KONGREGASIONAL SINODAL: DALAM TEOLOGI DAN PRAKTIK
GKMI telah lama memilih sistem organisasi kongregasional-sinodal. Namun, banyak kali sistem ini menimbulkan berbagai pertanyaan dan masalah. Pada satu masa, muncul tuntutan agar sinode lebih aktif dalam memberikan fatwa dan keputusan tegas terhadap pelbagai isu. Pada masa lain, gereja-gereja lokal ingin berjalan sekehendak hati tanpa memedulikan sinode. Ulasan berikut mengetengahkan ekklesiologi-sistematik yang ringkas mengenai pokok kongregasional-sinodal.
Pertimbangan Biblis-Historis
Setiap komunitas pastilah memiliki tujuan, dan agar tujuan tersebut terlaksana secara efektif maka komunitas tersebut kemudian membentuk sebuah tatanan yang disebut organisasi. Pengorganisasian ini paling tidak memiliki dua maksud:
1. Menjabarkan jati diri komunitas yang akan disetujui oleh anggota baru dan mengajak mereka untuk menjadi bagian dalam komunitas itu.
2. Menyediakan kesempatan-kesempatan bagi setiap anggota untuk menegaskan kembali loyalitas mereka pada visi bersama dan jati diri.
Gereja adalah miniatur dari sebuah komunitas yang istimewa, yaitu komunitas Kerajaan Allah. Gereja tidak sama dengan Kerajaan Allah, tetapi gereja merupakan maket dari pola cetak biru dari sebuah tatanan yang dicita-citakan oleh Allah. Sebagai sebuah badan korporat, tujuan gereja adalah untuk membawa kemuliaan bagi Allah Tritunggal dengan memenuhi amanat yang Tuhan serahkan kepadanya. Secara khusus, gereja sadar bahwa pengorganisasian diri tersebut ditujukan untuk melaksanakan amanat Kristus. Mendiang teolog Baptis Stanley J. Grenz menyebut tiga amanat yang harus dilakukan oleh gereja yaitu: ibadah, edifikasi dan penjangkauan.[1]
Dalam mengorganisasi diri, gereja menyadari satu prinsip: tidak ada satu persekutuan Kristen di satu konteks tempat dan kurun waktu yang tuntas atau sempurna pada dirinya sendiri. Berarti, tiap gereja lokal adalah miniatur Gereja Yesus Kristus (tidak berembel-embel “dari Orang-orang Suci Zaman Akhir” yang adalah Gereja Mormon) yang universal. Itulah sebabnya tiap-tiap persekutuan lokal selalu menjalin hubungan dengan komunitas-komunitas yang lain. Dengan melakukannya, masing-masing persekutuan lokal menyadari diri sebagai bagian dari komunitas yang lebih besar. Bagaimanakah pola bergereja di PB?
1. Dalam Kisah Para Rasul dan Surat-surat Rasuli, kita menjumpai prinsip bahwa tiap-tiap jemaat lokal memiliki otonomi atau kebebasan untuk mengatur dan menentukan jalannya. Tiap jemaat dapat mengambil keputusan yang mandiri tanpa intervensi dari sebuah lembaga yang lebih besar. Sebagai contoh, Kisah 13:1-4 mencatat jemaat di Antiokhia mengutus Paulus dan Barnabas untuk pelayanan misi. Ketika mereka selesai melaksanakan mandat jemaat, mereka kembali dan melaporkan hasil perjalanan mereka (14:27). Sidang di Yerusalem (kalau kita hendak katakan sebagai sebuah cikal-bakal sinode) mengambil peran untuk mengirim surat pastoral ke Gereja-gereja non-Yahudi (15:22-29). Tetapi, tindakan “Sinode” Yerusalem itu dipicu oleh tindakan misi jemaat Antiokhia kepada bangsa-bangsa non-Yahudi, khususnya tentang isu sunat (15:1-2). Contoh lain adalah jemaat Korintus. Mereka harus menyelesaikan masalah internal kejemaatan yang berpotensi memecah belah kesatuan mereka, menegakkan disiplin gereja dan menjaga kemurnian kehidupan Kristiani.
