MENGAPA RABU ABU?
Rabu Abu, mungkin masih asing bagi sebagian orang Kristen. Ah, itu punya Katolik Roma! Bukankah para reformator mendobrak kultus yang telah dibau-baui oleh mistisisme non-alkitabiah, yang mengganti posisi firman dengan lambang-lambang manusia? Ya, itulah yang sering saya dengar dari pelbagai perbincangan di antara jemaat maupun di kalangan rekan sejawat.
Saya ingin sekali berbagi kisah berdasarkan pengalaman rohani pribadi. Anda boleh setuju, boleh juga tidak. Namun saya berharap, Anda dapat berempati atas peziarahan iman saya. Sebagai seorang muda yang bertumbuh di gereja yang mengutamakan khotbah ekspositori, yang hampir tidak pernah turut dalam pergulatan liturgi dari tradisi lain, dididik di dalam institusi Injili, dan akhirnya kembali ke “kandang” asal, sebenarnya saya tak cukup mengenal pernak-pernik tahun liturgi. Namun, adalah cukup mengejutkan, ketika “balik kandang,” ternyata kandang asal itu telah merentangkan pemahaman mengenai liturgi, karena menyadari dirinya sebagai bagian dari arak-arakan umat Allah yang Katolik. Katolik di sini artinya sama dengan Am, umum, universal, sesuai dengan keseluruhan.
Saya sempat bertanya, apakah perubahan ini sebuah kelatahan belaka? Apakah ibadah memang dirasa kurang “hiasan” sehingga tatkala gereja berlenggak di jajaran sahabat sejawat menjadi minder, dan ketika berlenggok dalam pusaran arus zaman nampak tertinggal? Apakah gereja ini telah kehilangan jatidirinya sebagai persekutuan yang berpusatkan firman dan menggantinya dengan banyak simbol?
Kelatahan! Tapi kelatahan terhadap apa? Oh, karena tradisi gereja ini tidak mengenal yang macam-macam seperti itu, sehingga mau meniru-niru? Tapi, mengapa justru makin “rumit”? Malu dan minder! Atas apa? Gereja yang maju dan banyak diminati pengunjung? Namun, bukankah yang sedang menjadi selebritas di kalangan gereja adalah persekutuan yang menonjolkan emosi dan menjual nyanyian ringan serta yang tiada mengenal kekayaan liturgi? Seharusnya, gereja tiada perlu disibukkan dengan penggalian spiritualitas liturgi, dan serta-merta menyediakan menu yang dicari oleh banyak orang. Atau, kehilangan jati diri! Jati diri sebagai persekutuan yang nyentrik dan tiada peduli dengan kekayaan spiritualitas Kristen yang Am (Katolik)? Ataukah jati diri sebagai gereja yang memegang amanat firman sebagai bagian sentral dari ibadah? Masalahnya sekarang dibalik, apakah kekayaan liturgi tidak dibangun dari dasar firman dan apakah firman itu berarti “khotbah”? Lalu apa persembahan? Apa artinya Doa Syafaat? Pujian? Votum? Berkat? Ah, jangan-jangan selama ini ibadah umum di gereja tak lebih dari urut-urutan mata acara seremonial: pokoknya ada acara ini-itu, nah . . . itulah ibadah! Jadi, sangatlah aneh! Di tengah-tengah persaingan ketat antargereja yang menjaringi ikan di kolam orang lain, masa gereja justru “memperumit” ibadah.
Maka tibalah waktunya, bagi saya untuk merasakan ibadah Rabu Abu. Itu tiga tahun yang lalu! Dimulai pukul 05.00 pagi. Di luar dugaan, banyak pula jemaat yang hadir. Padahal, tiap pagi di gereja kami diadakan kebaktian doa pagi. Yang datang? Ya kisaran jumlah jemari kita dibandingkan jumlah jemaat yang hampir 2000 itu! Kami ada dua tempat ibadah, dan total semua yang hadir ada sekitar 100 orang. Lumayan! Dan dalam hati saya pun tercenung, ternyata ada juga warga jemaat yang menantikan hadirnya Rabu Abu. Sebuah pengalaman yang masih diliputi misteri dan pertanyaan: Apa ini? Mengapa ini harus dilakukan? Itulah yang terpikir. Di samping itu, ada pula kecurigaan.
Misteri itu semakin memuncak ketika masa repentier, pengakuan dosa dilakukan. Sayup terdengar para pemuji menaikkan lagu Softly and Tenderly Jesus is Calling, “Sungguh Lembut Tuhan Yesus Memanggil.” Para hamba Tuhan maju. Berpakaian hitam-hitam. Para pendeta memakai pastor collar. Didampingi oleh majelis yang membawa cawan perak berisi abu, berjajar di depan. Satu per satu jemaat pun maju. Para hamba Tuhan membenamkan jempol kanan ke abu, menerakan ke dahi jemaat, menandainya dalam bentuk salib dan mengatakan, “Insyaflah, bahwa engkau ini debu dan akan kembali menjadi debu. Bertobatlah dan percayalah kepada Injil Tuhan!” Suasana hening. Syahdu.
