KUASA INJIL YANG MENGUBAHKAN: PERILAKU KRISTEN (12.1-15.13)
Bagian keempat ini menunjukkan bagaimana orang Kristen bertindak secara etis berdasarkan kebenaran melalui iman. Bagian ini, bila demikian, meletakkan prinsip-prinsip perilaku Kristen (Christian principles of conduct). Termasuk di dalamnya fondasi yang baru mengenai toleransi hidup dalam suatu komunitas yang majemuk.
Sebagai respons atas “kemurahan Allah,” maka umat dinasihati untuk mempersembahkan suatu persembahan hidup, yaitu pelayanan anggota-anggota tubuh yang tidak “serupa dengan dunia ini” (12.1-2). “Pembaruan budi” menunjukkan pemulihan rasionalitas yang telah dibenarkan oleh Allah. Yang dimaksudkan oleh Paulus di sini adalah asumsi dan kemampuan mental dari suatu kelompok orang percaya, dan bukan individu. Setiap keputusan seharusnya merupakan urusan komunitas. Hal ini dipertegas dengan kalimat “sehingga kamu [jamak] dapat membedakan manakah kehendak Allah” (12.2).
Sumber-sumber daya untuk memenuhkan tugas ini didaftarkan di ayat 3-8, yang dimulai dengan permainan kata: “Jangan kamu memikirkan hal-hal yang lebih tinggi,[1] tetapi hendaklah kamu berpikir begitu rupa,[2] sehingga kamu menguasai diri menurut ukuran iman, yang dikaruniakan Allah kepada kamu masing-masing.” Dengan mengingat pengalaman unik masing-masing pribadi orang percaya, dan komunitas-komunitas, terhadap pengenalan akan Kristus, Paulus mendefinisikan “berpikir begitu rupa” (sober-mindedness) sebagai penolakan untuk memaksakan standar seseorang mengenai pengalamannya dengan Allah, kepada orang lain. Pola hidup demikian menyebabkan konflik antara “yang lemah” dan “yang kuat,” dan tiap golongan akan berupaya agar pandangannya diterima oleh orang lain.
Di 12.9-21, Paulus mendasarkan petunjuk-petunjuk agar jemaat hidup dalam “kasih yang tidak berpura-pura.” Ia menekankan masalah perlunya jemaat membedakan yang baik dan yang jahat (ay. 9, 21), khususnya sekarang dalam suatu sistem kehormatan yang baru dalam komunitas orang percaya. Sebagai ganti dari kompetisi dari gereja rumah dan gereja yang besar, mereka harus “saling mengasihi sebagai saudara dan saling mendahului dalam memberi hormat” (12.10). Dengan berbagi dalam berkat dan kesusahan (12.13-15) dan dengan “memikirkan perkara-perkara yang sederhana” (12.16), jemaat hendaknya tidak boleh menundukkan diri kepada kaum elit yang biasanya dihormati dalam suatu komunitas. Jadi mereka harus menunjukkan solidaritas kasih yang sejati. Hal ini bahwa akan memimpin kepada suatu hubungan baru, terhadap orang-orang lain di luar gereja, termasuk kepada para penganiaya (12.14). Jemaat harus menolak untuk membalas kejahatan dengan kejahatan (12.18), dan menyerahkan pembalasan itu kepada Allah (12.19-20).
Dalam bagian 13.1-7, Paulus mendesak jemaat untuk tunduk kepada kuasa pemerintahan yang ada, dengan dasar pernyataan bahwa Allahlah yang menganugerahkan kekuasaan yang demikian, bukan Mars ataupun Jupiter, seperti yang diimani dalam agama Romawi, tetapi Allah yang telah menyatakan diri-Nya melalui Kristus yang tersalib. Jemaat tidak boleh melawan dan diimbau untuk membayar pajak.
Kendati demikian, di balik pernyataan ini terdapat suatu coup d’etat politis! Ah, tetapi bukan dengan granat dan senjata besi! Perhatikan pernyataan ini. Penguasa Roma dipilih oleh Allah dan Bapa dari Tuhan Yesus Kristus. Bila demikian, sama sekali bukan seperti yang diyakini oleh agama Romawi. Bila orang Roma mengaku kekuasaan itu diberikan oleh Mars atau Jupiter, mereka telah menindas kebenaran dengan kelaliman (ingat 1.18!). Maka, tidak ada yang tertinggal dalam kemegahan dan kebanggaan Roma, baik keutamaan maupun kesalehan mereka yang superior. Semuanya telah ditelanjangi di 1.18-3.20. Yang tertinggal adalah fakta yang sederhana bahwa pemerintah itu dipilih dan ditetapkan oleh Allah, sebagai suatu perkara yang tidak dilandaskan oleh keutamaan orang yang dipilih, tetapi misteri pikiran dan pengetahuan Allah, yang memilih siapa yang Ia kehendaki sebagai agen-agen kehendak ilahi-Nya (9.14-33; 11.17-32). Ketertundukan kepada pemerintah dengan demikian merupakan suatu ungkapan penghormatan bukan semata-mata kepada pemerintah itu sendiri, tetapi kepada Allah yang tersalib, yang berdiri dengan penuh otoritas di balik mereka.
