JAMINAN INJIL: PENGHARAPAN KESELAMATAN (5.1-8.39)
Bagian kedua mengeksplorasi dan mempertahankan pokok pikir mengenai kebenaran melalui iman, yang dimulai dengan pernyataan, “Kita hidup dalam damai sejahtera dengan Allah oleh karena Tuhan kita, Yesus Kristus.”[1] Tersirat di sini, penolakan untuk memegahkan diri sebagai bentuk pernyataan perlawanan terhadap Allah. Karena itu, orang Kristen seharusnya “bermegah di dalam pengharapan akan menerima kemuliaan Allah” (5.2), dan dengan demikian makin jelas penjungkir-balikan kesombongan manusia untuk memperoleh kehormatan dan mengklaimnya sebagai usaha pribadi.
Sebaliknya, apa yang boleh dimegahkan oleh manusia adalah “kesengsaraan” (5.3), sebab mereka tahu bahwa di dalam Kristuslah mereka tidak akan “mengecewakan.”
Dengan mengetengahkan kebenaran mengenai kondisi umat manusia, dan oleh kekuatan kasih Allah untuk memenuhi orang-orang yang dahulu mencari-cari cara untuk mendapatkan kehormatan, maka kematian Kristus menyebabkan datangnya kedamaian, baik dengan Allah tetapi juga dengan sesama umat manusia. “Bermegah dalam Allah oleh Yesus Kristus, Tuhan kita” berarti menolak dan menanggalkan klaim-klaim keutamaan (virtue), status, ataupun superioritas manusia. Dan sesungguhnya, rasul Paulus dengan serius hendak mengatakan bahwa Allah tidak berpihak kepada satu suku atau ras (seperti dikatakan dalam 2.17, “bermegah dalam Allah”), sebab 3.27-31 telah menutup pintu bagi kemegahan tersebut untuk selama-lamanya.
Allah bukanlah klaim eksklusif dari orang Yahudi ataupun bukan Yahudi, yang kuat ataupun yang lemah, kaum barbar atau Yunani. Bermegah “oleh Tuhan Yesus Kristus” adalah mengobarkan suatu revolusi religius dan sosial! Darah-Nya (5.9) merupakan sumber anugerah yang di atasnya orang-orang percaya berdiri (5.2). Darah-Nya menyudahi semua keinginan manusia untuk bermegah, kecuali bermegah di dalam Allah yang kasih setia-Nya besar tak terbatas, yang Ia telah nyatakan dalam Putra-Nya yang tersalib. Jadi, tiap-tiap orang percaya harus sadar bahwa revolusi “pendamaian” yang mereka telah terima (5.11) adalah “damai sejahtera dengan Allah” (5.1).
Lebih dari itu, pernyataan yang mengagumkan dari rasul Paulus tercetus dalam bentuk future dari kata kerja yang dipakai, “kita pasti akan diselamatkan dari murka Allah” (5.9) dan “[kita] pasti akan diselamatkan oleh hidup-Nya!” (5.10).
Kedua, penghakiman terakhir yang adil itu akan dijalankan berdasarkan anugerah semata-mata, bukan oleh karena kebenaran yang ditemukan dalam diri manusia. Setiap orang yang telah dijadikan Allah benar, itulah yang akan diselamatkan. Bukan mereka yang melakukan perbuatan hukum Taurat, apalagi yang melakukan amalan baik.
Ketiga, adanya kepastian keselamatan! Perhatikan frase “pasti akan” yang diulang. Paulus serius mengenai hal ini! Keselamatan itu pasti, dan tidak akan hilang. Jika keselamatan yang diperoleh orang percaya dapat hilang, maka yang terhina adalah Allah. Allah menjadi Tuhan yang tidak konsisten sama sekali. Sebab Dialah yang menyatakan benar, tetapi Dia tidak sanggup menjaga orang yang sudah dinyatakan-Nya menjadi benar untuk sampai kepada kesudahan yang dirancangkan-Nya. Tetapi puji Tuhan, Allah yang kita kenal bukanlah Allah yang demikian! Ia adalah Allah yang tidak pernah gagal. Apa yang Allah sudah mulai, yaitu menutup kemegahan individu, membuka pintu pendamaian di dalam Kristus, Allah juga yang akan menuntun sampai pada akhirnya!
