Saya tidak terlalu menaruh minat pada diskursus pernikahan gay di Amerika Serikat. Saya tidak ikut-ikutan mengganti gambar profil saya dengan pelangi a la Facebook. Saya jarang menautkan tulisan yang mendukung atau menolak posisi gay. Saya memilih untuk tidak merayakannya atau mengecamnya.
Bukan sebab saya tidak menaruh minat pada masalah gender dan seksualitas. Bukan pula karena saya takut dilabeli konservatif atau liberal, ortodoks atau bid’ah. Bukan saya takut hujatan atau dukungan baik dari teman maupun lawan. Ada tiga alasan:
Pertama, masalahnya adalah Amerika Serikat. Karena ini menyangkut AS-lah maka seluruh dunia heboh. Seolah-olah, amatan saya, dunia baru baru melek pernikahan gay karena keputusan Mahkamah Agung Amerika Serikat. Padahal sejumlah negara di Eropa bahkan Canada sudah mengesahkan hal ini beberapa tahun lalu. Tapi, berita-berita seputar ini tidak meggegerkan seisi tata surya, karena bukan Amerika Serikat.
Baru setelah Amerika Serikat mengambil keputusan, berbagai postingan di Facebook baik yang bergempita maupun yang meng-anathema bermunculan. Sayangnya sikap ini kemudian menjadi batu-bata untuk membangun tembok pemisah antara kaum tradisional dan progresif. Tak terkecuali di Indonesia. Sayang sekali.
Terus terang, Amerika Serikat berhasil menjual berita ini. Mari disadari, banyak kaum beragama, tak terkecuali Kristen, mengiblatkan keagamaan mereka (kita?) ke Amerika Serikat. Kendati pun tidak setuju dengan keputusan MA-AS, namun kehebohan di media sosial menentang ini menunjukkan Amerikalah yang menjadi pengendali keberagamaan banyak orang di pelbagai belahan dunia.
Bukan hanya itu, tetapi gaya meresponsnya, baik yang menentang maupun yang membela, suka mirip gaya Amerika. Bahasanya anak muda, “Amerika bingits!” Saya sadar dengan generalisasi berikut; tidak semua orang Amerika tentu seperti ini. Tetapi pernyataan senada dikeluarkan oleh Cardinal Wuerl dari Keuskupan Agung Washington D.C. ketika menanggapi reaksi Rush Limbaugh atas encyclical Paus Fransiskus Laudato si, “Kita orang Amerika begitu mudahnya untuk berbicara.”
Orang Amerika yang saya tahu banyak yang suka bicara. Cepat sekali menanggapi dan merespons (atau bereaksi). Antusiasme mereka besar, baik setuju atau tidak setuju. Misalnya di dalam kelas, ketika guru memberikan kesempatan, para murid lekas-lekas menanggapi. Ada baiknya, tentu saja.
Tapi sikap yang begini sangat dangkal. Tidak ada kedalaman dan kematangan gagasan. Tidak ada tujuan dan arah ke depan yang tergambar bening. Tidak ada pertimbangan yang bening. Yang lebih meresahkan, mereka yang berbeda pandangan jadi kelihatan bukan Kristen—dari kedua kutub.
Jadi, berapa lama lagi Amerika Serikat mengendalikan cara beragama dunia?
2. Seksualitas itu begitu sensual, jauh lebih menggairahkan ketimbang isu-isu keadilan lainnya. Dosa seksual lebih ditekankan di mimbar-mimbar agama. Pendosa yang kedapatan dosa seksual lebih gampang kena siasat gereja ketimbang para tengkulak atau bos perusahaan yang memberi karyawannya gaji minim.
Saya coba buktikan pernyataan ini. Padahal beberapa hari sebelum keputusan MA-AS tentang pernikahan gay, ada kejadian penembakan di Charleston. Setelah keputusan, sejumlah gereja kaum hitam dibakar. Paus mengeluarkan dokumen yang sangat penting,Laudato si, salah satu dokumen gereja yang vital untuk kehidupan bumi—“rumah kita bersama,” kata Bapa Suci. Tapi setahu saya, tidak ada seorang sahabat Indonesia di Facebook yang mengangkat masalah ini.
Tapi tiap jam, ada saja teman yang menautkan berita tentang pernikahan sejenis. Sepertinya ini dosa di atas segala dosa. Menarik juga perkataan Pdt. Kevin de Young dari asosiasi teolog dan pendeta Injili Amerika Serikat The Gospel Coalition yang dirilis kemarin, dia katakan bahwa dosa seksual bukan dosa terbesar di dalam Alkitab, tetapi ketidakpercayaan (unbelief).
Tidakkah makin lucu? Sudah keberagamaan berkiblat ke Amerika, isu yang dianggap vital cuma seputar alat genital (maaf). Padahal, agenda kaum beragama bukan sekadar mengurus masalah seks.
