PANGGILAN BARU
Pengertian ini kembali memberikan implikasi yang penting bagi gereja. Jikalau Sang Logos itu adalah Pencipta, Makna sekaligus Model seutuh ciptaan, maka tubuh-Nya, yakni gereja, harus mengambil tanggung jawab yang sama, kreativitas yang sama, di dalam tata semesta dan di atas bumi. Jadi, tugas dan tanggung jawab orang Kristen bukan semata-mata mengurusi “hal-hal rohani,” atau sibuk dengan “doktrin yang benar dan alkitabiah,” yaitu serentetan konsepsi-konsepsi yang hanya dapat ditangkap oleh intelegensia. Firman Allah tidak dikomunikasikan hanya melalui proposisi-proposisi. Firman Allah adalah komunikasi kehidupan. Ini punya dampak penting bagi gereja, yakni bahwa gereja harus berani mengomunikasikan kehidupan. Bagi orang Kristen, teretaslah sekat yang memisahkan wilayah sekular dan religius. Orang Kristen harus berani terjun dan masuk ke wilayah-wilayah kehidupan manusia, di dalam kuasa Allah yang menguduskan diri dan karya tangannya: baik melalui sastra, musik, gambar-gambar, bidang pembangunan masyarakat.
Teolog Gereja Timur yang bernama Maximus Sang Pengaku berkata bahwa “Logos Pengada” (logos of being) itu adalah suatu gerakan. Ada dinamika di dalam Logos tersebut. Berarti, misi Kristen pun memerlukan bentuk-bentuk baru, cara-cara baru yang dapat menjangkau seluruh ciptaan. Akan tetapi, hendaklah gereja waspada bahwa metode-metode ini jangan sampai diimpor mentah-mentah dari dunia yang telah jatuh ke dalam dosa. Cara baru yang ditetapkan untuk bermisi harus melalui tahap-tahap seleksi, pemilahan dan pemilihan, kewaspadaan tetapi juga keberanian untuk mencoba hal-hal yang baru.
Akhirnya, visi yang orang Kristen bawa adalah mewujudnyatakan keindahan, kebenaran serta kebaikan ciptaan baru ke dalam bumi. Misinya adalah melalui Titah Kebudayaan (Cultural Mandate) dalam Kejadian 1:26-28, dan Titah Pemuridan (Disciplesip Mandate) atau Amanat Agung (The Great Commission) dalam Matius 28:18-20. Di dalamnya, telah termaktub panggilan untuk melestarikan alam dan mempertahankan keutuhan ciptaan (integrity of creation),[1] membangun kebudayaan yang memuliakan Allah dan memanusiakan manusia (diktum kaum Yesuit: Dei gloriam vivens homo), juga pewartaan Injil ke seluruh dunia.
John Meyendorff mengingatkan kita, “Christians never commit a greater spiritual crime than when they accept the dualism of grace and nature, the sacred and the secular, when they concede that there is an autonomous natural sphere that can possess its own beauty . . . its own harmony . . .” Ia menutup kalimat ini dengan sebuah ajakan, bahwa sekaranglah waktunya untuk mulai menegaskan dan mengabarkan bahwa Allah adalah khalik keindahan, dan tidak ada sesuatu pun yang diciptakan untuk menjadi sekuler, sama seperti kata Fyodor Dostoevsky, “Keindahan pada akhirnya akan menyelamatkan bumi.” Dan hal ini harus dikerjakan dengan perspektif baru yang dibukakan mengenai Kristus Sang Logos: bahwa Ia adalah Pencipta sekaligus Penebus.
[1]Esai penulis yang lainnya mengenai "keutuhan ciptaan" telah terbit di majalah bulanan sinode GKMI, berjudul “Keutuhan Ciptaan: Keluarga, Keindahan dan Pengharapan,” Berita GKMI 487 (April 2008) 50-56. Artikel ini dapat diakses dalam blog pribadi
No comments:
Post a Comment