B. Firman Allah Otoritatif
Sejumlah teolog mengatakan bahwa firman Allah adalah suatu kuasa; namun mereka berpikir bahwa firman itu adalah cuma suatu kuasa! Bukan bahasa, yaitu suatu bentuk atau cara yang memiliki makna untuk mengomunikasikan sesuatu. Ya, Firman itu adalah suatu kuasa, bukan bahasa, sehingga firman tidak mungkin dapat berbicara kepada kita dengan otoritatif. Itulah yang diinginkan oleh para teolog liberal, sebuah perkataan (atau sebut saja “firman”) namun tanpa otoritas! Di sini perlu kita ingat selalu, bahwa firman Allah itu pun merupakan bahasa, selain halnya kuasa, dan firman itu adalah bahasa yang sangat berotoritas.
Bahkan firman yang Allah sabdakan pada saat penciptaan, juga punya makna dan otoritatif. Melalui firman-Nya, Allah tidak hanya membuat segala sesuatu menjadi ada, tetapi juga menamai apa yang tercipta itu: Ia menamai terang itu “siang,” dan gelap disebut “malam” (Kej. 1.5). Lima kali disebutkan dalam Kejadian 1 Allah menamai ciptaan-Nya. Sama halnya dengan karya penyelenggaraan-Nya (providence). Kendali Allah atas kerja semesta tidak hanya powerful, tetapi juga bijaksana (Mzm. 104.24). Firman itu menunjukkan pemikiran Allah dan tujuan yang baik dari segala rancangan-Nya.
Perkataan Allah yang penuh makna memiliki otoritas atas seluruh ciptaan-Nya. Ketika Allah berfirman, kita wajib mendengarkannya dan mematuhinya. Seluruh Alkitab merupakan suatu epos (kisah besar) mengenai Allah yang berbicara dan manusia yang menanggapi sabda Allah tersebut. Kejatuhan dalam dosa merupakan suatu kisah yang manusia tidak taat kepada firman Allah dan konsekuensi dari hal tersebut. Namun dalam sepanjang sejarah, Allah mengirimkan firman-Nya terus-menerus. Suatu kali umat percaya dan taat, sama seperti ketika Nuh membangun bahtera dan ketika Abraham meninggalkan rumahnya. Pada kali lain, manusia tidak taat dan menanggung akibat-akibatnya. Dalam tiap titik, firman Allah adalah pokok bahasannya. Masalah intinya ialah apakah umat bersedia mendengar, dan patuh kepada firman atau tidak.
Di dalam Perjanjian Baru, kita terus membaca betapa pentingnya sabda dan perkataan Yesus. “Tetapi setiap orang yang mendengar perkataan-Ku ini dan tidak melakukannya, ia sama dengan orang yang bodoh, yang mendirikan rumahnya di atas pasir” (Mat. 7.26). Kemudian, kita membaca bahwa firman Yesus haruslah menjadi fondasi kehidupan Kristen kita. Kita harus mendengar dan melakukannya. Perhatikanlah betapa kerapnya Perjanjian Baru menekankan sabda Yesus (Mat. 7.21-29; Mrk. 8.38; Luk. 8.21; 9.26; Yoh. 5.24; 6.63; 8.31, 37, 43, 47; 12.47-50; 14.10, 15, 21, 23-24; 15.3, 7, 10, 14; 17.6, 14, 17; 1Tim. 6.3-4; 1Yoh. 2.3-5; 3.22; 5.2-3; 2Yoh. 6 dan Why. 12.17; 14.12).
Sama kasusnya dengan perkataan para rasul. Rasul Paulus berkata bahwa Allah akan menghakimi segala sesuatu yang tersembunyi dalam hati manusia oleh Yesus Kristus “sesuai dengan Injil yang kuberitakan” (Rm. 2.16). Ia mengatakan, “Jika seseorang menganggap dirinaya nabi atau orang yang mendapat karunia rohani, ia harus sadar, bahwa apa yang kukatakan kepadamu adalah perintah Tuhan” (1Kor. 14.37). Kepada jemaat Galatia, ia mengatakan dua kali, “Tetapi sekalipun kami atau seorang malaekat dari surga yang memberitakan kepada kamu suatu injil yang berbeda dengan Injil yang telah kami beritakan kepadamu, terkutuklah dia” (Gal. 1.8; bdk. ay. 10; 1Tes. 4.2; Yud. 17-18).
Menjadi Kristen yang sejati berarti tunduk di bawah firman yang datang dari Allah Sang Bapa, Yesus Kristus, para nabi dan rasul-Nya. Firman yang Allah sampaikan adalah firman yang punya makna atau arti (meaningful), serta otoritatif, dan kita mempunya kewajiban untuk percaya dan taat kepada firman tersebut.
No comments:
Post a Comment