Di 13.8-10, Paulus terus mendesak bahwa kewajiban sosial seharusnya dilingkupi oleh kasih persaudaraan. Kasih merupakan kegenapan hukum Taurat. “Kasih” dalam ayat ini mengacu kepada jamuan makan agape, atau yang juga dikenal dengan perjamuan kasih, yaitu jamuan makan yang diadakan oleh gereja perdana, dan hampir dapat dipastikan sama dengan Perjamuan Kudus. Acuan kepada “kegenapan hukum Taurat” mencerminkan fakta bahwa halangan terbesar untuk saling bersekutu dalam situasi Roma adalah keharusan-keharusan untuk berlaku sama dengan hukum Taurat, yang memilah yang kuat dari yang lemah, dan menghalangi perayaan perjamuan kasih bersama-sama.
Perayaan-perayaan yang biasanya dilakukan oleh lingkungan Yunani dan Romawi menjadi latar paragraf berikutnya. Paulus memperingatkan jemaat pada perbuatan-perbuatan kegelapan. Orang Yunani mengilahkan Argumen (Perdebatan, Dispute) dan Kehormatan (Emulation) sebagai kuasa-kuasa yang berdiri di balik gaya hidup orang Kristen. Sementara itu, orang Yahudi mengagungkan zelotisme. Revolusi kaum orang Kristen mula-mula dalam sistem kehormatan dan kehinaan telah mengubah kelakuan-kelakuan ini menjadi pola hidup yang sopan, dengan “perselisihan” dan “iri hati” sebagai faktor-faktor yang ada di zaman kegelapan (13.13). Sebab, pola hidup seperti ini akan menghancurkan gaya hidup setara-sejajar orang-orang percaya, dan menghancurkan komunitas iman.
Di 14.1-15.13, Paulus melawan kompetisi kehormatan di dalam gereja-gereja Roma. Poin mendasar yang ia kemukakan ialah, menghina dan menghakimi sesama orang Kristen berarti buta terhadap siapa sejatinya Allah itu. Jika Allah telah “menerima” yang dianggap musuh bagi seseorang (14.3), dan jika Allah adalah yang Pribadi yang kepada-Nya semua orang bertanggung jawab (14.5-6), maka perseteruan yang terus-menerus merupakan perlawanan terhadap Allah. Karena itu, saling menerima sesama saudara seharusnya menjadi bagian kehidupan komunitas beriman (14.1; 15.7), dan inilah yang diharapkan menjadi latar bagi perjamuan kasih di gereja-gereja Roma.
Ia menegaskan bahwa “tidak ada sesuatu yang najis dari dirinya sendiri. Hanya bagi orang yang beranggapan, bahwa sesuatu adalah najis, bagi orang itulah sesuatu itu najis” (14.14-15). Ia menasihati supaya yang baik, yang dimiliki oleh orang percaya tidak difitnah (14.16). Dengan jalan ini, maka ia melindungi “yang lemah,” di samping menjaga integritas “yang kuat” (14.16). Gaya revolusioner persekutuan ini mengizinkan perbedaan, sementara itu menjangkau orang lain sebagai anggota-anggota tubuh Kristus.
“Saling membangun” (14.19) jelas berimplikasi baik yang lemah ataupun yang kuat, kedua belah pihak memiliki tugas untuk saling menguatkan. Dengan mengutip LXX Mazmur 68.10 di Roma 15.3, Paulus menyarankan bahwa merendahkan orang lain, juga menghakimi sesama, yang terjadi di jemaat Roma, akan menambah kritikan atas kehinaan Kristus di atas kayu salib, yang telah menyerahkan diri-Nya bagi semua pihak. Karena itu, jemaat-jemaat yang sedang berkompetisi, harus “mencari kesenangan sesama” (15.2), dan dengan jalan demikian mereka menambah kehormatan dan integritas kelompok jemaat lain, ketimbang saling menghina. Ketika jemaat mengakhiri konflik ini, orang-orang Kristen di Roma akan dimampukan untuk menyatukan suara mereka dalam pujian kepada satu Allah di atas (15.6), dan untuk mengambil bagian dalam paduan suara akbar yang pada suatu hari kelak akan bersama-sama menaikkan pujian bagi nama Allah (15.9-13).
[1]Super-minded above what one ought to be minded.
