BAPA TUHAN KITA YESUS KRISTUS
Keunikan iman Kristen adalah menyapa Allah sebagai “Bapa.” Kita bukan tidak mengenal Allah. Kita mengenal-Nya sebagai satu Pribadi. Kita bahkan sangat dekat dengan sang Allah, sampai-sampai menyebut-Nya Bapa kita.
Sapaan ini dahsyat maknanya. Allah bukan pribadi yang menakutkan. Allah menjadi pribadi yang dekat dan bergaul karib dengan kita. Bersandingan dengan bapa kita di dunia, maka kasih Allah berkali lipat melampaui kasih bapa kita. Jika bapa kita tak selalu mampu menjaga kita, sebaliknya Bapa akan selalu berjaga-jaga bila si anak sedang dalam bahaya. Terhadap segala kebutuhan, Allah selalu memenuhkan. Allah tak segan-segan memberikan yang terbaik untuk anak yang dikasihi-Nya. Amin?
Apa artinya “yang terbaik”? Sebagian orang Kristen segeran menjawab, “Ya terang, dong: pekerjaan terbaik, gaji terbaik, rumah terbaik, HP terbaik, mobil terbaik, keamanan terbaik, prestasi terbaik, kesehatan terbaik.” Sebab, menurut mereka, Bapa yang baik pasti menggenapi Roma 8:28, “Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia,” ditandai dengan semakin banyaknya “. . . terbaik” di tangan kita. Syukur-syukur bisa semua!
Bagaimana bila saya tidak mendapatkan? Ah, saya tentu harus bertanya balik, apakah saya ini orang yang mengasihi Allah? Jangan-jangan kasih saya pada Allah mulai luntur sehingga tingkap-tingkap langit Allah tutup rapat-rapat. Karena saya tidak bersungguh-sungguh mengasihi Allah, makanya Allah menyumbat berkat-berkat terbaik-Nya. Nah, benarkah demikian?
Rekan-rekan yang dikasihi Tuhan,
Keberagamaan kita seringkali sudah kelewat pascamodern. Kita tidak menakar pengenalan kita terhadap Allah dari sumber-sumber yang objektif, tetapi subjektif-perasaan. Kita menjadi seperti ini oleh sebab para pengajar kita bertutur tentang hukum “tabur-tuai.” Barangsiapa menabur banyak, ia akan mendapat banyak. Barangsiapa menabur sedikit, ia akan menabur sedikit. Barangsiapa menabur kesalehan, ia akan menuai berkat yang melimpah. Barangsiapa menabur kelalaian, ia akan menuai kecelakaan. Pengajaran ini tambah meyakinkan manakala sang pengkhotbah memberikan daftar bukti-bukti kehidupan sehari-hari. Dan kita pun berkata, “Amin!”
Mari kita ambil contoh. Seorang pemuda jatuh dari pohon di siang bolong. Kakinya patah. Ia pingsan. Ia harus berbaring di rumah sakit. Begitu byar siuman, pertanyaannya pertama adalah, “Apa yang aku lupa perbuat untuk Tuhan, ya?” Ah . . . ternyata kelupaan saat teduh! Lalu komentarnya, “Pantas, ini nich hukuman Tuhan untuk ketidaktataanku.”
Sebaliknya. Seorang pemudi menjadi staf kantor di sebuah perusahaan elektronik ternama. Harapannya, dalam lima tahun ia harus menjadi manajer pemasaran. Maka ia pun semakin rajin berdoa, berpuasa, memberi persembahan persepuluhan, mendanai kegiatan-kegiatan gereja. Ah tepat, doanya “didengar” Tuhan. Ia menjadi manajer pemasaran. Hukum tabur-tuai ternyata ya dan amin!
Mendaftar kesaksian orang-orang yang mengalami hukum tabur-tuai sangatlah banyak di sekitar kita. Banyaknya kesaksian itu kemudian kita ukurkan sebagai standar kebenaran. Tetapi tunggu dulu. Dari dua kasus di atas, mari kita menanyakan sesuatu. Seandainya sang pemuda sudah bersaat teduh, apakah ada jaminan kalau ia tidak akan jatuh? Sedangkan, bukankah nasib sang pemudi bisa saja seperti caleg-caleg yang gagal duduk di kursi legislatif kendatipun mereka sudah mempertaruhkan puluhan juta?
OK-lah, banyak orang yang mengalami pengalaman “tabur-tuai” bersama Allah Bapa. Tetapi dengan satu eksepsi. Kesaksian mereka nampaknya tidak berlaku untuk Paulus. Sang rasul tidak mengenal hukum tersebut. Bahkan nampaknya sikapnya begitu negatif. Dalam 2 Korintus 1:3, Paulus cs. memang mengenal Allah sebagai “Bapa Tuhan kita Yesus Kristus, Bapa yang penuh belas kasihan dan Allah sumber segala penghiburan.” Hebat bukan?
Tetapi tampikannya terhadap hukum “tabur-tuai” adalah di ay. 4, “yang menghibur kami dalam segala penderitaan kami.” Paulus cs. sudah 20 tahun mengabdikan diri kepada Allah. Ia telah serahkan semua. Logika yang wajar adalah ia tentu dapat satu kursi empuk dong, minimal applause from heaven and earth!
Rekan-rekan, sungguh betapa mengherankan. Keberagamaan yang diwarnai anti-intelektualisme atau anti-logika pada zaman kita ini ternyata menetapkan logikanya sendiri, yaitu melalui hukum “tabur-tuai.” Kebaikan Bapa dikotakkan dalam kerangka hukum itu.
Paulus melepaskan Allah dari belenggu logika ini dengan menyebut Dia sebagai “Bapa Tuhan kita Yesus Kristus.” Mengapa? Ternyata Paulus menempatkan dirinya “mendapat bagian berlimpah-limpah dalam kesengsaraan Kristus” (ay. 5). Paulus tidak memakai kelimpahan sebagaimana dipikirkan kebanyakan orang masa kini. Paulus adalah rasul Kristus Putra Tunggal Allah Bapa, dan Putra Allah menderita. Maka, layaklah rasul Sang Putra pun turut menderita.
Simak dengan teliti. Allah bukan Bapa dari Paulus. Allah pun bukan bapa kita! Allah adalah Bapa Tuhan Yesus Kristus! Allah menjadi Bapa kita oleh sebab tindakan adopsi melalui Putra-Nya. Jika demikian, apa pun yang akan menimpa kita berada di wilayah kedaulatan Allah. Allah tak mungkin kita kotakkan ke dalam hukum tabur-tuai.
Berapa banyak lagu-lagu Kristen dalam lima tahun terakhir ini yang memakai kata “Bapa” begitu sentimentil dan sensual? Hampir dapat dipastikan identik dengan kasih yang melimpah, keajaiban perlindungan, berkat dan penyertaan Tuhan. Bapa bak kekasih yang bisa kita peluk, dekap dan cium setiap waktu. Sadar atau tidak, lagu-lagu ini menampilkan posisi manusia yang cukup baik dan cukup layak—seorang manusia saleh yang dekat di hati Bapa. Tetapi, adakah lirik lagu kontemporer yang bermuara pada pemujaan terhadap kemuliaan Allah, seperti di bawah ini
Father, we love You,
We worship and adore You
Glorify Thy name in all the earth.
LAUS DEUS PATER!
No comments:
Post a Comment