Showing posts with label Ikon. Show all posts
Showing posts with label Ikon. Show all posts

Monday, August 18, 2008

DARA YANG BERDOA, DIA YANG DIKUDUSKAN (2)



Penghulu-penghulu Malaikat



Di sebelah atas, kanan dan kiri, terdapat dua orang penghulu malaikat, yang digambarkan dalam sebuah medali. Penghulu malaikat sebelah kiri, di tangan kanannya terdapat sebuah tongkat, lambang kekuasaan, dan yang kanan tangan kirinya terbuka sebagai bentuk adorasi atau pujian. Kedua malaikat itu membawa bulatan lambang bumi yang di tengahnya terdapat salib. Hal ini mengingatkan kita kepada firman Tuhan sendiri bahwa “oleh Dialah [Allah] memperdamaikan segala sesuatu dengan diri-Nya, baik yang ada di bumi, maupun yang ada di surga” (Kol. 1:20). Bulatan bumi itu adalah lambang dunia yang telah ditebus dan diperdamaikan oleh salib Kristus! Sehingga benarlah pujian dalam Kitab Wahyu, “Pemerintahan atas dunia dipegang oleh Tuhan kita dan Dia yang diurapi-Nya, dan Ia akan memerintah sebagai raja sampai selama-lamanya” (Why 11:15).



Cermatilah lebih lanjut, bahwa ukuran Sang Dara jauh lebih besar daripada ukuran kedua penghulu malaikat itu. Amati pula bagian atas jubah Sang Dara yang berwarna coklat bersinar keemasan. Jubah itu mengembang sehingga mirip sekali dengan malaikat yang mengembangkan sayapnya. Dalam sejarahnya, ikon ini kerap disebut sebagai ikon “SANG DARA, LEBIH AGUNG DARIPADA MALAIKAT-MALAIKAT.”



Ada kebenaran di balik penggambaran ini. Iman Kristen mengajarkan kepada kita untuk tidak berkanjang kepada dunia angelic, apalagi sampai memuja-muja malaikat sedemikian rupa. Rasul Paulus telah memperingatkan jemaat di Kolose untuk tidak “membiarkan kemenanganmu digagalkan oleh orang yang berpura-pura merendahkan diri dan beribadah kepada malaikat, serta berkanjang kepada penglihatan-penglihatan dan tanpa alasan membesar-besarkan diri oleh pikirannya yang duniawi, tetapi yang tidak berpegang teguh kepada Kepala . . .” (Kol. 2:18-19). Akses orang Kristen terhadap rahasia kemenangan iman bukanlah pada pekerjaan malaikat, tetapi langsung kepada Kristus yang adalah Kepala dan Juruselamat.



Dalam Kitab Suci, para malaikat ingin sekali memahami rahasia keselamatan yang Allah sediakan kepada manusia (1Ptr. 1:12). Mengapakah, ketika manusia berdosa, disediakan keselamatan? Tetapi ketika malaikat berdosa, hanya kebinasaan dan pengusiran dari surga saja yang berlaku bagi mereka? Rahasia iman ini diterangkan oleh Alkitab sendiri dengan tepat: Kristus datang untuk menebus manusia berdosa, dan bukan malaikat-malaikat! Kristus datang menjadi manusia, bukan menjadi malaikat. Ia menjadi sama seperti kita, terikat dan terbatasi oleh ruang dan waktu, namun berbeda dalam hal keberdosaan! Cur Deus homo? tidak pernah terpecahkan oleh malaikat-malaikat, bahkan oleh para penghulu malaikat! Mereka hanya dapat tersungkur dan bersembah sujud kepada Allah!



Lihatlah! Wajah malaikat-malaikat itu menunjukkan kekaguman tiada tara, nampak ingin memahami rahasia inkarnasi Kristus. Mereka mengamat-amati Sang Dara, seolah-olah ingin mengungkapkan kekaguman mereka atas kebaikan Allah melalui kelahiran Sang Putra lewat Dara itu. Mereka ingin menyelidiki apa artinya! Akan tetapi, dalam keterkaguman mereka, mereka hanya dapat memberikan puja-puji dan kekuasaan itu hanya bagi Kristus Tuhan. “Bagi Dia yang duduk di atas takhta dan bagi Anak Domba, adalah puji-pujian dan hormat dan kemuliaan dan kuasa sampai selama-lamanya!” (Why. 5:13). Dan lagi, “Amin! Puji-pujian dan kemuliaan, dan hikmat dan syukur dan hormat dan kekuasaan dan kekuatan bagi Allah kita sampai selama-lamanya! Amin!” (Why. 7:12).





Medali Kristus



Di dada Sang Dara, terdapat Kristus yang ditempatkan dalam sebuah medali. Medali itu menempel pada jantungnya. Dalam ikonografi, Kristus yang seperti ini disebut sebagai Kristus Imanuel. Apabila sekarang kita melihat ikon Kristus Imanuel (Christus Emmanuel), berada di jantung hati Sang Dara, kita pun diingatkan akan firman Tuhan, “’Sesungguhnya, anak dara itu akan mengandung dan melahirkan seorang anak laki-laki, dan mereka akan menamakan Dia Imanuel’—yang berarti Tuhan menyertai kita” (Matius 1:23 bdk. Yes. 7:14). Kristus Imanuel adalah buah tubuh Sang Dara, dan Ia berada di dalam rahim Sang Bunda.



Sang Kristus Imanuel itu tengah merentangkan kedua tangan-Nya, dalam posisi memberkati. Bila Anda lihat, gerak tangan Sang Imanuel ini bersinambung dengan tangan Sang Dara yang sedang berdoa. Sang Dara berdoa untuk umat Allah, Sang Imanuel memberikan berkat-berkat-Nya. Dialah yang memberikan jawaban atas doa-doa orang kudus-Nya, dan Dialah yang menjadi sumber berkat serta pohon keselamatan manusia berdosa.