Setelah semua jemaat yang hadir menerima tanda itu, kini secara bergantian para hamba Tuhan menerakan abu di dahi rekannya. Bisa jadi, yang muda menerakan tanda salib dari abu itu ke dahi seniornya. Sebuah simbol kolegialitas yang dramatis. Namun apakah itu sekadar dramatisasi manusia, yang walaupun menyandang jabatan hamba Tuhan atau pendeta, tetap dapat menusuk rekan dan menjatuhkan kawan di balik punggung? Hanya Tuhan yang tahu! Tapi syukur kepada Allah, Collegium Pastorale (Tim Gembala Jemaat) di gereja kami membuang jauh-jauh sikap saling sikut dan sikat yang seperti itu. Kekuatan kolegialitas adalah bahasa kami.
Kita cenderung nyaman untuk mengaku salah dan memohon ampun secara langsung kepada Tuhan. Jika kita salah mengucapkan sesuatu kepada kawan kita, atau melukai mereka dengan tindakan dan sikap, atau perangai yang menyinggung perasaan orang lain, lebih aman bagi kita untuk minta ampunan Tuhan di kamar yang senyap dan gelap. Namun, betapa berat bagi kita untuk mengungkapkan kesalahan itu kepada orang lain. Gengsi. Malu. Takut dianggap lemah dan banyak cela. Cemas dengan kerentanan diri sendiri.
Keberanian untuk maju di hadapan kawan, dan kerelaan diri agar kawan itu menerakan abu di atas dahi saya, membutuhkan kerendahan hati, untuk menghancurkan semua congkak dan kesombongan saya. Kawan itu mungkin lebih muda. Dia mungkin lebih kurang inteligen. Khotbahnya mungkin tak sebaik saya. Bacaannya mungkin tak sebanyak saya. Dia mungkin tak pandai menulis dan memimpin seminar. Masih banyak lagi daftarnya. Ketika dari bibir dan lidahnya mengalir kata-kata, “Insyaflah!” bisa saja saya memberontak! Siapa kamu sampai berani menyuruh saya insyaf! Tapi kata-kata setelah itu, “bahwa engkau ini debu dan akan kembali menjadi debu!” Mungkinkah debu itu memberontak? Mungkinkah ia protes ketika ada orang yang berkata, “Insyaflah!”?
Kembali ke tempat duduk, ada perasaan berbeda. Di dahi memang terasa ada benda ringan yang menempel. Namun hati terasa tertusuk oleh penyesalan dosa. Betapa saya masih hidup dalam pelbagai kemunafikan. Anugerah Allah tidak membuat saya hidup benar di hadapan-Nya, malah menyia-nyiakan kasih dan kemurahan-Nya!
Tiga tahun berlalu. Tiga kali Rabu Abu telah saya ikuti. Namun, selalu ada pembaruan yang Allah kerjakan. Selalu ada peringatan Tuhan yang saya dapatkan. Selalu ada tekad baru di hadapan-Nya. Tekad itu dikukuhkan dengan puasa di masa Prapaskah, 40 hari lamanya. Bukankah hakikat puasa adalah pertobatan, dan mengingat janji pada masa baptis? Bukankah dengan pertobatan hidup ini diarahkan kepada persekutuan yang kian intim dengan Kristus? Bahwa dengan membenamkan diri makin dalam kepada-Nya, seseorang makin menyadari dirinya bukan apa-apa, dan ia pun terhilang dalam terang kemuliaan Kristus yang agung itu? Bukankah dengan dengan puasa, berarti kita pun belajar untuk melihat bahwa harta kita tiada nilainya dibandingkan dengan indahnya persekutuan dengan Tuhan? Dan dengan demikian, kita diajar untuk tidak menahan-nahan harta kita bila melihat orang lain yang dalam kekurangan dan hidup tidak seberuntung kita!
Setiap kali memasuki Rabu Abu, seolah-olah saya sedang berdiri di sebuah pintu gerbang yang menghadap ke Timur, dengan tulisan besar di atasnya, “Selamat Datang di Ziarah Kemuliaan!” Jauh di ujung sana, saya melihat salib. Salib itu kosong. Namun salib itu bersinar. Kemilauan surya Timur nan indah! Fajar pengalih malam. Terang sehabis gelap. Kemuliaan selepas penderitaan. Kemenangan yang menggantikan pergumulan. Di gerbang itu saya berdiri. Saya siap melangkahkan kaki. Saya mendengar bisikan, “Jangan berhenti!”
Terpujilah Allah!
No comments:
Post a Comment