Yang Paling Sukar Dilayani
Gereja kami baru saja menutup perayaan bulan Misi. Berbicara mengenai misi, mata kita akan selalu diajak memandang orang-orang yang begitu banyaknya, yang belum tersentuh oleh pelayanan Injil Kristus. Suku-suku di pedalaman Indonesia, daerah-daerah yang minim dan kering, serta orang yang belum percaya di berbagai belahan dunia.
Sebagai seorang gembala jemaat, saya merenung! Sebenarnya siapa yang paling sukar untuk dilayani? Jarak yang jauh bisa ditempuh. Samudra raya dapat diseberangi. Zona Barat-Timur, Utara-Selatan, dapat disambung hanya dengan sekali klik di tuts keyboard komputer, atau tekan tombol nomor pada pesawat telepon. Namun toh ternyata bukan orang yang jauh dari kita yang sukar untuk dilayani, tetapi orang-orang yang dekat. Maka saya mencoba mengangkat beberapa pokok pikiran permenungan di bawah ini:
Pertama, seorang hamba Tuhan lebih cocok melayani di tempat lain, daripada di rumah sendiri, di kandang tempat asalnya. Pembenaran untuk menggarisbawahi hal ini adalah ucapan Tuhan Yesus sendiri, "seorang nabi ditolak di tempat asalnya." Sekalipun konteks dulu dan sekarang berbeda, tetapi tak jarang kita mendengarkan alasan ini. Memang benar, masing-masing orang mempunyai beban dan pergumulan serta panggilan sendiri-sendiri. Hal ini harus dihargai. Bilamana beban seorang hamba Tuhan adalah bidang pemuridan, sedangkan gerejanya menekankan misi secara kuat, tentu ruang gerak bagi sang pelayan kurang atau tidak memadai.
Namun hal tersebut juga dapat berasal dari diri sang pelayan. Ia mungkin mempunyai masa lalu yang ia mau kubur, sebab ada orang sudah tahu masa lalunya. Atau, ia merasa tidak nyaman bila harus berjumpa dengan orang-orang yang dahulu menjadi majelis jemaat di gerejanya. Bahkan bisa jadi ia merasa minder dengan orang-orang yang ada di gerejanya, apalagi bila gereja tersebut dikenal sebagai gereja yang mapan, dan biasanya gereja mapan telah mempunyai pranata-pranata tersendiri, lisan atau tulisan, yang susah diganggu gugat. Maka untuk melayani mereka, kata orang Jawa, sudah kalah awu ("kalah abu," alias jatuh mental). Itulah sebabnya, melayani di gereja sendiri tidak mudah.
Kedua, menjadi gembala jemaat itu sukar. Harus perfect! Memang, semua pendeta tetaplah manusia. Ya sama dengan lagu Serieus Band, "Pendeta juga manusia!" Namun tuntutan untuk diri dan keluarga harus diakui berbeda. Mungkin inilah yang membawa tekanan tersendiri bagi pendeta dan keluarganya. Sehingga, seorang lulusan sekolah teologi lebih enggan untuk tinggal melayani di rumah sendiri ketimbang di tempat lain. Sebab bila ada orang yang telah tahu masa lalunya, dan ternyata tidak cukup baik, maka ia khawatir bila tuntutan itu dikenakan kepadanya juga.
Contoh yang dapat saya berikan secara sederhana adalah sebagai berikut. Pendeta itu: berkata-kata ya bisa disalahkan, tidak berkata-kata ya bisa disalahkan, apalagi bila berkata-kata salah! Kadang, menjadi pendeta selalu ketiban apes. Kena getahnya melulu. Apalagi tak dapat dipungkiri, konteks bergereja itu multikompleks. Tambah jemaat, berarti tambah masalah. Banyak jemaat, banyak problematika. Jemaat makin tua, makin susah dituntut dinamis dan melakukan inovasi. Hamba Tuhan yang mau melayani dengan tulus, malah diperalat oleh orang-orang yang menghendaki kekuasaan. Hamba Tuhan yang keras kata-katanya dianggap menyindir, dan membuat banyak orang sakit hati. Hamba Tuhan yang pendiam dianggap pasif dan tidak kreatif. Hamba Tuhan yang konsisten dianggap kaku dan keras.
Belum bila ditambah adanya pertarungan "gajah melawan gajah" di sebuah gereja. Mungkin pendeta menjadi pelanduknya, yang mati di tengah-tengah. Golongan A laporan kepada Pdt., dan tak berselang lama, rivalnya golongan B pun menghadap pendeta untuk meminta dukungan.
Bagaimana sikap hati seorang hamba Tuhan yang setia?
Saya meyakini, kata-kata Tuhan Yesus ini melampaui petimbangan-pertimbangan sulit yang dihadapi oleh individu-individu. Ketika Tuhan Yesus yang bangkit itu menjumpai Petrus, dan setelah Ia bertanya sebanayak 3 kali "Apakah engkau mengasihi Aku?" Tuhan Yesus menutup pembicaraan itu dengan kata-kata "engkau akan mengulurkan tanganmu dan orang lain akan mengikat engkau dan membawa engkau ke tempat yang tidak kaukehendaki" (Yoh. 21:18). Saya yakin, kata-kata Tuhan Yesus ini jauh melebihi ketakutan dan kecemasan manusia. Tempat yang sesukar apa pun, bila Tuhan yang menarik kita, meski ke tempat yang tidak kita sukai, Ia akan menuntun kita sampai mati.
