Akhirnya, Pilihan Jatuh ke Sekolah Ini . . .
Ketika ada kesempatan untuk melanjutkan lagi, dengan tawaran dan kesempatan dari sejumlah institusi di negeri Paman Sam, saya harus menimbang-nimbang secara serius. Harus diakui, untuk mendapatkan kesempatan mengambil strata 2 di sana, dengan full-scholarship adalah hal yang amat sulit di hari-hari ini. Nyaris, semua sekolah hanya sedikit memberikan bantuan pendanaan sekolah. Kalau pun ada, itu pun dalam kisaran kurang dari 20% - 50%. Kalau sampai 100%, itu bagus sekali. Tetapi, tak termasuk biaya hidup. Saya akan terangkan di bawah.
Akhirnya, pilihan saya jatuh ke Seattle University School of Theology and Ministry. Dari sisi latar pendidikan saya yang jelas-jelas Evangelikal, nama sekolah ini tidak dikenal sama sekali. Saya pun baru mengenalnya, dari perkenalan saya dengan seorang mantan dosen dan guru besar PB di STT Jakarta, yang kini tinggal di kota Seattle, Prof. Richard W. Haskin, Ph.D. "Ah, apa baiknya sekolah ini?," pikir saya. Ditambah lagi, waktu saya membaca programnya, tidak ada yang saya minati: Perjanjian Baru atau Teologi!
Namun interes mulai naik ketika melihat satu program, Spiritualitas. Ya, bidang ini belum banyak digeluti oleh kaum Protestan. Tidak ada--setahu saya--pendeta Protestan yang mengambil bidang Spiritualitas, kecuali Pdt. Stefanus Christian Haryono, yang sekarang di UKDW. Beliau mengambil strata 2 (MA in Christian Formation) di institusi pendidikan Mennonite di Elkhart, Indiana, yaitu Associated Mennonite Biblical Seminary (kini diubah nama: Anabaptist-Mennonite Biblical Seminary). Kesimpulan saya: Bidang ini masih sangat luas untuk dirambah oleh kaum Evangelikal! (Ada satu pendeta dari kalangan Evangelikal yang sempat mencicipi kuliah di Jesuit School of Theology, yakni Pdt. Hendra G. Mulia, tetapi hanya mengambil sertifikat sejumlah kursus).
Sekolah ini juga berlatar belakang Jesuit. Katolik, dari tradisi Ignasian (tarekat yang mengikuti St. Ignatius dari Loyola). Tak ada yang meragukan bahwa institusi Jesuit sangat mengedepankan pendidikan yang bermutu. Pikir saya, kalau saya masuk ke sekolah Jesuit, saya akan memiliki akses ke-28 universitas Jesuit, sehingga kalau-kalau saya mampu untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi, maka kesempatan untuk masuk ke institusi yang bernaung di bawah serikat universitas Jesuit menjadi lebih besar. Dan, belum ada seorang Injili yang masuk ke sekolah Jesuit untuk S-2-nya.
Bukan hanya itu. Daya pikat sekolah ini satu lagi. Ekumenikal. Sekolah ini didukung oleh 14 denominasi, yang benar-benar berupaya agar tercipta iklim semangat ekumenis yang sebenarnya. Sekolah ini berhasil menarik perhatian mantan sekretaris jenderal Dewan Gereja-gereja di Amerika Serikat, Pdt. Dr. Michael Kinnamon, untuk menjadi dosen tamu yang dikontrak selama 3 tahun (2012-2015). Berikut ini kesaksian Dr. Kinnamon:
Before I talk, I want to say something. Actually, three things.
First, I accepted the offer to join the faculty of Seattle University’s School of Theology and Ministry in large part because I believe it is better positioned than practically any other theological school in the country to prepare Christian leaders for this era when ecumenical and interfaith relations are so vitally important. At a time when many denominational seminaries are struggling with costly campuses and unwieldy administrative structures, STM offers a new model--and one that insistently bridges the historic Protestant-Catholic divide. I am very aware that two white Protestant guys named Michael do not fully reflect the diversity of the body of Christ! But I am convinced that over the next three years, the time I will be here as Visiting Professor before retirement, Michael and I, working closely with our faculty and staff colleagues at STM, can enhance what is already a strong program of ecumenical and interfaith studies. And all of us on the STM faculty recognize that you are also our colleagues in this ministry. Thank you for your support of STM and for coming to be with us this evening.
I want to note, by the way, that it is certainly possible to be interdenominational without being ecumenical. STM has not fulfilled all righteousness simply by having students from different traditions in the same classroom. A truly ecumenical school of theology will insist on teaching the biblically-grounded vision of unity in Jesus Christ and on sharing with one another the gifts that God has entrusted to us in the one, holy, catholic, and apostolic church. We who teach at STM ask you to help hold us accountable to this understanding of our task.
Sekolah ini menawarkan model baru yang menjembatani skisma antara Protestanisme dan Katolisisme. Jiwa dan semangat ekumenis mengemuka. Saya pikir, bersekolah di tempat ini akan sangat exciting. Sebab, arah dan jiwa saya cenderung disemangati oleh semangat berekumenika. Namun, saya masih minim pengetahuan mengenai hal ini. So, why not? Dalam 3 tahun akan bergaul dengan salah satu tokoh ekumenika ternama!
Akhirnya, tentang biaya. Sekolah ini sangat sedikit memberikan beasiswa. Padahal ini sekolah mahal oleh sebab swasta, dan berada di tengah kota besar! Bagaimana mungkin saya bisa menutup biaya? Syukur kepada Tuhan, saya dapat menekan biaya tempat tinggal, oleh sebab ada yang menampung selama saya berstudi. Kedua, dekan sekolah ini memanfaatkan wakil gereja Mennonite untuk meminta dukungan dari gereja Mennonite di kota Seattle bahwa akan ada seorang pendeta Mennonite menjadi mahasiswa. Dari wakil Mennonite segera ada sambutan baik! Ada dua gereja yang mau menjadi pendukung saya, dan itu berarti saya akan aktif melayani di dua gereja ini: yang satu dekat sekali dengan tempat tinggal, yang satu agak jauh, namun letaknya sangat indah karena di pantai kota Seattle. (Konon kabarnya, akan ada dukungan pula dari gereja University Church United Church of Christ. Semoga saja.)
No comments:
Post a Comment