Buku-buku Favorit
Monografi kebanyakan masih bersih. Tertata rapi di rak perpustakaan. Atau, terpak di bagian paling bawah kardus bersama buku-buku lain yang jarang dibaca. Jarang dijamah. Sebaliknya, buku yang sudah kumal, lusuh, berubah warnanya biasanya buku-buku renungan praktis, ilustrasi atau kisah-kisah motivasi.
Mengenang masa lalu, sewaktu masih berada di seminari, mata kuliah praktika—khususnya ilmu berkhotbah—mendapatkan rating tertinggi. Mata kuliah favorit gitu deh. Para mahasiswa berburu ilustrasi. Buku yang berada di deretan buku-buku di rak meja belajar lagi-lagi buku ilustrasi. Lalu, hampir tiap hari terdengar pengumuman, dari atas mimbar maupun di ruang makan, “Saudara, bagi yang membutuhkan naskah kotbah rekan A, silakan mem-photo-copy di perpustakaan.” Begitulah nasib mujur mahasiswa yang khotbahnya dinilai baik dan menggetarkan perasaan orang ataupun yang mampu mencabik-cabik emosi pendengar.
Di akhir semester genap, menjelang mahasiswa praktik pelayanan dua bulan, terjadi perburuan baru. Berburu naskah khotbah. Alasannya rohani. Di ladang nanti pasti banyak pelayanan, sehingga tidak cukup waktu untuk mempersiapkan kotbah. Betapa cukup mengagetkan saya, ketika ada seorang rekan sesama tingkat berkata sepulang pelayanan dua bulan, “Yok, makasih ya, kotbahmu aku bawain di ladang pelayanan kemarin.” Sama sekali tidak ada masalah bagi saya. Tetapi saya berpikir, apakah yang bersangkutan tidak merasa ada sesuatu yang salah secara fundamental?
Memasuki seminari, saya sudah mengenal nama James D. G. Dunn, ahli PB dari Universitas Durham. Begitu menginjakkan kami pertama kali di perpustakaan, saya kontan mencari buku-buku karangannya. Wah lumayan banyak. Dan bagus-bagus. Ketika sampai di satu rak, buku Unity and Diversity in the New Testament yang jumlahnya 4 kopi masih terlihat bersih. Ada sih yang pernah meminjam, tetapi untuk satu kali peminjaman. Dugaan saya, sang peminjam memakainya untuk membuat makalah tuntutan tugas kuliah. Itu pun kurang lebih sudah 5-7 tahun silam. Bukunya yang lain, Christology in the Making, ada 3 kopi, malah nampak masih bersih, hanya berubah warna karena jamur dan suhu ruangan yang cukup lembab.
Saya sampai di rak lain. Tepat di rak bagian homiletika. Saya mengambil sejumlah buku, karangan John Stott, Bryan Chapell, Haddon Robinson dsb., kertasnya sudah kumal. Aha, tak salah! Buku-buku ini sudah menjadi target foto kopi ilegal para mahasiswa. Kemudian melangkah ke ruang referensi. Sebuah buku tebal tepat di depan mata saya. Encyclopedia of 7700 Illustrations: Signs of the Times. Saya mengambilnya, dan segera mengamati, beberapa halaman sudah lepas-lepas.
Beberapa waktu setelah lulus, saya bertandang ke kampus. Maksud hati mau foto kopi sejumlah artikel. Saya tidur di kamar mahasiswa yang tengah mengerjakan skripsi. Wah, dengan begitu antusias dia menjajar seabreg fotokopian mengenai kotbah, dan bagaimana cara mengomunikasikan kotbah dengan baik. Saya menyimak. Dia bercerita dengan sangat antusias. Dalam hati, saya menduga kawan ini berhasrat sekali menjadi seorang pengkotbah ternama. Paling tidak seperti seorang pengajar favoritnya.
Tidak ada yang salah. Tetapi ada yang berat sebelah. Para mahasiswa teologi Injili mengejar target untuk menawan pendengar dengan gaya kotbah. Tanpa memikirkan dengan cukup betapa pentingnya substansi kotbah. Sampai-sampai ada jemaat yang mencermati, kalau hamba Tuhan X berkotbah, pasti sumbernya adalah Chicken Soup. Mungkin memang benar dapat membuat para pendengar dan jemaat terpana melihat kharisma sang pengkhotbah. Tetapi ironi sering kali saya jumpai. Betapa hati saya trenyuh (Jawa “sedih”) ketika seorang mahasiswa S2 berkotbah di tempat pelayanannya sendiri, seorang majelisnya merasa pernah membaca kotbah yang seperti itu. Selidik punya selidik, majelis tersebut menemukan sumbernya. Ternyata naskah kotbah diambil dari internet! Dikotbahkan kembali. Persis!