2. Kendati otonom, jemaat mula-mula tetap mempertahankan jejaring kerja sama. Mereka tidak terpeleset ke dalam individualisme kongregasional. Mereka tetap menjaga persekutuan antargereja. Kembali ke kasus Sidang Yerusalem, tiap-tiap wakil jemaat mendapat hak yang sama untuk mengambil keputusan mengenai sebuah isu krusial. Suara mereka akan didengar dan dihargai. Rasul Paulus juga menekankan ajaran bahwa jemaat-jemaat wajib menjunjung kesatuan dalam segala hal; secara konkret, ia mengumpulkan dana untuk gereja di Yerusalem sebagai gereja induk—sang rasul berinisiatif agar gereja non-Yahudi terikat erat dalam jalinan persekutuan dengan gereja induknya.
Dari data PB, kita simpulkan bahwa gereja selalu berada dalam tegangan: otonomi dan keterjalinan. Di satu sisi, jemaat dapat menentukan siapa saja yang menjadi anggota, mengatestasi anggota, menegakkan disiplin. Gereja dapat mewajibkan anggotanya untuk memenuhi amanat Kristus, mengatur organisasinya dengan jalan memilih orang-orang untuk duduk di kemajelisan, dan menahbiskan pelayan jemaat.
Di sisi lain, sebuah jemaat menjadi partner pelayanan bagi jemaat lain. Hal ini merupakan cerminan bahwa satu jemaat tidak pernah sempurna dalam dirinya sendiri. Semua jemaat memiliki peran yang penting bagi kehidupan dan pelayanan tiap-tiap jemaat lokal, dan sebaliknya juga bahwa tiap jemaat lokal memiliki peran dan nilai krusial bagi kehidupan dan pelayanan seluruh umat Allah bagi kesaksian serta keagungan nama Kristus.
Agar tujuan tersebut terwujud, maka masing-masing jemaat perlu mengambil peran aktif di dalam, serta bertanggung jawab, dalam jejaring kerja yang lebih luas. Bersama gereja-gereja saudari (sister churches), gereja lokal membentuk sebuah jaringan kerja, demi menjadi sarana bagi gereja untuk bersama-sama mencari, menggali, memandang secara bening dan tajam, kehendak Tuhan Gereja. Melalui jalinan seperti ini, gereja-gereja lokal mampu menggabungkan sumber daya sehingga dapat berperan aktif untuk memenuhi mandat Kristus bagi segenap jemaat-Nya.
Pada awal perkembangannya, sistem pemerintahan Kongregasional ditujukan sebagai bentuk perlawanan terhadap kekuasaan manusia yang mengklaim sebagai suara ilahi. Di zaman ketika raja dan persidangan gereja memutuskan manakah kehendak Allah, para pelopor gerakan ini mengajukan gagasan bahwa gereja terbentuk dari tindakan suka rela dan sadar dari tiap individu untuk mengikatkan diri sebagai suatu perserikatan di bawah bimbingan para pemimpin dari antara jemaat untuk mengenali kehendak Kristus. Memang terjadi silang pendapat mengenai bagaimana hubungan para pemimpin dengan jemaat secara keseluruhan. Sebagian memilih pola semi-Presbiterian, yaitu bahwa para penatua mengambil keputusan akhir untuk sidang jemaat. Sebagian lagi memilih sistem kongregasional-demokratis, yang memegang prinsip bahwa persekutuanlah yang memiliki otoritas dalam mengambil keputusan. Pada bagian berikut, kita akan mengeksplorasi tema ini lebih lanjut.