Di 5.12-21, Paulus menunjukkan bagaimana hidup Kristus menentukan kepastian akhir dari orang-orang percaya, sama seperti Adam menentukan takdir dari keturunan-keturunannya. Setelah di bagian sebelumnya, Paulus merobohkan keyakinan orang-orang yang merasa mampu menunjukkan kebenaran sebagai alat untuk mendapatkan kehormatan, sekarang Paulus harus meletakkan dasar yang baru untuk menerangkan efek dari pendamaian Kristus. Bila bukan melalui tindakan baik, bukan lewat perbuatan hukum Taurat, bukan melalui usaha manusia, tetapi hanya oleh darah Kristus, lalu apa yang menjadi justifikasi (dasar pembenaran) dari pemikiran tersebut?
Inilah yang menjadi tujuan Paulus membandingkan antara Adam dan Kristus. Ia tidak menyibukkan diri untuk menerangkan doktrin “dosa mula-mula,” tetapi menunjukkan bagaimana anugerah dan kebenaran itu kini bertakhta atas semua umat Allah (5.17, 21). Kedua pribadi merupakan antitesis (kubu yang saling berlawanan); pihak yang satu ditandai dengan hidup yang penuh dosa, penghakiman, penghukuman, kematian, ketidaktaatan dan dosa; sedangkan pihak kedua ditandai dengan anugerah, karunia yang cuma-cuma, hidup yang dibenarkan, kepatuhan, ketaatan, dan keadilan.
Inilah yang kemudian menuntun ke 6.1-14, di mana Paulus menjelaskan baptisan sebagai partisipasi di dalam kematian dan kebangkitan Kristus. Coba perhatikan, di ayat 1-4, Paulus membuat dua rangkap silogisme:
[Setiap orang yang telah mati bagi dosa, tidak dapat hidup di dalam dosa]
Kita telah mati bagi dosa,
Bagaimanakah kita masih dapat hidup di dalamnya?
dan
Semua orang yang telah dibaptis dalam Kristus, telah dibaptis dalam kematian-Nya;
Kita telah dibaptis dalam kematian,
Jadi, kita telah dikuburkan bersama-sama dengan Dia.
Kristus telah dibangkitkan dari antara orang mati
Maka, Kita hidup dalam hidup yang baru.
Kita telah dibaptis dalam kematian,
Jadi, kita telah dikuburkan bersama-sama dengan Dia.
Kristus telah dibangkitkan dari antara orang mati
Maka, Kita hidup dalam hidup yang baru.
Kematian tidak lagi bertakhta dengan adanya dosa, karena baptisan menandai kematian manusia berdosa dan merupakan awal dari “kehidupan yang baru.” Inilah yang disebut sebagai “persatuan rohani” (mystical union atau unio mystica) antara orang percaya dengan Kristus. “Manusia lama telah disalibkan bersama Kristus” (6.6), supaya dosa hilang kuasanya (6.6; 12-14). Dan, “hidup bagi Allah dalam Kristus Yesus” berarti dibentuk oleh anugerah yang bertakhta pada masa sekarang ini.
Jadi, perilaku dan tabiat orang Kristen tak lagi dibentuk oleh hukum dan pencarian kehormatan untuk diri sendiri. “Persatuan rohani” antara Kristus dan orang percaya, itulah yang membentuk seluruh kehidupan. Sebagaimana “maut tidak berkuasa lagi” (6.9) atas Kristus, demikian pula maut sudah dienyahkan dari kehidupan orang-orang percaya, terbukti dengan menjauhnya mereka dari sistem-sistem manusia untuk mendapatkan kehormatan.