Ada sesuatu yang luar biasa jika kita mengambil waktu untuk berkontemplasi di depan ikon ini. Semakin lama kita akan semakin kita menyadari bahwa fokus ikon ini bukan kepada Sang Dara. Bagaimana kita tahu? Ikon ini membawa kita kepada rahasia Trinitas yang begitu dalam. Perhatikanlah medali Kristus Imanuel dan medali kedua penghulu malaikat. Bila kita tarik, kita akan menemukan sebuah segitiga, yang menghubungkan kedua malaikat dengan kepala Sang Dara, serta kedua malaikat itu dengan medali Sang Imanuel. Tangan Sang Dara serta lipatan jubah sebelah atasnya menjadi bingkai dari segitiga itu.



Jadi jika kita mau satu padukan pehamanan di atas, yaitu bahwa Sang Dara—sekalipun ia lebih besar daripada malaikat-malaikat—tetapi ia hanyalah “bingkai” atau pengantar agar umat dapat datang dan mengenali rahasia terbesar iman mereka yaitu kehidupan di dalam persekutuan dengan Trinitas yang kudus. Ia disebut sebagai “penunjuk jalan”; dan Kristus adalah Jalan itu, dan dengan seseorang mengenal Kristus, seseorang akan dimaktubkan dalam persekutuan Allah Trinitas yang kudus.





Spiritualitas untuk Masa Kini



Setiap hari kita hidup dalam perjumpaan dengan orang lain. Perjumpaan itu dapat membuat kita senang, tetapi juga dapat membuat kita susah. Kita dapat menghargai orang lain, tetapi juga dapat merendahkan orang lain. Akan tetapi setiap kita, dalam sejarah hidup kita, memiliki sosok atau pribadi yang kita katakan sebagai “idola.” Di mata kita, sang idola kadang-kadang membuat kita tak dapat berpikir objektif. Sang idola seolah-olah menjadi sosok yang tanpa cacat dan tanpa cela.



Untuk itu kita perlu berpikir lebih objektif. Untuk menjadi keobjektivan ini, butuh waktu. Kita harus belajar untuk lebih tenang, tidak tergesa-gesa, dan melihat orang lain dengan apa adanya. Ikon Panagia Agung sekilas mengesankan bahwa Sang Dara adalah pusat dari ikon ini. Padahal, bila kita mengambil waktu untuk lebih cermat dan bermenung, kita ternyata dibawa untuk melihat lebih dalam. Bukan Sang Dara, tetapi kehidupan di dalam Allah Trinitas, itulah yang menjadi fokus perhatian utama.



Oleh karena itu, marilah kita belajar untuk mendekatkan jiwa dan tubuh kita kepada Dia yang empunya kehidupan ini. Maka kita pun akan diantar ke dalam suatu rahasia hidup yang berkemenangan di dalam Tuhan, sebuah kehidupan yang jauh lebih indah, yang Ia telah persiapkan melalui pengutusan Kristus dan penebusan-Nya. Haleluya!





TERPUJILAH ALLAH!



DARA YANG BERDOA, DIA YANG DIKUDUSKAN (1)



DARA YANG BERDOA, DIA YANG DIKUDUSKAN





Pembuka



Saya ingin kembali berbagi refleksi mengenai ikon. Ikon yang satu ini pun ada di meja kerja saya. Sama seperti ikon Theotokos Bogorod (Bogorodskaya), semula saya tidak tertarik! Kenapa? Lagi-lagi Maria. Tetapi saya kembali mengalami metanoia (“pertobatan”) bahkan mungkin bisa juga disebut Aufklaerung! (“pencerahan”). Ikon ini ternyata memiliki daya pikat tersendiri.



Dilukis dengan gaya mazhab Kiev, ikon Panagia Agung ini merupakan salah satu ikon kuno Rusia. Kira-kira dibuat pada tahun 1114 dan saat ini berada di Galeri Tretiakov, Moskow. Ukurannya cukup besar, 194 x 120 cm.



Ikon Panagia Agung ini memikat hati saya pertama-tama karena posisi Sang Dara yang berbeda dengan ikon-ikon Rusia lainnya. Pose sang Dara utuh dari kepala sampai ke kaki. Ia tidak sedang menggedong Kristus yang kecil, tetapi Kristus itu digambarkan berada di dalam sebuah medali yang ada di dada Sang Dara. Pakaiannya menggembang dan apabila ikon ini dibagi dua bagian dari atas ke bawah, maka nyaris saja simetris.



Marilah kita mencoba untuk bermenung di hadapan ikon ini. Pertama, Sang Dara sedang berdiri dan menengadahkan tangannya ke atas. Gambaran ini biasa dalam lukisan Ortodoks Timur, khususnya yang digambar dalam kubah-kubah dan dinding-dinding gereja Ortodoks. Tak mungkin diragukan, ada pengaruh mosaik gaya Bizantium dalam ikon ini. Gereja-gereja Bizantium biasa mengetengahkan Sang Dara tengah berdiri, dengan lipatan-lipatan jubahnya yang digambarkan ditail.



Hendaknya selalu diingat, ikon dilukis bukan untuk menggambarkan atau memvisualisasikan kejadian di dalam Alkitab, seperti sebuah paparan gambar ilustrasi Sekolah Minggu. Ikon dibuat dengan tujuan melihat kedalaman teologi Kristiani, dan dengan teologi yang tergambar tersebut, orang-orang Kristen diantar untuk memuji-muji Allah yang hidup dan yang benar, serta karya-karya-Nya yang besar. Tentu saja, tidak terlalu cocok untuk Sekolah Minggu anak-anak.





Sang Dara



Ikon Panagia Agung, tak kurang mengetengahkan teologi yang dalam mengenai Sang Dara, sebagai cerminan agung orang-orang kudus yang telah mendahului kita. Ia disebut sebagai panagia, yang berasal dari pan (“segala”) dan hagia (“kudus”). Dalam tradisi gereja kuno, Sang Dara disebut sebagai “Yang segalanya kudus” atau “yang terkudus,” boleh pula disebut “mahakudus.” Nanti dulu! Bukankah hal ini berkontradisi dengan Allah yang suci? Tidak sama sekali. Dalam bahasa, kita sering rancu dengan bentuk komparatif dan superlatif. Contoh dalam butir pertama Pancasila, disebutkan “Ketuhanan yang Mahaesa.” Bagaimana mungkin Tuhan itu “mahaesa”? “Esa” atau “satu” itu tidak mempunyai tingkatan. Apakah Allah mengenal tingkatan superlatif?



