PENGANTAR
Target terakhir perjalanan misi Paulus sebenarnya adalah kota raja Roma. Ternyata, kota ini telah diinjili. Gereja telah berkembang di sana. Sebagian besar anggotanya adalah orang-orang Yahudi. Teradapat indikasi bahwa sejumlah orang mulai dipengaruhi untuk tidak percaya terhadap Injil yang Paulus beritakan. Dalam pada itu, Paulus melihat peluang besar dalam pelayanannya.
Sebagai sentra imperium adi kuasa, kota ini berpotensi untuk menjadi pusat penginjilan di seantero Roma. Oleh sebab itu, Paulus merasa perlu untuk kembali menyatakan secara terbuka Injil yang dibawanya, sehingga tak lagi disalahtafsirkan, baik oleh mereka yang bersimpati maupun para lawan. Sebelum mengunjungi Roma, ia menulis sepucuk surat yang tak lain merupakan risalah dari pokok-pokok keyakinannya—Surat Roma.[1]
ROMA SEBAGAI RISALAH TEOLOGIS?
Jika Anda melihat Roma, kesan apa yang Anda miliki? Sebagian orang menyebut Roma sebagai risalah yang menyeluruh dan mendalam dari teologi Paulus. Namun, pendapat ini dikendalikan oleh asumsi yang keliru. Modus (mood) Roma jauh lebih reflektif bila dibandingkan Galatia ataupun kedua surat Korintus. Galatia bernada sangat apologetis. Surat-surat Korintus berbicara secara mendalam mengenai Kristologi dan eskatologi. Demikian pun mengenai eklesiologi, penjabarannya sangat terbatas bila dibanding dalam 1 Korintus.
Bila hendak dikatakan lebih lanjut, Roma merupakan elaborasi dari beberapa tema utama dalam Galatia dan 1 Korintus. Lebih dari seabad yang lalu, J. B. Lightfoot menyatakan kaitan antara Surat Roma dan Galatia merupakan sebuah maket dari sebuah patung yang belum jadi. Di Galatia, Paulus berhadapan dengan Yudaisme ekstrem yang ingin menarik jemaat kepada Yudaisme eksklusif. Di samping itu, karena surat ini ditulis tidak jauh dari masa penulisan Surat Korintus, maka pengalaman pribadi yang tergores dalam Korintus turut membekas pula dalam penulisan Roma. John Drane menyimpulkan bahwa Roma lebih baik disebut sebagai suatu argumentasi yang senada dengan Galatia, namun dilihat dalam kacamata peristiwa Korintus.
Target terakhir perjalanan misi Paulus sebenarnya adalah kota raja Roma. Ternyata, kota ini telah diinjili. Gereja telah berkembang di sana. Sebagian besar anggotanya adalah orang-orang Yahudi. Teradapat indikasi bahwa sejumlah orang mulai dipengaruhi untuk tidak percaya terhadap Injil yang Paulus beritakan. Dalam pada itu, Paulus melihat peluang besar dalam pelayanannya.
Sebagai sentra imperium adi kuasa, kota ini berpotensi untuk menjadi pusat penginjilan di seantero Roma. Oleh sebab itu, Paulus merasa perlu untuk kembali menyatakan secara terbuka Injil yang dibawanya, sehingga tak lagi disalahtafsirkan, baik oleh mereka yang bersimpati maupun para lawan. Sebelum mengunjungi Roma, ia menulis sepucuk surat yang tak lain merupakan risalah dari pokok-pokok keyakinannya—Surat Roma.[1]
ROMA SEBAGAI RISALAH TEOLOGIS?
Jika Anda melihat Roma, kesan apa yang Anda miliki? Sebagian orang menyebut Roma sebagai risalah yang menyeluruh dan mendalam dari teologi Paulus. Namun, pendapat ini dikendalikan oleh asumsi yang keliru. Modus (mood) Roma jauh lebih reflektif bila dibandingkan Galatia ataupun kedua surat Korintus. Galatia bernada sangat apologetis. Surat-surat Korintus berbicara secara mendalam mengenai Kristologi dan eskatologi. Demikian pun mengenai eklesiologi, penjabarannya sangat terbatas bila dibanding dalam 1 Korintus.
Bila hendak dikatakan lebih lanjut, Roma merupakan elaborasi dari beberapa tema utama dalam Galatia dan 1 Korintus. Lebih dari seabad yang lalu, J. B. Lightfoot menyatakan kaitan antara Surat Roma dan Galatia merupakan sebuah maket dari sebuah patung yang belum jadi. Di Galatia, Paulus berhadapan dengan Yudaisme ekstrem yang ingin menarik jemaat kepada Yudaisme eksklusif. Di samping itu, karena surat ini ditulis tidak jauh dari masa penulisan Surat Korintus, maka pengalaman pribadi yang tergores dalam Korintus turut membekas pula dalam penulisan Roma. John Drane menyimpulkan bahwa Roma lebih baik disebut sebagai suatu argumentasi yang senada dengan Galatia, namun dilihat dalam kacamata peristiwa Korintus.
Dalam Roma, Paulus bukan saja bermaksud menyiapkan jalan sebelum mengunjungi kota imperial ini, tetapi juga memurnikan beberapa aspek pengajaran yang begitu rentan untuk disalahtafsirkan. Hal seperti ini sangatlah krusial, sebab bila ia sampai ke kota megapolitan ini, tiada lagi hambatan-hambatan yang berarti dalam pelayanannya.
[1] John Drane, Introducing the New Testament (Oxford: Lion, 1986) 326.
No comments:
Post a Comment