Sunday, August 19, 2007

Menggali Spiritualitas Roma (3)

Roma dan Ibadah Kristen[1]

Paulus mendeklarasikan bahwa Injil[2] yang ia sampaikan bertujuan untuk membawa orang taat dalam iman, untuk kepentingan nama-Nya, di antara bangsa-bangsa lain. Ketaatan ini merupakan cara untuk mengibarkan kembali keyakinan iman Israel yang merespons kebaikan Tuhan, “Dengarlah, hai Israel, TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu esa.”[3]

Inilah yang bagi Paulus sebagai kepenuhan Hukum taurat itu sendiri, yakni bahwa umat dari segala bangsa datang untuk menyembah dan mengasihi Allah yang tunggal, yang disembah oleh Abraham, Ishak dan Yakub. Roma 15.7-13 merupakan konklusi dari eksposisi pokok iman rasul, bahwa orang-orang non-Yahudi akan turut serta dengan Israel untuk menyembah Allah yang esa, sebab tunas Isai telah dibangkitkan dari antara orang mati.

Tetapi bagaimana kesimpulan tersebut diraih oleh Paulus? Dalam hal ini, kita harus mengingat selalu bahwa sebagai orang Yahudi, Paulus memiliki pemahaman yang khusus mengenai ibadah bangsanya. Ibadah korporat yang sejati mendukung dan mengarahkan kehidupan yang sejati. Ibadah dan kehidupan yang benar tersebut pasti bertolak belakang dengan spiritualitas kafir maupun penyembahan berhala. Masalah pokok yang ia yakini ada dalam hidup manusia adalah penyembahan yang keliru! Sebab dari sanalah muncul pelbagai kegagalan dalam penghidupan manusia.

Menyembah Allah dengan cara yang tidak seharusnya, itulah yang melahirkan dosa! Maka tak heran ketika menerangkan bagaimana Allah mengentaskan masalah ini, Paulus menyoroti secara terang benderang ketaatan Sang Mesias, Yesus, yang telah mengurbankan Diri-Nya (3.21-26). Itu pula yang dilakukan oleh bapa orang beriman, Abraham, yang meninggikan Allah sebagai pencipta, yang memberikan kehidupan kepada orang-orang mati, dan menciptakan segala sesuatu (4.18-25). Ibadah yang benar, yaitu menyembah Allah Sang Pencipta, merupakan dasar karya penciptaan. Dan siapa yang menyembah Allah dengan cara yang benar, ia akan menghasilkan buah kehidupan, mengutamakan rencana Allah. Hal ini sangat bertolak belakang dengan penyembahan berhala, yang membuat hidup manusia sia-sia dan tidak layak dihidupi.

Kemudian dalam Roma 5-8, rasul Paulus menceritakan kembali kisah pembebasan (eksodus), yang mirip dengan eksodus Israel dari tanah Mesir, hanya kini Eksodus yang baru di dalam Kristus. Umat Allah melewati air pembaptisan (pasal 6), yakni air yang membuat kaum budak menjadi merdeka; lalu sampailah mereka di kaki Gunung Sinai (pasal 7), tetapi menjumpai bahwa Hukum Taurat tak mampu memberikan mereka kehidupan seperti yang telah Allah janjikan. Akhirnya mereka menemukan bahwa Mesiaslah yang telah mengerjakan hal yang tak dapat dikerjakan oleh Taurat.

Di Roma 8, umat Allah sedang dalam perjalanannya menuju ke Tanah yang Terjanji. Destinasi itu bukan lagi teritorial geografis di Palestina, bukan pula hidup masa depan sebagai “arwah” di suatu negeri di atas awan, tetapi suatu tata ciptaan yang telah diperbarui sepenuhnya. Di sanalah mereka akan “berkuasa,” yang artinya turut memerintah bersama Sang Mesias. Melalui pembaruan serta kebangkitan ini, tata ciptaan akan dibebaskan dari belenggu kerusakan (8.18-25). Maka pada masa kini, tiap-tiap kali mereka berseru Abba, Bapa, mereka tahu bahwa Roh Kudus menaikkan keluhan-keluhan yang tak terucapkan, di dalam doa-doa mereka, yang masih hidup dalam rentang ciptaan lama dan ciptaan baru, antara kematian pada masa kini dan janji akan hidup (8.26-27). Dengan jalan itu mereka menjadi serupa dengan Sang Anak (8.29), yang merupakan yang sulung dari antara banyak saudara.