Di dalam Alkitab, Allah tidak pernah disebut “mahakudus.” LAI menerjemahkan Yesaya 5:16 “Tetapi TUHAN semesta alam akan ternyata maha tinggi dalam keadilan-Nya, dan Allah yang maha kudus akan menyatakan kekudusan-Nya dalam kebenaran-Nya.” Tapi perhatikan terjemahan TNIV, “But the LORD Almighty will be exalted by his justice, and the holy God will be proved holy by his righteous acts. Allah tidak mengenal bentuk superlatif, bukan? Yang dikenai bentuk superlatif adalah barang (mis. “ruang mahakudus”) atau orang. Tetapi lihatlah Imamat 19:2, Allah menyatakan di sana sebagai “Aku ini kudus.”



Maria disebut sebagai “yang terkudus” bukan karena ia dikandung tanpa noda dan dosa. Maria adalah gadis biasa, yang sebelum anunsiasi Gabriel, ia pun tak ubahnya seperti kita. Tetapi perjumpaan itulah yang menjadi titik balik kehidupan Maria. Rahimnya dipinjam untuk melahirkan Anak Allah, dan ia dikuduskan secara khusus. Dalam sejarah kehidupan Kristus, kita lihat betapa Maria dekat dengan titik-titik penting perjalanan Kristus untuk menjadi Mesias.



Dalam ikon ini, Sang Dara menengadahkan kedua tangannya ke atas. Ia sedang berdoa. Ia sedang berdoa untuk umat Allah. Ya benar, kita memiliki Juru syafaat Agung di surga, yaitu Yesus Kristus, tetapi bukankah kita pun memiliki saksi-saksi iman yang mendoakan kita yang belum mencapai hypostasis yang sama seperti mereka—dimuliakan untuk bersekutu dengan Allah dan tinggal dalam keadaan yang terberkati? Sang Dara ini menjadi jurusyafaat kita!



Perhatikan pula pandangan mata Sang Dara. Apakah ia sedang melihat kita? Perhatikan baik-baik, ternyata tidak! Betapa pun kita ingin agar Sang Dara memandang kita, ia toh tidak memandang kita. Ia memandang sebelah kita. Apa artinya? Ia pun sedang memandang orang lain. Ia menyatakan bahwa kesaksian iman yang ia bawa, bukan untuk kita semata, tetapi juga untuk tetangga-tetangga kita. Panggilan Kristiani untuk dimerdekakan dari dosa bukanlah panggilan yang privat. Kita memiliki saudara-saudara yang diperciki oleh darah Kristus dan dikuduskan oleh Roh-Nya yang kudus.



Karpet merah yang menjadi alas pijakan Sang Dara mengingatkan kita akan gambaran yang selalu ada dalam tiap-tiap kali menyaksikan peristiwa akbar di Amerika Serikat, yaitu penghargaan Oscar atau Academy Awards. Para bintang film Hollywood melenggangkan kaki di atas “karpet merah.” Pada zaman Rusia awal, telah dikenal pula bahwa karpet merah menunjukkan kehormatan para keluarga keraton. Sang Dara menginjak karpet merah, hal ini menjadi sebuah aksentuasi bahwa ia adalah pribadi yang sangat dihormati di dalam Gereja Tuhan, lebih daripada kita menghargai para artis, bahkan lebih daripada kita menghormati orang-orang kudus dalam sejarah Gereja Tuhan.



Thursday, August 7, 2008

THEOTOKOS DARI BOGOROD (2)



Membaca Ikon Bogorodskaya



Berbicara mengenai spiritualitas sesungguhnya berbicara mengenai keberanian untuk hidup. Ada banyak orang berani mati, tetapi takut hidup. Karena itu mereka memilih untuk bunuh diri, ketimbang menanggung tanggung jawab atas segala yang telah dilakukannya.



Maria



Ikon ini pun tetap menampilkan keanggunan dan keindahannya yang tak terperi! Maria dan Kristus kecil yang ada di pangkuannya. Maria yang dilukis lebih besar dari Kristus, sedang menatang Kristus dengan tangan kanannya. Kepalanya terarah kepada Kristus, dan menunduk. Nampak jelas, Maria memberi penghormatan kepada Kristus. Sang Bunda Allah tidak pernah meminta seorang pun untuk menyembah dan memuliakannya. Pujian dan penyembahan hanya layak ditujukan bagi Kristus sang Putra!



Waktu kita memandang wajah Maria, yang sorot matanya tertuju kepada Kristus, nampak jelas bahwa ia sedang memikirkan sesuatu! Garis-garis matanya mempertegas beban-beban yang coba disembunyikan oleh Maria. Ia nampak cemas. Mulutnya terkatup rapat, dan raut mukanya sendu. Apakah yang sedang dipikirkan oleh Maria? Maria tahu benar bahwa yang ada di tangan-Nya adalah Putra Allah, dan Dialah yang akan menjadi pokok keselamatan bagi umat Allah. Pribadi yang ada di tangannya akan mewujudkan rencana agung keselamatan Allah!



Hal ini dipertegas dengan pakaian luar Maria yang berwarna ungu, lambang kesedihan dan dukacita yang mendalam. Sebagai Bunda Allah, ia menyimpan segala rahasia yang pelan-pelan disingkapkan di hadapannya, bahwa dengan berselangnya waktu, maka Sang Putra itu akan semakin terpisah dari pelukannya. Sampai akhirnya ia disalibkan dan Maria hanya dapat memandang dari bawah salib. Namun ia menerima kembali tubuh Kristus ke dalam pelukannya, yaitu tatkala Kristus diturunkan dari salib untuk dikuburkan (Pieta)! Namun yang kini di dalam pelukan tangan-Nya bukan lagi Yesus anak Maria dan Daud, tetapi sungguh-sungguh Putra Allah, Pokok keselamatan segenap semesta. Itulah sebabnya, di ruang ibadah Komisi Remaja, saya letakkan ikon Theotokos Bogorod berhadap-hadapan dengan ikon penyaliban dan Pieta.



