SEJARAH, PENDIDIKAN DAN TEOLOGI: SEBUAH REFLEKSI PRIBADI
Sejarah di Negeri Kita
Kita mengenal kata-kata bijak, “Bangsa yang besar adalah bangsa yang selalu mengingat sejarahnya.” Bapak pendiri bangsa ini, Bung Karno pernah menyerukan, “JAS MERAH!” Jangan sekali-kali melupakan sejarah.
Sayang! Tak banyak orang yang menghargai sejarah. Hanya segelintir orang yang menyukai sejarah. Dapat dibuktikan berapa prosentase siswa-siswa dari SD sampai dengan SMA yang menyukai mata pelajaran sejarah. Sangat sedikit! Kebanyakan menggenjot diri dengan ilmu-ilmu eksakta, dengan pemikiran bahwa masa depan lebih terjamin dengan menguasai ilmu-ilmu eksakta itu. Orangtua pun tak segan-segan untuk merogoh kocek untuk mengeluarkan bea ekstra demi anak-anaknya mencapai nilai tinggi dalam Matematika dan cabang-cabang IPA. Bahasa mendapat 6, tidak mengapa. Sejarah mendapat 6,5 tidak ada yang cemas.
Apalah hendak di kata, memang demikian imaji masyarakat mengenai mata pelajaran sejarah. Celakanya, sistem pendidikan di Indonesia turut menjerumuskan masyarakat, dengan mengondisikan setiap pebelajar untuk tidak menyukai sejarah; pasalnya, sejarah identik dengan menghafalkan orang-orang mati, tempat dan waktu suatu peristiwa. Sampai-sampai ada humor, seorang guru bertanya, “Apa yang terjadi pada 1825-1830?” Ada anak yang tiba-tiba mengacungkan tangannya dan berteriak keras-keras, “Adzan maghrib, Bu!”
Jika pemerintah Orba dulu menggenjot IPTEK sebagai unggulan, dengan contohnya perusahaan pesawat terbang Nurtanio diubah namanya menjadi IPTN—yang pada masa sekarang ini tidak ada satu pun pesawat yang diproduksi—maka kian parahlah kondisi di era Reformasi ini. Pelajaran menjadi semakin tidak jelas. Kurikulum berganti-ganti. Ada orang berkata, “Asal Menteri Pendidikannya ganti, kurikulum juga ikut-ikutan ganti.” Standar kelulusan dinaikkan, sementara daya dukung dan subsidi untuk pendidikan sebisa mungkin dipangkas, atau disunat. Banyak siswa yang stres dan depresi. Tiap tahun, saya berhadapan dengan siswa-siswa yang paranoid dengan Ujian Akhir Nasional. Mereka tidak yakin apakah dapat menuntaskan pendidikan sesuai target. Rasa malu sudah terbayang ketika nama mereka dinyatakan tidak lulus dan harus mengulang setahun, atau ikut Kejar Paket C.
Instansi yang membidangi sejarah di Indonesia juga tidak pernah mendapatkan privilese dari pemerintah. Lihatlah kantor-kantor arkeologi dan kesejarahan di negeri kita, dan museum-museum yang dibangun dengan harga tak murah sama sekali. Orang yang datang tiap harinya dapat dihitung dengan jari. Bahkan tidak sedikit, museum-museum di Indonesia tidak lagi terawat keadaan bangunan serta isinya. Berstudi mengambil fakultas sejarah, sama saja dengan orang buangan yang tidak dapat masuk ke bidang prestisius dan basah seperti kedokteran atau teknik (jangan-jangan teologi pun dianggap seperti itu!). Saya sangat terkejut ketika diberi tahu oleh seorang rekan di satu kota di Jawa Timur, bahwa Kepala Pusat Arkeologi di salah satu provinsi di Pulau Jawa, hanya menerima gaji Rp. 900 ribu perbulan! Padahal ia bergelar Magister Sains. Strata 2!
Maka tidaklah mengherankan, bila di museum-museum sering kehilangan koleksi benda-benda peninggalan sejarah yang harganya tak ternilai itu. Dini hari ini, tanggal 22 Agustus 2008, begitu pulang dari ngantor di gereja, saya sempatkan untuk menyalakan TV; dan sebuah berita di RCTI cukup heboh. Berita itu mengetengahkan pemulangan 4 arca koleksi asli museum purbakala di kota Surakarta, yang merupakan tinggalan zaman Hindu. Arca-arca itu dijual sampai ke luar negeri secara ilegal. Ada seorang haji yang membeli sebuah arca, tapi sangat aneh, ia membeli arca tersebut dari Belanda. Padahal arca itu asli dari Indonesia. Siapa pelakunya? Kepala museum itu sendiri, yang berdarah biru dan bergelar “Kanjeng Gusti Haryo.” Mengapa itu sampai dilakukan? Karena kebutuhan perut dan tuntutan keluarga, tentu saja! Mau mengharapkan gaji bulanan? Mana tahan!
Entah mengapa, kadang-kadang saya heran dan iri (jujur, seorang hamba Tuhan iri untuk yang satu ini!). Di negara-negara yang sudah sangat maju, sejarah tidak pernah dilupakan. Seseorang yang mempelajari ilmu-ilmu eksakta pun pasti bersentuhan dengan sejarah perkembangan ilmu tersebut. Lalu ada rumah-rumah produksi yang bertaraf nasional dan internasional, mau-maunya menerbitkan kajian mengenai sejarah-sejarah. Ada orang yang mau mengeksplorasi dan melakukan penggalian-penggalian di tempat-tempat bersejarah walau terpencil letaknya. Ada saja sponsor yang rela menginvestasikan uangnya untuk membuat dokumentasi. Apakah mereka sudah kelebihan uang dan tidak tahu harus menyalurkan ke mana lagi? Saya rasa kok tidak semata-mata karena alasan itu, tetapi karena memang sikap mental yang ditanamkan terhadap sejarah memang tinggi.
No comments:
Post a Comment