If Christ calls a man, He bids him to come and die!
Sebagai seorang gembala jemaat, saya merenung! Sebenarnya siapa yang paling sukar untuk dilayani? Jarak yang jauh bisa ditempuh. Samudra raya dapat diseberangi. Zona Barat-Timur, Utara-Selatan, dapat disambung hanya dengan sekali klik di tuts keyboard komputer, atau tekan tombol nomor pada pesawat telepon. Namun toh ternyata bukan orang yang jauh dari kita yang sukar untuk dilayani, tetapi orang-orang yang dekat. Maka saya mencoba mengangkat beberapa pokok pikiran permenungan di bawah ini:
Pertama, seorang hamba Tuhan lebih cocok melayani di tempat lain, daripada di rumah sendiri, di kandang tempat asalnya. Pembenaran untuk menggarisbawahi hal ini adalah ucapan Tuhan Yesus sendiri, "seorang nabi ditolak di tempat asalnya." Sekalipun konteks dulu dan sekarang berbeda, tetapi tak jarang kita mendengarkan alasan ini. Memang benar, masing-masing orang mempunyai beban dan pergumulan serta panggilan sendiri-sendiri. Hal ini harus dihargai. Bilamana beban seorang hamba Tuhan adalah bidang pemuridan, sedangkan gerejanya menekankan misi secara kuat, tentu ruang gerak bagi sang pelayan kurang atau tidak memadai.
Namun hal tersebut juga dapat berasal dari diri sang pelayan. Ia mungkin mempunyai masa lalu yang ia mau kubur, sebab ada orang sudah tahu masa lalunya. Atau, ia merasa tidak nyaman bila harus berjumpa dengan orang-orang yang dahulu menjadi majelis jemaat di gerejanya. Bahkan bisa jadi ia merasa minder dengan orang-orang yang ada di gerejanya, apalagi bila gereja tersebut dikenal sebagai gereja yang mapan, dan biasanya gereja mapan telah mempunyai pranata-pranata tersendiri, lisan atau tulisan, yang susah diganggu gugat. Maka untuk melayani mereka, kata orang Jawa, sudah kalah awu ("kalah abu," alias jatuh mental). Itulah sebabnya, melayani di gereja sendiri tidak mudah.
Kedua, menjadi gembala jemaat itu sukar. Harus perfect! Memang, semua pendeta tetaplah manusia. Ya sama dengan lagu Serieus Band, "Pendeta juga manusia!" Namun tuntutan untuk diri dan keluarga harus diakui berbeda. Mungkin inilah yang membawa tekanan tersendiri bagi pendeta dan keluarganya. Sehingga, seorang lulusan sekolah teologi lebih enggan untuk tinggal melayani di rumah sendiri ketimbang di tempat lain. Sebab bila ada orang yang telah tahu masa lalunya, dan ternyata tidak cukup baik, maka ia khawatir bila tuntutan itu dikenakan kepadanya juga.
Contoh yang dapat saya berikan secara sederhana adalah sebagai berikut. Pendeta itu: berkata-kata ya bisa disalahkan, tidak berkata-kata ya bisa disalahkan, apalagi bila berkata-kata salah! Kadang, menjadi pendeta selalu ketiban apes. Kena getahnya melulu. Apalagi tak dapat dipungkiri, konteks bergereja itu multikompleks. Tambah jemaat, berarti tambah masalah. Banyak jemaat, banyak problematika. Jemaat makin tua, makin susah dituntut dinamis dan melakukan inovasi. Hamba Tuhan yang mau melayani dengan tulus, malah diperalat oleh orang-orang yang menghendaki kekuasaan. Hamba Tuhan yang keras kata-katanya dianggap menyindir, dan membuat banyak orang sakit hati. Hamba Tuhan yang pendiam dianggap pasif dan tidak kreatif. Hamba Tuhan yang konsisten dianggap kaku dan keras.
Belum bila ditambah adanya pertarungan "gajah melawan gajah" di sebuah gereja. Mungkin pendeta menjadi pelanduknya, yang mati di tengah-tengah. Golongan A laporan kepada Pdt., dan tak berselang lama, rivalnya golongan B pun menghadap pendeta untuk meminta dukungan.
Bagaimana sikap hati seorang hamba Tuhan yang setia?
Saya meyakini, kata-kata Tuhan Yesus ini melampaui petimbangan-pertimbangan sulit yang dihadapi oleh individu-individu. Ketika Tuhan Yesus yang bangkit itu menjumpai Petrus, dan setelah Ia bertanya sebanayak 3 kali "Apakah engkau mengasihi Aku?" Tuhan Yesus menutup pembicaraan itu dengan kata-kata "engkau akan mengulurkan tanganmu dan orang lain akan mengikat engkau dan membawa engkau ke tempat yang tidak kaukehendaki" (Yoh. 21:18). Saya yakin, kata-kata Tuhan Yesus ini jauh melebihi ketakutan dan kecemasan manusia. Tempat yang sesukar apa pun, bila Tuhan yang menarik kita, meski ke tempat yang tidak kita sukai, Ia akan menuntun kita sampai mati.
If Christ calls a man, He bids him to come and die!
No comments:
Post a Comment