Pertimbangan Teologis-Praktis-Spiritual
Yang menarik, dokumen Dewan Gereja se-Dunia (DGD), Baptism, Eucharist, and Ministry (BEM) mencatat kelimat demikian, “Strong emphasis should be placed in the active participation of all members in the life and decision-making of the community.”[2] Dari kutipan kalimat ini kita melihat bahwa DGD menggarisbawahi pentingnya entitas jemaat lokal, yang dicirikan oleh pengambilan keputusan di dalam dan bagi jemaat. Pertanyaanya ialah, siapa yang harus mengambil keputusan? Dokumen BEM di atas menjawab, partisipasi aktif dari semua anggota jemaat.
Hal ini selaras ide perjuangan dari reformasi yang dilancarkan oleh Martin Luther. Kehendak Luther untuk melaksanakan reformasi pertama-tama bukan ditujukan bagi penanaman doktrin alkitabiah, melainkan pembaruan (atau pemurnian) ekklesiologi dan liturgi. Karena itu, ia menyuarakan “imamat am orang percaya” (priesthood of all believers).[3] Jika tiap-tiap warga jemaat memiliki jalan masuk yang sama kepada anugerah Allah, maka tiap-tiap warga jemaat juga memiliki hak, kewajiban, tanggung jawab yang sama pula untuk melayani Allah. Ini berarti, gereja lokal merupakan konteks yang paling konkret untuk menjadi wahana perwujudan imamat am orang percaya, sebab tiap-tiap anggota memiliki tempat yang sama untuk berpartisipasi dalam pemenuhan mandat gereja untuk menyembah Allah, mengajar dan meneguhkan jemaat, serta menjangkau jiwa.
Dalam tataran lebih praktis, imamat am orang percaya mewujud dalam proses pengambilan keputusan jemaat. Seluruh warga jemaat wajib dan bertanggung jawab untuk mencari, menggali, menemukan dan mengenali dengan jernih kehendak Kristus bagi sidang jemaat-Nya. Tugas ini bukan privilese sebagian kecil kelompok orang yang disebut klerus dan Majelis Jemaat, sekalipun mereka ditahbiskan di dalam kebaktian jemaat. Dengan perkataan lain, persidangan jemaat merupakan cerminan dari otoritas Kristus bagi sidang jemaat-Nya, di mana tiap-tiap warga jemaat memiliki tanggung jawab yang sama untuk mencermati kehendak Kristus bagi kehidupan gereja dalam persidangan jemaat.
Apakah tiap-tiap hal harus diputuskan melalui persidangan jemaat, seperti kerumahtanggaan, renovasi rumah pastori pendeta? Tentu tidak. Persidangan jemaat merupakan titik tolak yang meretas gambar gerak-langkah gereja. Persidangan jemaat menetapkan visi dan misi gereja, rencana strategis, program-program gereja dan peranti-peranti aturan yang harus ditetapkan sebagai sarana terselenggaranya keputusan persidangan jemaat.[4] Untuk melaksanakan keputusan, maka dibentuklah organ kepemimpinan jemaat yang dinamakan Majelis Jemaat, untuk melaksanakan keputusan persidangan jemaat, dan mempertanggungjawabkan tugasnya kepada persidangan jemaat.[5]
Mengangkat pokok imamat am orang percaya dalam konteks yang lebih luas, maka jemaat-jemaat lokal menjalin hubungan dan persekutuan dalam sebuah wadah yang disebut sinode. Karena “sinode” merupakan bentukan dari kata Yunani syn dan hodos, maka arti sinode adalah kesepakatan untuk berjalan bersama, atau komitmen untuk menempuh jalan yang sama. Berarti, sinode bukan super-church. Sinode dijiwai oleh semangat kesadaran dan kesukarelaan anggota. Setiap gereja anggota mengutus wakil untuk mengikuti sidang, untuk mencari, menggali, menemukan dan mengenali dengan jernih kehendak Kristus bagi persekutuan gereja-gereja.[6] Hasil persidangan, sebagai buah komitmen bersama, mengikat tiap gereja lokal. Bila ada keputusan yang perlu ditinjau ulang, maka dapat diadakan rembug bersama dalam persidangan bersama.
