MEMBEDAH BUKU GOD’S BUSINESS:
CATATAN HARI SABTU, 4 APRIL 2009 DI GKMI SOLA GRATIA
“Kalau ada pengusaha jadi pendeta, ia dianggap akan masuk ke surga;
Tetapi kalau ada pendeta menjadi pengusaha, ia dianggap langsung terjun ke neraka.”
Pdt. Dr. Aristarchus Sukarto
Dikotomi
Jika seseorang menjadi pendeta, orang lain akan memandang bahwa orang ini pasti baik kehidupan kerohaniaanya, tetapi ia pasti tidak mempunyai uang. Sedangkan, kepada pebisnis atau pengusaha, orang akan berkata, “Orang ini banyak duit, tapi tidak rohani!” Bia seorang pengusaha beralih profesi menjadi pendeta, ia dianggap bertobat. Tetapi bila seorang pendeta beralih menjadi penguasa, ia pun dituding murtad!
Dalam anggapan sebagian orang: Siapa jujur berbisnis, dia hancur! Siapa tidak jujur, dia mujur! Karena itu, menjadi pengusaha berarti berisiko hidup dalam ketidakjujuran. Pdm. Paul Gunawan mengatakan bahwa kadang pengusaha dianggap sedikit lebih rendah daripada politikus dan pialang. Tetapi, mereka dibutuhkan dan didekati untuk kegiatan-kegiatan gereja dan hal-hal lain.
Kita hidup dalam polarisasi yang sangat tajam antara pekerjaan-pekerjaan yang dianggap sekular, kompromistis, tidak rohani, dengan pekerjaan-pekerjaan yang rohani . . . dan dekat dengan surga! Itulah yang dialami oleh penulis buku yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia God’s Business: Memaknai Bisnis Secara Kristiani (Jakarta: Gunung Mulia, 2008; 310 hlm.).[1] R. Paul Stevens adalah pengajar senior di Kolese Regent, Vancouver, Kanada. Ia menjabat sebagai Profesor Emeritus David J. Brown Family untuk bidang Marketplace Theology dan Kepemimpinan.[2]
Ketika ia meninggalkan jabatan pendeta di sebuah gereja perguruan tinggi yang besar, bekerja magang sebagai tukang kayu, dan akhirnya membeli saham perusahaan, banyak orang berkata, “Kami telah meninggalkan pelayanan. Kamu telah menyia-nyiakan talentamu. Kamu telah mengingkari panggilanmu.” (hlm. 6). Benarkan seseorang yang terjun dalam dunia bisnis, berarti tidak melayani Allah? Itulah alasan untuknya menuliskan buku ini. Di dalamnya kita dituntun untuk menemukan “makna” dan “motivasi” bisnis. Dua variabel ini yang sekaligus membangun kerangka buku tersebut. Dengan perkataan lain, sang penulis ingin mengajak kita untuk menggali teologi dan spiritualitas bisnis. Tujuannya tentu saja, untuk meluluhlantakkan dikotomi sekular-religius yang masih terkonsep dalam pikiran banyak orang.
Apa itu teologi bisnis? Paul Stevens menyadari kata ini menakutkan banyak orang. Namun sesunggunya tidak demikian. Mengutip William Perkins, seorang pengkhotbah Puritan, “teologi adalah ilmu pengetahuan tentang kehidupan yang diberkati selamanya” (hlm. 16). Perkataan Perkins ini mengingatkan kita pada perkataan yang mirip dari William Ammes, yang sama-sama kaum Puritan, bahwa teologi sesungguhnya adalah ajaran untuk hidup bagi Allah. Maka, teologi bisnis hendak mengarahkan mata hati pembaca untuk melihat panggilan, pelayanan, pembangunan masyarakat dan globalisasi dalam keutuhan kehidupan Kristiani yang integral. Tidak ada pengotak-kotakan: Ini wilayah Allah, itu wilayah bukan Allah. Ini sekular, yang itu religius.
Sedangkan motivasi bisnis mendorong pembaca untuk menyelami spiritualitas pasar. Lebih dari sekadar memikirkan etika: bagaimana kita mengambil keputusan yang benar di tengah begitu banyak pilihan, Paul Stevens membukakan cakrawala yang “baru” mengenai spiritualitas pasar. Arahnya ialah supaya pembaca mendapatkan keutuhan, inspirasi dan integritas yang memberdayakan kita untuk memberikan yang terbaik, yang dicari Allah dalam keseluruhan hidup dan memberi kontribusi menuju dunia yang lebih baik.