Sebagai dampak dari persatuan ini, orang-orang percaya harus menyerahkan diri mereka “sebagai senjata-senjata kebenaran” (6.13). Bertolak belakang dengan tuntutan-tuntutan akidah manusia, perubahan revolusioner dari hamba dosa menjadi hamba kebenaran” (6.15-23) yang berbuahkan tindakan-tindakan yang kudus, yang pada akhirnya memimpin kepada “hidup yang kekal” (6.22). Kita mendapatkan bagan seperti di bawah ini:
Persatuan rohani -> hamba kebenaran -> pengudusan -> hidup yang kekal
“Taat dengan segenap hati” berarti bertindak sesuai dengan kebenaran sebab suatu motivasi baru telah ditanamkan oleh anugerah Allah. Dengan demikian, tiap-tiap orang percaya telah dimerdekakan dari dosa (6.18, 22), dan dibebaskan baik dari hukum Taurat maupun kecemaran dan kedurhakaan (6.15, 19). Hal ini didapat, bukan oleh sebab keutamaan yang superior atau dari kehendak pribadi, tetapi oleh karena persatuan rohani di atas. Persatuan rohani orang percaya menjangkau segenap kehidupan yang kudus yang telah diteguhkan oleh Kristus (6.18-19). Keselamatan mereka tetap merupakan “kasih karunia Allah . . . hidup kekal dalam Kristus Yesus, Tuhan kita” (6.23).
[4] Di Roma 7.5-8, Paulus menjelaskan bagaimana “daging, hawa nafsu dosa yang dirangsang oleh hukum Taurat” berbuahkan maut (7.5-8). Paulus selanjutnya mengetengahkan bagaimana dosa menyusup, dan merusak aspek moral dari Taurat. “Aku juga tidak tahu apa itu keinginan, kalau hukum Taurat kalau hukum Taurat tidak mengatakan, ‘Jangan mengingini!’ Tetapi dalam perintah itu dosa mendapat kesempatan untuk membangkitkan di dalam diriku rupa-rupa keinginan” (7.7-8).
Ketika rasul Paulus mengatakan bahwa “kita telah dibebaskan dari hukum Taurat, sebab kita telah mati bagi dia, yang mengurung kita” (7.6), ia sedang membicarakan dampak dari karya Kristus yang rasul Paulus sendiri alami. Semula, Paulus adalah seorang penganut adat dan kultur bangsanya (Yahudi). Ia bertindak berdasarkan ideologi yang kuat tertanam dalam Yudaisme pada periode Bait Allah Kedua, sebelum pecah perang Yahudi pada tahun 135 M. Tindakan ini sangat diilhami oleh tindakan Pinehas di Bilangan 25 yang menghancurkan orang-orang yang berbuat jahat. Penganiayaannya terhadap gereja merupkan bagian dari semangatnya untuk mempertahankan ketaatannya kepada hukum Taurat. Pertobatan Paulus telah membuatnya sadar bahwa ia telah melawan Allah, sebab semangatnya untuk mempertahankan hukum Taurat telah berakhir dengan melawan Mesias dan para pengikut-Nya. Ia sendiri menyatakan bahwa dosa “menipu aku” dengan jalan memutarbalikkan kebenaran iman. Paulus juga menjumpai konsekuensi yang mematikan dari hukum Taurat ketika hukum Taurat dipakai untuk keserakahan manusia untuk memperoleh kehormatan. Ia semula beranggapan bahwa kekerasan bagi agama dapat dibenarkan, bahkan dikehendaki sendiri oleh Allah.
Kendati ia sekarang telah menjadi orang percaya, bahkan rasul dan hamba Kristus Yesus, ia tetap berjuang dengan dosa. Ia mengatakan, “Bukan apa yang aku kehendaki, yaitu yang baik, yang aku perbuat, melainkan apa yang tidak aku kehendaki, yaitu yang jahat, yang aku perbuat.”
