Sejarah dan Kaum Injili
Saya bertanya sekarang, bagaimana sikap rohaniwan Kristen terhadap sejarah? Bagaimana etos para seminarian terhadap sejarah? Ada hal yang menarik dalam kaum Injili Indonesia! Para seminarian lebih susah tidur jika tidak dapat menjadi pengkhotbah yang baik, daripada belajar mengenai sejarah perkembangan teologi Kristen. Sangatlah sayang bila membelanjakan uang saku untuk membeli buku historical theology, dibanding mengumpulkan buku-buku ilustrasi. Kondisi ini bisa jadi diperparah apabila ada dosen sejarah dogma yang berkata, “Kuliah ini adalah kuliah yang kering. Terima saja sebagai pengetahuan. Karena toh nanti tidak berguna di gereja.”
Itulah sebabnya, teramat sedikit ahli sejarah teologi dari kalangan Injili. Bila mau berstudi lanjut, jauh lebih banyak yang memilih praktika, sistematika, lalu biblika. Betapa tidak! Kenyataannya, ahli sejarah teologi pun tidak laku, bukan! Mana ada gereja yang mengundang seorang ahli sejarah teologi untuk berbicara di gerejanya? Jadi, mau belajar sejarah, siap-siap saja kendhil mengkurep (Jawa, “kuali terbalik”—idiom untuk mengatakan “bukan ladang basah”). Kalau sampai ada seorang mahasiswa yang suka dengan sejarah, nampaknya ia harus berani menahan diri untuk memakainya sebagai pengetahuan semata-mata, untuk menjadi pengetahuan sambil lalu. Yah, lagi-lagi, semua ini bicara mengenai “perut”!
Merefleksikan kenyataan di atas, dan kehidupan masa kecil, saya nampaknya patut bersyukur. Dibesarkan dalam keluarga yang tidak kaya, ayah saya adalah seorang peminat sejarah awam. Orangtua saya bukan orang yang kaya, tetapi sejak kecil saya diajak untuk memiliki “pengalaman belajar.” Dengan mengendarai sepeda motor (Suzuki GP 100 tahun 1980), saya dulu sering diajak keliling kota dan menyaksikan tempat-tempat yang memiliki nilai sejarah di kota Kudus dan sekitarnya. Kami tidak bisa pergi jauh, apalagi ke luar negeri (bahkan sampai sekarang pun saya belum pernah ke luar negeri), tetapi pengalaman belajar itu sedemikian membekas, sehingga saya menjadi pecinta sejarah.
Ketika berada di bangku sekolah, saya tidak pernah puas diajar oleh satu buku teks. Bila pelajaran sejarah itu membuat saya bergairah, saya selalu mencari buku lain sebagai second opinion. Beruntung sekali, pada waktu kelas 2-3 SMP, saya dipercayai untuk menjaga perpustakaan gereja, sore hari pukul 15.00-17.00. Saya pakai kesempatan itu untuk membaca-baca ensiklopedi yang berkaitan dengan pelajaran yang saya tengah geluti.
Ada satu sub-pelajaran yang saya paling benci, dan tidak pernah bergairah untuk mencari penguat data, yaitu Pemberontakan G-30 S (yang dahulu ada tambahan kata “PKI”). Saya merasa janggal saja dengan sub-pokok bahasan ini. Ada begitu banyak hal yang tidak sinkron di dalamnya, khususnya mengenai penyiksaan para jenderal di Sumur Lubang Buaya. Saya dulu pernah membaca Buku Putih keluaran Kementrian Penerangan, dan saya merasa buku itu semacam “sampah” dan saya merasa berat sebelah, kepada pihak kanan.
Ketika kuliah, saya ingat betul, mata-mata kuliah yang menggairahkan saya selalu yang berkaitan dengan sejarah. Entah itu menyelidiki pemikiran orang di masa lampau, teolog-teolog modern, atau pun sejarah gereja maupun sejarah dogma. Semangat untuk mencari second opinion muncul kembali. Paling senang bila ada dosen memberikan tugas membuat makalah. Saya membuatnya dengan bergairah dan—saya akui—bookish sekali! Hasrat belajar yang terdalam yaitu saya ingin membuat topik yang tidak biasa.
Menyelami pemikiran tokoh-tokoh besar bagi saya mengasyikkan. Saya banyak belajar dari kesungguhan mereka, dan keseriusan mereka dengan bidang yang digeluti. Sering saya menjadi pusing sendiri, ketika menjumpai banyak buku kaum Injili yang melawan pemikiran mereka, tetapi dengan sepihak dan menghakimi. Mencermati tulisan-tulisan yang muncul dalam jurnal-jurnal teologi tentang pemikiran seorang teolog, khususnya yang diterbitkan oleh sekolah teologi Injili Indonesia, sang pemikir yang dianalisis selalu dibantai habis-habisan pertama-tama posisi Alkitab mereka yang dirasa tidak memegang doktrin ketidakbersalahan Alkitab, atau pemikiran mereka tidak bersumber dari Alkitab.
