Hakim-hakim 16:23-31
PENDAHULUAN
Tak dapat dipungkiri, hidup kita diwarnai dengan menilai atau dinilai oleh orang lain. Tak terkecuali orang Kristen, penilaian terhadap orang Kristen lain itu pasti terjadi. Baik itu penilaian yang objektif maupun subjektif, setiap orang nyatanya melakukan penilaian. Ada sebagian orang yang menilai berdasarkan kemampuan dan kapasitas orang lain. Ada pula karena harta dan kekuasaan, maka seseorang memberikan penghormatan luar biasa.
Namun demikian, salahlah bila kita memberlakukan standar duniawi tersebut untuk menilai orang lain. Derajat seseorang hendaknya tidak dinilai dari apa yang ia saat ini punyai, yang membuat orang segan dan kagum dengan dia. Hal ini sangat menipu! Harkat orang lain, janganlah kita letakkan pada besaran-besaran material yang dapat ditangkap oleh indera kita, ataupun sesuatu yang lebih daripada kepunyaan kita.
ISI
Dalam pada itu, kebesaran seseorang, martabat seseorang hendaklah kita nilai berdasarkan standar kebenaran firman Allah. Apakah standar itu?
1. Lihatlah ia sebagai manusia yang sewajarnya
Kita membaca kisah hidup Simson. Tokoh ini adalah salah satu cerita favorit Sekolah Minggu. Kita terus mengingat bagian ini dengan baik. Akan tetapi, apakah kita melihat kebesaran diri sang nazir Allah? Ya, dia hebat! Dia perkasa dan kuat! Ia menjadi idola banyak putri! Namun di sisi lain, ia pun jatuh karena putri! Ia gagal untuk setia kepada Allah.
Kita perlu melihat Simson secara utuh. Simson adalah potret seorang manusia yang biasa, sama seperti kita. Kalau kita terlalu mengekspos kehebatan Simson, maka pemahaman kita akan timpang. Sebaliknya, jika kita melulu hanya memperhatikan kegagalannya, maka kita pun merendahkan Allah yang telah memilihnya. Simson adalah potret real dari seorang pelayan Tuhan! Di satu masa dia hebat, tetapi di masa lain ia pun mempunyai pergumulan dengan imannya. Semua kita mengalami ini.
Maka biarlah pun memandang seseorang dengan wajar. Jangan kita terlalu mengekspos kehebatan seseorang, sehingga mendewa-dewakan dia seolah-olah ia tanpa cacat dan cela. Seseorang yang mengorbit tinggi dengan cepat, maka reputasinya pun akan segera terjun bebas. Estimasi (prakiraan) yang muluk-muluk seperti itu akan segera berubah dengan cepat! Kita akan kecewa jikalau suatu masa ia melukai hati kita! Kita tidak siap menerima hal ini.
Tetapi juga, jangan sampai kita merendahkan seseorang, sehingga di mata kita, tidak ada yang baik dalam dirinya. Setiap orang mempunyai hak untuk berprestasi dan dihargai karyanya. Kritik itu boleh dan perlu sebagai bentuk evaluasi. Tetapi bila kritik itu dilambari dengan motif untuk menjatuhkan, maka kritik itu menjadi salah dan ini pun merupakan suatu bentuk fitnah.
Maka, marilah kita belajar untuk tidak menjadi tinggi hati, ataupun rendah diri. Yang kaya, tidak merasa memiliki kuasa dan berhak segala-galanya, dan merendahkan yang tidak seperti dirinya. Yang pas-pasan tidak lagi merasa minder dan tersingkirkan. Sungguh, persekutuan di tempat ini akan lebih hangat dan sejuk, bila tak seorang pun di antara kita yang merasa bahwa posisi kita ini remeh dan tak berharga, lalu kita menuding orang lain mau mencari kuasa, dekatnya dengan orang berpangkat dan kaya raya, dan sebagainya.