Di 8.1-17, natur kehidupan baru di dalam Kristus dijelaskan dalam tegangan antara kedagingan dan roh, hukum lama dan hukum yang baru. Di bawah kuasa dosa dan daging, hukum itu terdistorsi dan menjadi suatu alat untuk memperoleh kehormatan bagi individu atau sekelompok. Tetapi di dalam Kristus, hukum itu kembali memperoleh fungsi dan tempat spiritual, yaitu tempat yang seharusnya yang akan memimpin kepada kepada hidup yang sejati (7.10-14; 8.4). Maka, 8.2 mengacu kepada hidup yang sebenarnya dimaksudkan oleh hukum Taurat, tetapi sekarang diperoleh melalui “Roh yang memberi hidup,” yaitu hukum rohani pada masa pemerintahan Sang Mesias. Roh memerdekakan orang percaya dari penyelewengan penggunaan hukum Taurat sebagai satu sarana untuk memperoleh status terhormat. Kristus “menjatuhkan hukuman atas dosa di dalam daging” (8.3), dan hal inilah yang membuat “tuntutan hukum Taurat digenapi di dalam kita” (8.4). Bila pada era lama mereka memperalat orang lain untuk menjadi sarana supaya mendapatkan kehormatan, maka komunitas baru yang ke atasnya tuntutan hukum telah tergenapi kini bertindak oleh karena kasih yang sejati.
Agen perubahan menurut 8.3-4 adalah Allah, yang telah mengutus Putra-Nya untuk menegakkan sebuah komunitas yang dibentuk oleh kehidupan, kematian dan tuntunan Roh. “Pikiran menurut kedagingan” dan “pikiran menurut Roh” (8.5-9) adalah antitesis. Untuk memperoleh prestis melalui penampilan atau keutamaan alih-alih status superior adalah cara berpikir kedagingan, seperti yang dominan dalam kebudayaan Greko-Romawi maupun Yahudi. Menerima anugerah kehormatan sebagai akibat dari kematian Kristus bagi orang-orang yang tidak benar, tanpa membuat klaim apa pun mengenai amalan dan perbuatan baik, adalah cara Roh memimpin kepada “damai sejahtera” (8.6).
Ayat 9-11 membuatnya lebih jelas lagi, bahwa tanda komunitas baru itu ialah Roh yang memberikan daya terhadap kelakuan mereka. Arena karya Roh Kudus ini adalah adanya antusiasme dalam komunitas, kesatuan dan gaya hidup bersama yang diperbarui. Komunitas baru itu adalah satu keluarga yang diberi kehormatan, dengan cara dipilih dan dikuduskan oleh Allah sendiri. Dituntun ke arah yang demikian berarti bahwa tiap-tiap anggota komunitas memenuhi perannya sebagai anak-anak Allah, yang hidup bukan oleh karena takut bila tidak diterima—dan harus berjuang dengan keras untuk mendapatkan kehormatan—tetapi yang mendapatkan jaminan bagi kasih dan penerimaan Allah (8.14-16).
Menjadi anak Allah dalam pengertian yang baru ini berarti menikmati status sebagai “ahli waris” (8.17) untuk dimuliakan bersama-sama Kristus, yang turut menerima janji-janji Allah bersama Kristus. Namun perhatikan, yang akan menerima janji itu adalah mereka yang menderita bersama-sama dengan Dia. Meskipun pada saat ini kita telah menerima sebagian kemuliaan, yang belum penuh dan masih rentan, tetapi mereka yang terus hidup menurut Roh akan mengambil bagian dalam kemuliaan pada masa depan (8.21). Jadi, kemuliaan itu diperoleh sebagai karunia cuma-cuma, dan hanya dalam konteks penderitaan bersama Kristus.
Di Roma 8.18-30, Paulus kemudian menunjukkan bahwa penderitaan pada masa kini yang dialami oleh gereja-gereja di Roma merupakan bagian keluhan seluruh ciptaan, yang menantikan untuk dimerdekakan dari beban dosa. Roh mengambil peran dalam kesengsaraan ini, dan bersyafaat bagi orang percaya (Rm. 8.26-27) dan bekerja bersama mereka untuk mendatangkan kebaikan (8.28).
Di sini, kata-kata rasul Paulus menyiratkan anugerah Allah dan tanggung jawab manusia di tengah-tengah tantangan dan hambatan. Sehingga, meskipun jemaat diperhadapkan pada hambatan, dan kelemahan yang terus dialami, Roh bekerja di sisi mereka bersama dengan orang-orang percaya dalam tugas kehidupan yang berat tersebut.
