Mungkin ini salah satu shock culture yang cukup signifikan yang kualami. Sistem pendidikan yang berbeda dari yang pernah kuterima. Merujuk kembali kisahku di Our Stories, the Unfinished Stories, masa tiga minggu pertama adalah masa yang paling susah bagiku untuk beradaptasi dengan sistem pendidikan di sini. Aku merasa tidak bisa apa-apa; rasanya berat untuk mengikuti perkuliahan. Tiga kelas yang kuambil: Theology in the Ecumenical Context, Christian Ethics, dan Spiritual and Religious Values in the Public Square di kuartal yang pertama. Sekarang, dua hal yang ingin kuceritakan: sistem kuartal dan cara belajar dan cara pembelajaran kelas.
Sistem kuartal sendiri merupakan tantangan baru. Sebelum masuk, aku dipenuhi rasa ingin tahu, karena sistem ini berbeda. Setelah masuk, dengan tiga minggu masa adaptasi itu, aku merasa sistem ini memiliki tingkat stres yang berbeda dengan sistem semester. Sistem kuartal adalah sistem sepuluh minggu perkuliahan. Setahun dibagi menjadi tiga kuartal: Fall, Winter dan Spring.
Kenapa lebih berat? Karena hanya sepuluh minggu perkuliahan. Ini berarti, absen sekali saja sudah akan ketinggalan, dan sangat merugikan diri sendiri. (Rugi juga karena jika dihitung, satu pertemuan harganya lebih dari dua juta rupiah!) Dalam sistem yang secepat ini, nyaris sulit untuk mempersiapkan riset yang mendalam dan komprehensif atau untuk membuat makalah riset panjang. Ditambah lagi, STM adalah kampus commuting studentsyang kebanyakan mahasiswanya tinggal jauh dari kampus dan harus pergi-pulang dengan jarak jauh. Oleh sebab itu, para dosen tidak terlampau menekankan aspek riset akademis di kampus ini.
Bicara tentang sistem kuartal, sepertinya institusi yang mempengaruhi adalah kampus tetangga yang jauh lebih besar, University of Washington. Universitas ini adalah milik negara, dan salah satu universitas riset negeri yang terbaik di negeri ini. Mereka memberlakukan sistem kuartal. Itulah sebabnya, universitas yang lebih kecil seperti kampusku pun mengikuti sistem ini.
Sistem ini tidak hanya memberatkan mahasiswa, tetapi juga dosen. Pernah suatu kali kutanya bosku (direktur ibadah dan liturgi STM), apakah semua kampus di Washington State memakai sistem kuartal, dia berkata tidak. Washington State University dan Pacific Lutheran University, sebagai contoh, tidak memakai sistem kuartal tetapi semester. Sistem kuartal juga memberatkan profesor-profesor, katanya. Sebab para profesor kebanyakan datang dari latar belakang pendidikan semester, dan masuk ke SU dengan sistem kuartal. Dalam satu kuartal, seorang profesor sudah harus mempersiapkan mata kuliah baru untuk kuartal depan. Dalam setahun, ia harus memikirkan untuk mengampu kelas-kelas dalam tiga termin, selain juga tuntutan untuk riset. Ini beda dengan sistem kuartal yang hanya dua termin.
Dari profesor yang kuanggap mentor (kapan-kapan akan kuceritakan) pun dirasanya sistem semester lebih baik, lebih baik karena mahasiswa lebih punya waktu untuk berefleksi dan mengendapkan materi. Padahal, dia dulu juga mengambil doktorat di institusi dengan sistem kuartal, University of Chicago.
Kedua, masalah cara belajar-mengajar di kelas. Tiga kelas yang kuikuti memiliki kharakteristiknya masing-masing. Kelas pertama adalah Theology in the Ecumenical Context, di sinilah aku mengalami cara perkuliahan seminar untuk pertama kalinya. Pengampu mata kuliah ini dua orang, mereka selalu hadir dalam tiap pertemuan. Satu dosen senior yang menjadi profesor tamu di STM, dari latar belakang Christian Church (Disciples of Christ), dan pernah menjabat sebagai sekretaris umum National Council of Churches, Amerika Serikat, dan satu dosen lain dari latar belakang Lutheran yang mengambil doktorat di Loyola University Chicago. Dosen menyediakan coursepack tebal lebih dari 300 halaman (seperti reader, yang semua bacaannya mendapatkan izin cetak ulang dari penerbit asli) selain satu buku pegangan. Mahasiswa diwajibkan membaca materi sebelum kuliah, dan kelas sifatnya diskusi materi. Ini pula kali pertama aku berkenalan dengan sistem perkuliahan jarak jauh; ada dua orang yang tinggal di kota lain yang ikut dalam perkuliahan ini.
