DARA YANG BERDOA, DIA YANG DIKUDUSKAN
Pembuka
Saya ingin kembali berbagi refleksi mengenai ikon. Ikon yang satu ini pun ada di meja kerja saya. Sama seperti ikon Theotokos Bogorod (Bogorodskaya), semula saya tidak tertarik! Kenapa? Lagi-lagi Maria. Tetapi saya kembali mengalami metanoia (“pertobatan”) bahkan mungkin bisa juga disebut Aufklaerung! (“pencerahan”). Ikon ini ternyata memiliki daya pikat tersendiri.
Dilukis dengan gaya mazhab Kiev, ikon Panagia Agung ini merupakan salah satu ikon kuno Rusia. Kira-kira dibuat pada tahun 1114 dan saat ini berada di Galeri Tretiakov, Moskow. Ukurannya cukup besar, 194 x 120 cm.
Ikon Panagia Agung ini memikat hati saya pertama-tama karena posisi Sang Dara yang berbeda dengan ikon-ikon Rusia lainnya. Pose sang Dara utuh dari kepala sampai ke kaki. Ia tidak sedang menggedong Kristus yang kecil, tetapi Kristus itu digambarkan berada di dalam sebuah medali yang ada di dada Sang Dara. Pakaiannya menggembang dan apabila ikon ini dibagi dua bagian dari atas ke bawah, maka nyaris saja simetris.
Marilah kita mencoba untuk bermenung di hadapan ikon ini. Pertama, Sang Dara sedang berdiri dan menengadahkan tangannya ke atas. Gambaran ini biasa dalam lukisan Ortodoks Timur, khususnya yang digambar dalam kubah-kubah dan dinding-dinding gereja Ortodoks. Tak mungkin diragukan, ada pengaruh mosaik gaya Bizantium dalam ikon ini. Gereja-gereja Bizantium biasa mengetengahkan Sang Dara tengah berdiri, dengan lipatan-lipatan jubahnya yang digambarkan ditail.
Hendaknya selalu diingat, ikon dilukis bukan untuk menggambarkan atau memvisualisasikan kejadian di dalam Alkitab, seperti sebuah paparan gambar ilustrasi Sekolah Minggu. Ikon dibuat dengan tujuan melihat kedalaman teologi Kristiani, dan dengan teologi yang tergambar tersebut, orang-orang Kristen diantar untuk memuji-muji Allah yang hidup dan yang benar, serta karya-karya-Nya yang besar. Tentu saja, tidak terlalu cocok untuk Sekolah Minggu anak-anak.
Sang Dara
Ikon Panagia Agung, tak kurang mengetengahkan teologi yang dalam mengenai Sang Dara, sebagai cerminan agung orang-orang kudus yang telah mendahului kita. Ia disebut sebagai panagia, yang berasal dari pan (“segala”) dan hagia (“kudus”). Dalam tradisi gereja kuno, Sang Dara disebut sebagai “Yang segalanya kudus” atau “yang terkudus,” boleh pula disebut “mahakudus.” Nanti dulu! Bukankah hal ini berkontradisi dengan Allah yang suci? Tidak sama sekali. Dalam bahasa, kita sering rancu dengan bentuk komparatif dan superlatif. Contoh dalam butir pertama Pancasila, disebutkan “Ketuhanan yang Mahaesa.” Bagaimana mungkin Tuhan itu “mahaesa”? “Esa” atau “satu” itu tidak mempunyai tingkatan. Apakah Allah mengenal tingkatan superlatif?
Di dalam Alkitab, Allah tidak pernah disebut “mahakudus.” LAI menerjemahkan Yesaya 5:16 “Tetapi TUHAN semesta alam akan ternyata maha tinggi dalam keadilan-Nya, dan Allah yang maha kudus akan menyatakan kekudusan-Nya dalam kebenaran-Nya.” Tapi perhatikan terjemahan TNIV, “But the LORD Almighty will be exalted by his justice, and the holy God will be proved holy by his righteous acts.” Allah tidak mengenal bentuk superlatif, bukan? Yang dikenai bentuk superlatif adalah barang (mis. “ruang mahakudus”) atau orang. Tetapi lihatlah Imamat 19:2, Allah menyatakan di sana sebagai “Aku ini kudus.”
Maria disebut sebagai “yang terkudus” bukan karena ia dikandung tanpa noda dan dosa. Maria adalah gadis biasa, yang sebelum anunsiasi Gabriel, ia pun tak ubahnya seperti kita. Tetapi perjumpaan itulah yang menjadi titik balik kehidupan Maria. Rahimnya dipinjam untuk melahirkan Anak Allah, dan ia dikuduskan secara khusus. Dalam sejarah kehidupan Kristus, kita lihat betapa Maria dekat dengan titik-titik penting perjalanan Kristus untuk menjadi Mesias.
Dalam ikon ini, Sang Dara menengadahkan kedua tangannya ke atas. Ia sedang berdoa. Ia sedang berdoa untuk umat Allah. Ya benar, kita memiliki Juru syafaat Agung di surga, yaitu Yesus Kristus, tetapi bukankah kita pun memiliki saksi-saksi iman yang mendoakan kita yang belum mencapai hypostasis yang sama seperti mereka—dimuliakan untuk bersekutu dengan Allah dan tinggal dalam keadaan yang terberkati? Sang Dara ini menjadi jurusyafaat kita!
Perhatikan pula pandangan mata Sang Dara. Apakah ia sedang melihat kita? Perhatikan baik-baik, ternyata tidak! Betapa pun kita ingin agar Sang Dara memandang kita, ia toh tidak memandang kita. Ia memandang sebelah kita. Apa artinya? Ia pun sedang memandang orang lain. Ia menyatakan bahwa kesaksian iman yang ia bawa, bukan untuk kita semata, tetapi juga untuk tetangga-tetangga kita. Panggilan Kristiani untuk dimerdekakan dari dosa bukanlah panggilan yang privat. Kita memiliki saudara-saudara yang diperciki oleh darah Kristus dan dikuduskan oleh Roh-Nya yang kudus.
Karpet merah yang menjadi alas pijakan Sang Dara mengingatkan kita akan gambaran yang selalu ada dalam tiap-tiap kali menyaksikan peristiwa akbar di Amerika Serikat, yaitu penghargaan Oscar atau Academy Awards. Para bintang film Hollywood melenggangkan kaki di atas “karpet merah.” Pada zaman Rusia awal, telah dikenal pula bahwa karpet merah menunjukkan kehormatan para keluarga keraton. Sang Dara menginjak karpet merah, hal ini menjadi sebuah aksentuasi bahwa ia adalah pribadi yang sangat dihormati di dalam Gereja Tuhan, lebih daripada kita menghargai para artis, bahkan lebih daripada kita menghormati orang-orang kudus dalam sejarah Gereja Tuhan.
wah, kamu yang luar biasa lho. Aku malah baru belajar, jadi blognya masih sederhana. terus berkarya juga yaa. kita terus bisa saling kontak. gbu
ReplyDeletesis