Tak perlu kaget bila di sinilah kita dapat merefleksikan panggilan manusia pada waktu diciptakan oleh Allah (Kejadian 1.26-28): bahwa tujuan utama umat manusia adalah untuk menjadi persona-persona dari gambar dan rupa Allah, yang mencerminkan gambar itu sampai ke seluruh dunia. Dan dalam Kristuslah, pertama-tama gambar dan rupa Allah itu menjadi penuh (Kol. 3.10). Bila kita kembali merenung, bukankah di sini kita berjumpa dengan jantung hati ibadah Kristen—bahwa kita dipanggil untuk berlimpah di dalam kasih serta ucapan syukur kepada Sang Pencipta dan Penebus, dan dipulihkan sebagai makhluk-makhluk yang sejati, sebagaimana yang Allah kehendaki; yang kemudian diutus untuk menjadi saluran-saluran Allah untuk membawa kesembuhan dan pemulihan bagi segenap ciptaan.[4]

Sampai di sini, Paulus nampaknya sangat gundah dengan kondisi bangsanya sendiri. Ia bergulat dengan masalah, bagaimana dengan kaum yang sedarah dengan dia? Rancangan agung dari Allah, yang jauh lebih dari dugaan manusia, digenapi sekarang di dalam Sang Mesias Yesus. Melalui-Nya, segala bangsa dan suku bangsa diundang masuk, tanpa memandang ras dan latar belakang. Inilah yang membuat orang Yahudi menjadi cemburu, dan dengan demikian Allah menyelamatkan “seluruh Israel.” Jadi, siapakah Israel yang sejati? Bukan mereka yang berdarah Yahudi, tetapi yang percaya kepada Mesias, dan ke dalam jumlah ini mereka yang berdarah Yahudi akan ditambahkan bila mereka tetap setia kepada Allah perjanjian (secara otomatis, mereka percaya akan kedatangan Sang Mesias). Karena itulah, Paulus kini mengagumi kuasa karya Allah dan dengan penuh suka cita ia menyorakkan pujiannya (pasal 11).

Hal ini mengantar kita kepada pernyataan sentral mengenai ibadah di Perjanjian Baru: Roma 12.1-2. Oleh kemurahan Allah, persembahkan tubuhmu, sebagai persembahan yang hidup, kudus dan memperkenankan hati Allah; inilah ibadahmu, yaitu ibadah yang di dalamnya seluruh keberadaanmu sebagai manusia menjadi pribadi yang sejati. Janganlah menjadi serupa dengan dunia, tetapi berubahlah oleh pembaruan budimu, sehingga kamu dapat membedakan dalam dirimu sendiri mana kehendak Allah, apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna.

Tubuh dan pikiran bekerja bersama-sama. Dengan anugerah dan rahmat sebagai landasan semuanya itu, kita dituntut untuk mengkaji lebih lanjut, apa artinya “memperkenankan” Allah tatkala kita mempersembahkan tubuh kita dalam ibadah kita. Di sini kita harus mengakui, bahwa seringkali kita memperlakukan Roma sebagai primbon doktriner yang berat sebelah, yaitu pada masalah pembenaran oleh iman. Kita agaknya telah mengabaikan bahwa ketika Paulus menerangkan mengenai ibadah dan ketaatan, ia sangat bersemangat untuk memberitakan bahwa apa yang kita lakukan di dalam Kristus, berdasarkan kemurahan hati Allah, itulah yang menyenangkan hati Allah. Kegagalan untuk memperkenankan hati Allah, jika demikian, adalah bila kita gagal untuk taat kepada Allah—baik menyenangkan diri sendiri, menyenangkan orang lain, atau bahkan lagi, mau menyenangkan pihak-pihak yang berkuasa di atas kita.Di bagian terakhir, pasal 12-15, Paulus menggali banyak sisi mengenai apa artinya menjadi umat Allah yang baru di dalam dunia yang kafir. Jangan sampai kita menurunkan kadar keberanian Paulus untuk menyatakan sikap orang Kristen kepada negara di pasal 13. Satu komunitas yang dibentuk dari sekelompok manusia yang mengatasi segala halangan kebudayaan dan ras, taat dan patuh kepada satu Tuhan, dan menantikan penghakiman-Nya yang akan datang. Secara samar-samar, di sini terdapat suatu agenda untuk membuat Sang Kaisar kebakaran jenggot! Dan di akhir semuanya ini, Mesias tampik untuk memerintah segala bangsa, dan dalam dia segala bangsa menggantungkan pengharapan mereka. Dengan demikian, umat yang baru ini bergandengan tangan untuk memuji Allah dan Sang Mesias.


[1]Penulis belajar banyak dari N. T. Wright, “Freedom and Framework, Spirit and Truth: Recovering Biblical Worship,” (makalah yang disampaikan di Calvin College, Grand Rapids, Michigan, Januari 2002).

[2]Paulus menggunakan kata benda euangelion sebanyak 56 kali dalam surat-suratnya, muncul 4 kali dalam Surat-surat Pastoral (1 dan 2 Tim., Titus); kata kerja euangelizesthai muncul 21 kali (dan tidak pernah muncul dalam Surat Pastoral. Sarjana biblika Katolik, Joseph A. Fitzmyer mengatakan bahwa arti euangelion adalah “the message about God’s new mode of salvific activity on behalf of human being made present in Jesus Christ, his Son” (J. A. Fitzmyer, To Advance the Gospel: New Testament Studies [The Biblical Resource Series; Grand Rapids: Eerdmans: Livonia: Dove, 1998) 149.

[3]Inilah yang disebut Shema, yang ditemukan dalam Ulangan 6.4-9; 11.13-21; Bilangan 15.37-41.
[4]Lih. juga Richard B. Hays, The Moral Vision of the New Testament: A Contemporary Introduction to New Testament Ethics (San Fransisco: HarperSanFransisco, 1996) 198.

No comments:

Post a Comment