6. Katherine Sonderegger
Katherine Sonderegger sekarang mengajar di Virginia Theological Seminary, seorang sarjana Barth, dan pendeta gereja Episcopal. Sonderegger baru saja menerbitkan volume 1 dari trilogi sistematika Systematic Theology: The Doctrine of God (2015). Volume 2 akan difokuskan pada Trinitas dan Kristologi, Kristologi yang didefinisikan dari doktrin Trinitas (2017). Volume 3 akan didedikasikan pada karya Allah di dalam dunia: penciptaan dan providensia, gereja dan dunia, serta eskatologi. Dari urutan ini, pembaca diingatkan pada serial sistematika karya teolog Lutheran kenamaan Robert W. Jenson, yang juga sarjana Barth dan doktorat yang kedua di bawah bimbingan Karl Barth sendiri: The Doctrine of God & The Work of God (1997 & 1999). Namun, Sonderegger mengambil sudut pandang yang berbeda dari Jenson. Jenson bertitik pijak pada teologi triniaris, sementara Sonderegger mencurahkan pemikiran pada keesaan--singularitas--Allah. Volume 1 yang masif ini berfokus pada atribut-atribut Allah dan dengan demikian Sonderegger menggugah kesadaran pembaca akan pentingnya doktrin era skolastik De Deo Uno, satu Allah yang berpijak padaShema Israel (Ul. 6:4). Bagi Sonderegger, berdialog dengan Yudaisme adalah sebuah karunia, yang di dalamnya iman Kristen berbagi keyakinan mengenai keesaan Allah.
Karya teologi sistematika masif seperti ini sudah jarang dibuat oleh teolog Kristen arus utama (lihat yang terakhir adalah karya Jenson di tahun 1999). Apakah karya Sonderegger akan mampu diperhitungkan di kancah perteologian Kristen? Walahualam. Hemat saya, Sonderegger mengambil langkah yang berani untuk tidak berpijak pada teologi trinitaris, dengan harapan Kekristenan dan dengan demikian dapat dikatakan lebih membuka peluang berdialog dengan Yudaisme dan Islam.
7. Roger Haight, SJ
Pada tahun 2005, Kongregasi Doktrin Iman Vatikan mengeluarkan keputusan bahwa Roger Haight, SJ tidak boleh mengajar doktrin Kristologi di institusi Katolik dan di mana pun karena ada kesalahan yang fatal di dalam bukunya Jesus Symbol of God, maklumat yang dikeluarkan oleh kongregasi tersebut setelah melewati lima tahun investigasi. Haight dinilai telah menyalahi doktrin-doktrin fundamental dalam Kekristenan dan sangat lunak terhadap pluralisme agama-agama. Haight, kendati begitu, tetaplah seorang sarjana dan teolog andal. Ia mendekatkan teologinya ke teologi pembebasan. Kini bernaung di Union Theological Seminary, NY, sebagai scholar in residence, Haight tetap mendedikasikan diri pada menulis dan mengajar. Karya penting yang dihasilkan kemudian adalah multivolume tentang gereja Christian Community in History: Historical Ecclesiology (2004), Comparative Ecclesiology (2005) dan Ecclesial Existence (2008). Karya ini adalah kontribusi penting Haight pada diskusi ekklesiologi.
Haight juga menulis dua buku spiritualitas yang berbasis pada Latihan-latihan Rohani dari St. Ignatius Loyola dan teologi sistematika, berturut-turut judulnya Christian Spirituality for Seekers: Reflection on the Spiritual Exercises of Ignatius Loyola (2012) dan Spirituality Seeking Theology. Walau saya sangsi bahwa pembaca awam mampu menangkap dengan cepat kerangka teoritis dan hermeneutisnya di Christian Spirituality for Seekers, Haight justru memberi kontribusi besar tentang bagaimana karya spiritualitas Kristiani dapat dipakai oleh kaum non-Kristen dan bahkan oleh kaum nones (yang tidak berafiliasi dengan agama apa pun). Dari buku-buku Haight, tampaknya ia cukup dipengaruhi oleh pemikiran Paul Tillich khususnya paham tentang Allah sebagai "dasar segala keberadaan" dan tentang kebudayaan.
