HAGIOGRAFI TIMUR : APA & MENGAPA (2)
Dengan demikian, kita dapat melihat bahwa seorang hagiografer--dengan pembentukan kurun waktu yang berabad-abad--berupaya untuk melukiskan sesuatu "melampaui" bentuk natural manusia. Ia berusaha untuk tunduk dan melayani Gereja. Ia tidak berusaha untuk mengesankan pemirsa dengan kehebatan sapuan kuasnya. Laksana seorang teolog dan pengkhotbah yang menghindarkan gaya-gaya retorika provokatif dalam pewartaan sabda. Tujuannya adalah untuk menampilkan apa yang disanjung dalam kekayaan iman, dan yang secara "injili" dipelihara dan dikutip dalam sejarah Gereja, secara sederhana, mudah dipahami dan penuh rasa hormat. Ia harus menjaga imajinasinya selama kegiatan kreatifnya itu, sebab hal itu dapat menyebabkan penipuan serta penyesatan. Ia mengajar orang-orang yang buta huruf dengan benar, dan menerangkan kepada para cerdik-pandai, untuk berdoa, hidup yang saleh dan beribadah yang bernalar. Ia berusaha untuk melembutkan, memberi cita rasa, meneduhkan jiwa dari ketegangan syaraf akibat kegiatan seharian, dan membimbingnya dengan tanpa paksa dan sejuk menuju pencarian terhadap Yang Ilahi.
Ia memotret para suci dengan sederhana dan tidak terlalu menarik. Ia menghindari pemilihan warna yang Wah!, dengan anatomi tubuh orang tersebut digambarkan secara persis dan sempurna, dengan permainan kontras terang dan gelap dan latar belakang yang indah. Sebaliknya, dengan humming yang lembut, ia hendak mengilhami para pemirsa untuk menghormati sang kudus yang ia sedang lukis, tanpa membuat gaya artistiknya terlalu menonjol.
Ia berusaha untuk menjembatani dunianya dengan dunia rohani. Ia menempatkan dirinya melayang-layang di atas kedua dunia ini, dan mengundang semua orang saleh untuk melakukan transformasi kehidupan, dari pola hidup insan fana, materialistis dan terbatas, menuju yang kekal dan sejati. Oleh sebab itu, bila ia harus melukis dengan realisme mutlak dan detail yang implisit, bisa jadi ciptaannya ini membuahkan hasil yang cantik, indah, realistik dan artistik, sehingga rasa ingin tahu insan pun terpenuhi. Pemirsa dapat menemukan detail-detail anatomi orang yang dilukis, dan pada akhirnya pemirsa memuji kehebatan talenta sang hagiografer.
Hal ini hanya akan berhenti dan terfokus pada akal pikir si pemirsa, yang sedang memandangi gambaran insan yang terbatas dan kehidupan biasa sehari-hari, sehingga tak akan mengilhaminya untuk dapat memandang keagungan Allah. Pikiran seseorang akan tetap terpenjara di dalam imajinasi sang artis yang biasa, sehari-hari dan fana. Lalu, bagaimana seseorang dapat melukiskan Kebenaran-kebenaran Ilahi?
Hagiografi Bizantium, tidak berusaha untuk membuat seseorang hanya menghormati atau berekstase atas apa yang ia lihat, tetapi berusaha untuk menangkap sesuatu di balik realitas tersebut, yang pada gilirannya akan menjadi suatu gaya hidup rohani, dan seseorang pun menjadi terus terbuka kepada rahmat Allah. Itulah sebabnya, seni Bizantium memecah sosok itu ke dalam segmen-segmen yang kecil-kecil, dan kemudian menyatukannya kembali dalam sebuah harmoni yang indah, dengan pemahaman sama seperti kesatuan orang-orang kudus ke dalam satu tubuh, dengan Kristus sebagai Kepalanya.
Seni Kristiani Timur, menghindari ketepatan anatomik, namun figur tersebut tetap dapat dikenali, dan mempunyai makna dalam continuum ruang-waktu liturgi. Dengan ini, kita dibimbing kepada suatu pengharapan abadi, selepas pekerjaan pribadi yang berat; hanya oleh anugerah Allah. Sang pribadi yang terlukis nampak bergerak menuju ke dunia kita di masa kini. Inilah yang juga dimaksudkan dengan adanya tulisan singkat pada ikon, sehingga pemirsa pun tidak terbenam pada kenangan yang mengawang-awang, tetapi kebenaran realitas Ilahi yang dinyatakan secara langsung di hadapannya.
Sumber dan arah terang dengan sengaja dibuat tidak jelas dari mana asalnya dan ke mana arahnya, melalui sintesis artistik, oleh sebab segala sesuatu diilhamkan oleh Terang yang Takterciptakan, yang sama sekali berbeda dengan terang temporal dunia fana.
Kebanyakan hagiografer Bizantium, mengadaptasikan gaya hidupnya dan cara pandangnya menurut sabda Injil, dan mencari pencerahan Ilahi serta pemurnian diri melalui ibadah dan sakramen gerejawi. Dalam cara inilah, ia diberi waktu untuk bermenung dan menerapkan karyanya sehingga layak untuk menggambarkan keagungan karya Allah.
Dengan demikian, untuk memahami ikon dan hagiografi Bizantium, kita melihat arak-arakan sejarah yang sangat panjang, yang dikelola dan dipelihara dengan setia melalui penyatuan praktik eksperiensial dan artistik, pengilhaman teologis dan pengalaman mistik (baca: rohani).
Meskipun begitu, masih terbuka bari proposal baru ikonografi Kristen. Hanya saja, tradisi eklesiastik yang turun-temurun menjadi faktor utamanya, dan hal inilah yang menakar makna pada sepanjang zaman, apakah suatu lukisan merupakan gambar religius, untuk membantu seorang Kristen berdoa ataukah tidak. (NP)
No comments:
Post a Comment