[2]Sober-minded.
Bagian keempat ini menunjukkan bagaimana orang Kristen bertindak secara etis berdasarkan kebenaran melalui iman. Bagian ini, bila demikian, meletakkan prinsip-prinsip perilaku Kristen (Christian principles of conduct). Termasuk di dalamnya fondasi yang baru mengenai toleransi hidup dalam suatu komunitas yang majemuk.
Sebagai respons atas “kemurahan Allah,” maka umat dinasihati untuk mempersembahkan suatu persembahan hidup, yaitu pelayanan anggota-anggota tubuh yang tidak “serupa dengan dunia ini” (12.1-2). “Pembaruan budi” menunjukkan pemulihan rasionalitas yang telah dibenarkan oleh Allah. Yang dimaksudkan oleh Paulus di sini adalah asumsi dan kemampuan mental dari suatu kelompok orang percaya, dan bukan individu. Setiap keputusan seharusnya merupakan urusan komunitas. Hal ini dipertegas dengan kalimat “sehingga kamu [jamak] dapat membedakan manakah kehendak Allah” (12.2).
Sumber-sumber daya untuk memenuhkan tugas ini didaftarkan di ayat 3-8, yang dimulai dengan permainan kata: “Jangan kamu memikirkan hal-hal yang lebih tinggi,[1] tetapi hendaklah kamu berpikir begitu rupa,[2] sehingga kamu menguasai diri menurut ukuran iman, yang dikaruniakan Allah kepada kamu masing-masing.” Dengan mengingat pengalaman unik masing-masing pribadi orang percaya, dan komunitas-komunitas, terhadap pengenalan akan Kristus, Paulus mendefinisikan “berpikir begitu rupa” (sober-mindedness) sebagai penolakan untuk memaksakan standar seseorang mengenai pengalamannya dengan Allah, kepada orang lain. Pola hidup demikian menyebabkan konflik antara “yang lemah” dan “yang kuat,” dan tiap golongan akan berupaya agar pandangannya diterima oleh orang lain.
Di 12.9-21, Paulus mendasarkan petunjuk-petunjuk agar jemaat hidup dalam “kasih yang tidak berpura-pura.” Ia menekankan masalah perlunya jemaat membedakan yang baik dan yang jahat (ay. 9, 21), khususnya sekarang dalam suatu sistem kehormatan yang baru dalam komunitas orang percaya. Sebagai ganti dari kompetisi dari gereja rumah dan gereja yang besar, mereka harus “saling mengasihi sebagai saudara dan saling mendahului dalam memberi hormat” (12.10). Dengan berbagi dalam berkat dan kesusahan (12.13-15) dan dengan “memikirkan perkara-perkara yang sederhana” (12.16), jemaat hendaknya tidak boleh menundukkan diri kepada kaum elit yang biasanya dihormati dalam suatu komunitas. Jadi mereka harus menunjukkan solidaritas kasih yang sejati. Hal ini bahwa akan memimpin kepada suatu hubungan baru, terhadap orang-orang lain di luar gereja, termasuk kepada para penganiaya (12.14). Jemaat harus menolak untuk membalas kejahatan dengan kejahatan (12.18), dan menyerahkan pembalasan itu kepada Allah (12.19-20).
Dalam bagian 13.1-7, Paulus mendesak jemaat untuk tunduk kepada kuasa pemerintahan yang ada, dengan dasar pernyataan bahwa Allahlah yang menganugerahkan kekuasaan yang demikian, bukan Mars ataupun Jupiter, seperti yang diimani dalam agama Romawi, tetapi Allah yang telah menyatakan diri-Nya melalui Kristus yang tersalib. Jemaat tidak boleh melawan dan diimbau untuk membayar pajak.
Kendati demikian, di balik pernyataan ini terdapat suatu coup d’etat politis! Ah, tetapi bukan dengan granat dan senjata besi! Perhatikan pernyataan ini. Penguasa Roma dipilih oleh Allah dan Bapa dari Tuhan Yesus Kristus. Bila demikian, sama sekali bukan seperti yang diyakini oleh agama Romawi. Bila orang Roma mengaku kekuasaan itu diberikan oleh Mars atau Jupiter, mereka telah menindas kebenaran dengan kelaliman (ingat 1.18!). Maka, tidak ada yang tertinggal dalam kemegahan dan kebanggaan Roma, baik keutamaan maupun kesalehan mereka yang superior. Semuanya telah ditelanjangi di 1.18-3.20. Yang tertinggal adalah fakta yang sederhana bahwa pemerintah itu dipilih dan ditetapkan oleh Allah, sebagai suatu perkara yang tidak dilandaskan oleh keutamaan orang yang dipilih, tetapi misteri pikiran dan pengetahuan Allah, yang memilih siapa yang Ia kehendaki sebagai agen-agen kehendak ilahi-Nya (9.14-33; 11.17-32). Ketertundukan kepada pemerintah dengan demikian merupakan suatu ungkapan penghormatan bukan semata-mata kepada pemerintah itu sendiri, tetapi kepada Allah yang tersalib, yang berdiri dengan penuh otoritas di balik mereka.
