CALEG: MENGABDI ATAU LOWONGAN KERJA?
Saya sedang menuju ke tempat tinggal seorang rekan sejawat. Ia tinggal di pastori samping gereja yang terletak di perbatasan kota Kudus dan Grobogan. Hari Rabu kemarin (11 Maret), tim Gembala Jemaat GKMI Kudus mengadakan persekutuan khusus di rumahnya, bertepatan selepas pelantikan kawan kami sebagai pendeta muda (Pdm.). Selain itu, ya memang kewajibannya yang mendapatkan arisan bulan lalu. Arisan? Ya benar, arisan! Arisan ini dimaksudkan untuk keakraban di antara kami, untuk menjalin persekutuan dan saling membantu satu dengan yang lain. Saya tidak akan bicara lebih panjang mengenai arisan, tapi apa yang saya lihat dalam perjalanan itu.
Duduk di sebelah pendeta senior, yang mengendarai mobil kijang birunya, mata saya melihat ke kiri dan ke kanan. Yang jelas, tidak ada pohon cemara (apalagi stroberi), karena tidak sedang naik ke puncak gunung! Tampak berjejeran spanduk dan baliho kampanye para caleg dan berbagai partai. Banyak jenisnya. Ada yang kecil. Ada yang besar. Tiba-tiba mata saya sekilas menangkap satu nama. Tapi saya semula tidak memperhatikan. Setelah lewat, saya baru ingat, nama itu saya kenal dengan baik. Ya, karena masih ada hubungan saudara dengan saya. H**** W**** P*******.
Saya berkata kepada pendeta di samping saya, “Kayaknya ada nama yang saya kenal, Pak. Tapi kok ada yang beda!” Bedanya di mana? Tanya beliau. Mata saya tadi menangkap ada sesuatu di belakang namanya, yaitu “Ph. D.” Aneh! Pernahkah dia mengambil gelar kesarjanaan itu? Saya penasaran! Saya yakin, di depan nanti, pasti saya akan menemukan namanya lagi. Benar! Ya, itu dia. Orang yang saya kenal. Bernaung di bawah sebuah partai yang bernuansa agama, dengan potret seorang pemuka agama dipajang disamping gambarnya yang besar, ia menjadi salah satu caleg untuk DPRD I Jawa Tengah. Wah luar biasa! Jawa Tengah akan punya wakil rakyat bergelar Ph. D., kalau orang yang satu ini benar terpilih!
Beberapa tahun yang lalu, nama orang yang sama muncul di sebuah koran Jawa Tengah dan menjejer gelar S. E., M. M. Beberapa tahun sebelumnya, saya ingat dia memakai gelar S. U. (Sarjana Utama, setara dengan magister). Sayangnya, bukan dalam bentuk esai atau artikel, hanya cuplikan kecil wawancara untuk sebuah peristiwa, yang sebenarnya nggak penting-penting banget, deh! Pernah juga dia memakai S. H. Wah, wah, wah . . . bukan orang sembarangan, donk! Pikir saya. Orang yang satu ini pasti (super jenius).
Kembali ke pertanyaan di atas, kapan dan di mana dia mengambil gelar S3 itu? Philosophical Doctor lagi! Berapa tahun sekolahnya? Bukankah di Indonesia, hanya ada beberapa institusi pendidikan yang boleh menyelenggarakan pendidikan sampai ke tingkat ini? Apakah orang yang satu ini pernah mendaftar ke universitas itu? Boro-boro, saya ingat benar, S1 pun tidak pernah tamat. Bukan itu saja. Karena cukup mengenal latar belakangnya, saya tahu persis bahwa ia tidak pernah mempunyai pekerjaan yang mapan. Bahkan, tipu sana tipu sini. Sampai-sampai ia kabur ke Jakarta karena membawa lari sejumlah uang hasil penipuan. Dalihnya, bersekolah di sana. Ah, yang benar saja! Ia ternyata menjadi buron.
Memang, orangnya PD! Percaya dirinya tinggi. Bahkan cenderung BG, bualan gedhe! Bila ia berbicara, ada saja orang yang tertawan dengan kata-katanya. Kata orang yang saya percaya, ia memang pernah meminta kepada guru spiritualnya untuk menurunkan ilmu pengasihan, sehingga banyak orang yang terpikat oleh kharisma dan tutur katanya. Jadi kalau saya menelisik ke belakang, ke masa lalu, waktu-waktunya habis bukan untuk belajar di jalur akademik resmi, tetapi cari ngelmu. Anda boleh percaya, boleh tidak. Namun terlepas dari polemik alam gaib ini, anehnya, ia memang cepat mendapat teman, tetapi juga cepat menipu teman dan akhirnya dimusuhi banyak orang. Easy come, easy go! Hikmat manusiawi, selicin dan selihai apa pun, pasti membuat cepat kandas.