8. M. Shawn Copeland
Shawn Copeland adalah seorang teolog perempuan kulit hitam Katolik di Boston College. Hingga saat ini, Copeland belum banyak menulis buku, namun sudah menerbitkan banyak artikel di jurnal-jurnal. Tulisan-tulisan Copeland mengetengahkan pengalaman perbudakan kulit hitam dan khususnya perempuan. Di buku terbarunya, Enfleshing Freedom: Body, Race, and Being, Copeland menegaskan bahwa kemanusiaan seutuhnya tidak mungkin dipisahkan dari pengalamanyang konkret dan menubuh, pemahaman yang penuh yang diresapkan lewat pengalaman penderitaan dan penindasan dalam sejarah. Dengan kata lain, Copeland ingin mengatakan bahwa teologi tidak bisa lepas dari pengalaman historis. Ketika teologi direfleksikan dalam ruang yang imun dari kenyataan konkret, kenyataan akan adanya ketidakadilan dan ketimpangan ras dan gender, maka teologi tidak akan turut andil dalam transformasi dunia. Karena itu, penghayatan tentang dunia, gereja, dan ekaristi tidak bisa dipisah-pisahkan. Teologi harus peka terhadap tubuh.
Mengapa Copeland saya pilih? Dua alasan: (1) teologi Protestan tidak menganggap penting penghayatan akan tubuh. Protestanisme lebih banyak berdiskusi mengenai Allah dan kedaulatan-Nya dan apakah manusia memiliki kemerdekaan (kehendak bebas). (2) Copeland adalah teolog perempuan kulit hitam pertama yang menulis disertasinya tentang Bernard Lonergan (belum diterbitkan), teolog Jesuit Amerika Utara kenamaan. Kita masih menunggu bagaimana Copeland menggarap teologi tubuh ini selanjutnya. Namun ada sedikit catatan pinggir tentangnya. Ketika berjumpa dengan Copeland, dia dulu punya teman dari Indonesia yang juga mengambil doktorat di Boston College (dan Andover Newton Theological School). Saya menukas, "Eka Darmaputera!" Dia membetulkan dan bertanya, "Di mana dia sekarang?" Saya jawab bahwa Pak Eka sudah meninggal. Professor Copeland berkata, "What?! Where was I? Why did I not hear that?"
9. Michael Amaladoss, SJ
Lebih suka untuk menentukan pilihan siapa teolog di luar konteks Eropa dan Amerika Serikat, tapi kepada seorang dosen pernah saya katakan bahwa saya iri dengan teolog-teolog India karena mereka tidak pernah kehilangan sumber berteologi. Saya memilih pater Amaladoss, yang membidangi inkulturasi, misi dan pluralisme, karena saya pernah membaca dua karyanya dan sempat berwawan-rembug dengannya di perpustakaan Seattle University, sewaktu dia diundang sebagai pembicara tamu. Tidak banyak yang tahu pasti, bahwa Amaladoss adalah seorang pemikir yang prolifik, hal ini bisa dipahami karena akses ke buku-buku terbitan India sangat terbatas. Tapi cobalah dapatkan buku-bukunya, seperti yang pernah diterbitkan dalam bahasa Indonesia Teologi Pembebasan atau buku yang sangat mudah dibaca tentang Yesus Asia (tersedia murah di Kindle saat ini, hanya $2). Amaladoss juga sedang mengembangkan teologi subaltern dan pascakolonialitas di India dan kini sedang menulis buku doktrin Allah yang judul tentatifnya The Dancing God. Dari judulnya kita dapat memikirkan bahwa ia sedang menggarap sebuah topik yang mengaitkan teologi Kristen dan Hindu.