Menjaring Visi Paul Stevens
Dalam upaya untuk memahami ide dan gagasan Paul Stevens untuk konteks Indonesia, redaksi majalah Berita GKMI bekerja sama dengan penerbit BPK Gunung Mulia mengadakan acara seminar dan bedah buku God’s Business tersebut. Menghadirkan pemapar yang telah dikenal sebagai sosok yang meretas dikotomi tersebut di atas, Pdt. Dr. Aristarchus Sukarto (rektor UKRIDA, Jakarta) dan para penanggap: Dr. Stefanus S. Sandjaja (dosen psikologi di UNIKA Soegijapranata), Bp. Harjanto Halim (pebisnis dan aktivis kemasyarakatan) dan Bp. Iwan Ganius (pebisnis dan aktivis gereja), acara yang berlangsung dari pukul 09.20 s.d. 13.10 itu berjalan dengan baik. Acara dipandu oleh Pdm. Nindyo Sasongko (pemimbing Komisi Remaja dan Pemuda GKMI Kudus).
Acara dibuka dengan sambutan ketua redaksi majalah Berita GKMI, Pdm. Paul Gunawan. Dalam sambutannya, Pak Paul menyampaikan maksud utama acara ini, yaitu untuk membudayakan membaca di kalangan jemaat. Tak kalah pentingnya, dalam acara ini diluncurkan situs resmi berita GKMI oleh Pdt. Aristarchus Sukarto yang juga menjabat sebagai Ketum Sinode GKMI. Makin meriah suasana bedah buku, karena penyanyi muda, cantik dan berbakat, Adelia Lukmana, mempersembahkan dua buah pujian. Pada akhir acara, Bp. Setio Boedi, salah satu tim redaksi bGKMI diminta menaikkan doa penutup.
Dalam makalahnya, Pdt. Aristarchus Sukarto menyampaikan bahwa pola hidup masyarakat kita sedikit banyak dipengaruhi pandangan Yunani kuno (bagi orang Kristen), dan kerangka hidup Hindu bagi kebanyakan warga masyarakat di Jawa. Pandangan hidup demikian menempatkan kaum rohaniwan sebagai pengampu posisi tertinggi. Imbasnya, berbisnis dipandang bukan kegiatan rohani dan tidak memiliki aspek panggilan ilahi. Pandangan tersebut harus diubah. Inilah tawaran oleh Paul Stevens. Panggilan bisnis pun merupakan panggilan Tuhan dalam rangka karya Tuhan untuk menciptakan kesejahteraan dan kehidupan yang baik.
Lebih lanjut Pak Aris menandaskan bahwa kedatangan Tuhan yang sebenarnya adalah untuk menjadikan masyarakat baru yang menumpukan hidup pada Tuhan dan yang membawa damai dan rasa sejahtera. Mengingat bahwa Allah adalah Pencipta semesta, maka kegiatan bisnis merupakan penghubung dan pengait ciptaan-ciptaan Allah supaya janji kehidupan yang bahagia dan sejahtera bisa terjadi.
Menyetujui Paul Stevens, Pak Aris mengatakan bahwa bisnis tidak bertujuan menciptakan keuntungan finansial semata. Harus ada nilai tambah yang diberikan dalam pelayanan kepada pelanggan. Nilai terdalam dari bisnis adalah saling menghargai. Jika pengusaha menghargai pelanggan, sebagai timbal balik, ada apresiasi dari pelanggan. Dari pengertian ini, Pak Aris tanpa tedheng aling-aling membedah para rohaniwan yang kerap menabukan (atau ditabukan untuk ber-) bisnis. Bila ada rohaniwan yang berkhotbah baik, dan sering diundang berkhotbah, ia sedang melakukan bisnis. Karena ia ingin menyajikan yang terbaik, dan sebagai imbalannya, ia sering diundang berkhotbah. Bahkan sewaktu hamba Tuhan melakukan konseling atau perkunjungan pastoral, ia melakukannya dengan baik, maka pada gilirannya ia pun akan mendapatkan apresiasi atas usahanya tersebut.
Pak Aris menggarisbawahi perbedaan mentalitas “Aku bekerja demi uang” dengan “Aku bekerja, karena itu aku mendapat uang.” Di dalamnya terselip motivasi. Uang adalah tujuan akhir ataukah uang sebagai apresiasi terhadap pekerjaan yang telah dilakukan. Hal ini senada dengan pendapat Paul Stevens yang terus-menerus mengingatkan kita bahwa pekerjaan kita harus dimaknai sebagai panggilan.