Dari sisi spiritualitas, maka persidangan jemaat dan keterjalinan dalam jaringan persekutuan yang lebih luas merupakan pengalaman rohani atau sebuah laku waskithakomunal (an act of communal discernment). Umat Allah belajar untuk memiliki ketajaman dalam menangkap kehendak Allah. Di dalam persidangan jemaat, umat Allah berkumpul untuk peka terhadap pimpinan Roh Kudus bagi jemaat (lokal maupun sinodal), mengenali amanat Yesus Kristus bagi gereja-Nya, agar Allah Bapa dipermuliakan. Di samping itu, jemaat yang duduk bersama, bergumul dalam firman, doa dan dialog, merupakan refleksi konkret dari Trinitas Kudus seperti yang dalam lukisan Andrei Rublev “Trinitas Perjanjian Lama.”[7]
Kongregasional dalam Pelayanan Remaja
Remaja adalah kelompok umur yang paling tepat untuk menanamkan ekklesiologi dan kecakapan berorganisasi. Komisi Remaja Metanoia (KRM) GKMI Kudus kami mewarisi visi yang digagas oleh Pdt. Rudiyanto, yaitu “Militan, Injili dan Moderat.” Juga, semboyan yang selalu bergema dan menjadi motivasi adalah “Generasi Pelopor, Bukan Pengekor.” KRM ingin menjadi pelopor dalam hal ibadah, formasi spiritualitas dan organisasi.
KRM memiliki 4 tata ibadah A, B, C, D yang membentuk sebuah liturgi bulanan yang utuh. Liturgi A (Doksologi) berfokus pada Integritas Ciptaan, B (Pengakuan) pada Pertobatan, C (Segala Bangsa) pada Keadilan, dan D (Taizé) pada Perdamaian. Tentang formasi spiritualitas, kami memiliki ibadah-ibadah liturgis, meditatif, kontemporer; juga ditetapkan peringatan tiap bulan mempunyai peringatannya masing-masing (kami juga mengikuti kesepakatan sinodal yaitu Bulan Misi, Keluarga, Perdamaian, tetapi menambahkan sembilan tema di bulan-bulan lain), dan menyusun program berdasarkan peringatan tersebut.
Tentang sistem kerja, Komisi kami yang memiliki anggota aktif sekitar 100 orang ini menata diri dalam angkatan-angkatan berdasarkan tahun masuknya mereka ke KR dari Komisi Anak pada awal bulan Juli. Mereka akan segera diminta untuk memilih wakil angkatan yang bertindak sebagai pemimpin kelompok.
Pada akhir masa sebuah kepengurusan, maka diadakan Sidang Anggota Pertama KRM yang diadakan pada hari Minggu setelah ibadah remaja, yaitu untuk menetapkan Panitia Formatur yang dipilih dari antara wakil-wakil angkatan serta Tata Pemilihan Pengurus. Panitia Formatur terdiri dari ketua, wakil, sekretaris dan dua anggota. Setelah terbentuk, Panitia Formatur mendengar presentasi pertanggungjawaban kerja Pengurus lama, dan jika anggota menyetujui dan menerimanya, maka Panitia Formatur menyatakan demisionarisasi pengurus dan kepemimpinan KRM diambil alih oleh Panitia Formatur hingga terbentuknya program kerja KRM (sementara tugas harian tetap dilaksanakan oleh Seksi-seksi Pengurus demisioner).