Saya lebih tertarik bertanya apa selanjutnya setelah pernikahan sejenis. Tapi bukan masalah penis dan vagina (lagi-lagi, beribu maaf): apakah selanjutnya yang akan dilegalkan adalah poligami atau pedofilia?
Setelah kaum gay menerima haknya, sekarang siapa yang di depan mata kita, jelas, konkret, nyata, sedang terjadi, yang masih tidak dianggap manusia, yang dianggap liyan, dan tidak mendapatkan hak untuk mengatur kehidupannya sendiri, yang tiap hari berada di dalam ancaman ketakutan dan kecemasan. Kalaupun bicara tentang Amerika, tidakkah perlu bicara tentang ketidakadilan dan ketimpangan yang lain?
Di Indonesia, siapa yang tidak punya hak untuk mengambil keputusan dalam hidupnya? Apa yang dapat kita lakukan secara bersama-sama, untuk saudara-saudari yang tempat ibadahnya ditutup atau dirusak? Apa yang bisa dikerjakan oleh kaum beragama atas kerusakan alam di berbagai wilayah kepulauan Nusantara karena keserakahan sejumput manusia? Apa yang bisa dilakukan bersama-sama untuk para korban tragedi 1965, dan tragedi-tragedi kemanusiaan yang lain, termasuk mereka yang hilang sampai sekarang?
3. Alasan ketiga sangat jelas, tidak sesuai dengan Alkitab, otoritas tertinggi dalam iman Kristen. Pernikahan sejenis tidak ada di dalam Alkitab, sehingga, ketika sebuah praktik tidak ada di dalam Alkitab, tidakkah ini menyimpang?
Alkitab jelas katakan, “Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging” (Kej. 2:24). Yesus mengutip perkataan ini di Matius 19:5. Istri di sini tentu seorang perempuan. Ini ayat mas pernikahan. Jadi, tidak ada dasar untuk pernikahan sejenis. Pernikahan sejenis tentu menyimpang. Ya, menyimpang, sama menyimpangnya ketika ayat ini dipakai dan dikutip dalam pernikahan antara seorang laki-laki dan perempuan pada masa kini. Lho, kok bisa?
Benarlah ayat ini berkata satu laki-laki dan satu perempuan. Tapi perhatikan subjeknya, “seorang laki-laki.” Bukan perempuan. Seorang laki-laki yang memilih pergi dan bersatu dengan istrinya. Bukan perempuan. Seorang laki-laki yang memilih pasangannya. Bukan perempuan. Orangtualah yang memiliki hak untuk menentukan pasangan bagi anaknya. Bukan perempuan.
Perempuan, duduklah. Berdiam dirilah di dalam kamar. Pakailah cadar sampai seorang laki-laki yang dipilihkan bagimu datang menghampiri. Itulah yang terbaik bagimu. Tidak boleh seorang perempuan memilih pasangannya sendiri. Tidak boleh seorang perempuan berpacaran. Tidak boleh seorang perempuan hangout bareng pacar ke mal atau warung bakso. Yang paling berhak dan yang paling baik adalah menantu yang dipilihkan oleh orangtuamu, karena mereka sudah makan asam garam kehidupan.
Ketika sang anak perempuan menuntut hak untuk memilih pasangannya sendiri dan meminta restu kepada orangtua untuk calon pasangan hidupnya, ia sudah menyalahi aturan Kejadian 2:24. Orangtua anak perempuan itu pun bersalah. Yang berkuasa besar di sini adalah laki-laki. Perempuan bukan menjadi “yang diempukan” tetapi “yang direngkuh” dan dijadikan barang kepunyaan laki-laki. Dari zaman Siti Hawa sampai Siti Nurbaya, inilah yang terjadi. Inilah pernikahan tradisional itu. Inilah pernikahan yang dicatat di dalam Alkitab. Inilah arti Kejadian 2:24.
Dasar pernikahan gay memang tidak ada di dalam Alkitab. Tapi dasar “alkitabiah” untuk pernikahan modern tidak cukup jelas. Kalau mau sungguh jelas, ketimpangan ada di pihak perempuan.
Jangan lupa, Yesus pun mengutip Kejadian 1:27, “Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka.” Benar. Tapi kiranya perintah setelah itu pun tidak di-discount: “Beranakcuculah dan bertambah banyak.”
Makin banyak anak, makin baik. Dalam alam pikir orang Yahudi zaman itu, makin banyak anak, tanda seseorang makin diberkati. Berapa pun anak yang diberikan oleh Allah, itu baik. Setiap kali pasangan melakukan hubungan seksual, yang terpikir mestinya prokreasi: Allah akan memberikan satu lagi keturunan—berkat Allah!
Alias, tidak boleh ada pembatasan anak. Tidak boleh ada Keluarga Berencana. Tidak boleh memakai kontrasepsi. Pembatasan anak dan kontrasepsi itu menyalahi tata aturan Allah di ayat ini.