Rekonsiliasi Sekular-Religius
Sangat mencengangkan pernyataan Pak Harjanto Halim. Ia menalar secara teologis. Mengapa Yesus datang sebagai manusia? Kalau Ia adalah Tuhan, mengapa Ia tidak datang sebagai Roh saja? Sesungguhnya kedatangan Yesus Kristus hendak mempertemukan sekularitas dan spiritualitas. Di dalam sekularitas kita menemukan spiritualitas. Yesus mengadakan perombakan paradigma besar-besaran. Mengakui diri masih dalam pencarian iman dan spiritualitas, penanggap yang satu ini telah membuka tabir rahasia inkarnasi: Allah yang menjadi manusia.
Demikian pula pandangan Pak Iwan Ganius. Sebagai pengusaha sekaligus aktivis gereja yang juga terlibat dalam aras sinodal, Pak Iwan menandaskan keniscayaan bagi para pengusaha untuk melakukan firman Tuhan dalam kegiatan bisnis. Sesungguhnya, ayat-ayat di dalam Alkitab tidak kurang untuk menjadi penuntun bagi para pebisnis dalam melakukan usahanya. Dan bila mereka setia mengerjakannya, pasti Tuhan mencurahkan berkatnya.
Menyikapi opini bahwa para pengusaha sering “dimanfaatkan” uangnya untuk gereja dan kepentingan pelayanan, Pak Iwan menolak. Apabila pengusaha menyadari posisinya sebagai bagian dari “keluarga” dari sebuah komunitas yang disebut gereja, maka tidak mungkin pengusaha itu merasa dimanfaatkan. Dianalogikan seperti anak, bila orangtua meminta bantuan darinya, pasti si anak dengan rela hati memberikan bantuan.
Lain lagi pandangan Pak Stefanus Sandjaja sebagai seorang pendidik dan pakar psikologi pendidikan. Ia mengajak para peserta untuk menyadari, bahwa membaca buku ini tidak serta merta mengubah paradigma pembaca. Sebab, di dalam masyarakat dan gereja sudah ada “ketidaksadaran kolektif” (collective unconsciousness). Paul Stevens menawarkan sebuah optimisme bahwa tiap-tiap warga gereja dapat berubah dan harus berubah paradigmanya mengenai bisnis, namun di dalamnya harus ada sebuah proses yang panjang. Tidak mudah!
Mengapa tidak mudah? Karena untuk berubah, ada tahapan yang harus dilewati, yaitu dari (1) “penilaian moral prakonvensional” menuju (2) “penilaian moral konvensional” dan akhirnya (3) “penilaian moral pascakonvensional.” Yang pertama adalah sikap “Jika menguntungkan, maka aku akan mendekatinya!” Pendapat Pak Sandjaja, ketika membaca buku ini seseorang hanya mampu untuk berpindah dari (1) ke (2), yaitu manakala ada sebuah prinsip baru yang dipuji, sikap mematuhi hukum, menjadi “anak baik” yang taat peraturan. Tetapi sekali lagi, belum sampai kepada tujuan akhir yang diharapkan Paul Stevens.
Untuk sampai ke tahap (3), seseorang harus terus mengupayakan tiga hal: (a) bisnis harus semakin mendekatkan diri kepada Allah dalam hubungan yang intim; (b) bisnis harus mendorong pemuridan bagi keselamatan jiwa yang kekal; (c) bisnis harus ditekuni secara profesional sambil menjalankan prinsip-prinsip yang dikemukakan oleh Paul Stevens dalam buku ini. Agar mencapai tahapan ini, seseorang harus melakukan insightful learning, yang pada tiap-tiap waktu mendialogkan iman, prinsip dan profesionalitas pekerjaan.
Pernyataan di sampul belakang buku ini cukup menarik perhatian. Pihak penerbit bahasa Indonesia mengklaim buku ini berbeda. Apanya yang berbeda? Bila para pembaca mengarahkan perhatian pada bab paling akhir, yakni Epilog, maka kita akan disadarkan bahwa buku ini tidak sedang memusatkan perhatian kepada bisnis itu sendiri, tetapi kepada sosok atau pribadi yang melakukan bisnis. Paul Stevens memberi istilah “pemimpin kontemplatif,” yaitu “orang-orang suci yang mengenakan jubah bisnis biasa” (hlm. 292). Dengan begitu, fokus pembahasannya adalah: Bagaimana sang pengusaha menjalankan usahanya sebagai seorang Kristen yang berpandangan kehidupan utuh, bukan fragmentaris (terkotak-kotak), apalagi dikotomistik. Dengan perkataan lain, buku ini adalah sebuah penuntun formasi spiritualitas bagi para pebisnis. Inilah uniknya!
