Terlalu Berlogika
Prof. Dr. Jo Verhaar, seorang filsuf dan ahli linguistik, pernah menulis anekdot filosofis berikut.
Pada suatu malam aku bermimpi. Impianku begini:
Aku sedang dalam perjalanan ke suatu pusat kongres untuk menghadiri kongres filsafat, dan akhirnya mencapai halaman gedung pusat tersebut. Di depan pagar pada tempat masuk aku tercengang. Berdirilah di situ seorang perwira berkawal, berbaju zirah, bersenjatakan tombak yang bermata kapak. Waktu aku mendekati dia, kulihat pada kulahnya nama yang terukir pada bajunya, dan nama itu ialah RenĂ© Descartes. Ia berpaling kepadaku dan menyapa aku, “Engkau akan kuperbolehkan masuk jika kalimat pertama yang kauungkapkan adalah benar. Jika tidak benar, engkau segera kubunuh.”
Aku heran dan diam saja, dan mempertimbangkan sikat Descartes. Sikap keras seperti yang diancamkan dapat dimengerti jika diingat bahwa ancaman itu datang dari seorang yang berprinsip keras: bahwa semua ide harus jelas dan harus berbeda satu dari yang lainnya. Bagaimana bisa? . . . dalam hidup yang begitu tidak tentu, sering kabur, kerap kali berubah, penuh misteri. Hanya mereka yang menuntut kepastian setiap saat akan mencarinya dalam kejelasan: ketidakpastian membuat mereka keras. Kalau yang diinginkan adalah baik kejelasan maupun kepastian, itulah dwifungsi yang akan gagal dan sebaiknya dicabut dari filsafat yang sehat.
Memikirkan amanat Descartes itu, aku merasa untung karena kebetulan makalahku untuk konferensi itu membahas ungkapan paradoksal. Dalam benakku kucari-cari paradoks yang memadai, lalu kataku, “Sebelum aku masuk, aku akan kaubunuh.” Perwira ini bingung, dan sudah jelas mengapa: jika ia memperbolehkan aku masuk, pernyataanku tidak benar dan seharusnya aku dibunuh; sebaliknya, jika aku dibunuhnya, pernyataanku benar dan seharusnya aku tidak dia bunuh. Entah mana pun yang dipilihnya, tetap salahlah dia. Ya, salahnya sendiri, pikirku—terlalu banyak logika dapat menjadi kekerasan konseptual.
Perwira itu memegang kulahnya dengan kedua belah tangan, tutup mata, dan berseru, “Kini aku tidak mampu berpikir lagi.” Lalu, segera lenyaplah Descartes yang sudah menjadi tunapikiran itu.
No comments:
Post a Comment