AKU LEMAH, AKU KUAT!
Entah mengapa, malam ini aku ingin terus menulis. Banyak hal ada dalam pikiranku, berjejal untuk segera ditulis. Apakah aku sedang tergila-gila dengan Facebook? Apakah aku ingin membayar utangku selama berbulan-bulan agak pasif dalam mengisi weblog? Apakah memang aku sedang banyak ide? Semua itu aku rasa mungkin. Namun aku akui, aku senang menulis. Aku pun sedang belajar menulis apa saja yang terlintas.
Aku teringat sesuatu di tahun 2006! Aku pernah menulis sebuah artikel akademik tentang Injil Yohanes sebagai “biografi” ciptaan baru, yang telah dimuat dalam jurnal Veritas milik SAAT untuk edisi Oktober 2006. Artikel itu aku selesaikan 70% bagiannya di Rumah Sakit Mardi Rahayu, Kudus. Waktu itu, aku sempat dua kali masuk RS di bulan Juni-Juli! Aku menghuni lantai 2 Ruang Maranatha. Yang pertama, karena operasi hidrocell! Dua minggu kemudian, aku masuk kembali ke RS karena broncho-pneumonia.
Sakit adalah hal yang menyiksa bagiku! Ya, sebagai hamba Allah, aku yakin Tuhan mau aku merenung untuk lebih dekat dan mengenal isi hati-Nya. Itulah yang sering kukatakan kepada jemaat yang sakit. Namun aku bertanya, apakah dengan aku sakit, maka aku tidak dapat bekerja? Aku tidak produktif? Aku tidak mau! Dalam dua kali masuk RS itu, aku membawa serta notebook-ku, buku-buku tafsir Yohanes dari Carson, Koestenberger, Morris, Ridderbos, dan sejumlah monografi akademik buah studi Bauckham, Burridge, Culpepper, dan beberapa artikel dari jurnal maupun buku-buku yang sempat aku fotokopi dari almamater, tentang Injil kegemaranku itu. Aku harus mempertajam tesis artikelku meskipun nantinya aku harus menghabiskan banyak waktu dengan berbaring. Bahkan ketika berada di ruang operasi, sebenarnya aku masih ingin membaca buku. Di lorong tunggu ruang itu, dalam posisi tidur, aku sempat-sempatkan membaca buku Richard Burridge, Four Gospels, One Jesus? (2nd. edition).
Aku tahu bahwa operasi itu dijalankan dengan anestesi spinal, dengan suntikan bius itu dimasukkan di ruas tulang belakangku, “Jusss . . .” dan dalam beberapa menit saja, setengah badanku sampai ke kaki terasa mati. Aku sudah berhasil menyelundupkan buku itu sampai ke kamar operasi! Walhasil, aku tak bisa membaca! Aku harus pindah dari ranjang ke meja operasi yang lebih tinggi. Bukan itu saja. Kedua tanganku diletakkan seperti posisi disalib—terentang kiri dan kanan, sementara tangan kiri terdapat infus, dan lengan atas tangan kananku dipasang tensi meter, dan ujung jari telunjuknya dipasang penjepit pengukur detak jantung. Buku Richard Burridge tergeletak lunglai tak bertuan di ranjang di ujung sana! Yang aku dapat rasakan adalah dinginnya ruangan itu, sampai-sampai badanku menggigil! Untunglah, ada suntikan lain yang diberikan sehingga badanku pun terasa hangat.
Ketika kembali ke kamar, aku hanya dapat berbaring. Anehnya, aku sama sekali tidak merasa kesakitan di luka operasi itu. Aku minta notebook dinyalakan dan aku pun memilih mendengarkan MP3 seminar-seminar yang mendukung tulisanku. Terutama yang aku simak baik-baik adalah seminar dari Tom Wright. Begitu mampu duduk, aku membaca tafsir-tafsir Yohanes. Aku belum bisa menulis! Baru sepulang dari RS, aku tancap gas dalam-dalam! Aku nglembur. Dua minggu aku menulis. Mengetik, mencetak draf, membaca ulang dan merevisi. Itulah yang terus menerus kulakukan. Tidur sangat minim. Ranjang dan kamarku yang sempit itu berserakan buku dan kertas. Aku tidur didampingi notebook di samping kanan serta printer di bawah kakiku. Posisi tidurku harus meringkuk seperti udang. Acapkali notebook masih hidup, atau dalam keadaan standby. Syukur kepada Tuhan, artikel itu pun dapat terselesaikan dan dapat dikirimkan ke redaksi melalui surat elektronik.