Gerakan tangan kiri Maria tak kurang menggetarkan hati para “pembacanya.” Ia sedang menunjuk kepada Kristus, namun nyaris telapak tangan kiri itu dekat sekali dengan jantungnya. Maria yang berdiam seribu bahasa itu, nampaknya ingin mengomunikasikan sesuatu kepada kita. Nampak ia ingin berbicara, “Inilah Tuhan dan Juruselamatmu!” Ia menunjuk kepada Yesus. Dan segala peristiwa yang menimpa Kristus kelak, akan Maria simpan di dalam hatinya dan merenungkannya (Luk. 2:19, 51).



Kristus



Sedangkan Kristus yang berada di tangan kirinya, bukanlah Kristus yang bayi yang tak berdaya. Ia nampak “lebih dewasa.” Ia duduk tegak, menunjukkan otoritas dan keteguhan hati-Nya untuk melaksanakan segenap panggilan hidup-Nya sampai akhir. Ia nampak lebih “cerdas.” Pakaiannya yang berwana emas mengingatkan kita akan kemuliaan yang Ia telah miliki sejak kekekalan, dan walaupun telah berinkarnasi, namun kemuliaan itu tak pernah pudar dalam diri-Nya.



Mata-Nya memandang ke atas. Sekilas, Ia sedang memandangi Sang Bunda. Namun bila kita perhatikan baik-baik, Kristus menerawang lebih jauh daripada sekadar melihat wajah Maria. Sejak kecil, Ia sudah tahu bahwa Ia bukan anak Maria. Ia datang ke dalam dunia untuk menjalankan sebuah misi besar! Misi itu dimandatkan oleh Dia yang lebih tinggi dari segala sesuatu, dan yang menjadikan segala sesuatu. Dialah Sang Bapa di surga! Kristus datang untuk menggenapkan rencana agung dari Sang Bapa!



Kristus “memandang” Maria dengan wajah yang tenang, nyaris tersenyum. Karena Ia berada dalam rancangan kehendak Bapa, Kristus tampil dengan tenang. Tangan kanan-Nya terangkat dan memberkati Maria. Ya, Yesus Putra Maria memberkati Maria! Berarti memang benar, Dia bukan berposisi sama atau di bawah Maria. Ia jauh lebih tinggi dari Maria.



Berkat itulah yang Ia mau tujukan kepada Maria yang tengah gundah gulana dan berbeban berat. Kristus juga memberikan berkat kepada siapa pun yang sedang bergumul dan berjuang dalam kerasnya kehidupan dan ketidakpastian akan hari esok. Kristus memberikan damai di tengah kepenatan hidup. Sama seperti janji-Nya, “Damai sejahtera Kutinggalkan bagimu. Damai sejahtera-Ku Kuberikan kepadamu, dan apa yang Kuberikan tidak seperti yang diberikan oleh dunia kepadamu. Janganlah gelisah dan gentar hatimu” (Yoh. 14:27).



Tangan Yesus memegang sebuah kitab yang tertutup. Biasanya, ikon-ikon yang melukiskan Kristus memegang kitab tertutup diberi nama “Kristus Sang Pemberi Hidup.” Kitab itu dihadapkan kepada Maria. Yesus ingin berbicara kepada Maria, “Akulah pemegang kunci untuk membuka meterai yang tertutup dari Kitab Kehidupan” (bdk. Why. 5:7).



Maria dan Kristus



Ikon ini berbicara mengenai kedekatan Maria dan Yesus, sekaligus betapa jauhnya mereka berdua! Lingkaran halo di atas kepala masing-masing bersinggungan sehingga membentuk sebuah irisan, tetapi tidak bergabung dalam bagian yang besar (seperti Theotokos Vladimir ataupun Theotokos Eleusa).



Sekali lagi, meski Yesus adalah buah tubuh-Nya, tetapi yang terpuji adalah Kristus, buah tubuh-Nya itu. Maria pun membutuhkan keselamatan dari Kristus. Pelan-pelan, rahasia Kristus menjadi kian tersingkap dari mata Maria. Maria adalah sosok seorang murid yang setia, yang hadir dalam masa-masa penting dalam kehidupan Kristus. Ia belajar untuk menghayati rahasia penyingkapan Kristus. Ia patuh dalam menantikan penyataan Yesus sebagai Mesias yang agung dan ditinggikan.



Demikian pun apabila kita sejenak merenungkan hubungan orang percaya dengan Kristus! Kita mengenal Kristus sebagai Sahabat kita yang baik, tetapi janganlah pernah mendomestikasikan Kristus Yesus. Terkadang orang Kristen berubah teramat melankolis dan mereka-reka kedekatan Kristus sebagai keadaan untuk kenyamanan pribadi. Dalam kancah iman dan agama yang banyak kali diwarnai dan diadopsi dari dunia Barat, khususnya daratan Amerika Utara yang sangat individualistik, Kristus ditakar dengan kebaikan-Nya bagi-ku! Keselamatan berarti apa yang nyaman dan membuat hidupku tak kurang dari apa pun juga. Kristus bahkan dipahami sebagai seorang “pacar”!



Bukan demikian kebenaran-Nya. Kristus bukanlah Juruselamat yang privat dan dapat diklaim secara individu. Kristus adalah milik segala umat Allah. Maka, Kristus, sekalipun Ia dekat dan selama-lamanya dekat di hati kita, tetapi Ia pun merupakan Allah yang berkuasa dan perkasa hingga kesudahan zaman. Ia beririsan dengan kemanusiaan kita, tetapi Ia pun berbeda dengan kita—Ia tidak mengenal dosa!