Memikir lebih jauh, bukankah zaman ini tidak lagi memusingkan isi. Siapa yang keras dan lantang suaranya, dialah yang mendapatkan banyak pengikut. Retorikanya menawan, mengumbar janji-janji. Tantangan hidup makin berat, banyak orang terancam kehilangan pekerjaan. Maka siapa memberikan janji-janji manis, dialah yang akan dapat merebut hati banyak orang.
Tak terkecuali gereja, bukan? Pengajaran dan penggalian isi firman Tuhan menjadi nomor sekian, yang penting asyik dan memikat. Orang Kristen pun lebih suka para pengkhotbah keliling daripada gembalanya sendiri. Memang, semakin mengenal gembalanya, semakin kecewalah dia. Buruknya sang pendeta kian jelas. Dan, ekspektasi dan apresiasi sang jemaat pun turun. Begitu memandang pengkhotbah menawan, “Ini dia yang saya cari!” Tetapi bayangkan bila sang pengkhotbah itu menjadi pendetanya. Akhirnya, sama saja!
Pendeta senior, tatkala saya tunjukkan baliho besar orang itu, berkata dengan singkat, “Banyak caleg yang nyari pekerjaan!” Gawat! Bukan mengabdi kepada bangsa dan negara, tetapi mencari pekerjaan. Mau dibilang mengabdi, lha kok memakai gelar-gelar palsu? Apalagi banyak diberitakan di TV dan internet, sejumlah baliho dan spanduk kampanye, menyertakan potret artis: entah itu anaknya, atau orangtuanya. Caleg yang mendompleng popularitas orang lain, meski darah dagingnya sendiri!
Hal ini dikukuhkan oleh ayah saya, seorang pensiunan karyawan sebuah pabrik swasta, yang selalu menyimak acara-acara berita di TV dan radio, ternyata banyak juga, CPNS (calon-calon pegawai negeri sipil) yang akhirnya menolak pengangkatannya sebagai pegawai negeri demi berebut kursi. Siapa tahu jadi? Pikirnya. Apalagi orang yang berprinsip, lebih baik mencoba, tak ada salahnya. Hidup itu harus berani risiko. Kalau tidak sekarang, kapan lagi? Yaah, adalah hak masing-masing orang untuk mencari justifikasi atas tindakannya. Sumangga kemawon.
Namun, apa jadinya bangsa dan negeri kita yang sudah morat-marit ini? Para oportunis telah banyak menguasai negeri. Masih mau ditambah lagi? Betapa banyak orang yang mengobral janji namun kosong isi, hanya demi perut sendiri, tak peduli nasib bangsa dan negeri, tapi mengeksploitasi isi perut bumi pertiwi!
Di tengah-tengah maraknya kampanye, banyak jemaat yang bertanya kepada gembalanya, “Pak, enaknya nyoblos apa, ya? Saya bingung.” Bahasa percakapan sehari-hari memang terkadang ambigu. Mendua arti. “Enaknya” itu mungkin artinya “baiknya.” Ada jemaat yang bertanya kepada kami, “Bagaimana dengan si A, Pak? Dia kan pendeta.” Wah, menarik! Jadi kalau pendeta, credit point-nya jauh lebih tinggi dibandingkan yang lain. Kiprahnya sudah jelas? Pemahaman politiknya? Mau menjadi terang dan garam? Bayangkan ketika ia berada di antara orang-orang yang lihai dalam masalah perpolitikan, benarkah ia mampu menjadi garam dan terang? Ah, bukan hanya untuk pendeta yang nyaleg, pertanyaan ini untuk semua caleg.
Tulisan ini saya buat, semata-mata karena keprihatinan melihat kondisi bangsa dan negara. Berapa wakil kita yang masih memiliki hati? Saya was-was untuk menambahkan “nurani,” yang sudah dipakai sebagai merek dagang sebuah partai. Wahai para wakil rakyat, tanyakan kepada dirimu sendiri, engkau hendak mengabdi kepada ibu pertiwi, atau demi memenuhi isi perut sendiri? Kiranya hikmat Allah menuntun kita, untuk mencermati siapa yang akan kita pilih untuk menjadi wakil kita, dan wakil segenap tumpah darah Indonesia.
Terpujilah Allah!
No comments:
Post a Comment