menarik, dia balik menjawab, "Ngga, mau refreshing saja!" Ah, pikirku, ini lebih jujur.
Bukan bermaksud sinis, lho! Adalah hak setiap orang untuk bepergian. Petualangan itu mengasyikkan, Kawan! Aku pun senang berpetualang. Paling tidak, itu yang kurasakan sejak pulang dari persinggahan setahun di negeri orang. Bahkan aku pun punya rencana berpetualang lagi.
Tapi ini yang, ya kumaksud. Kalau mau berpetualang, ya berpetualang. Wisata, ya wisata. Jalan-jalan, ya jalan-jalan. Semua itu tidak ada yang salah. Baik malahan. Bukankah penting mengagumi alam ciptaan Tuhan? Bukankah berharga menikmati karya peradaban umat manusia yang luar biasa. Melepas lelah. Sekaligus menambah ilmu. Yang agak menggangguku ialah jika tumpang tindih dengan bumbu-bumbu rohani: Ziarah. Napak tilas. Hmm, apa ya memang begitu?
Teringat aku oleh gelitik nakal Dr. Andar Ismail dalam salah satu artikelnya di majalah Intisari. Orang Kristen Protestan tidak mengenal ziarah, lho! Saudara Katolik Roma masih percaya. Kita tidak punya konsep Tanah Suci. Seisi bumi ini kudus. Napak tilas? Tilasnya Tuhan Yesus? Ah, apa iya? Menurut Pak Andar, lha mau napak tilas kok tidurnya di hotel bintang lima dan makannya chinese foods.
Lebih aneh lagi, orang Kristen yang cuma mak-nyuk (sebentar saja) pergi ke tempat-tempat penting yang konon tempat utama kehidupan Tuhan Yesus. Lihat-lihat doank. Foto-foto. Jalan-jalan ke sana-sini. Sudah. Pulang ke hotel. Atau pindah ke objek lain. Aduh, pikirku, sayang sekali!!! Itu mutiara mutu manikam, kalau di benakku. Ya, situs-situs yang kini sudah menjadi gereja itu adalah media pembelajaran yang sangat kaya! sesuatu yang tidak pernah dikenal sebelumnya, untuk mengenal tradisi Kekristenan kuno asing bagi sebagian besar orang Kristen Indonesia, yang kebanyakan bertumbuh dalam lingkungan gereja tradisi Barat (Belanda atau Jerman).
Wah, andai aku di sana, pasti tak cukup satu situs tiga jam. Bagaimana tidak? Struktur dan detail arsitektur itu memikat hati. Teologi bangunan gereja akhir-akhir ini kunikmati! Khususnya gereja-gereja Ortodoks. Mbok ya kalau belajar itu total. Yang tertulis di Alkitab mungkin tidak dapat lagi ditemukan secara asli. Tapi situs-situs itu tak kurang keren-nya bagi mata penyuka sejarah.
Tak heran, tak heran . . . sekali pun sudah berkali-kali ke "Tanah Suci," akhirnya pulang, tidak terlalu banyak yang dipahami. Rohaniwan, toh tidak lebih baik dan mendalam ketika menguraikan sebuah bagian teks Injil. Ya, bagaimana tidak? Tidak ada yang dipelajari, kecuali lihat-lihat sana-sini. Sightseeing. Aha, inilah yang kumaksud. Jalan-jalan. Refreshing. Wisata. Tour. Ini lebih jujur dan tulus. Mengapa tidak? Sekali lagi, itu baik, lho. Bahkan perlu. Bagi yang punya, tentu.
No comments:
Post a Comment