Menuju Rahasia Terdalam



Sungguh, ikon ini bukanlah sebuah lukisan biasa, tentang dua sosok yang saling berpandang-pandangan. Ikon ini sedang mengajak kita untuk terlibat dalam sebuah dialog rohani, dan kita dibawa untuk masuk dan menyelami rahasia agung rencana Allah, yaitu keselamatan yang diwujudkan oleh Kristus. Sesungguhnya, semakin kita memahami ikon ini, kita diantar untuk memasuki sebuah pengalaman unio mystica bersama dengan Yesus Kristus, Sang Putra Allah yang hidup.



Maka sekarang, bagaimana mungkin saya berani untuk menghadapi ketidakmungkinan-ketidakmungkinan dalam kehidupan ini? Bagaimana saya menumbuhkembangkan kedewasaan rohani saya? Jawabnya sederhana, kenallah Kristus! Dengan jalan itu, kita akan terbenam ke dalam sebuah persekutuan rohani yang tak dapat terkatakan, bersama dengan Allah, rahasia-rahasia agung-Nya dan bersama dengan Sang Putra yang Agung!



TERPUJILAH ALLAH!



THEOTOKOS DARI BOGOROD (1)



THEOTOKOS DARI BOGOROD (IKON RUSIA)





Sambung Rasa



Sebuah ikon Bunda Allah dan Putra Allah terpajang di ruang ibadah Komisi Remaja kami. Satu lagi, tersimpan di kantor saya. Ikon ini berasal dari Rusia, dibuat kira-kira pada abad ke-15. Kondisinya tidak terlalu baik. Sewaktu pertama kali saya memandang ikon ini di toko yang menjual replikanya (sekitar tahun 2002), saya sama sekali tidak tertarik. Mengapa? Karena Maria! Sebagai seorang Protestan (dan sampai saat ini tetap berada dalam jalur iman Reformasi), saya tidak terlalu akrab dengan Maria. Saya enggan untuk menempatkan Maria dalam posisi yang lebih tinggi dari orang-orang sekaliber rasul Paulus dan Petrus. Saya tidak mau jatuh ke dalam paham Mariologi, yang saya duga begitu kental dalam pemahaman saudara-saudara Katolik Roma. Maria adalah manusia biasa, namun demikian ia memang mendapat karunia luar biasa dari Allah untuk dipinjam rahimnya untuk melahirkan Putra Allah. Jadi, pertama kali melihat ikon ini, saya tersandung oleh besarnya gambar Maria yang mendominasi 60% dari keutuhan lukisan tersebut. Saya tersandung dengan hal itu.



Enam tahun berlalu. Selama interval waktu ini, saya bolak-balik pergi ke toko buku tersebut. Dua buah ikon Maria dan Yesus Kecil di atas masih saja tersimpan dengan rapi. Bedanya, lebih berdebu tebal. Saya datang dan pergi untuk memborong sejumlah buku dari toko tersebut, yang kebanyakan ditulis oleh para rohaniwan Katolik Roma. Sama sekali tak ada ketertarikan dengan ikon yang satu ini!



Barulah pada pertengahan tahun 2008, saya menjadi sangat antusias untuk memandang dalam-dalam ikon Maria dan Yesus. Seperti halnya Archimedes yang bersorak Eureka!, “Saya temukan!”, ikon ini tampil berbeda di mata saya. Saya benar-benar terperanjat ketika menyadari ada sesuatu yang dalam dari lukisan itu. Cepat-cepat saya membelinya. Lalu saya melihat di balik ikon ini adalah sebuah tulisan, “Bunda Maria dari Khazan, Ikon Rusia.” Saya mencoba mencari-cari informasi di internet, dan ternyata, Ikon Bunda Allah dari Khazan bukan seperti yang saya beli ini. Memang ini adalah ikon Rusia, tetapi bukan yang berasal dari Biara Khazan. Ikon ini ternyata namanya “Bunda Allah dari Bogorod” (Bogorodskaya).



Saya masih melihat Maria dan Yesus dalam ikon itu, tetapi sekarang cara saya memandangnya sudah berbeda. Saya tidak berubah menjadi seorang Mariolatri. Saya tidak akan pernah menaikkan doa-doa memohon pertolongan kepada Bunda Maria; dan saya pun tidak akan memandang Maria sebagai seorang penebus di samping Kristus. Saya tidak akan pernah berdoa untuk keselamatan Maria. Maria adalah manusia; sama seperti kita, ia pun dikandung di dalam dosa, namun anugerah Allah yang khusus telah menguduskan dia sehingga dipakai untuk menjadi Theotokos (Ing. God’s bearer), Sang Bunda Allah. Ia mendapat kehormatan yang jauh di atas yang lain oleh karena posisinya yang dekat dengan Kristus. Malaikat Gabriel menyatakan, “Engkau beroleh kasih karunia di hadapan Allah” (Luk. 1:30). Dan Elisabet pun bersaksi, “Siapakah aku ini sehingga ibu Tuhanku mengunjungi aku?” (Luk. 1:43).



Saya segera membeli satu ikon tersebut! Semula saya letakkan di atas meja kerja, tepat berhadap-hadapan dengan saya. Pernah saya pindah ke ruang dalam kantor Tim Gembala Jemaat, tempat biasanya saya berdoa pribadi. Kemudian saya pindahkan ke ruang ibadah komisi remaja. Saya pasang ikon itu tepat berhadap-hadapan dengan ikon penyaliban Kristus dan penurunan jenasah Kristus dari salib (atau biasa disebut Pieta). Ada maksudnya, mengapa saya meletakkan ikon Theotokos ini berhadapan dengan dua ikon itu. Tetapi karena sudah dipindahkan ke tempat lain, saya merasa tak ada lagi yang “menemani” di kantor. Maka saya pun merasa perlu untuk membeli satu lagi ikon yang sama untuk kantor. Ada sesuatu yang memikat hati saya. Bukan karena ikon itu bagus dalam pandangan seorang pengamat seni. Malahan, banyak bagian catnya yang telah terkelupas, dan ini cukup mengganggu keindahan ikon.



