Kesimpulan
Mengatakan bahwa hari Minggu merupakan akal bulus gereja Katolik Roma adalah suatu paham yang naif. Gereja (termasuk Katolik Roma), tidak menciptakan perubahan Sabat ke Minggu. Gereja meneruskan sebuah tradisi yang berkuncup pada reaksi terhadap kebengisan orang-orang Yahudi terhadap Kekristenan, dan mekar ketika gereja mulai menegaskan jati dirinya, dan bersentuhan dengan dunia pagan.
Gereja meneguhkan Minggu sebagai hari ibadah, sesuai dengan karakter-Nya yang Kristosentris. Kristosentris ini bukan sekadar pada meniru atau mengopi apa yang dikerjakan oleh Yesus. Jika ada orang yang mengatakan bahwa Yesus adalah Pribadi yang patuh kepada semua ditil hukum Taurat termasuk tradisi Yudaisme yang terkemudian, maka kita akan tercengang bahwa Kristus “kerap melanggar” kekudusan hari Sabat.
Para kaum Adven Hari Ketujuh suka mengutip Matius 12:8, “Karena Anak Manusia adalah Tuhan atas hari Sabat,” tetapi mereka lupa bahwa kalimat itu berada di dalam konteks Yesus “memberontak” terhadap aturan Sabat yang membuat orang Yahudi sebagai kaum legalis, arogan dan merasa yang paling benar. Ia bahkan mengutip bahwa di PL pun, raja Daud (1Sam. 21:1-6) dan para imam (Im. 24:5-9). Yesus pun menyembuhkan orang pada hari Sabat (Mat. 12:9-15a), dan hal ini menimbulkan persengketaan yang hebat! Akibatnya? Para Yahudi yang mendengar Yesus bersekongkol untuk membunuh-Nya (ay. 14). Yesus ingin menegaskan, bahwa peraturan Sabat jangan sampai mengarah kepada kemunafikan. Di bibir memuliakan Tuhan, tetapi dalam hati dan tindakan membenci dan merendahkan manusia. Manusia bukan diciptakan untuk Sabat, tetapi Sabat diciptakan untuk manusia.
Gereja melihat tema sentral di dalam PB, yaitu kebangkitan Yesus sebagai pusat iman Kristen, yang terjadi pada hari pertama di pekan Paskah itu. Dari kesaksian Alkitab sendiri, kita temukan bahwa orang Kristen telah mengkhususkan hari pertama itu sebagai hari ibadah. Meski, pada mulanya mereka beribadah di 2 hari: Sabat dan Minggu. Di kemudian hari, hanya di hari Minggulah mereka beribadah dan mengadakan sakramen.
Secara praktis, orang-orang yang getol memperjuangkan Sabat sebagai hari yang benar untuk beribadah akan menjadi orang yang tidak konsisten. Ia mengatakan, bahwa Sabat mulai pada hari Jumat pukul 18.00, sampai Sabtu 17.59’, akan tetapi mereka menghitung hari lain dimulai pada pukul yang sama. Contoh, kalau ia mempunyai janji pada hari Senin pukul 21.00, mengapa ia tidak menyebutkannya hari Selasa jam ketiga? Atau, berangkat kantor hari Senin pagi pukul 07.00, mengapa ia tidak menyebut hari Selasa jam kedua pagi? Kalau itu benar terjadi, maka dapat dipastikan, kacaulah kehidupannya. Jadi, apakah Tuhan hanya menciptakan hari Sabat, dan hari lain berposisi lebih rendah sehingga layak untuk tidak diingat? Bukankah hari-hari lain pun adalah ciptaan Tuhan dan semua hari sama-sama di mata Tuhan? Kenyataannya, mereka yang fanatik dengan hari Sabat tidak konsisten dengan penggunaan hari tersebut.
Sebagai penutup, hendaklah kita selalu sadar terhadap banyak orang yang suka mengutip ayat, tetapi melepaskan dari kebenaran Kitab Suci. Banyak ayat belum tentu alkitabiah. Ayat yang dikutip perlu dipahami latar budaya, sejarah, gramatikanya. Kata Bang Napi, “Waspadalah! Waspadalah!”
TERPUJILAH ALLAH!
No comments:
Post a Comment