2. Lihatlah ia di akhir kehidupannya
Simson yang hebat di satu sisi, dan terpuruk di sisi lain mungkin membuat kita frustrasi. Apakah benar dia ini sungguh-sungguh menjadi nazir Allah. Jujur harus kita akui, sebagai pelayan Tuhan pun, kita tak jarang menjadi bingung karena sikap orang—yang katanya—Kristen, tetapi tidak ada Kristus di dalam dia, dan tidak menunjukkan buah-buah perbuatan. Ya memang, ia pandai, hebat, kaya raya, punya kekuasaan besar. Mungkin ia adalah seorang bos dan manajer yang andal, yang yang lebih penting . . . ia mengaku Kristen! Tetapi hidupnya tidak menunjukkan buah pertobatan. Atau ada lagi orang yang sangat baik tetapi hanya di lingkungan gereja; dan selebihnya nama Kristen itu dilepas; jika ada di luar gereja, tabiatnya kok ya sama saja dengan orang duniawi.
Kebesaran seseorang sesungguhnya ditunjukkan di akhir kehidupannya! Bagian yang kita baca merupakan detik-detik akhir dari kehidupan seorang yang terkenal kuat dan pandai bermain strategi, yang tak jarang juga membuat kita geli dengan tingkah lakunya. Mungkin Simson ini orang yang punya tipe temperamen sanguin. Pokoknya tabrak dulu, mikirnya belakangan. Tak jarang ia melakukan suatu tindakan berdasarkan apa yang ia senangi. Dan karena inilah, maka ia pun jatuh dan kejatuhannya fatal sekali. Kepada istri yang kafir itu, ia menunjukkan rahasia kekuatannya. Kesalahan inilah yang menyeretnya ke akhir hidup yang terjungkirbalik 1800. Dari yang semula nazir Allah, menjadi tawanan bagi orang Filistin. Ayat 21 dikatakan di sana, orang Filistin mencungkil kedua matanya dan membawanya ke Gaza. Ia dibelenggu dengan rantai tembaga dan pekerjaannya di penjara ialah menggiling.
Tetapi di akhir hayatnya, ia berseru kembali kepada Allah, “Ya Tuhan Allah,”—ia menyebut nama Allah perjanjian, Allahnya bangsa Israel, yang tidak pernah ingar janji—“ingatlah kiranya kepadaku.” Perhatikan! Tidak disebutkan bahwa selama ia tertawan itu, ia berdoa kepada Allah! Ia mungkin lupa dengan Allah. Ia bisa jadi kecewa dengan Tuhannya kaum Israel. Ia mungkin sudah meninggalkan Allah.
O betapa banyak orang yang merasakan kekecewaan yang mendalam kepada Allah! Sehingga mereka lari dari Allah. Rasa-rasanya Allah telah mengkhianati kehidupan mereka. Gereja hanya omong kosong. Para pendeta hanya bisa berkhotbah dan tak dapat melakukan apa yang ia khotbahkan, jadi “Mengapa aku harus setia kepada Allah?!”
Tetapi justru iman seseorang akan terlihat di titik akhir kehidupannya. Syukur pada Allah, bilamana seseorang tetap teguh dan memandang Allah itu selalu baik di setiap waktu. Kendati demikian, banyak pula orang yang cepat kecewa dengan Tuhan! Mereka berbalik dari Tuhan, meninggalkan Tuhannya! Namun sungguh luar biasa, barangsiapa yang menjadi umat pilihan Allah yang sejati, di akhir kehidupannya, ia akan kembali juga kepada Allah.
Jadi, mungkinkah kita berani menilai seseorang baik atau buruk hanya oleh karena dulunya dia Kristen, tetapi sekarang tidak lagi? Kita belum tahu akhir hidupnya. Hanya Allah saja yang tahu rahasia akhir kehidupan seseorang. Maka, Allah tidak menjadikan kita sebagai hakim atas orang lain. Allah mau agar kita menjadi pelayan seorang akan yang lain. Maka sebagai bentuk kerendahan hati itu, kita perlu belajar untuk berdoa agar Tuhan menutup mulut kita dengan perkataan-perkataan yang menjatuhkan orang lain.