Meski begitu, bagi saya ikon ini tetap perfect! Ikon ini selalu membuat sebuah impresi bahwa saya sedang tinggal di sebuah dunia yang carut-marut! Dunia yang porak-poranda, banyak hal yang indah, dan yang mempercantik bumi, kini sudah hilang entah ke mana. Goresan-goresan kuas Sang Pelukis Agung itu mulai terkelupas, dan kita hanya “melihat dalam cermin gambaran yang samar-samar . . . sekarang [kita] hanya mengenal yang tidak sempurna” (1Kor. 13:12). Namun dunia dan bumi tempat kita berpijak tetaplah baik. Semesta ini tetap indah!



Thursday, June 19, 2008

IKON CHRISTUS PANTOKRATOR


Ikon Christus Pantokrator


Di sebelah kanan meja kerja saya, terdapat sebuah ikon Kristus yang terkenal dengan sebutan Christus Pantokrator. Anda dapat melihatnya pada sisi kiri paragraf ini. Ikon tersebut berdampingan dengan ikon Theotokos Panagia dan Trinitas Perjanjian Lama yang terkenal itu. Untuk kali ini, saya mengajak Anda bermenung tentang ikon Christus Pantokrator versi Rusia (berdasarkan ikon di sisi kiri paragraf ini).

Ikon ini banyak jenisnya. Tetapi ciri khas Christus Pantokrator adalah sebuah kitab terbuka di tangan Yesus sebelah kiri, sementara tangan kanannya terangkat di depan dada dengan posisi memberkati.

Tipe ikonografik Christus Pantokrator (Penguasa Segala Sesuatu) menampilkan Keagungan Sang Pancipta dan Sang Penebus sekaligus. Ialah yang memimpin arah perjalanan seisi kosmos, bukan dalam suatu Dzat yang tak terpahami, tetapi menjelma, atau mengejawantah, atau berinkarnasi menjadi manusia, dalam Pribadi Yesus Kristus.

Wajah Yesus Kristus dalam ikon ini penuh keanggunan, tampak tenang, dan membuat siapa pun betah untuk memandanginya. Dialah Tuhan yang berbela rasa, yang menaruh belas kasihan kepada setiap orang yang dipinggirkan dan tertindas; Ia datang ke dalam dunia untuk mengangkut dosa seisi dunia, di atas pundak-Nya sendiri. Mulut Tuhan Yesus digambarkan mungil serta terkatup rapat, seolah hendak berkata bahwa Kristus tak banyak berkata-kata, sehingga setiap orang jangan sampai berhenti pada pemahaman bahwa Ia adalah Guru hikmat nan bijak bestari, yang memberikan ajaran moral yang demikian agung, setara dengan para Guru agama lain di dunia ini. Kristus datang dan memberi diri-Nya sendiri, dan Ia menyatakan Allah sebagai Allah yang beserta kita; itulah cara komunikasi Kristus.

Kristus berselubungkan jubah biru tua, sebagai lambang surga dan keilahian. Baju yang dikenakan Kristus adalah merah tua, yang melambangkan kemanusiaan, kehinaan dan kerelaan-Nya untuk menjadi manusia, bahkan seorang hamba nan hina dina. Dia Allah sejati, lagi manusia sejati. Dialah yang ilahi dan yang kekal, namun demikian Ia pun mengenakan kemanusiaan yang sesungguhnya. Demikianpun bila kita melihat kemanusiaan Yesus, tak dapat kita berhenti pada sosok kesederhanaan dan bela rasa-Nya, tetapi juga sebuah realitas bahwa Ia tetap yang ilahi. Pada bahu kanan ke bawah, dapat diamati adanya hiasan baju berwarna kuning, yang merupakan pelambang kemuliaan.

Rambut Kristus tampak sangat lebat, dan terurai ke pundak sebelah kanan dan ke belakang, mengingatkan kita bahwa Ia kini berada di sebelah kanan Allah Bapa, yang Mahakuasa. Sejenak, rambut Yesus ini tampak terlalu tebal! Tidak realistik untuk ukuran manusia normal. Dalam ikonologi, hal ini memang disengaja. Para ikonografer dengan seksama memilih cara untuk tidak menggambar dengan persis dan tepat, oleh sebab mereka melihat adanya perbedaan ontologis antara kekekalan dan kesementaraan, meski kedua-duanya bukan tak ada keterkaitan. Oleh karena itu, jika sebuah ikon itu makin tak nampak terlalu "realistik," maka makin dekatlah ia kepada realm di mana Allah sedang bertakhta.

Gerakan tangan kanan Tuhan Yesus adalah pemberian berkat (dalam gaya Gereja Ortodoks). Perhatikan bahwa gerak tangan kanan ini pun menunjukkan ke-Trinitas-an Allah serta dua natur Kristus sebagai Allah sejati dan manusia sejati. Jika kita perhatikan baik-baik, maka ibu jari, jari telunjuk dan jari kelingking dalam posisi tegak, yang melambangkan Trinitas, sedangkan jari tengah dan jari manis saling rapat dan agak ditekuk, melambangkan dua natur Kristus.

Doktrin Trinitas dan ke-dua-natur-an Kristus memang menempati posisi utama dalam teologi Gereja Ortodoks. Kedua doktrin ini bahkan menjadi keyakinan kendali teologi Ortodoks. Semua tradisi dalam Kekristenan yang mengaku mewarisi asas rasuli, pasti mengingat dua persidangan Gereja Am di Nicea-Konstantinopel dan di Kalsedon, sebab dalam dua konsili inilah, problema Trinitas dan Ke-dua-natur-an Kristus mendapatkan jawabannya secara tegas dan gamblang.

