BELAJAR TABAH DARI SEORANG IBU
Saya cukup dikejutkan dengan kitab 2 Raja-raja, khususnya daftar biografi raja-raja Israel dan Yehuda. Ada pola seperti ini, “Nama ibunya . . . . Ia melakukan yang . . . di mata Tuhan.” Kita dapat mengisikan satu nama di ruang kosong pertama, dan kata sifat “benar” atau “jahat.” Kata sifat “benar” di sana bukan menunjuk kepada kebenaran matematis (true), tetapi righteous, kebenaran yang dikarenakan relasi yang intim dengan Allah dan menghormati hukum-hukum Allah. “Jahat” berarti dengan sadar menolak Allah dan menginjak-injak hukum-Nya.
Yang sangat menarik perhatian saya adalah peran seorang ibu di balik kesuksesan atau kegagalan anak. Sejak dini, Kitab Suci telah menerangkan kepada kita, betapa vitalnya peran seorang ibu. Memang, Kitab Suci ditulis pada zaman orang masih mengagung-agungkan budaya patriakhal, dan menganggap kaum perempuan adalah kanca wingking. Bagi orang Yahudi di zaman Tuhan Yesus, seorang perempuan tidak boleh tampil di muka umum. Bahkan kesaksian mereka tidak berlaku di dalam suatu pengadilan. Namun faktanya, peran sang ibu ternyata sangat besar.
Allah yang kita kenal menghargai citra kaum ibu. Itulah sebabnya, dalam menuntaskan karya agung keselamatan, Allah pun memakai perempuan-perempuan. Kristus, Sang Allah yang menjadi manusia dan diam di antara kita, hadir melalui rahim seorang ibu (Luk. 1:28-38). Dalam melaksanakan karya-Nya di dunia, Kristus selalu diiringi oleh perempuan-perempuan yang turut serta melayani (Luk. 8:1-3). Ia pernah menjumpai secara khusus perempuan yang dianggap sampah masyarakat Samaria (Yoh. 4). Tetapi dampak dari perjumpaan itu ialah adalah suatu perubahan besar. Ia pergi kepada orang sekotanya dan memberitakan perjumpaan-Nya itu kepada mereka, dan Alkitab mencatat, “Dan banyak orang Samaria dari kota itu telah menjadi percaya kepada-Nya karena perkataan perempuan itu . . .” (Yoh. 4:39).
Wafat-Nya juga telah diantisipasi oleh seorang perempuan yang datang dan mengurapi Dia dengan minyak (Yoh. 12:1-8). Pada waktu Ia meregang nyawa di atas kayu salib, hingga embusan napas yang terakhir, kaum perempuan ada di kaki salib-Nya (Yoh. 19:25). Di fajar Paskah, tatkala hari masih gelap, kaum perempuanlah yang bergegas menuju ke kubur Yesus, dan merekalah yang menyadari bahwa kubur itu telah kosong. Kepada seorang perempuan, Maria Magdalena, Tuhan Yesus menampakkan diri-Nya untuk pertama kalinya setelah Ia dibangkitkan (Yoh. 20:11-18). Ia pula yang berlari-lari mendapatkan murid-murid lain dan menjadi pewarta pertama kebangkitan Kristus. Itulah sebabnya, ada seorang pakar tafsir Alkitab yang mengatakan bahwa Maria Magdalena adalah “rasul bagi para rasul.” Pada pengurapan agung Pentakosta, Ibu Maria, yaitu Ibu Yesus sendiri pun hadir di sana (Kis. 1:14). Allah mengangkat kaum perempuan sedemikian tinggi dalam sejarah keselamatan!