***
Malam ini, waktu mengenang peristiwa itu, tiba-tiba teringatlah aku pada perkataan rasul Paulus, “Sebab jika aku lemah, maka aku kuat.” Sebuah paradoks! Nampaknya bertentangan. Tetapi tidak! Dalam kelemahan, Paulus merasakan kekuatan. Banyak diskusi dilakukan tentang kelemahan Paulus. Ada yang mengatakan bahwa ia memiliki penyakit yang kronis. Mungkin saja penglihatannya kabur. Bisa jadi pula yang lain, “duri dalam daging” adalah sejumlah orang dalam jemaat Korintus yang menggocohnya dan menentang pelayanan sang rasul. Bahkan ada ahli PB yang mengatakan bahwa Paulus sedang bergumul dengan desakan homoseksualitas dalam dirinya. Tentu kita dapat sepakat, hal yang terakhir ini mengada-ada. Spekulatif sekali. Tidak ada bukti.
Aku merenung. Kemunduran fisik. Ulah manusia. Pergumulan batin. Ketiganya pasti akan dialami oleh setiap pelayan Tuhan! Ketiga-tiganya dapat membuat sang pelayan undur dari pelayanan. Seseorang yang tengah bergulat dengan penyakitnya, kadang menjadikannya alasan untuk tidak aktif lagi dalam pelayanan. Apalagi, bila ia terserang penyakit terminal seperti kanker. Kanker adalah pembunuh tingkat tinggi. Tak sedikit orang yang kemudian berkata, “Mengapa ini terjadi pada diriku? Padahal aku sudah . . .” dilanjutkan daftar panjang riwayat pelayanan. Penyakit dapat membuat orang undur, atau bisa jadi kecewa dengan Tuhan. Tak sempat bertanya apa yang sesungguhnya Tuhan mau atas hidupku, mental dan pengharapan memudar, ketajaman batin kepada sang Ilahi pun berkurang.
Berbagai orang yang dulu aktif melayani, ketika aku jumpai, mereka bertanya, “Salahku (atau: dosa) apa, ya Pak?” Sebagai gembala jemaat, saya jujur tidak dapat menjawab pertanyaan ini. Yang tahu, hanya dia dan Dia saja! Belum bertanya kepada Tuhan, aku rasa, orang yang terkena penyakit kerap menyalahkan diri sendiri dan pada gilirannya menyalahkan Tuhan.
Paulus memberi cara pandang yang baru! “Jika aku lemah, maka aku kuat.” Dengan kata lain, apakah penyakit, betapa pun mematikannya, telah sepatutnya membuat seorang pelayan Tuhan mundur dari pelayanan? Paulus menjawab, “TIDAK!”
Hal yang kedua adalah ulah manusia. Paulus sedemikian jelas mendeskripsikan tantangan yang dihadapi karena ulah dan perlakuan sejumlah jemaat yang tidak senang dengan dirinya. Mereka sentimen. Mereka bercuriga. Mereka berpikir negatif tentang Paulus. Bila kita sempat membaca 2 Korintus, berkali-kali Paulus mengeluhkan perlakuan mereka terhadap dirinya. Apa kurang pelayanannya? Apa yang Paulus tidak “kurbankan” demi pertumbuhan jemaat? Apa yang Paulus tidak persembahkan bagi kemuliaan Allah? Paulus memberikannya total, tanpa diskon.
Setiap pelayan Tuhan di masa kini, sangat mungkin menghadapi tantangan yang sama seperti Paulus. Makin besar jemaat, makin banyak mula hasrat dan keinginan. Makin banyak keinginan, makin banyak perasaan suka-tidak suka satu dengan yang lain. Konflik kepentingan. Persepsi negatif yang dibangun terhadap pihak “lawan.” Mitos-mitos yang dilestarikan mengenai keburukan orang perorang. Memang, makin banyak orang, makin banyak pula yang tidak suka dengan seorang pelayan.