Perhatikan kembali tangan kanan Kristus! Gerak tangan itu jelas sekali menunjuk ke kitab yang terbuka di tangan kiri-Nya. Kristus hendak mengomunikasikan sesuatu! Ia tidak berkata-kata, mulut-Nya tertutup, tetapi Ia menawarkan kepada orang-orang saleh, para pengikut-Nya yang setia, akan siapa Dia yang sebenarnya. Beberapa versi ikon Christus Pantokrator melukiskan kitab itu terbuka tepat pada Matius 11:28, "Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu." Sejumlah versi lain menunjuk Yohanes 10:9, "Akulah pintu; barangsiapa masuk melalui Aku, ia akan selamat dan ia akan masuk dan keluar dan menemukan padang rumput," atau ayat 11, "Akulah gembala yang baik. Gembala yang baik memberikan nyawanya bagi domba-dombanya."

Bukankah ini semua merupakan penghiburan yang sangat besar? Memandangi wajah Kristus, Ia tidak digambarkan sebagai seorang Juruselamat, laksana seorang bapa bagi semua umat. Pemilihan warna yang cermat, yang mengangkat keanggunan tokoh yang dilukiskan, menambah keindahan ikon Christus Pantokrator. Latar belakang warna emas semakin mempertegas sosok yang dilukis, kontras dengan wajah Kristus dan jubah biru tua-Nya; dan dengan demikian makin terang di hadapan pandangan kita, kesejukan memandang wajah Kristus dan keagungan keilahian Kristus.

Selamat mengenal Kristus!

Terpujilah Allah!

Wednesday, June 18, 2008

HAGIOGRAFI TIMUR : APA & MENGAPA (2)


HAGIOGRAFI TIMUR : APA & MENGAPA (2)


Dengan demikian, kita dapat melihat bahwa seorang hagiografer--dengan pembentukan kurun waktu yang berabad-abad--berupaya untuk melukiskan sesuatu "melampaui" bentuk natural manusia. Ia berusaha untuk tunduk dan melayani Gereja. Ia tidak berusaha untuk mengesankan pemirsa dengan kehebatan sapuan kuasnya. Laksana seorang teolog dan pengkhotbah yang menghindarkan gaya-gaya retorika provokatif dalam pewartaan sabda. Tujuannya adalah untuk menampilkan apa yang disanjung dalam kekayaan iman, dan yang secara "injili" dipelihara dan dikutip dalam sejarah Gereja, secara sederhana, mudah dipahami dan penuh rasa hormat. Ia harus menjaga imajinasinya selama kegiatan kreatifnya itu, sebab hal itu dapat menyebabkan penipuan serta penyesatan. Ia mengajar orang-orang yang buta huruf dengan benar, dan menerangkan kepada para cerdik-pandai, untuk berdoa, hidup yang saleh dan beribadah yang bernalar. Ia berusaha untuk melembutkan, memberi cita rasa, meneduhkan jiwa dari ketegangan syaraf akibat kegiatan seharian, dan membimbingnya dengan tanpa paksa dan sejuk menuju pencarian terhadap Yang Ilahi.

Ia memotret para suci dengan sederhana dan tidak terlalu menarik. Ia menghinda
ri pemilihan warna yang Wah!, dengan anatomi tubuh orang tersebut digambarkan secara persis dan sempurna, dengan permainan kontras terang dan gelap dan latar belakang yang indah. Sebaliknya, dengan humming yang lembut, ia hendak mengilhami para pemirsa untuk menghormati sang kudus yang ia sedang lukis, tanpa membuat gaya artistiknya terlalu menonjol.

Ia berusaha untuk menjembatani dunianya dengan dunia rohani. Ia me
nempatkan dirinya melayang-layang di atas kedua dunia ini, dan mengundang semua orang saleh untuk melakukan transformasi kehidupan, dari pola hidup insan fana, materialistis dan terbatas, menuju yang kekal dan sejati. Oleh sebab itu, bila ia harus melukis dengan realisme mutlak dan detail yang implisit, bisa jadi ciptaannya ini membuahkan hasil yang cantik, indah, realistik dan artistik, sehingga rasa ingin tahu insan pun terpenuhi. Pemirsa dapat menemukan detail-detail anatomi orang yang dilukis, dan pada akhirnya pemirsa memuji kehebatan talenta sang hagiografer.

Hal ini hanya akan berhenti dan terfokus pada akal pikir si pemirsa, yang sedang memandangi gambaran i
nsan yang terbatas dan kehidupan biasa sehari-hari, sehingga tak akan mengilhaminya untuk dapat memandang keagungan Allah. Pikiran seseorang akan tetap terpenjara di dalam imajinasi sang artis yang biasa, sehari-hari dan fana. Lalu, bagaimana seseorang dapat melukiskan Kebenaran-kebenaran Ilahi?

Hagiografi Bizantium, tidak berusaha untuk membuat seseorang hanya menghormati atau berekstase atas apa yang ia lih
at, tetapi berusaha untuk menangkap sesuatu di balik realitas tersebut, yang pada gilirannya akan menjadi suatu gaya hidup rohani, dan seseorang pun menjadi terus terbuka kepada rahmat Allah. Itulah sebabnya, seni Bizantium memecah sosok itu ke dalam segmen-segmen yang kecil-kecil, dan kemudian menyatukannya kembali dalam sebuah harmoni yang indah, dengan pemahaman sama seperti kesatuan orang-orang kudus ke dalam satu tubuh, dengan Kristus sebagai Kepalanya.

Seni Kristiani Timur, me
nghindari ketepatan anatomik, namun figur tersebut tetap dapat dikenali, dan mempunyai makna dalam continuum ruang-waktu liturgi. Dengan ini, kita dibimbing kepada suatu pengharapan abadi, selepas pekerjaan pribadi yang berat; hanya oleh anugerah Allah. Sang pribadi yang terlukis nampak bergerak menuju ke dunia kita di masa kini. Inilah yang juga dimaksudkan dengan adanya tulisan singkat pada ikon, sehingga pemirsa pun tidak terbenam pada kenangan yang mengawang-awang, tetapi kebenaran realitas Ilahi yang dinyatakan secara langsung di hadapannya.