Betapa teramat merendahkan kaum perempuan, bila ada pandangan bahwa kaum perempuan adalah biang dosa (lih. Kej. 3)! Bahwa dosa mula-mula disebabkan karena perempuan, dan betapa lebih baik bila perempuan itu tidak ada. Seolah-olah, para lelaki dapat imun dari tanggung jawab kejatuhan. Tetapi kesaksian firman Tuhan menyelipkan sebuah kalimat yang sebenarnya sangat penting untuk disimak, “diberikannya [Hawa] kepada suaminya yang bersama-sama dengan dia, dan suaminya pun memakannya” (Kej. 3:6). Jelas sekali, Adam ada di situ. Berarti Adam pun menyetujui tindakan Hawa. Jika demikian, Adam pun sama-sama memiliki hasrat dan kehendak untuk melawan Allah! Sehingga, hal kejatuhan dosa, sama sekali bukan kesalahan yang harus ditimpakan ke atas kaum perempuan!
Lebih lanjut Kitab Suci mengingatkan kita tentang siapa perempuan itu. Ia adalah “penolong yang sepadan bagi laki-laki” (Kej. 2:18). Di mana pun dan kapan pun, penolong adalah sosok yang lebih kuat daripada yang ditolong. Ia bukan pihak yang lemah. Tanpa dia, maka yang ditolong itu malahan nampak kelemahannya. Allah menghendaki agar Adam menjadi seorang penolong bagi Adam. Demikian pun dalam sejarah raja-raja Israel di kemudian hari, kesuksesan dan kegagalan mereka ternyata ditimbang dari siapa ibu mereka!
Pertanyaannya kini, bagaimana mungkin seorang ibu dapat mengantar anaknya masuk dalam hidup yang “sukses” di mata Allah? Ingat, kesuksesan tidak boleh ditakar hanya dari sisi harta benda duniawi. Sukses sama artinya “benar” di hadapan Allah. Kita hendak belajar dari ketabahan ibu. Kata “ketabahan” sama maknanya dengan ketetapan hati dan kekuatan hati. Ya, di hari-hari yang kian berat ini, yang diwarnai oleh dekadensi moral dan krisis multidimensi, dicari sosok perempuan yang hatinya tetap, yang hatinya kuat, untuk mengantar anak-anaknya menuju kesuksesan hidup. Rahasia di balik semua ini adalah apakah seorang ibu mengingat perjanjian Allah (covenant).
Sebagai Tuhan, Allah mendambakan persekutuan dengan kita. Ia menjalin hubungan dengan manusia melalui ikatan-ikatan perjanjian (kovenan). Ia mengikatkan perjanjian dengan Adam, Nuh, dan kepada Israel di bawah Musa, Daud dan puncaknya adalah Yesus Kristus. Konsep ikatan perjanjian merupakan konsep yang umum di dunia kuno, di mana bangsa-bangsa dunia pada waktu itu gemar berperang dan meluaskan wilayah kekuasaan. Seorang raja yang menang, akan mengikatkan perjanjian dengan raja yang ditaklukkan. Ia berhak menjabarkan latar belakang historis, bentuk hubungan itu, menyatakan hukum, menjanjikan berkat bagi raja yang patuh, serta kutuk bagi pelanggaran atasnya.[1]
Jantung hati kovenan terletak pada kalimat, “Aku akan menjadi Allahmu, dan kamu akan menjadi umat-Ku” (mis. Kel. 6:7; Im. 26:12; Yer. 7:23; 11:4; Why. 21:22). Perhatikanlah bahwa berita ini mulai diserukan sejak awal sejarah pembentukan bangsa Israel, dengan dibebaskannya mereka dari Mesir, sampai kepada klimaks sejarah dunia, pada masa akhir. Berarti, berita ini menyusup ke jantung hati sejarah kehidupan umat Allah di sepanjang zaman. Hal ini menyiratkan kebenaran bahwa Allah akan selalu bersama kita, sebagaimana Ia beserta dengan Abraham, Ishak dan Yakub (mis. Kej. 26:3; 28:15; 31:3; Kel. 3:12).
