“Mission does not seek to turn sinners into saved individuals; it seeks, rather, to turn disparate individuals into a worshiping community. The preoccupation of the modern church with numbers often misses the real goal of mission. Instead of turning out fine works of art, the modern church tends to model its mission on the mass-production factory. The church becomes an efficiently run factory. We then market the megachurch as the model of a successful church. Is it any wonder that grandiose strategies of winning the world for Christ have produced a bloated church whose ways and values are not very different from those of the world? The ministry becomes departmentalized (again, like a mass-production factory), mission is left to church-growth specialists, counseling is done by professionally trained counselors, and the pastor serves as the CEO.”
[“Misi tidak berusaha untuk mengubah orang berdosa menjadi individu-individu yang diselamatkan; tetapi, berusaha untuk mengubah individu-individu yang unik ke dalam sebuah komunitas yang beribadah. Kesibukan gereja modern terhadap jumlah sering meleset dari tujuan misi yang sejati. Ketimbang kembali kepada sebuah karya seni tinggi, gereja modern cenderung untuk mempolakan misinya pada perusahaan produksi massal. Gereja menjadi sebuah perusahaan yang dijalankan secara efektif. Kita kemudian memasarkan gereja mega selaku model dari sebuah gereja yang sukses. Adakah yang mengherankan bahwa strategi-strategi yang luar biasa untuk memenangkan dunia bagi Kristus telah menghasilkan sebuah gereja yang kekenyangan, yang arah serta nilai-nilainya tidak terlampau berbeda dengan dunia? Pelayanan menjadi terbagi dalam departemen-departemen (sekali lagi, seperti sebuah perusahaan produksi massal), misi diserahkan pada spesialis-spesialis pertumbuhan gereja, konseling dilakukan oleh para konselor profesional dan terlatih, dan sang pendeta bertindak sebagai CEO.”]
(Simon Chan, Liturgical Theology, 2006: 45)
No comments:
Post a Comment