Sumber dan arah terang dengan sengaja dibuat tidak jelas dari mana asalnya dan ke man
a arahnya, melalui sintesis artistik, oleh sebab segala sesuatu diilhamkan oleh Terang yang Takterciptakan, yang sama sekali berbeda dengan terang temporal dunia fana.

Kebanyakan hagiografer Bizantium, mengadaptasikan gaya hidupnya dan cara pandangnya menurut sabda Injil, dan mencari pencerahan Ilahi serta pemurnian diri melalui ibadah dan sakramen gerejawi. Dalam cara inilah, ia diberi waktu untuk bermenung dan menerapkan karyanya sehingga layak untuk menggambarkan keagungan karya Allah.

Dengan demikian, untuk memahami ikon dan hagiografi Bizantium, kita melihat arak-arakan sejarah yang sangat panjang, yang dikelola dan dipelihara dengan setia melalui penyatuan praktik eksperiensial dan artistik, pengilhaman teologis dan pengalaman mistik (baca: rohani).

Meskipun begitu, masih terbuka bari proposal baru ikonografi Kristen. Hanya saja, tradisi eklesiastik yang turun-temurun menjadi faktor utamanya, dan hal inilah yang menakar makna pada sepanjang zaman, apakah suatu lukisan merupakan gambar religius, untuk membantu seorang Kristen berdoa ataukah tidak. (NP)

HAGIOGRAFI TIMUR : APA & MENGAPA (1)


HAGIOGRAFI TIMUR: APA & MENGAPA (2)


Seni Kristen Timur (Bizantium) memiliki dua titik pijak:

Mosaik: suatu karya seni yang sangat dikenal pada zaman Bizantium, seperti halnya perajin-perajin Roma akrab dengan ini. Seni mosaik merupakan kelanjutan dari tradisi klasik serta Helenistik),

Fayum (potret orang-orang yang telah wafat), sudah muncul pada sekitar akhir abad I dan awal abad II Masehi, yang merupakan kelanjutan seni lukis zaman Roma.

Pada tahun 313 M., Konstantinus Agung memaklumkan toleransi dan pada tahun 324 ia memindahkan ibu kota Roma ke Bosporus (yang kemudian dinamakan Konstantinopel, 330 M.; sekarang diberi nama Istanbul, di Turki).

Sejak masa itu, para artis dapat mencurahkan minat mereka dengan tanpa hambatan. Memang, masa-masa setelah itu, banyak kali Kekaisaran Bizantium dipenuhi dengan intrik heroik, kemerosotan; tetapi di tengah-tengah masa demikian--yang diwarnai penjamuran iman, pencarian spiritualitas, pencerahan, pertengkaran, penyesatan dan Konsili-konsili Ekumenis--berkembanglah Seni Hagiografi Bizantium.

Pada tahun-tahun pertama, lukisan-lukisan agamawi terbatas pada sketsa yang berkarakterkan simbolik atau dekoratif, serta penggambaran yang tidak natural. Namun, ketika teologi berkembang dan mulai mempunyai bentuk, serta iman mulai diperjelas dengan dogma, para artis pun semakin berani untuk menggambar secara lebih realistik pribadi-pribadi yang disebut orang suci di atas ikon dari kayu, atau pun gambar-gambar pribadi penting dalam Gereja, di dinding gereja.

Pada tahun 726 M., terjadilah ikonoklasme, gerakan anti ikon. Konflik yang sangat pan
as, yang memisahkan Bizantium dengan tindakan-tindakan konflik yang serba tragis. Pada masa pertengkaran dahsyat seperti ini, maka perlu diperjelas apa arti ikon. Pada Konsili Ekumenis ke-7, ketegasan ini dicapai.

Ikon berarti sarana untuk menyembah, atau beribadah. Ikon adalah objek, bukan untuk dipuja dan disembah, hanya sekadar dihormati. Sementara penghormatan itu sendiri bukan kepada kayu dan gambar itu sendiri, tetapi kepada orang yang terlukis di dalam ikon tersebut.

Misalnya lukisan seorang suci, maka yang digambarkan di dalamnya adalah hypostasis-nya, yaitu pergaulannya dengan Tuhan, apa jadinya ia oleh karena anugerah, dan bukan kodrat naturalnya sebagai seorang manusia yang unik. Penghormatan yang diberikan kepadanya dapat digambarkan dengan lebih menyentuh lagi seperti seorang ibu yang mencium dan memeluk foto (gambar) anaknya yang dikasihinya, sebagai hartanya yang paling berharga, yang kini ada di tempat yang jauh. Sang anak seolah-olah ada di dalam pelukan ibu itu, dalam dekapan tangannya yang lembut, dan kenangan akan anaknya itu merasuk dalam hati sanubari sang ibu, dan kerinduan yang amat besar pun membara di dalam hatinya.

Pada era selanjutnya, berkembang-mekarlah karya yang bernilai tinggi, dan sedikit sekali momentum untuk Gereja tidak menjadi produktif (disebabkan invasi pihak luar dan gangguan-gangguan dari dalam sendiri). Karya yang penting muncul pada era Dinasti Makedonia (867-1056 M.), Dinasti Komnenes (1081-1185), dan Dinasti Angelos (1185-1204).


Setelah pendudukan bangsa Frank (1204-1061), pada masa Dinasti Paleologos, karya seni Bizantium mencapai puncaknya di tangan Emmanuel Panselinos. Kemudian, setelah goncangnya Konstantinopel (1453 M.), Theofanes dari Kreta adalah nama seniman yang ternama. Sejak saat itu, para hagiografer lebih banyak terpengaruhi oleh corak seni Barat, seperti yang terjadi pada diri Domenicus Theotokopoulos (El Greco). Sejak saat itu, sejarah seni mengalami stagnasi, dan baru di kemudian hari, oleh Photios Kontoglou (+1965), menyapu debu yang menutupi tradisi Bizantium dan menghidupkan seni rohani tradisional ini.