PEMIMPIN DAN TONTONAN
Dunia penuh dengan penonton. Orang dunia butuh tontonan. Banyak orang tidak segan membayar mahal demi sebuah tontonan yang menyukakan hati. Mari kita ambil contoh. Tiap kali digelar konser artis ibukota di lapangan terbuka, penontonnya membeludak. Ini yang murah! Bandingkan dengan konser Justin Bieber yang baru-baru ini diadakan di Jakarta. Harga tiket yang mahal itu tak membuat orang segan untuk merogoh kocek dan memboyong keluarga untuk menonton konser yang berdurasi dua jam lebih sedikit.
Bukan itu saja. Pernak-pernik yang dijual seperti kaos, gelang, topi, mug, dan barang lain bertuliskan logo, moto atau foto sang artis menambah pengalaman prestis (bangga) dan kenangan yang tak mudah hilang pernah menjadi bagian dari acara hebat yang digelar. Disadari atau tidak, tontonan itu telah mampu menggerakkan ribuan masa. Tontonan itu telah menjadi pimpinan.
Jadi, jika bertanya kepada dunia, siapakah pemimpin yang berhasil? Maka jawabannya ialah kuantitas. Jumlah. Berapa besar. Berapa banyak. Berapa hebat. Atau penampakan lahiriah: macho, keren, memukau. Padahal, penonton tidak sadar bahwa sesuatu yang memukau itu sifatnya sesaat. Memang, di atas panggung dia memikat hati dan membius emosi. Daya mobilisasi masanya pun hebat. Begitu orang sudah terbius secara emosi, maka ia bisa digerakkan untuk melakukan apa pun yang dikehendaki. Kendati begitu, ke mana arah tujuan selanjutnya? Tidak jelas.
Banyak warga gereja yang juga menjadi penonton dan mencari tontonan. Ibadah gereja ramai jika ada artis. Firman Tuhan sudah terlalu biasa. Tiap Minggu kan ya itu-itu saja. Tidak cukup. Harus ditambah. Bayar mahal pun, tidak masalah. “Sekali-sekali ‘kan tidak apa-apa!” katanya. Didatangkan dengan pesawat, dijemput dari bandara, diistirahatkan di hotel atau tempat tinggal nyaman, dilayani dengan konsumsi istimewa, dengan persembahan kasih yang mahal, diajak “fober” (foto bersama) setelah acara (kebaktian). Yang hadir di kebaktian itu juga membeludak. Kursi sampai tidak cukup. Sementara Minggu-minggu biasanya ibadah sepi-sepi saja.
Firman Tuhan pun yang diharapkan adalah yang lebih memotivasi dan memacu adrenalin. Cepat saji. Mudah diingat. Renyah dikunyah. Gampang dilaksanakan. Singkat. Plus lucu. Plus demonstrasi multimedia. Atau plus demonstrasi kuasa kesembuhan dan mukjizat. Khotbah ekspositori ditinggalkan. Pendalaman Alkitab yang sistematis dan terpadu diabaikan.
Bayangkan jika gereja terus menerus membuai diri dengan segala “kemudahan” dan hasrat untuk menonton. Akan seperti apakah sosok pemimpin masa depan jika semua ini masih menjadi bahasa orang Kristen? Pemimpin yang bersemangat, mungkin! Tetapi semangat yang sekejap, yang tidak didasarkan pada landasan yang kokoh. Mudah menyerah, karena jika tidak dapat memenuhi tuntutan target dunia (jumlah dan penampakan luar), maka akan dipandang gagal dan tidak ada nilai lebih.
MENCARI PEMIMPIN YANG SEJATI
Rasul Paulus dengan berani pernah berkata, “Jadilah pengikutku, sama seperti aku juga menjadi pengikut Kristus” (1Kor. 11:1). Inilah teladan pemimpin yang sejati. Perhatikan nasihat Paulus ini.
Pertama, Paulus tidak menjadikan dirinya tontonan, tetapi tuntunan. Kalimat ini adalah imperatif—sebuah kalimat perintah, agar jemaat mengikuti jejak rasul Paulus. Secara harfiah, jemaat harus “mengimitasi” atau “meniru” rasul. Imitasi atau tiruan itu bukan barang yang asli, tetapi dibuat sedemikian rupa sehingga mirip sekali. Kita tidak pernah menjadi sama seperti rasul Paulus, tetapi harus semirip-miripnya dengan beliau.
Ia menjadikan dirinya sendiri sebagai tuntunan. Berarti, betapa Paulus merupakan pribadi yang berintegritas—kata dan tindakan satu padu; apa yang dipikirkan dan diucapkan pas dengan apa yang ia lakukan dalam kehidupan. Ia bukan orang yang kaya. Ia bekerja membanting tulang untuk injil Kristus. Ia juga bekerja keras mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari dengan menjadi tukang tenda. Ia ditolak. Ia teraniaya. Penjara sudah menjadi rumah kedua baginya. Tetapi demi injil, ia tidak mundur.
Terhadap Timotius, seorang muridnya, Paulus turut berbangga, bukan karena Timotius berharta, tetapi sebab ia “telah mengikuti ajaranku, cara hidupku, pendirianku, imanku, kesabaranku, kasihku dan ketekunanku.” (2Tim. 3:10). Paulus selanjutnya berkata bahwa Timotius ini telah ikut menderita penganiayaan dan sengsara seperti yang ia derita di Antiokhia. Paulus memuji sang pemimpin muda, yang akan menggantikan dia sebagai pemimpin gereja bukan dengan tolok ukur jumlah dan penampakan. Pemimpin yang berhasil dicirikan oleh pengajaran yang kuat (doktrin), cara hidup (etika), pendirian (prinsip hidup), iman (keyakinan teguh), kesabaran dan ketekunan (habitus/sifat). Jelas sekali, nilai-nilai ini jauh dari nilai dunia.
