Hari Kematian Lebih Baik dari Hari Kelahiran
Aneh! Banyak orang suka merayakan ulang tahunnya! Bahkan sudah menjadi pakem wajib bagi anak putri zaman sekarang untuk merayakan sweet seventeen dengan meriah, mirip pesta pernikahan, hanya kurang pengantin laki-lakinya! Demikian pun ulang tahun perkawinan, bila mencapai 50 tahun, Golden Wedding Anniversary, momentum ini sangat-sangat istimewa!
Banyak orang yang takut untuk menghadapi kematian! Jangankan mati, pensiun saja alergi. Pensiun identik dengan tidak berharga, tidak ada nilainya. Maka kematian pun sama dengan kenihilan dan ketiadaan, tidak bisa ini dan itu. Manusia seolah menjadi nihil. Jacko (Michael Jackson) saja rela membayar mahal agar tiap malam ia tidur di sebuah tabung gas oksigen agar hidupnya lebih panjang dari manusia normal, dan berusaha hidup se-imun mungkin dari segala kekotoran dan cahaya matahari, agar make-up dan kulit tubunya yang sudah dipermak itu tidak rusak. Jujur saja, dia takut dengan kematian. Dan, banyak orang pun demikian!
Alkitab membaliknya. Alkitab pun mengatakan bahwa datang di rumah duka lebih baik daripada di rumah pesta (Pkh. 7:2). Apakah Alkitab melarang orang bersukacita? Bukan! Tuhan Yesus sendiri kerap kali dijumpai di tempat-tempat pesta. Ia tidak menabukan perayaan. Dengan kehadiran di tempat pesta, Yesus Mesias ingin memakainya sebagai pelambang untuk membuka sebuah rahasia bahwa Kerajaan Allah adalah kerajaan sukacita. Siapa pun yang menjadi warganya, akan bersukacita karena tindakan-tindakan Allah yang dinyatakan di tengah-tengah mereka.
Tetapi Alkitab pun tidak mau tedheng aling-aling dengan kenyataan kematian. Kematian adalah bagian umat manusia, setelah mereka jatuh ke dalam dosa. Allah menciptakan manusia bukan untuk mati, tetapi karena pemberontakan manusia, maka konsekuensi yang harus ditanggung oleh manusia adalah kematian!
Oleh sebab itu, jika manusia tidak menyadari akan realitas kematian, manusia akan menjadi lupa bahwa ia kelak akan menghadapi kekekalan pada masa roh terlepas dari raga. Jika manusia acuh tak acuh dengan hal ini, maka ia hanyalah mengejar kesia-siaan. Itulah sebabnya, di kitab Pengkhotbah, berkali-kali diungkapkan “hidup di bawah matahari adalah kesia-siaan!” bahkan “kesia-siaan di atas kesia-siaan,” vanitas vanitatum mundi!
Maka, hari kehidupan manusia menjadi sedemikian berharga! Masa hidup inilah yang menentukan kekekalan. Apa yang ditabur di sini akan dituai pada masa kelak. Kesementaraan di bumi akan menentukan yang kita terima pada kekekalan. Hidup di bawah matahari adalah kesia-siaan? Benar! Yang tidak sia-sia, jika demikian, yaitu “hidup di atas matahari”! Itu artinya, pandangan yang terarah pada kekekalan. Rasul Paulus pernah mengingatkan agar orang Kristen mencari dan memikirkan “perkara yang di atas, bukan yang di bumi” (Kol. 3:1-2). Carpe diem! Tangkaplah hari!
Hari kematian lebih baik daripada hari kelahiran karena dengan kematian, kita memasuki gerbang kekekalan. Berbahagialah orang yang memandang kepada perkara-perkara di atas! Ia yang hidup “di atas matahari.” Terlebih berbahagia mereka yang telah mengenal, atau lebih baik dikenal oleh Allah (Gal. 4:9), yang dalam kekuatan-Nya yang maha dahsyat telah menyelamatkan mereka di dalam kuasa kematian dan kebangkitan Anak-Nya yang Tunggal!
Betapa baru kali ini saya menjumpai pengalaman yang luar biasa! Sang kakek itu, telah mempersiapkan kematiannya! Dengan cara bagaimana? Ternyata ia telah mempersiapkan liturgi tutup peti sampai dengan pemakamannya, dengan tulisan tangannya sendiri! Di dalam liturgi itu ia ungkapkan pengalaman rohaninya bersama Tuhan. Tahukah Anda, sejak kapan ia mempersiapkan kematiannya? 12 tahun yang lalu! Ia menulis liturgi itu sebagai “wasiat”-nya sejak tahun 1996! Luar biasa, berarti sejak usia 61 tahun, dia telah merasa bahwa waktu hidupnya semakin singkat!
Saya baru menyadari, mengapa sepanjang saya mengenal dia, khususnya setelah saya lulus dari seminari dan bergabung kembali dengan gereja asal saya, selalu saya perhatikan bahwa si kakek selalu menangis ketika berdoa. Kata-katanya sederhana tetapi dalam. Dan selalu ia terharu! Ternyata, ia merasa semakin dekat dengan Tuhan, dan dalam hidupnya, hanya satu yang ia harapkan yaitu memperkenankan hati Tuhan! Tulisnya dalam salah satu liturgi yang dibuatnya itu, “Saya ingin menghaturkan rasa syukur dan terima kasih kepada Allah—Bapa Tuhan kita Yesus Kristus, Tuhan yang sudah mengampuni dosa, kepada Tuhan Roh Kudus yang mengingatkan, menegur dan mendidik saya. Terima kasih, Tuhan!”
Siapakah yang sebenarnya paling berbahagia di dunia ini? Masing-masing kita yang dapat menjawabnya. Namun bila Anda dan saya tak pernah tahu kapan Tuhan akan memanggil kita, apakah yang akan kita kerjakan? Akankah kita mencapai khusnul qotimah, atau sebaliknya su’ul qotimah?
TERPUJILAH ALLAH!
No comments:
Post a Comment