Dalam pergulatan pribadi yang sering kali senyap, saya selalu bertanya dalam hati, “Apa motivasi orang ini berpikir seperti ini? Sungguh-sungguhkah dia ingin menghancurkan Kekristenan? Tetapi, mengapa banyak orang yang dari golongan saya menentang dia?” Dari situ saya berusaha untuk menerapkan “hermeneutika kepercayaan.” Saya mau belajar untuk trust dengan apa yang ia katakan, dan berjalan bersama dia dalam dialog yang hangat dan konstruktif. Akhirnya, saya sering kali harus mengubah total cara pandang saya. Saya mencoba percaya kepada Karl Barth, yang sampai sekarang masih menjadi “pahlawan” bagi saya. Apakah saya Barthian? Well, apakah Barth seorang Barthian? Dan apakah Calvin seorang Calvinis?
Mengutip mereka, bukan berarti mau wah-wahan! Bukan berarti pula saya lebih mengenal tulisan mereka daripada Alkitab. Saya menyadari sesungguh-sungguhnya, bahwa tokoh-tokoh ini telah mempelajari Alkitab lebih dahulu ketimbang saya, dan saya dapat memastikan diri, mereka lebih dalam ketika menelaah Alkitab daripada saya. Bukankah seseorang memerlukan guru untuk menolongnya belajar? Saya ingin belajar kepada mereka. Bila tak dapat langsung saya berjumpa secara pribadi, saya ingin belajar dari tulisan-tulisan mereka. Saya ingin bersama-sama mereka belajar Kitab Suci. Mereka bukan otoritas, tetapi mereka adalah penuntun dan guru bagi saya yang masih hijau.
Lalu, apakah justifikasi yang seharusnya membuat seorang rohaniwan Injili gemar belajar sejarah? Pertama, Allah adalah Tuhan yang hadir, memperkenalkan diri serta mengendalikan sejarah. Ia hadir dalam kurun waktu yang disebut sebagai Heilsgeschichte atau “Sejarah Suci” atau “sejarah keselamatan”! Ia merancang, melaksanakan dan menyempurnakan penebusan atas umat-Nya di dalam sejarah. Tuhan adalah menyejarah! God is historic. Ia bukan Allah yang privat, bukan pula penguasa esoterik. Tepat sekali, history is His story.
Kedua, Kekristenan adalah iman yang menyejarah. Apa yang disebut sebagai pokok-pokok iman, tidaklah sesuatu yang jatuh dari langit biru secara tiba-tiba. Alkitab sendiri merupakan buku sejarah, serta buku yang menyejarah. Ia terbentuk dalam kurun tak kurang dari 1500 tahun. Gereja menjadi actus tradendi, “pewaris tradisi suci” yang melestarikan warisan-warisan pengajaran dari generasi ke generasi. Para pemikir yang silih berganti dalam sepanjang sejarah perkembangan gereja, dan posisi mereka adalah sebagai penafsir-penafsir tradisi suci dalam konteks dan pergumulan zaman masing-masing. Kita pun menjadi penafsir tradisi suci pada konteks zaman kita, dan hal ini mensyaratkan bahwa kita pun harus memahami tradisi-tradisi yang diwariskan dalam sejarah.
Ketiga, Kristus akan menyempurnakan sejarah. Dengan menyelidiki sejarah masa lampau, sebenarnya kita dituntun untuk memandang masa depan dengan lebih bening. Melalui Kitab Suci yang berumur lebih dari 3500 tahu itu, kita tahu bahwa Kristus akan kembali untuk menyempurnakan ciptaan baru-Nya. Kita menjadi tahu bahwa kita hidup dalam rentang already-not yet. Kita hidup dalam anamnesis, kenangan masa lalu; serta prolepsis, “antisipasi” dari masa yang akan datang. Inilah yang menjadikan pengharapan kita penuh, dan setiap jerih lelah kita tidak ada satu pun yang sia-sia. Inilah yang memberi makna ketika kita mengangkat roti dan cawan perjamuan, serta diberitakan kepada kita, “Makan roti . . . minum cawan. . . kamu memberitakan kematian Tuhan sampai Ia datang” (1Kor. 11:26).
Apakah sejarah berguna bagi pelayanan kita di gereja, yang bukan menjadi dosen teologi? Tentu masing-masing kita yang dapat menjawabnya. Akan tetapi, jika kita mencintai Gereja Tuhan, dan ingin memberikan yang terbaik kepada Allah, maka niscaya tugas sebagai actus tradendi, pengemban warisan tradisi itu ada di pundak kita. Jika kita ingin mengajarkan sesuatu yang bernilai kekal, nilai kekal itu ditakar dalam sejarah! Jika kita berhasrat memberi makan jemaat dengan makanan rohani yang sehat dan bergizi, maka adalah tugas kita untuk bekerja ekstra keras dalam mempersiapkan diri kita.
Ataukah, semua masalah ini bersumber dari apa yang pernah dikatakan oleh sejarawan ternama Arnold Toynbee, "Ada hal yang menarik yang dapat dipelajari tentang manusia. Manusia memang belajar sejarah, tetapi manusia tidak dapat belajar dari sejarah"? Apakah di ladang, kita memiliki waktu untuk belajar pribadi, di luar tumpukan tugas serta tuntutan persiapan khotbah? Semoga.
TERPUJILAH ALLAH!
No comments:
Post a Comment