MENGGAPAI PRESTASI HIDUP
“Tidak tahukah kamu, bahwa dalam gelanggang pertandingan semua peserta turut berlari,
tetapi hanya satu orang saja yang mendapat hadiah? Karena itu, larilah begitu rupa,
sehingga kamu memperolehnya! Tiap-tiap orang turut mengambil bagian dalam pertandingan,
menguasai dirinya sendiri dalam segala hal. Mereka berbuat demikian untuk memperoleh suatu mahkota yang fana, tetapi kita untuk memperoleh suatu mahkota yang abadi. Sebab itu, aku tidak berlari tanpa tujuan dan aku bukan petinju yang sembarangan saja memukul tetapi aku melatih tubuhku dan menguasainya seluruhnya, supaya sesudah memberitakan Injil kepada orang lain, jangan aku sendiri ditolak.” (1 Korintus 9:24-27)
Demi Emas
Membaca tuturan rasul Paulus, kita seolah-olah sedang berada di gelanggang Olimpiade. Setiap kali menyaksikan tayangan pertandingan Olimpiade di TV—sambil bermimpi bila waktunya tiba Indonesia menjadi tuan rumah kejuaraan beken dunia ini—kita terkesan dengan disiplin ketat yang dijalani oleh para atlet agar mereka dapat meraih hadiah tertinggi: medali emas! Ratusan pelari, pelompat, perenang, dan atlet-atlet cabang-cabang olahraga yang lain berjuang menggunakan seluruh waktunya sebagai upaya untuk mengukir prestasi dalam ajang perlombaan ini.
Pada Olimpiade tahun 1992 di Barcelona, Spanyol, ada seorang atlet berkebangsaan Prancis bernama Gatier, serta Waldner dari Swedia yang bertanding dalam final cabang tenis meja. Pertanyaan yang membuat tegang kedua pemain itu dan juga ribuan penontonnya, termasuk Raja Gustav dari Swedia dan istrinya ialah, “Siapa dari antara kedua pemain ini akan meraih medali emas, dan siapa yang harus puas menerima medali perak?”
Dengan semangat tinggi kedua pemain itu melompat, meliuk di sekitar meja tenis sambil berusaha untuk mengembalikan bola kecil berwarna kuning yang di-smash oleh lawan, berjuang untuk mengalahkan lawannya, dan setiap kali membuat pendukung mereka masing-masing bertepuk kagum. Kekuatan, kecepatan, ketepatan, serta kecermatan mereka dalam mengumpulkan angka yang susul-menyusul membuat penonton terus bertanya sampai akhir, siapa yang akan keluar sebagai pemenang.
Ketika akhirnya Waldner menang dengan angka 25-23, wajahnya yang tegang menjadi cair ketika ia melemparkan diri ke pelukan pelatihnya. Ini adalah medali emas pertama bagi kontingen Swedia dalam Olimpiade Barcelona itu. Tepuk tangan yang gemuruh di ruangan pertandingan dan kegembiaraan orang-orang Swedia menunjukkan bahwa sesuatu yang amat penting telah terjadi.
Ketika rasul Paulus melihat pertandingan seperti ini, ia bertanya-tanya kapan ia akan memusatkan seluruh kemauan dan mempunyai disiplin tinggi seperti orang-orang itu, agar dapat memenangkan kemuliaan abadi seperti halnya para atlet memenangkan medali emas mereka. Mungkin ada baiknya kita membayangkan orang-orang yang saleh, para malaikat, dan para malaikat agung sebagai penonton dan menyadari bahwa Sang Raja sendiri melihat kita dan ingin memberikan kepada kita emas kasih-Nya yang abadi.
Tujuan yang Jelas?
Apakah dalam hidup ini kita mempunyai tujuan yang jelas? Para atlet mempunyai tujuan yang jelas, yaitu meraih medali emas dalam Olimpiade, dan untuk itu semua, yang lain menjadi nomor dua. Cara mereka makan, tidur, belajar, dan berlatih ditentukan oleh satu tujuan jelas itu.
Hal seperti ini benar juga dalam hidup rohani. Tanpa tujuan yang jelas, perhatian kita selalu akan bercabang dan kita menghabiskan tenaga untuk hal-hal yang remeh-temeh. Kepada para pendengarnya, Martin Luther King Jr. berkata, “Arahkanlah pandangan Anda pada hadiah yang disediakan.” Apakah hadiah kita? Hadiah kita adalah hidup ilahi, hidup abadi, hidup bersama, dan dalam Allah. Yesus menunjukkan tjuan dan hadiah itu kepada kita. Ia berkata kepada Nikodemus, “Begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.” (Yoh. 3:16).
Tidaklah mudah mengarahkan pandangan kita kepada hidup abadi, khususnya di dunia yang selalu mengatakan kepada kita bahwa ada hal-hal yang lebih dekat dengan kita dan lebih mendesak yang meminta perhatian kita. Tidak ada hari yang tidak menarik kita untuk melepaskan pandangan ke arah tujuan itu dan membuatnya kabur dan tidak jelas. Meskipun demikian, dari pengalaman kita tahu bahwa tanpa tujuan yang jelas, hidup kita menjadi terpotong-potong oleh berbagai beban dan tugas yang tidak berhubungan satu dengan yang lain. Pengalaman seperti itu menghabiskan tenaga dan membuat diri kita lebih lelah dan merasa seluruh usaha sia-sua. Lalu, apa yang harus kita lakukan agar ujuan itu tetap jelas dan pandangan kita terarah kepada hadiah yang disediakan?
Jawabannya ialah disiplin doa. Disiplin ini membantu kita untuk terus-menerus mempersilakan Allah datang dan masuk ke pusat kehidupan kita. Perhatian kita akan selalu terpecah, sibuk dengan berbagai macam tuntutan yang mendesak. Tetapi kalau ada waktu dan tempat yang disediakan untuk kembali kepada Allah yang menawarkan hidup abadi kepada kita, langkah demi langkah kita dapat menyadari bahwa begitu banyak hal yang harus kita kerjakan, kita katakan, atau kita pikirkan tidak lagi memecah-mecahkan perhatian kita. Sebaliknya, semua itu membawa kita lebih dekat kepada tujuan kita. Doa menjamin hal itu dan kalau tujuan kita menjadi kabur, doa membuatnya kembali jelas.
Pertanyaan Reflektif (Sharingkan dalam kelompok Anda)
1. Apa yang biasanya membuat Anda mudah stres (tertekan) dalam hidup Anda? Bagaimana Anda menghadapi stres dalam hidup?
2. Apa yang biasanya pertama kali Anda kerjakan setelah Anda dapat menanggulangi stres itu?
3. Bagi Anda, hidup itu apa (definisikan!)? Apa yang harus Anda temukan di dalam hidup? Apa yang harus Anda kerjakan dalam hidup?
(Diadopsi dari Henri J. M. Nouwen, Mencari Makna Kehidupan. Yogyakarta: Kanisius, 1998. Hlm. 40-46)
*Refleksi Kelompok pengantar Doa Taize Persekutuan Pemuda Vox Reformata, Sabtu, 29 September 2012