Monografi kebanyakan masih bersih. Tertata rapi di rak perpustakaan. Atau, terpak di bagian paling bawah kardus bersama buku-buku lain yang jarang dibaca. Jarang dijamah. Sebaliknya, buku yang sudah kumal, lusuh, berubah warnanya biasanya buku-buku renungan praktis, ilustrasi atau kisah-kisah motivasi.
Mengenang masa lalu, sewaktu masih berada di seminari, mata kuliah praktika—khususnya ilmu berkhotbah—mendapatkan rating tertinggi. Mata kuliah favorit gitu deh. Para mahasiswa berburu ilustrasi. Buku yang berada di deretan buku-buku di rak meja belajar lagi-lagi buku ilustrasi. Lalu, hampir tiap hari terdengar pengumuman, dari atas mimbar maupun di ruang makan, “Saudara, bagi yang membutuhkan naskah kotbah rekan A, silakan mem-photo-copy di perpustakaan.” Begitulah nasib mujur mahasiswa yang khotbahnya dinilai baik dan menggetarkan perasaan orang ataupun yang mampu mencabik-cabik emosi pendengar.
Di akhir semester genap, menjelang mahasiswa praktik pelayanan dua bulan, terjadi perburuan baru. Berburu naskah khotbah. Alasannya rohani. Di ladang nanti pasti banyak pelayanan, sehingga tidak cukup waktu untuk mempersiapkan kotbah. Betapa cukup mengagetkan saya, ketika ada seorang rekan sesama tingkat berkata sepulang pelayanan dua bulan, “Yok, makasih ya, kotbahmu aku bawain di ladang pelayanan kemarin.” Sama sekali tidak ada masalah bagi saya. Tetapi saya berpikir, apakah yang bersangkutan tidak merasa ada sesuatu yang salah secara fundamental?
Memasuki seminari, saya sudah mengenal nama James D. G. Dunn, ahli PB dari Universitas Durham. Begitu menginjakkan kami pertama kali di perpustakaan, saya kontan mencari buku-buku karangannya. Wah lumayan banyak. Dan bagus-bagus. Ketika sampai di satu rak, buku Unity and Diversity in the New Testament yang jumlahnya 4 kopi masih terlihat bersih. Ada sih yang pernah meminjam, tetapi untuk satu kali peminjaman. Dugaan saya, sang peminjam memakainya untuk membuat makalah tuntutan tugas kuliah. Itu pun kurang lebih sudah 5-7 tahun silam. Bukunya yang lain, Christology in the Making, ada 3 kopi, malah nampak masih bersih, hanya berubah warna karena jamur dan suhu ruangan yang cukup lembab.
Saya sampai di rak lain. Tepat di rak bagian homiletika. Saya mengambil sejumlah buku, karangan John Stott, Bryan Chapell, Haddon Robinson dsb., kertasnya sudah kumal. Aha, tak salah! Buku-buku ini sudah menjadi target foto kopi ilegal para mahasiswa. Kemudian melangkah ke ruang referensi. Sebuah buku tebal tepat di depan mata saya. Encyclopedia of 7700 Illustrations: Signs of the Times. Saya mengambilnya, dan segera mengamati, beberapa halaman sudah lepas-lepas.
Beberapa waktu setelah lulus, saya bertandang ke kampus. Maksud hati mau foto kopi sejumlah artikel. Saya tidur di kamar mahasiswa yang tengah mengerjakan skripsi. Wah, dengan begitu antusias dia menjajar seabreg fotokopian mengenai kotbah, dan bagaimana cara mengomunikasikan kotbah dengan baik. Saya menyimak. Dia bercerita dengan sangat antusias. Dalam hati, saya menduga kawan ini berhasrat sekali menjadi seorang pengkotbah ternama. Paling tidak seperti seorang pengajar favoritnya.
Tidak ada yang salah. Tetapi ada yang berat sebelah. Para mahasiswa teologi Injili mengejar target untuk menawan pendengar dengan gaya kotbah. Tanpa memikirkan dengan cukup betapa pentingnya substansi kotbah. Sampai-sampai ada jemaat yang mencermati, kalau hamba Tuhan X berkotbah, pasti sumbernya adalah Chicken Soup. Mungkin memang benar dapat membuat para pendengar dan jemaat terpana melihat kharisma sang pengkhotbah. Tetapi ironi sering kali saya jumpai. Betapa hati saya trenyuh (Jawa “sedih”) ketika seorang mahasiswa S2 berkotbah di tempat pelayanannya sendiri, seorang majelisnya merasa pernah membaca kotbah yang seperti itu. Selidik punya selidik, majelis tersebut menemukan sumbernya. Ternyata naskah kotbah diambil dari internet! Dikotbahkan kembali. Persis!
No comments:
Post a Comment