Tak jarang, pelayan menjadi kikuk dan serba salah. Diam saja, salah. Melakukan perubahan, salah. Tidak ada keputusan dalam rapat, salah. Melakukan keputusan, salah juga. Inilah yang membuat seseorang loyo dalam pelayanan. Visi dan semangat digantikan dengan mental ABS, “Asal Babe Senang.” Daripada dipersalahkan terus, lebih baik hanyut ikut arus. Atau turut menjadi oposan yang memainkan mesin penggerus.
Perhatikan bagaimana Paulus memandang msalah yang ditimbulkan oleh sebab ulah manusia! “Jika aku lemah, maka aku kuat.” Ia tidak membangun benteng kubu pertahanan untuk melawan musuh. Jemaat yang tidak suka dengannya, bukanlah musuhnya. Maka, apakah manusia, sejahat apa pun dia, dapat menjadi alasan seorang pelayan Tuhan mundur dari pelayanan? Paulus pun menjawab, “TIDAK!”
Hal yang ketiga, adalah pergulatan batin. Batin adalah bagian yang tidak kelihatan, yang merupakan sisi rohani dari manusia. Pergolakan ini dapat terjadi karena ulah manusia, misalnya memfitnah atau mengucilkan dia, atau tumbuh dari perasaan diri sendiri: Malas, tidak mood, kehilangan gairah. Pada intinya, pergulatan batin ini mengaburkan fokus kita kepada Allah. Mungkin terlalu banyak hal yang diurusi, pernak-pernik yang menyita waktu, pikiran dan tenaga. Konsentrasi divergen. Terpencar ke sana-sini. Ujung-ujungnya, lelah bahkan burnt out. Kehilangan daya. Padam semangat.
Kadang, komunitas orang percaya pun menuntut seseorang untuk ambil bagian dalam banyak hal. Namun kita terkadang lupa, seorang misionaris seperti Paulus bukanlah seorang gembala seperti Simon Petrus atau Yakobus atau Yudas saudara Kristus. Meski isi surat-suratnya tetap bernada pastoral, namun panggilan Paulus jelas sebagai penuntun semua bangsa bukan Yahudi untuk percaya kepada Kristus (Rm. 1:5), dan bukan gembala (lih. Petrus dalam 1 Ptr. 5:1). Kepada tiap-tiap orang, dikaruniakan penyataan Roh untuk kepentingan bersama (1 Kor. 12:7). Masing-masing orang berbeda karunia!
Paulus adalah hamba Tuhan yang kenyang dengan penjara. Namun ia tetap berkata, “Jika aku lemah, maka aku kuat.” Kesesakan dan penindasan, pergumulan dan beratnya panggilan hidupnya, tidak menjadi pembenaran baginya untuk tutup buku pelayanan. Oleh sebab itu, apakah pergulatan batin mengizinkan kita untuk tidak lagi melayani? Paulus berkata, “TIDAK!”
Mengingat kompleksnya hidup, dan kian “sempitnya” waktu yang dimiliki, seseorang yang sebenarnya mau melayani, belum tentu dapat penuh tenaga serta penuh konsentrasi. Kiranya tiap-tiap orang mampu menakar kekuatannya. Memilih yang sedikit, tetapi menghasilkan banyak. Kecil wujud keterlibatannya, namun besar dampaknya. Ketimbang menuntut orang lain melakukannya, atau mendesak-desak mereka untuk memberikan teladan, betapa indahnya masing-masing orang bersedia mengangkat tangan dan berkata, “Saya mau ambil bagian!” dan berkomitmen untuk mengerjakannya sebaik mungkin. Apa yang kira-kira dapat dilakukan—hal-hal kecil berdampak besar itu? Memperhatikan jemaat yang telah undur. Mengunjungi mereka, mengajak mereka kembali, dan mendoakan mereka. Komunitas pun akan menjadi sebuah keluarga baru, dan keluarga itu teramat sangat menyenangkan!
Sang rasul, di tempat lain, juga menulis kalimat yang indah, “Tetapi jika aku harus hidup di dunia, ini, itu berarti bagiku bekerja memberi buah” (Flp. 1:22). Terpujilah Allah!
No comments:
Post a Comment