Di 13.8-10, Paulus terus mendesak bahwa kewajiban sosial seharusnya dilingkupi oleh kasih persaudaraan. Kasih merupakan kegenapan hukum Taurat. “Kasih” dalam ayat ini mengacu kepada jamuan makan agape, atau yang juga dikenal dengan perjamuan kasih, yaitu jamuan makan yang diadakan oleh gereja perdana, dan hampir dapat dipastikan sama dengan Perjamuan Kudus. Acuan kepada “kegenapan hukum Taurat” mencerminkan fakta bahwa halangan terbesar untuk saling bersekutu dalam situasi Roma adalah keharusan-keharusan untuk berlaku sama dengan hukum Taurat, yang memilah yang kuat dari yang lemah, dan menghalangi perayaan perjamuan kasih bersama-sama.
Perayaan-perayaan yang biasanya dilakukan oleh lingkungan Yunani dan Romawi menjadi latar paragraf berikutnya. Paulus memperingatkan jemaat pada perbuatan-perbuatan kegelapan. Orang Yunani mengilahkan Argumen (Perdebatan, Dispute) dan Kehormatan (Emulation) sebagai kuasa-kuasa yang berdiri di balik gaya hidup orang Kristen. Sementara itu, orang Yahudi mengagungkan zelotisme. Revolusi kaum orang Kristen mula-mula dalam sistem kehormatan dan kehinaan telah mengubah kelakuan-kelakuan ini menjadi pola hidup yang sopan, dengan “perselisihan” dan “iri hati” sebagai faktor-faktor yang ada di zaman kegelapan (13.13). Sebab, pola hidup seperti ini akan menghancurkan gaya hidup setara-sejajar orang-orang percaya, dan menghancurkan komunitas iman.
Di 14.1-15.13, Paulus melawan kompetisi kehormatan di dalam gereja-gereja Roma. Poin mendasar yang ia kemukakan ialah, menghina dan menghakimi sesama orang Kristen berarti buta terhadap siapa sejatinya Allah itu. Jika Allah telah “menerima” yang dianggap musuh bagi seseorang (14.3), dan jika Allah adalah yang Pribadi yang kepada-Nya semua orang bertanggung jawab (14.5-6), maka perseteruan yang terus-menerus merupakan perlawanan terhadap Allah. Karena itu, saling menerima sesama saudara seharusnya menjadi bagian kehidupan komunitas beriman (14.1; 15.7), dan inilah yang diharapkan menjadi latar bagi perjamuan kasih di gereja-gereja Roma.
Ia menegaskan bahwa “tidak ada sesuatu yang najis dari dirinya sendiri. Hanya bagi orang yang beranggapan, bahwa sesuatu adalah najis, bagi orang itulah sesuatu itu najis” (14.14-15). Ia menasihati supaya yang baik, yang dimiliki oleh orang percaya tidak difitnah (14.16). Dengan jalan ini, maka ia melindungi “yang lemah,” di samping menjaga integritas “yang kuat” (14.16). Gaya revolusioner persekutuan ini mengizinkan perbedaan, sementara itu menjangkau orang lain sebagai anggota-anggota tubuh Kristus.
“Saling membangun” (14.19) jelas berimplikasi baik yang lemah ataupun yang kuat, kedua belah pihak memiliki tugas untuk saling menguatkan. Dengan mengutip LXX Mazmur 68.10 di Roma 15.3, Paulus menyarankan bahwa merendahkan orang lain, juga menghakimi sesama, yang terjadi di jemaat Roma, akan menambah kritikan atas kehinaan Kristus di atas kayu salib, yang telah menyerahkan diri-Nya bagi semua pihak. Karena itu, jemaat-jemaat yang sedang berkompetisi, harus “mencari kesenangan sesama” (15.2), dan dengan jalan demikian mereka menambah kehormatan dan integritas kelompok jemaat lain, ketimbang saling menghina. Ketika jemaat mengakhiri konflik ini, orang-orang Kristen di Roma akan dimampukan untuk menyatukan suara mereka dalam pujian kepada satu Allah di atas (15.6), dan untuk mengambil bagian dalam paduan suara akbar yang pada suatu hari kelak akan bersama-sama menaikkan pujian bagi nama Allah (15.9-13).
[1]Super-minded above what one ought to be minded.
[2]Sober-minded.
No comments:
Post a Comment