Film
Pada pembukannya, film ini menyatakan bahwa sumbernya tidak berdasarkan Injil-injil, tetapi sebuah novel dari Nikos Kazantzakis. Film ini dimulai dari sebuah novel. Novel The Last Temptation of Christ ditulis dalam bahasa Yunani pada tahun 1955 dengan judul O Teleutaios Peirasmos. Terjemahan Inggris terbit pada tahun 1960. Novel ini bukan biografi Yesus ataupun studi biblika atas kehidupan manusia dari Nazaret itu. Kazantzakis mengaku bahwa buku ini merupakan “pengakuan setiap manusia yang bergumul.” Dalam sebuah surat kepada seorang kawan, ia menulis, “Sejumlah orang terkejut bahwa Kristus memiliki pencobaan. Tetapi pada saat saya menuliskan buku ini, saya merasakan apa yang Kristus rasakan . . . dan saya tahu pasti bahwa pencobaan-pencobaan besar, yang sangat menggairahkan dan sahih, datang untuk menghalang-halanginya untuk menuju ke Golgota.” Di dalamnya, Yesus digambarkan sebagai seseorang yang bergulat dengan kemanusiaannya. Ia menghadapi pelbagai pencobaan, yang berujung untuk menghambat perannya sebagai Mesias.
Jika kita menyimak kehidupan Kazantzakis, maka kita tahu bahwa ia sendiri merupakan seorang pengembara hidup rohani yang tak kenal lelah. Ia ingin memahami kedalaman rahasia pengalaman religius. Kehidupannya sendiri digambarkan sebagai suatu perang tanding tiada habis dan tiada ampun antara roh dan kedagingan.” Ia mengidentifikasikan dirinya secara pribadi dengan suatu dilema kemanusiaan. Kristus adalah modelnya, “pergulatan antara daging dan roh, pemberontakan dan halangan, perdamaian dan kepatuhan dan akhirnya—tujuan tertinggi pergulatan itu—persatuan dengan Allah.”
Di tangan Martin Scorsese, novel ini diangkat menjadi sebuah film. Dinominasikan sebagai peraih 6 Oscar (Academy Award), film ini menggondol 1 Oscar untuk kategori sutradara terbaik. Memang layak bagi Scorsese. Ia adalah sutradara yang mumpuni. Di setiap filmnya, motif-motif religiositas selalu ada, seperti: pengampunan, penderitaan, penebusan, pengurbanan. Coba perhatikan film-film lainnya seperti Mean Street, Taxi Driver, Raging Bull, After Hours, The Color of Money dan yang cukup terkini Gangs of New York. Ia telah menyimpan hasrat untuk menggarap novel Kazantzakis selama 15 tahun, dan ia percaya hasilnya adalah “suatu peneguhan iman dan pengharapan” oleh karena dikerjakan dengan “keyakinan dan cinta-kasih.”
Yesus yang tampil di film ini digambarkan oleh Scorsese “dapat memahami problem-problem manusia; ia mengalami keterhilangan, hasrat, serta perasaan dan kelemahan manusia lainnya. Itulah sebabnya kita dapat mengenali pergumulannya dan mungkin mulai menghubungkannya dengan pergumulan kita.” Yesus ini bukan gambaran yang seperti tampil dalam kajian Yesus Sejarah atau penggalian alkitabiah mengenai si tukang kayu dari Nazaret. Potret Yesus di film ini kebanyakan fiktif, hanya saja meminjam banyak karakter dalam Injil. Imajinasi sang pembuat film berperan besar dalam pencitraan tokoh Yesus. Cerita yang tampil di dalamnya adalah gambaran Yesus yang lain. Yesus yang lain. Yesus yang mencoba banyak jalan kepada Allah: penyangkalan diri, meditasi, kepasrahan pada pembimbing rohani, perkumpulan yang ia bentuk, pengajaran, tindakan, nubuat dan akhirnya sengsara dan pengurbanannya. Pergumulannya sama seperti orang-orang kebanyakan yang sedang mencoba-coba laku religius.
No comments:
Post a Comment