Seorang yang berpikir kreatif dan konstruktif, sayangnya, seringkali mengalami tantangan dari pihak organisasi. Dalam beberapa tahun ini, Rm. Amaladoss beraudiensi dengan Kongregasi Doktrin Iman di Vatikan dikarenakan kecurigaan adanya penyimpangan ajaran di dalam bukunya. Walaupun belum diputuskan mengenai sanksi terhadap Amaladoss, namun Amaladoss memilih untuk menenangkan diri dan berdiam diri. Beberapa tahun lalu mentornya, yang tak lain adalah Jacques Dupuis yang menerbitkan buku Toward a Christian Theology of Religious Pluralism (2001) juga mengalami investigasi oleh pihak kongregasi dan tidak boleh mengajar di Universitas Gregoriana pada tahun 1997. Hal ini belum terjadi pada Amaladoss. Kita masih menunggu beritanya.
10. Ilia Delio, OSF
Ilia Delio adalah seorang suster dari ordo Fransiskan dan bukan teolog sistematika. Bidang keahliannya adalah teologi historis dengan konsentrasi pada pemikiran St. Bonaventura dan ilmu pengetahuan. Ia memiliki dua doktor dalam bidang kimia dan teologi historis. Sekarang ia menjadi direktur Woodstock Theological Institute yang bernaung di Georgetown University, D.C. Adalah penting bagi teolog sistematika untuk mendengarkan suara seperti Delio. Ia mengusung kembali pemikiran St. Bonaventura, profesor teologi di Paris, uskup Katolik, imam Fransiskan. Di zamannya, Bonaventura adalah suara Agustinian konservatif, sebaliknya Thomas Aquinas adalah pemikir progresif yang melepaskan diri dari pengaruh Agustinian-Platonik. Delio menyajikan kembali keindahan visi dan teologi Fransiskan dalam kancah perteologian, khususnya dalam diskusi mengenai kosmologi, evolusi dan teologi. Peminat nisbah ilmu pengetahuan dan teologi seyogianya mencatat nama Delio.
Dari sekian banyak tulisannya, yang menurut saya merupakan sintesis matang dari Delio adalah buku Christ in Evolution (2008), The Emergent Christ (2011) dan The Unbearable Wholeness of Being: God, Evolution and the Power of Love (2013). Dalam buku pertama Delio mengkaji pemikiran Teilhard de Chardin mengenai visi christic universe, bahwa dunia sedang bergerak menuju kepada Kristus. Buku kedua lebih berfokus pada menggali kembali visi Katolisisme dalam kaitan dengan ilmu pengetahuan. Di buku ketiga, Delio mendedah kesalingterjalinan semua yang ada di alam raya. Delio memang bukan teolog sistematika, tetapi Delio membantu para sistematikus bertanya seperti ini: Kita memiliki teologi, doktrin dan dogma, dan kita tidak perlu (boleh) meninggalkannya. Tapi kita hidup dalam percepatan penemuan ilmu dan teknologi. Maka, bagaimana kita mengartikulasikan teologi dan tradisi kita dalam konteks modern?
***
Saya tergoda untuk menambah satu nama lagi yaitu Joas Adiprasetya, seorang pakar sistematika dan pengajar di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta. Mengapa Adiprasetya? Karena dia tengah mempersiapkan sebuah proyek penulisan buku teologi sistematika yang baru, sebuah buku teologi sistematika yang saya prediksi akan menggantikan karya agung alm. Harun Hadiwijono, dan yang metodenya dibangun dan dikembangkan dari satu kata di subjudul bukunya yang sudah terbit An Imaginative Glimpse (2013)--"partisipasi." Sebab itu, Adiprasetya pun harus dipandang sebagai teolog yang melanjutkan proyek teologi yang sudah dimulainya lewat terbitan sebelumnya. Kapankah akan terbit dan dapat dinikmati khalayak luas? Semua pasti menantikannya. Turut mendoakan.
No comments:
Post a Comment