Kelas kedua adalah Christian Ethics yang diampu oleh seorang profesor perempuan berlatar belakang tradisi Lutheran (ah sayang, dia pindah ke Berkeley untuk mengajar di seminari Lutheran di sana mulai tahun ini!), yang dikenal sebagai pakar etika ekonomi dan ekologi. Dari kelas ini aku mendapatkan kata-kata white privilege yang kemudian terus terdengar sepanjang masa kuliahku. Di kelas kami membahas bukunya yang baru tentang melawan kejahatan struktural. Jadi etika Kristen baginya adalah sebuah perlawanan terhadap dosa-dosa struktural dan sistemik. Ini hal yang baru bagiku, karena pendidikan teologiku yang pertama tidak pernah menyebut-nyebut dosa terkait dengan struktur.
Pertemuan kelas dibuat seperti bentuk diskusi kelompok-kelompok. Setiap kali pertemuan, selain kami sudah harus membaca materi, kami pun harus mendiskusikannya dalam kelompok masing-masing. Juga, mahasiswa harus memilih proyek di luar kelas atasprivilege yang dia punyai. Ada yang memilih white, male, economic, gender, dan sebagainya. Aku kebingungan untuk menentukan proyek yang kubuat. Akhirnya aku membuat proyek melawan kemiskinan (tidak ada waktu untuk bercerita di sini). Yang aku mau kukatakan adalah, sebagai orang baru, tidaklah mudah bagiku untuk menentukan apa yang bisa kukerjakan.
Kelas ketiga adalah Spiritual and Religious Values in Public Square, diampu oleh dekan STM sendiri. Alamak, bacaannya setumpuk dan tebal-tebal. Juga, semuanya tentang budaya dan religiositas Amerika. Sistem pengajarannya lecturing, dan ini adalah kelas terbesar yang pernah kuikuti di STM (28 orang). Bukan ini saja, instruktur mewajibkan mahasiswa berdiskusi dengan memanfaatkan e-class (waktu itu kampus bekerja sama dengan Canvas). Tiga minggu aku tidak bisa berkontribusi apa-apa di depan kelas. Aku lebih banyak diam, sebab bingung mau bicara apa. Ditambah ada rasa malu, karena kelas besar, dan bahasa Inggrisku tidak bagus. Mulailah di minggu keempat aku berbicara sedikit.
Beberapa minggu setelah mengikuti ketiga kelas, aku berkenalan dengan seorang teman dan dia bertanya kelas apa saja yang kuambil. Kusebutkan ketiga itu, dan dia terbelalak, sambil berkata, "Itu semua kelas yang berat!" Entah juga. Aku belajar untuk menikmatinya. Toh sudah terlanjur ambil dan tidak mungkin dibatalkan. Sisi baliknya dari tantangan ini aku berpikir, lebih baik aku ambil kelas yang berat sekarang, sehingga dapat kuukur kemampuanku sendiri dan ini akan memudahkanku untuk mengambil kelas-kelas yang lebih mudah.
Walaupun STM sendiri tidak menekankan aspek riset, aku selalu terinspirasi oleh realitas kampus sebagai universitas Jesuit, ordo Katolik yang kuat dalam visi pendidikan. Bukan hanya itu, pertemanan dengan para pimpinan universitas dan mendapatkan akses lintas kampus telah membukakan wawasan untuk mengetahui banyaknya mahasiswa S1 yang cemerlang.
Kebaikan universitas yang tidak terlalu besar dan terintegrasi adalah berita-berita kampus dikirimkan ke semua civitas. Dari situlah kudapatkan mahasiswa-mahasiswa yang mendapatkan beasiswa berkelas semacam Fulbright, Marshall, Truman, dll. Tentu, aku tidak mungkin mendapatkannya. Namun mereka ini toh menginspirasiku untuk maju. Dalam sistem kuartal, mereka bisa maju. Tapi mungkinkah aku "bersaing" dengan mereka? Dari segi bahasa tentulah jauh tertinggal, cara pendidikan pun terbelakang.
Atau, jangan-jangan benarlah kata seorang sahabat baikku: "Pintar dulu, baru sekolah ke luar negeri"? Maksudnya, jangan pikir ke sekolah lagi untuk menjadi pandai atau untuk diajari hal-hal yang baru; mesti punya kapasitas dulu, temukan cara belajar dan riset terlebih dulu, baru kemudian ke luar negeri untuk sekolah lagi. Karena kuliah ke luar negeri, walau tampak mentereng, tetapi tidak menjamin lebih baik dari yang tidak pernah ke luar negeri.
Seattle, 19 Juni 2015
No comments:
Post a Comment