Kemudian diadakanlah Rapat Pertama KRM untuk memilih calon-calon ketua, serta meminta masukan program kerja kepada semua anggota untuk dijalankan oleh pengurus yang baru. Setelah mendapatkan nama-nama bakal calon ketua, dan bakal-bakal calon diminta untuk presentasi mengenai visi dan misi mereka untuk KRM, dan setelah itu mereka dipilih oleh anggota dalam Rapat Kedua KRM. Setelah itu, calon ketua terpilih bersama Panitia Formatur dan Pembina menyusun Pengurus baru dari anggota-anggota yang sudah mengikuti pembinaan Youth Leadership Camp(YLC) yang diadakan pada liburan semester genap.
Setelah formasi kepengurusan terbentuk, maka hasilnya diumumkan kepada anggota dan bila semua anggota telah dapat menerimanya, akan diadakan pelantikan Pengurus untuk periode dua tahun, dalam Rapat Ketiga KRM seusai ibadah remaja (berbeda dengan Pelantikan Pengurus di hadapan Jemaat).
Pengurus yang dilantik segera mengadakan rapat kerja untuk menyusun program tahunan. Pembina berfungsi sebagai fasilitator dan pengarah, bukan penentu atau pengambil keputusan. Hasil diskusi dirangkum oleh sekretaris. Setelah program kerja tersusun, pengurus mengundang Panitia Formatur dalam rapat bersama untuk mempresentasikan rancangan program. Jika Panitia Formatur telah memahaminya, maka diambil kesepakatan untuk mengadakan Sidang Anggota Kedua KRM.
Sidang Anggota Kedua KRM diselenggarakan seusai kebaktian Minggu, dengan agenda untuk mengesahkan Program Kerja KRM, memberikan mandat kepada Pengurus untuk melaksanakannya, menetapkan perubahan liturgi (jika ada), dan rencana-rencana strategis lain. Pada tahun berikutnya, diadakan kembali satu Sidang Anggota untuk menerima pertanggung-jawaban Pengurus dan penetapan Program baru.
Pdm. Nindyo Sasongko (GKMI Kudus)
Dipresentasikan dalam Penggalian Alkitab di Sidang MPL III, GKMI Bahtera Hayat, 27-29 Juli 2012 [1]Stanley J. Grenz, Theology for the Community of God (Grand Rapids: Eerdmans; Vancouver: Regent College, 2000) 542. Tulisan ini banyak didasarkan pada pemikiran Grenz dalam buku ini.
[2]Baptism, Eucharist, and Ministry, Faith and Order #111 (Geneva: World Council of Churches, 1982), 26.
[3]Luther bukan menciptakan ide ini, ia mengaku menemukan ide ini berdasarkan kesaksian Kitab Suci, khususnya PB, mis. 1 Petrus 2:5; Why. 1:6; 5:10; 20:6); semua dapat menghampiri tahta anugerah melalui Kristus (Ibr. 4:15-16; 10:19-20). Jemaat memiliki hak istimewa serta tanggung jawab untuk berbagian dalam fungsi keimaman, seperti mempersembahkan kurban rohani bagi Allah (Rm. 12: 1; Ibr. 13:15; 1Ptr. 2:9).
[4]Tata Laksana pasal 15.2.a. tentang Persidangan Jemaat.
[5]Tata Laksana pasal 14.2.a. tentang Majelis Jemaat (MJ).
[6]Bagi GKMI, kepemimpinan tertinggi terletak pada Persidangan Raya, sebagai sarana rembug visi-misi, tata nilai dan program, serta pengambilan keputusan atas masalah-masalah yang dihadapi GKMI (Bdk. Tata Laksana pasal 15.3.a. tentang Persidangan Raya)
[7]Miroslav Volf, dalam disertasi Habilitasi di Universitas Tuebingen mengangkat tema gereja kongregasional sebagai cerminan Trinitas; di sini ia berdialog dengan Joseph Kardinal Ratzinger dari sisi Katolik Roma dan John D. Zizioulas dari Ortodoks Timur, lihat Miroslav Volf, After Our Likeness: The Church in the Image of the Trinity (Grand Rapids: Eerdmans, 1998).
No comments:
Post a Comment