Paragraf ini diakhiri dengan pernyataan yang mengagumkan bahwa semua orang yang telah Allah buat menjadi benar, ternyata telah dipilih, ditentukan dari semula, dipanggil, dibenarkan dan mereka juga dimuliakan. Kata “dimuliakan” di 8.30 memakai tensa past tense. Berarti orang percaya telah dipermuliakan. Dengan kata lain, telah diberi status terhormat oleh Tuhan. Namun demikian orang percaya masih mempunyai sasaran di masa depan, yaitu “menjadi serupa dengan gambaran Andak-Nya” (8.29). Jadi, orang Kristen masih berada dalam proses dimuliakan untuk serupa dengan Kristus (bdk. 2Kor. 3.18), mencerminkan kemuliaan Tuhan.
Kendati pada masa sekarang, mereka tertindas oleh penderitaan, namun status mereka sebagai kaum pilihan yang dipanggil, dikuduskan dan dimuliakan sudah nampak nyata. Kemuliaan yang kelak akan dinyatakan dalam bentuk yang sepenuhnya (8.18-19) akan mengalahkan ambiguitas kehidupan dunia masa kini yang porak-poranda. Dengan demikian, kita dapat membuat bagan seperti ini:
Pemilihan -> penentuan -> pemanggilan -> pembenaran -> pemuliaan
Di paragraf terakhir, Paulus menegaskan pertanyaan tentang adanya sesuatu yang dapat menekan orang percaya sehingga mereka dapat terpisah dari kasih Allah yang telah menang atas kuasa dunia (8.31-39). Oleh sebab Allah yang telah menyatakan mereka benar, dan Kristus menjadi pendamai bagi mereka, Paulus menyatakan pertanyaan vital di 8.35, tentang apakah ada seseorang yang dapat memisahkan orang percaya dari kasih Kristus. Paulus mendata tujuh kesesakan di ayat ini, yang telah dipakai di masa krisisnya ketika menghadapi orang-orang Korintus yang meragu-ragukan kerasulannya. Para rasul tandingan (rasul-rasul palsu) di Korintus telah mengklaim mereka telah terbebas dari kesesakan yang dialami oleh rasul Paulus, dan menuduh balik bahwa tidaklah mungkin kuasa Kristus tinggal dalam diri seseorang yang karirnya terus-menerus bermasalah seperti rasul Paulus (2Kor. 10-13).
Di Roma 8.36, Paulus mengutip LXX
Pokok-pokok pikiran untuk didiskusikan:
1. Menurut Surat Roma, apakah yang dimaksud dengan dosa?
2. Apa akibat-akibat dosa? Seberapa dalam pengaruh dosa dalam kehidupan dan lingkungan?
3. Bagaimana dosa dapat dihapuskan?
4. Di mana posisi perbuatan baik dalam keselamatan orang percaya?
5. Apa yang dimaksud dengan “pembenaran”? Dan apa akibat pembenaran?
6. Apa pentingnya memahami “persatuan rohani” antara Kristus dan orang percaya?
7. Apakah orang yang sudah dibenarkan dan dipersatukan dengan Kristus, bebas dari pergumulan melawan dosa?
8. Apakah peran Roh Kudus dalam keselamatan orang percaya?
9. Dapatkah pergumulan masa sekarang meruntuhkan iman orang yang sudah diselamatkan dan hidup di dalam Tuhan?
10. Apakah keselamatan dapat hilang?
[1]Beberapa teks kuno memakai bentuk ajakan, “Marilah kita mempunyai damai dengan Allah.”
[2]“Membuat malu” atau “menyebabkan terhina”
[3]Sōthēsometha adalah bentuk future indicative passive dari kata kerja sōzō, “Saya sedang menyelamatkan.” Penafsir misalnya Charles Hodge, Charles Cranfield dan TDNT menyatakan, “It is a preservation from all causes of destruction and points to the final salvation.”
[4]NRSV menerjemahkan “the free gift of God is eternal life in Christ Jesus our Lord.”
[5]NRSV: “For I do not do the good I want, but the evil I do not want is what I do.” Kata kerja bentuk present yang ia pakai.
[6]Atau Septuaginta, yaitu Alkitab Perjanjian Lama dalam bahasa Yunani.
No comments:
Post a Comment