Dari sini, kita melihat, pemimpin yang berhasil itu memiliki seorang mentor, seorang coach, seorang pelatih dan pendamping. Ia tidak dibiarkan sendiri. Ia menjalani gladi yang berat bersama guru yang lebih mahir. Si junior harus menjadi semirip mungkin dengan seniornya. Dengan kata lain, seorang pemimpin yang andal dihasilkan lewat pelatihan yang intensif dan bersinambung. Menjadi pemimpin membutuhkan proses panjang dan melelahkan. Tidak ada yang instan dan cepat jadi! (kecuali jika mengharapkan hasil yang prematur).
Kedua, Paulus bukan tuntunan akhir, tetapi Yesus Kristus. Ia pun meneladani Kristus. Timotius mengikuti Paulus selama dan sejauh Paulus mengikuti Kristus. Paulus bukan untuk diidolakan. Paulus tidak mengharapkan Timotius fanatik kepadanya. Segera rasul mengarahkan Timotius kepada Teladan yang lebih agung, yaitu Yesus Kristus. Baginya, Kristus adalah yang utama. Ia bersaksi kepada jemaat Korintus, “Sebab aku telah memutuskan untuk tidak mengetahui apa-apa di antara kamu selain Yesus Kristus, yaitu Dia yang disalibkan” (1Kor. 1:2).
Potret Yesus yang diusung oleh Paulus juga bukan potret yang menawan bagi pendengar di sekitarnya, lebih-lebih pendengar modern. Orang Yahudi mencemooh mesias yang mati. Orang Yunani menista raja yang tersalib. Tetapi Paulus justru tidak malu dengan Pemimpin yang tersalib itu! Sebab, tanpa salib tidak akan ada kebangkitan. Tanpa penderitaan tidak ada ada kejayaan. Tanpa kematian tidak akan ada kehidupan. Kemenangan melalui kesengsaraan. Pembebasan yang menggantikan sengsara.
Benarlah pepatah Jerman yang mengatakan, “Tidak akan ada kemenangan tanpa perjuangan.” Perjuangan itu tidak pernah mudah. Sekarang, oleh sebab segala kemudahan gampang diperoleh, akhirnya orang menjadi semakin malas. Daya juang menurun. Kemampuan untuk bergulat pun melemah. Inilah dilema orang modern. Di satu sisi menikmati kemudahan. Di sisi lain, ada ancaman yang sedang menggerogoti hidup kita bak jaringan kanker yang memakan jaringan organ tubuh yang lain, yaitu keberanian untuk menghadapi tantangan kehidupan.
Menjadi pemimpin yang berhasil, ingatlah pesan tentang Kristus, “Marilah kita melakukannya dengan mata yang tertuju kepada Yesus, yang memimpin kita dalam iman, dan yang membawa iman kita itu kepada kesempurnaan,yang dengan mengabaikan kehinaan tekun memikul salib ganti sukacita yang disediakan bagi Dia, yang sekarang duduk di sebelah kanan takhta Allah. Ingatlah selalu akan Dia, yang tekun menanggung bantahan yang sehebat itu terhadap diri-Nya dari pihak orang-orang berdosa, supaya jangan kamu menjadi lemah dan putus asa” (Ibr. 12:2-3).
a. Pemimpin yang berhasil harus terus berlari dalam perlombaan yang wajib bagi kita (ay. 1).
b. Pemimpin yang berhasil akan mengarahkan pandangan kepada Kristus.
c. Pemimpin yang berhasil akan tekun berjalan seperti Dia, kendati hidup tidak mudah.
d. Pemimpin yang berhasil akan selalu mengingat Kristus.
e. Pemimpin yang berhasil kuat terhadap bantahan dan fitnahan.
f. Pemimpin yang berhasil tidak akan cepat lemah dan putus asa.
MENGERJAKAN VISI KITA
Apakah visi yang seharusnya dimiliki oleh para pemimpin muda? Menjadi seperti Kristus dan memuliakan Allah! Untuk menjadi seperti Kristus, sesungguhnya tidak ada harga dan pengurbanan yang harus kita bayarkan. Sebab, semua sudah diberikan oleh Allah di dalam Yesus Kristus. Harga dosa telah dilunasi sekali dan untuk selama-lamanya melalui pengurbanan Kristus (1Ptr. 1:18). Hendaklah tidak ada seorang pun di antara kita yang merasa bahwa kita melakukan pengurbanan, dan pengurbanan kita telah sangat besar bagi Allah! Tidak. Kita tidak berkurban apa-apa bagi Dia. Dialah yang sudah berkurban bagi kita, padahal Ia tidak harus melakukannya. Janganlah hendaknya di antara kita yang berpikir bahwa Tuhan wajib menebus kita. Sama sekali tidak. Ia melakukannya dengan kerelaan anugerah-Nya. Sekalipun harganya adalah, memberikan yang terbaik yang Ia miliki: Putra Tunggal-Nya diserahkan bagi penebusan kita.
Inilah arti kehidupan kita. Inilah alasan bagi kita untuk menjadi pemimipin yang berhasil, bukan seperti takaran dunia, tetapi seperti yang Allah kehendaki, menurut ukuran dan cara pandang Allah. Marilah mengerjakan visi itu dengan tekun dan penuh pengharapan.
Terpujilah Allah!
No comments:
Post a Comment