Ia menyatakan komitmen-Nya terlebih dahulu kepada kita, dan sebagai ganti-Nya, Allah memampukan kita memiliki kepercayaan serta kepatuhan. Dr. Zacharias Ursinus, seorang pemikir Protestan yang hidup 500 tahun silam, berkata bahwa kovenan Allah adalah “suatu perjanjian dan kesepakatan dua pihak antara Allah dan manusia, di mana Allah memberi manusia jaminan bahwa Ia akan mencurahkan anugerah dan mengasihi mereka . . . dan di sisi lain, manusia mengikatkan diri dalam iman dan pertobatan.”[2]
Kepatuhan itu merupakan buah dari “pertobatan” dan “kepercayaan,” yang sesungguhnya bertumbuh secara natural bila seseorang merasakan Komitmen, Anugerah dan Jaminan dari pihak yang lebih tinggi. Alkitab sendiri menyatakan bahwa hukum itu mengikuti anugerah. Sama seperti ini: kita mengikuti Tuhan bukan demi mendapatkan keselamatan kita, tetapi memelihara hukum itu oleh rasa syukur kepada Dia karena anugerah keselamatan. Saya lebih suka memakai istilah “transformasi dari dalam” untuk kepatuhan. Karena ada jaminan, maka kita dimampukan patuh. Kepatuhan bertumbuh bukan karena paksaan dari luar, tetapi pengubahan total hati dan kehendak manusia.
Seorang ibu yang tabah adalah seorang ibu yang memiliki komitmen penuh untuk hidup bagi Allah! Sebuah komitmen yang dihasilkan oleh anugerah Allah, yang memberikan jaminan rasa aman dan kekuatan kepadanya hari lepas hari. Ia menjadi pribadi yang memiliki hubungan dekat dan intim dengan Allah, dan memiliki kehendak agar anak-anaknya pun dekat dengan Allah. Itulah yang dibuat oleh ibu para raja Israel yang “melakukan apa yang benar di mata Allah.” Itulah yang dilakukan oleh Ibu Maria, yang rahimnya dipinjam untuk melahirkan Putra Allah. Itulah yang saya rasakan terhadap ibu saya sendiri, yang berasal dari keluarga yang sangat sederhana dan seorang pekerja keras, namun telah berhasil mengantar anak tunggalnya untuk menjadi seorang pelayan Tuhan. Ia rela memberikan persembahan yang terbaik bagi pekerjaan Tuhan. Saya tidak pernah merasa kecewa dalam meniti jalan panggilan ini, karena saya tahu, sang ibu selalu hadir dalam doa-doanya! Saya berdoa, hal yang sama pun terjadi dalam tiap-tiap ibu muda yang dipanggil Tuhan dalam matra kehidupan yang makin rumit dan kompleks.
Pak Nindyo Sasongko, Shaloom. Saya senang membaca renungan Bapak ttg Ketabahan Seorang Ibu sebagaimana saya lihat pula dalam majalah INSPIRASI th V, Mei 2009 yg bertema "Maria Teladan Ketabahan". Pertanyaan saya, mengapa Bapak tidak menyebut nama Maria dalam artikel tersebut (selain nama Maria Magdalena)? Apakah menurut Bapak Bunda Maria tidak layak disebut walau di Alkitab sendiri ia disebut "berbahagia" oleh malaikat? Saya suka telaah-telaah teologi walau saya baru saja menjadi Katolik awal tahun ini setelah pada masa remaja dulu dibaptis di GPiB. Saya terinspirasi dengan www.katolisitas.org dan www.imankatolik.or.id serta www.vatican.va dan www.youtube.com/vatican Jika kita mengklik tautan-tautan itu, kita akan tahu kedalaman iman Kristen selama 2000 tahun ini. Luar biasa.
ReplyDeleteShaloom
I. Zaini - Semarang Tengah
Mas Nindyo, terima kasih untuk renungannya. Saya terharu karena ingat mama saya. Saya bersyukur kepada Tuhan karena IA memberikan mama yang begitu baik untuk saya. Terlalu banyak kalau saya jabarkan, karena pengorbanan mama untuk saya itu luar biasa. Yang jelas mama itu benar-benar menjadi berkat untuk papa, adik dan saya. Beliau adalah Penolong yang Tuhan berikan untuk kami bertiga. Elsa Marlyn Maniku - Surabaya
ReplyDelete