KEMBALI TERCENUNG . . .
Kini marilah kita merenungkan bumi tempat tinggal kita. Ke-cuek-an hendaknya mulai kita tinggalkan, sebab ada bahaya yang besar sedang mendekati bumi kita ini. Sir John Houghton dari Universitas Cambridge, Inggris mengatakan bahwa sinyalemen perubahan iklim telah ditangkap secara serius oleh masyarakat dunia, baik para ilmuwan maupun politisi. Menurutnya, hal ini merupakan “masalah terbesar yang sedang dihadapi oleh dunia” dan merupakan “senjata penghancur massal” terhebat di sepanjang sejarah bumi. Bumi kita kian panas, oleh karena polusi global.[1]
Dari mana asal polusi global tersebut? Dari populasi manusia yang bertambah banyak, dibarengi dengan perkembangan industri yang sangat cepat. Dua hal ini yang menyebabkan degradasi lingkungan hidup dalam skala yang sangat besar. Houghton mendaftar isu-isu pokok di seputar ancaman terhadap keberlangsungan kehidupan dunia:
- Pemanasan Global dan Perubahan Iklim: berkait erat dengan penggunaan energi, transportasi, kepunahan aneka ragam makhluk hidup, penebangan hutan.
- Pergeseran penggunaan tanah: berkait erat dengan kepunahan aneka ragam makhluk hidup, penebangan hutan, perubahan iklim serta berkurangnya lahan subur serta defisit air.
- Konsumsi besar-besaran: berkait erat dengan sampah, ikan, makanan, energi, transportasi, penebangan hutan dan air.
- Sampah: berkait erat dengan konsumsi dan keberlangsungan kehidupan.
Sadarkah kita, tiap tahun luas hutan hujan tropis dunia digunduli dan dibakar kira-kira seluas hampir separo dari luas Pulau Jawa? Kayu dari hutan yang digunduli itu sebagian besar dipakai untuk pengadaan mebel dan perkakas dari kayu, dan untuk suplai negara-negara terkaya dunia. Pembalakan hutan di Indonesia, resmi dengan katebelece ataupun tidak, sudah mencapai titik yang sangat memprihatinkan. Indonesia memiliki cadangan 10% dari jumlah hutan hujan tropis, tetapi negara kita ini pun masuk dalam peringkat pemusnah hutan terbesar dunia. Sekitar 3,8 juta hektar pohon di Indonesia ditebangi. Ranking yang kemudian menyusul adalah Kamboja, Vietnam, Nepal, Malaysia serta Myanmar. Hutan di Sabah dan Malaysia Timur banyak ditebang untuk diubah menjadi mebel dan diekspor ke negara-negara kaya seperti Jepang, China, Hong Kong, Eropa serta Amerika Serikat. Penggundulan hutan besar-besaran inilah yang kemudian secara dramatis menaikkan gas-gas rumah kaca seperti karbon dioksida dan metana, yang pada giliran kemudian menaikkan suhu udara.
Menurut laporan State of the World, CO2 di atmosfer kini mencapai titik tertinggi dibandingkan dengan 420.000 tahun, dan bahkan mungkin 20 juta tahun! Pemanasan ini telah mengakibatkan kematian tak kurang dari 150.000 orang pertahun di semua belahan dunia. Tahun 2003 tercatat merupakan tahun terpanas, dan akibatnya 20.000 di belahan Eropa meninggal dunia. Di Kanada Utara, dekat dengan Zona Antartika, es mulai meleleh dan hal ini menyebabkan tidak sekadar kematian dari sejumlah besar binatang kutub, tetapi juga menaikkan permukaan air laut. Negara-negara berdataran rendah seperti Madagaskar dan Bangladesh terancam tenggelam! Bagian selatan China dan pulau-pulau di lautan India serta lautan Pasifik dalam tahun-tahun mendatang tak mungkin dapat bertahan. Kelak mungkin akan tiba waktunya, jutaan orang akan diungsikan (berarti, termasuk kepulauan di Indonesia, dan Jawa tentu saja!).
Dibanding semua negara, Amerika Serikat merupakan negara penghasil CO2 tertinggi, yang asalnya dari kepulan asap mobil, sistem pemanas ruangan dan limbah pabrik-pabrik. Dari totalitas populasi dunia, negara ini hanya 4% saja, tetapi harus bertanggung jawab untuk hampir 25% semua gas rumah kaca yang telah menyebabkan pemanasan dunia. Negara yang terbilang termakmur sedunia ini bertanggung jawab untuk 20.000 kilo CO2, menyusul kemudian Eropa 6.400 kilo. Bandingkan dengan negara-negara di Afrika yang luas dan panas itu, mereka hanya membuang CO2 tak lebih dari 1.000 kilo.
Ini berarti, sejumlah kecil kelompok manusia telah mengeksploitasi kenyamanan hidup umat manusia. Gaya hidup negara-negara super maju, yang diwarnai oleh pemborosan juga konsumerisme merupakan ancaman terbesar bagi masa depan planet kita. Celakanya, gaya hidup ini begitu mudahnya diekspor ke negara-negara Dunia Ketiga di Asia Tenggara dan sejumlah kota di Afrika, yang memang sering kali berkiblat pada gaya hidup negara maju.
So what gitu loh? Kenyataan ini penulis paparkan sebagai tegangan antara mysteco theology yang telah kita pelajari di atas dengan kenyataan hidup di dunia. Apa yang dapat kita kerjakan, sesungguhnya banyak sekali, dan itu dapat dimulai dari hal yang sangat kecil. Sebagai pengemban amanat Allah dan abdi bagi ciptaan, bagaimana sikap kita dengan sampah? Bagaimana kita menggunakan produk plastik yang sangat sukar diurai oleh bumi itu? Bagaimana gaya hidup kita dan sikap kita terhadap lingkungan? Apakah kita ramah dengan lingkungan dan meminimalisir produk yang akan mencemarkan lingkungan?
Salah satu petuah bijak Jawa berbunyi seperti ini, “Bumi iki dudu warisane simbah buyut, ananging titipane anak lan putu” (“Bumi ini bukan warisan nenek moyang kita, tetapi titipan anak serta cucu”). Kelak ketika anak-cucu kita menagih kembali bumi ini, apakah kita akan mengulurkannya dengan bertanggung jawab? Kira-kira 200 tahun silam, seorang anggota parlemen Inggris, Sir Edmund Burke mengucapkan kalimat yang patut kita simak, “No one made a greater mistake than he who did nothing because he could do so little.” Yang penting di sini, bukanlah apa yang dapat kita kerjakan itu besar atau kecil. Akan tetapi, apa yang kita pahami, dan yang telah kita tangkap maknanya, kita mau mengerjakannya. Sekecil apa pun itu, mari kita belajar mengerjakannya dengan setia.
Terpujilah Allah!
[1]Sir John Houghton, FRS, “Why Care for the Environment,” makalah yang dipresentasikan di Faraday Institute, St. Edmunds College, Cambridge.
No comments:
Post a Comment