3. Lihatlah Tuhan dan bukan manusia
Cobalah tanyakan kepada anak-anak (atau bahkan mungkin juga termasuk orang tua!), apa yang menarik dari kisah Simson? Nyaris tak terdengar kesan yang meluncur dari mulut seseorang: “How great Thou art!” Sungguh besar Engkau, ya Allah! Fokus kita hanya pada kehebatan Simson. Kita lupa bahwa kuasa di balik Simson adalah kuasa dari Allah yang Mahatinggi.
Karena itu, marilah kita sungguh-sungguh mencamkan, ketika Allah yang bekerja melalui Simson sudah undur dari dia, apa yang bisa dikerjakan oleh Simson? Ia menjadi seorang pecundang, a looser, yang kalah. Ia bagaikan seekor macan yang telah ompong dan tak bergigi lagi, yang cakar-cakarnya tak lagi dapat merobek mangsanya.
Perhatikan, orang yang tidak disertai seperti ini hanya menjadi cemoohan bagi orang lain. Orang-orang menantikan Simson bukan lagi sebagai sosok yang dikakuti, tetapi sebagai seorang pelawak! Ia sekadar menjadi tontonan dan olok-olokan massa! Ketika manusia menjadi besar, maka Allah akan menjadi kecil. Sebaliknya, ketika manusia menjadi kecil, maka ada ruang bagi Allah untuk menjadi lebih besar!
Di akhir kehidupan Simson, siapa yang memberi kekuatan baginya untuk membunuh ribuan orang yang ada di dalam kuil dewa Dagon itu? Tentulah Allah! Kalaupun Simson berhasil membunuh orang Filistin dengan jumlah jauh lebih banyak, siapa yang menyebabkan hal itu terjadi? Allah juga!
Maka kiranya kita jangan sampai melupakan hal ini. Di balik kehebatan seseorang, ada Allah yang bekerja. Ingat, bisa jadi suatu saat Allah meninggalkan dia, bila ternyata ia memegahkan diri dan dengan tiada sadar, telah menjadikan dirinya sebagai pusat pemujaan dan decak kagum.
PENUTUP
Dalam sejarah gereja, ada seorang tokoh yang meneladankan kerendahan hati yang luar biasa. Ia memandang orang lain dengan benar dan positif. Ia adalah Yohanes Pembaptis. Ketika masanya tiba bagi dia untuk lengser dari kancah pelayanan publik, digantikan oleh saudaranya sendiri yang lahir di Betlehem, ia rela berkata kepada murid-muridnya, “Lihatlah Anak Domba Allah yang menghapus dosa dunia!” (Yoh. 1:29). Murid-muridnya kebingungan karena semula menganggap dialah Mesias yang dijanjikan itu. Tetapi sekali lagi, Yohanes berkata, “Lihatlah Anak Domba Allah!” (ay. 37).
Ketika ia sudah ada di dalam penjara, dan para muridnya yang tersisa menjenguknya, dan melaporkan tindakan Yesus dan murif-murid-Nya yang membaptiskan orang, dari mulutnya meluncur kata-kata yang agung, “”Ia harus makin besar, tetapi aku harus makin kecil!” (Yoh. 3:30). Inilah cara Yohanes memandang siapa Yesus! Dan ia tahu siapa sejatinya Yesus dari Nasaret itu!
Sebagai hamba Allah, maukah kita kini menilai orang berdasarkan prinsip firman yang sejati? Lihatlah dia apa adanya, nantikanlah masa akhir kehidupannya; dan yang jauh lebih penting adalah: Pandanglah Tuhan yang bekerja di dalam dirinya. Marilah kita memiliki cara pandang yang positif terhadap orang lain. Dan lihatlah: Tuhan akan mengerjakan sesuatu yang indah di dalam komunitas persekutuan kita! Kita akan disemangati oleh kehangatan, cinta kasih, penguatan dan kerelaan untuk saling membebat dan menyembuhkan. Terpujilah Allah!