Apakah masih relevan sampai sekarang? O ya, kenapa tidak? Coba kita pikir: Apakah orang Kristen tidak takut mengenai jumlah orang Kristen sedunia lima puluh tahun mendatang? Apakah orang Kristen akan tetap menjadi mayoritas di tahun 2050? Tidak. Bagaimana nanti jikalau kejahatan atas nama agama bertambah karena orang Kristen yang menjadi pemberita agama damai lebih memilih membatasi jumlah anak? Bukankah seharusnya jika multiplikasi secara natural orang Kristen sebagai terang dunia itu tidak dibatasi?
***
Apakah saya mendengar gumaman, “Bukan itu maksud Alkitab!” Apakah saya mendengar suara lirih pembaca, “Ngawur bacanya Alkitab! Alkitab harus dibaca sesuai konteks zaman itu.” Tepat. Suara itulah yang ingin saya dengar di poin (3) ini. Saya tidak setuju dengan paparan saya sendiri di atas tersebut.
Saya hanya ingin mengajak pembaca untuk tidak literalis, harfiah, asal ada ayatnya, asal ada di Alkitab. Ketika kita cari dukungan ayat, perlu kita ingat bahwa pasti ada ayat lain yang dapat ditunjukkan sebagai pelawan ayat yang kita kemukakan.
Saya tidak menawarkan kita untuk interpretif yang mencari makna asli dari satu bagian Alkitab lalu diterapkan untuk saat ini. Saya sudah contohkan untuk dua ayat di atas. Hasilnya? Tidak mungkin untuk dilakukan.
Saya mengajak pembaca untuk hermeneutis, membaca teks suci dari dalam, bersama, dan melampaui konteks hidup kita.
Agama yang hermeneutis menerima fakta bahwa pemahaman kita akan teks suci terbatas. Kitab Sucinya tidak berubah, tetapi pemahaman kita terhadap kitab suci itulah yang selalu dikondisikan oleh bermacam-macam konteks. Jadi, posisi doktrin kita bisa berubah, tetapi justru ini menunjukkan bahwa kita serius bergumul dengan kitab suci; kita membaca kitab suci terus-menerus. Di sinilah justru menunjukkan kecintaan kita yang mendalam kepada Allah, sesama dan seutuh ciptaan.
Bagaimana menjadi agama yang hermeneutis dalam konteks LGBTQ? Sekali lagi, saya tidak terlalu berminat pada debat di seputar penis dan vagina. Saya ingin meluaskan pertanyaan begini: Bagaimana menjadi agama yang hermeneutis dalam konteks ketidakadilan—sosial dan ekologis? Daripada menjadi umat yang membaca kitab suci untukkaum liyan, tidakkah lebih baik membaca kitab suci bersama kaum liyan? Dengan menghadirkan mereka untuk duduk bersama umat, mendengarkan langsung cerita-cerita hidup mereka, pergulatan batin dan kesulitan hidup mereka, umat beragama diajak untuk berefleksi:
(1) Siapa Sang Ilahi menurut kaum ini?
- Gambaran Allah seperti apa yang mereka kenal?
- Apa yang mereka yakini tentang pekerjaan Allah dalam hidup mereka?
(2) Siapa kaum ini di mata Sang Ilahi?
- Apakah Allah mengasihi mereka?
- Apa tujuan yang Allah tetapkan bagi mereka?
Biarkan ada ruang tanpa kata-kata setelah mendengarkan tuturan sang liyan (silence).
Jangan ada sanggahan atau reaksi intelektual.
Belajarlah untuk menerima (receiving) dari yang lain.
Menerima (receiving) belum tentu menyetujui (accepting) atau meyakini (affirming). Umat bisa tidak setuju dengan pandangan mereka. Selanjutnya adalah tugas refleksi teologis intern dari umat beragama, refleksi yang dilakukan setelah ada pengalaman nyata. Pengalaman yang dilakukan dengan perjumpaan secara langsung, mendengar, dan memberikan ruang tanpa kata-kata (silence) itu.
***
Akhirulkalam, saya tidak akan menjawab apakah saya setuju dengan pernikahan sejenis atau tidak, dan apakah saya bisa memberikan argumentasi yang mendukung atau melawannya. Bisakah kita beriman melampaui akal dan genital?
Iman mestinya dimulai dari pertanyaan-pertanyaan. Pertanyaan apa yang kita punya saat ini: tentang Allah, sesama dan bumi “rumah kita bersama” ini? Kadang, kita tidak tahu jawabannya sekarang, tetapi mengartikulasikan pertanyaan yang hakiki, inilah yang penting. Sembari pertanyaan itu tetap kita renungkan, kita berjalan maju, maju melangkah dalam Misteri.
(edit terakhir 2 Juli 2015)
No comments:
Post a Comment