Memang harus diakui, sebagaimana ditandaskan Pak Aris dan Pak Iwan, buku ini tidak mudah dibaca oleh kalangan yang tidak memiliki latar belakang pengetahuan teologi yang cukup mendalam. Namun demikian, sasaran buku ini tetap untuk kaum yang tidak ditahbiskan (katakanlah: awam). Trik untuk membaca buku ini adalah dengan terus mendialogkan isinya dengan kehidupan real, dengan mata hati tetap mengarah kepada tujuan dan rencana Allah. Masing-masing pembaca pada akhirnya yang dapat mengambil keputusan, apakah buku ini berguna atau tidak!
Catatan Tambahan:
Dari gaya tulisan Paul Stevens, pembaca serius akan menangkap gaya tulisan kaum Puritan. Apalagi, ia berkarya dalam sebuah kolese yang bernapaskan Puritanisme, yaitu Regent College, Vancouver. Kolese ini mirip sebuah seminari, meskipun tidak mau disebut seminari! Sekolah ini berhaluan interdenominasi. Sekarang, sekolah ini diketuai oleh seorang Mennonite, pakar konseling dan psikologi, Dr. Rodney J. K. Wilson. Tak lama setelah pendiriannya pada tahun 1970-an, sekolah ini merekrut pemikir Kristen kelas dunia yang memiliki visi Puritan yang kuat, seperti J. I. Packer, James M. Houston dan ahli-ahli Kitab Suci sekaliber Bruce Waltke dan Gordon D. Fee, dan spiritualis Kristen Eugene H. Peterson.
Apa itu Puritan? Kelompok ini berkembang di Inggris pada abad ke-15 dan ke-16, sebagai kelanjutan gerakan Reformasi, khususnya yang terjadi di Jenewa yang dipimpin Calvin. Sebenarnya sama seperti cap Anabaptis dan Mennonite, istilah Puritan mula-mula dimaksudkan sebagai olok-olokan kepada satu kelompok pembaruan Gereja Inggris (Anglikan) yang menekankan panggilan pertobatan dan kekudusan hidup. Para pendahulu Puritanisme memiliki komitmen yang tinggi terhadap teologi Reformed. Iman Puritan terbentuk oleh karena pergulatan dengan kebudayaan religius populer dan pengajaran Katolik Roma.
Apa yang menjadikan kaum Puritan unik? Di dalam gerakan ini, muncul nama-nama pemikir-pemikir besar yang dikenal dalam dunia teologi dan sastra seperti John Owen, William Perkins, Matthew Henry, John Bunyan, John Newton dan masih banyak lagi. Sekalipun memiliki pemikir teologi kelas kakap, gerakan Puritan sangat menekankan aspek praktis dari teologinya. Etika pribadi dan sosial pun diperhatikan, khususnya mengenai kesadaran moral. Lebih-lebih mengenai panggilan pekerjaan, hubungan dalam keluarga, gereja dan negara persemakmuran. Semua ranah kehidupan diletakkan dalam tujuan Allah yang menebus umat manusia. Visi hidup kaum Puritan dengan demikian tidak menceraikan antara masalah iman dan kehidupan setiap hari.
Dalam pada itu, Paul Stevens pasti menolak bila dikotak dalam Puritanisme sempit! Ia membuktikan dalam bukunya. Dialog yang luas dapat kita jumpai: dengan tradisi Kekristenan Barat (Katolik Roma) dan Timur (Ortodoks Yunani), Tradisi Reformasi arus utama maupun Reformasi Kiri (Anabaptis/Mennonite) dan lain-lain. Inilah salah satu faktor alasan buku ini cukup berat dibaca oleh orang yang menghendaki resep-resep berbisnis secara Kristiani. Seseorang yang tidak memiliki spektrum yang luas serasa sedang menaiki roller-coaster.
Namun, bagi pembaca yang ingin mendapatkan identitas sebagai pengusaha, dan berupaya agar identitas itu tetap melekat, buku ini sangat mengasyikkan! Mencerahkan! Memberi ilham dan dorongan semangat! Setiap pengusaha yang sedang ragu-ragu akan spiritualitas pekerjaannya itu, akan menemukan jawabannya. Bahwa menjadi pengusaha pun merupakan panggilan Tuhan! Sebuah panggilan mulia! Sebuah panggilan untuk menjadi penatalayan Allah bagi dunia ciptaan-Nya, sehingga tercipta damai sejahtera, kemakmuran, keadilan, dan perdamaian.
[1]Buku aslinya berjudul Doing God’s Business: Meaning and Motivation for the Marketplace (Grand Rapids: Eerdmans, 2006; 251 hlm.).
[2]Ia meraih gelar BA dan BD dari Universitas McMaster di Kanada dan D.Min. di Seminari Teologi Fuller di Pasadena, Amerika Serikat. Posisi Paul Stevens kini digantikan oleh Paul S. Williams, seorang berkebangsaan Inggris.
No comments:
Post a Comment