OTORITAS FIRMAN ALLAH
Kita telah mengenal konsep firman Allah, yang tak lain merupakan cara Allah berkomunikasi kepada manusia, melalui penyataan atau pewahyuan. Sekarang, marilah kita memfokuskan pandangan kepada satu hal yang menjadi fondasi dalam setiap bahasan teologi. Hendaklah kita selalu ingat, Allah pun memakai kata-kata manusia sebagai medium untuk menyatakan diri. Maka kita pun perlu menelaah pengajaran mengenai Kitab Suci.
Banyak orang Kristen yang beranggapan bahwa ucapan Yesus dan pengajaran-Nya adalah pokok yang terpenting dalam iman Kristen. Pengajaran (doktrin) yang lain dapat diabaikan, apalagi doktrin mengenai Alkitab. Sebagian orang percaya, Alkitab dapat salah! Namun jelas pandangan ini tidak dapat dipertahankan.
Pertama, mereka mengklaim ajaran Yesus sebagai yang benar. Tetapi di mana mereka menemukan ajaran Yesus? Di dalam Alkitab! Tetapi, bukankah Alkitab bisa saja salah dalam hal isi dan pengajarannya? Jadi, bukankah ajaran Yesus pun dapat salah?
Kedua, setiap teologi pasti kena-mengena dengan karya Kristus. Tetapi dari mana teologi mengenai karya Kristus itu dibangun? Baik dalam wacana teologi sekontemporer apa pun, semuanya pasti kembali kepada Alkitab. Bila demikian, harus diakui bahwa Alkitab memegang otoritas tertinggi. Bila Alkitab menempati posisi supremasi di antara sumber-sumber teologi lain, kita harus percaya bahwa Alkitab dapat dipertanggungjawabkan isi dan kandungannya. Bila Alkitab dapat salah, maka setiap doktrin yang dibangun jelas tidak dapat dipertahankan.
Ketiga, tujuan setiap orang Kristen adalah dibentuk oleh Allah untuk menjadi serupa dengan Kristus (Rm. 8.29). Pembentukan ini menuntut adanya standar yang tertentu, pasti dan objektif. Bila standar itu ternyata tidak dapat diandalkan, maka tidak ada jaminan pula bahwa orang Kristen akan diubah kehidupannya seturut dengan citra dan pesona Kristus.
Namun demikian, sekali lagi kita menyadari bahwa tidak sedikit teolog yang megatakan bahwa kata-kata lisan berada setingkat lebih rendah daripada kata-kata langsung dari Allah. Namun Alkitab sama sekali tidak menyiratkan pengajaran seperti ini. Apa yang dituliskan, bobot dan nilainya sama dengan yang dikatakan. Bahkan dalam beberapa kasus, bentuk komunikasi tulisan punya bobot yang lebih, oleh sebab tulisan mempunyai tujuan penggunaan yang lebih permanen ketimbang komunikasi lisan.
Allah menghendaki pewahyuan itu sifatnya permanen, bukan sekejap-sekejap. Di dalam Alkitab Allah memberikan pewahyuan untuk dilestarikan, dijaga dan diwariskan dari generasi ke generasi. Perhatikan Ulangan 6.6-9,
"Apa yang kuperintahkan kepadamu pada hari ini haruslah engkau perhatikan, haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalananmu apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun. Haruslah juga engkau mengikatkannya sebagai tanda pada tanganmu dan haruslah itu menjadi lambang di dahimu, dan haruslah engkau menuliskannya pada tiang pintu rumahmu dan pada pintu gerbangmu."
Bahkan jauh sebelum ini, para patriakh (bapa-bapa iman), seperti Yakub, membangun tugu peringatan, sebagai pengingat akan wahyu Allah (Kej. 8.20; 12.7-8; 13.18; 28.18, 22, 35, 35.3; Yos. 24.26-27). Dalam Perjanjian Baru, pewahyuan ini harus dijaga dan dilestarikan. Yudas 3 berkata, “Saudara-saudaraku yang kekasih, sementara aku bersungguh-sungguh berusaha menulis kepada kamu tentang keselamatan kita bersama, aku merasa terdorong untuk menulis ini kepada kamu dan menasihati kamu, supaya kamu tetap berjuang untuk mempertahankan iman yang telah disampaikan kepada orang-orang kudus.” Iman di sini berarti kandungan atau isi dari berita Injil yang disampaikan kepada gereja oleh Tuhan dan para rasul-Nya. Ini tidak boleh diubah, tetapi harus dijaga, dipertahankan, dilestarikan, diteruskan kepada segala bangsa dan segala keturunan.
No comments:
Post a Comment